Perjuangan Suku Bangsa Asli Amerika demi Kebebasan Beragama

Dipublikasikan oleh Krisharyanto Umbu Deta pada

McNally, Michael D. 2020. Defend the Sacred: Native American Religious Freedom beyond the First Amendment [Mempertahankan yang Sakral: Kebebasan Beragama Suku Bangsa Asli Amerika melampaui Amandemen Pertama]. Princeton University Press.


Sebagai bagian dari norma internasional Hak Asasi Manusia (HAM), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) merupakan hak yang melekat pada setiap insan manusia secara universal dan setara. Namun, upaya pemenuhan hak KBB masih terus menjadi tantangan di ranah diskursus maupun praktis, sebab  banyak kelompok masyarakat yang dilanggar haknya dalam beragama dan berkeyakinan. Situasi demikian menggiring pada argumentasi mengenai KBB yang seringkali memiliki bias-bias tertentu, misalnya kristianitas Barat. Penganut agama leluhur –termasuk masyarakat adat –adalah salah satu kelompok warga yang masih mengalami berbagai tantangan memperjuangkan kebebasan berkeyakinan. Melalui studi agama dengan pendekatan hukum secara komprehensif, Michael McNally mendalami bagaimana Suku Bangsa Asli Amerika memperjuangkan KBB. 

Dalam diskursus akademis, definisi atas agama bersifat eksklusif, bahkan menyimpan bias khas kristianitas kolonial yang malah menggiring pesimisme dalam upaya mewujudkan KBB dalam masyarakat. Salah satu contohnya, Winnifred F. Sullivan dalam The Impossibility of Religious Freedom (2005) menyatakan bahwa pendefinisian terminologi agama secara inklusif justru berdampak pada sulitnya mengupayakan kebebasan berkeyakinan. Adapun Elisabeth S. Hurd dalam Beyond Religious Freedom (2015) memberikan pendapat mengenai pentingnya memperluas lensa analisis atas isu keyakinan yang multidimensional agar KBB tidak direduksi menjadi persoalan ‘agama’ semata. Sementara Heiner Bielefeldt dan Michael Wiener dalam Menelisik Kebebasan Beragama (2020) menegaskan bahwa keterbatasan cakupan KBB saat ini seharusnya bukan menjadi alasan untuk meminggirkan konsep tersebut begitu saja. Sebagai hak mendasar dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM), diskursus KBB sudah semestinya dikembangkan, dievaluasi dan dibenahi.

Buku McNally merupakan upaya memajukan diskursus kebebasan beragama, khususnya berkaitan dengan penganut keyakinan leluhur. Ia mengidentifikasi siasat orang-orang Suku Bangsa Asli Amerika dalam mengakses hak KBB, termasuk pertautan mereka dengan pengistilahan ‘agama’ secara normatif. Secara historis, istilah agama (religion) memang baru datang belakangan seiring dengan masuknya kolonialisme. Namun, terminologi agama kini mereka gunakan sebagai resistensi –alih-alih penundukan terhadap narasi dominan –guna memberikan argumen bahwa mereka juga ‘menganut agama’ (lihat We Have a Religion: The 1920s Pueblo Indian Dance Controversy and American Religious Freedom oleh Tisa Wenger, 2009).

Tantangan pemenuhan hak KBB Suku Bangsa Asli Amerika adalah pandangan mereka atas agama yang luas dan kompleks ketimbang pengertian secara normatif. Bagi Suku Bangsa Asli Amerika, agama bukan hanya menyoal teologis-transenden (abstrak dan melampaui apa yang terlihat). Alih-alih, agama juga bersifat praktis dan material, serta mudah ditemukan dalam beragam dimensi sosial, budaya, politik, ekonomi, lingkungan dan sebagainya. Salah satu contoh, tanah, gunung, laut, aktivitas berburu, menanam, melaut hingga tarian menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem religi mereka. Mengutip Suzan Harjo, salah seorang tokoh Suku Bangsa Asli Amerika, bahwa mereka bukannya tidak beragama, melainkan tak memiliki satu padanan makna untuk agama.

Melalui fenomena demikian, McNally melihat adanya urgensi pemajuan diskursus kebebasan beragama untuk Suku Bangsa Asli Amerika. Sebab, sekalipun terdapat berbagai kebijakan dan hukum untuk mengadvokasi hak dan kebebasan mereka, terminologi ‘agama’ dalam konteks Amerika memiliki kekuatan hukum lebih besar. Ia berusaha keluar dari pengertian normatif agama dan KBB, mempertanyakan ‘apa saja yang bisa dilakukan demi memaknai kebebasan beragama?’ (What “can” religious freedom mean?) demi mengupas kompleksitas dan keragaman serta kedaulatan Suku Bangsa Asli Amerika.  

Agama adalah Senjata

Dalam bab pertama, McNally membahas bagaimana selama ini istilah agama telah digunakan sebagai senjata, misalnya dengan menyebut Suku Bangsa Asli Amerika tidak beragama, barbar, dan harus diperadabkan (civilizing). Meminjam terminologi Johnson dkk (2018), McNally menyebut churchstateness (kenegaraan gereja) guna menjelaskan kuasa politik-religius yang menggunakan konsep agama untuk menyerang Suku Bangsa Asli Amerika. Bias kristianitas kolonial membuat konsep religi dipahami sebagai keyakinan individu, sehingga dimensi praktis dan komunal yang penting bagi Suku Bangsa Asli Amerika justru dieksklusikan. Definisi sempit atas religi demikian membuat Suku Bangsa Asli Amerika kerap tak diakomodasi selayaknya agama kristen atau islam. Pun dengan berbagai kasus perebutan tanah dan hutan adat yang sulit ditempatkan dalam kerangka KBB karena dianggap praktis, profan, tidak transendental, sehingga tak berhubungan dengan keyakinan individu sebagaimana makna ‘agama’ dipahami saat ini. Padahal, tanah sangat sakral dan signifikan dalam sistem religi Suku Bangsa Asli Amerika. 

Agama sebagai Spiritualitas dan Budaya

Persoalan definisi agama yang sempit (khususnya dalam cakupan KBB) kemudian direspons melalui berbagai strategi. Dalam bab dua dan tiga, McNally membahas bagaimana Suku Bangsa Asli Amerika menggunakan argumentasi ‘agama sebagai spiritualitas’ untuk mengakses hak KBB mengingat agama dianggap bermakna universal sehingga bisa diterima oleh mereka yang memiliki pandangan sinis terhadap agama leluhur. Secara dominan, spiritualitas dianggap merupakan dimensi yang inheren dalam manusia. Di satu sisi, strategi ini berhasil digunakan dalam konteks pidana, yang membuat hak KBB dipenuhi selama berada di penjara. Namun di sisi lain, bingkai agama sebagai spiritualitas belum bisa membantu mereka dalam perjuangan lahan adat. Pasalnya, spiritualitas dianggap personal dan tidak ada kaitannya dengan persoalan kolektif seperti perjuangan atas tanah adat. 

Pada bab empat, McNally membicarakan strategi lain, yakni agama sebagai bagian dari budaya. Sebagaimana spiritualitas, menggunakan konsep budaya sebagai cara mengkomunikasikan identitas religi mereka jauh lebih diterima ketimbang menyebutnya sebagai ‘agama’. Di antara regulasi yang dapat dimanfaatkan yakni National Historic Preservation Act (NHPA 1966) dan National Environmental Policy Act (NEPA 1969). NHPA digunakan untuk melindungi situs sakral Suku Bangsa Asli Amerika sejauh dapat dibuktikan memiliki aspek kesejarahan. NEPA digunakan untuk melindungi lingkungan yang dianggap signifikan pengaruhnya terhadap keberlanjutan kebudayaan manusia. Dalam hal ini aspek lingkungan dilihat dalam keterkaitannya dengan aspek kultural.

Maka, strategi tersebut merupakan upaya melindungi kesejarahan, budaya dan lingkungan, tetapi dipisahkan dari religiusitas. Meski memiliki keuntungan sebagai metode advokasi, strategi NHPA dan NEPA sebetulnya cenderung prosedural dan formalis. Pasalnya, aktor pemerintah yang terlibat biasanya memiliki bias modernitas problematis, sehingga melihat Suku Bangsa Asli Amerika dengan pandangan yang merendahkan. Ini membuat definisi budaya dalam sistem religi Suku Bangsa Asli Amerika menjadi sama problematisnya dengan istilah ‘agama’. 

Kebebasan Beragama dalam Kehidupan Kolektif Suku Bangsa Asli Amerika

Selain meletakkan sistem religi Suku Bangsa Asli Amerika dalam kerangka spiritual dan budaya, mereka juga berupaya terlibat dalam berbagai diskusi kebebasan beragama. Ini dibahas McNally dalam bab lima dan enam. Pada 1978 dikeluarkan American Indian Religious Freedom Act (AIRFA), yakni peraturan kebebasan berkeyakinan bagi Suku Bangsa Asli Amerika. Melalui regulasi tersebut, agama ditempatkan sebagai bagian dari sistem kolektif. Kendala pemberlakuan AIRFA salah satunya adalah penempatan aturan ini di bawah hukum federal untuk Suku Bangsa Asli Amerika (Federal Indian Law), di mana Kongres (lembaga legislatif) memiliki kewenangan mengintervensi urusan Suku Bangsa Asli Amerika. 

Namun tentu legislasi AIRFA membuat mereka tak hanya mengadopsi istilah dan tunduk pada makna sempit agama, alih-alih menjadi pendorong bagi rekonstruksi identitas sistem religi mereka sebagai bagian dari kolektif. Dengan demikian, Suku Bangsa Asli Amerika memasuki cakupan analisis KBB sekaligus menunjukkan resistensi atas kooptasi agama yang hanya menekankan individualitas dan transendensi. Ini menjadi contoh bagaimana pada akhirnya KBB didorong oleh Suku Bangsa Asli Amerika sebagai cara untuk mendiskusikan pemaknaan kebebasan berkeyakinan secara lebih inklusif. 

Agama sebagai Peoplehood

Pada bab tujuh dan delapan, McNally membahas argumen utama dalam buku ini, yakni agama sebagai peoplehood. Konsep peoplehood merujuk pada kualitas sebuah kelompok yang menginspirasi individu-individu untuk berpartisipasi dalam kolektivitas tersebut (Carpenter (2008). Bagi penganut agama leluhur termasuk Suku Bangsa Asli Amerika, peoplehood mencakup hal kultural, ekonomis, politik dan religi sekaligus. Ini sejalan dengan pandangan Suzan Harjo yang menyebutkan bahwa mereka tidak memiliki satu makna untuk agama. Bagi Suku Bangsa Asli Amerika, makna religi adalah hal kompleks dan multidimensional. 

Ide agama sebagai peoplehood didasarkan pada prinsip determinasi dan kedaulatan Suku Bangsa Asli Amerika. Secara kolektif, mereka memiliki hak sebagai komunitas –alih-alih sekumpulan individu. Bersama-sama, Suku Bangsa Asli Amerika menentukan nasib dan hak dalam aspek yang sangat beragam. Mereka memiliki kedaulatan kultural dan kedaulatan religi yang harus dilindungi. Mengingat AIRFA masih terjebak paternalisme Federal Indian Law, McNally lantas mengintegrasikan ide peoplehood dengan norma internasional United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Sejauh ini, UNDRIP dilihat proporsional dan tidak bias dalam mendekati masyarakat adat. Pasal-pasal UNDRIP mencakup aspek kehidupan masyarakat adat secara kolektif dan menekankan kedaulatan kultural serta peoplehood mereka. McNally melihat bahwa UNDRIP cenderung menghindari kata ‘agama’ dalam poin-poinnya. Ini tentu saja menyangkut dengan bagaimana makna ‘agama’ dipahami secara sempit dan seolah dipisahkan dengan aspek kehidupan lainnya. Ini membuat UNDRIP berpotensi mendorong rekonstruksi kebebasan berkeyakinan secara lebih inklusif untuk masyarakat adat. McNally melihat bahwa kolektivasi HAM di dalam UNDRIP ini mestinya berimplikasi pula terhadap pemaknaan KBB sebagai bentuk inklusi paradigma agama leluhur.

Akhirnya, kerangka peoplehood dengan prinsip  ‘tak ada satu makna untuk agama’ potensial dalam mengadvokasi sistem religi masyarakat adat. Maka, jawaban McNally untuk pertanyaan ‘apa saja yang bisa dilakukan demi memaknai kebebasan beragama?’ adalah upaya kolektivisasi makna KBB sehingga tak hanya dimaknai sebagai hak individu semata. Setidaknya ada dua kesimpulan dari paparan McNally yang dapat ditarik guna meneruskan upaya pemenuhan kebebasan berkeyakinan dalam konteks masyarakat adat. Pertama, agama perlu dilihat dalam hubungan yang lebih luas dengan dimensi kehidupan lain sehingga perangkat hukum dapat digunakan untuk mengakses hak tersebut. Kedua, KBB perlu terus digaungkan wacananya sehingga dapat terus diperiksa dan dikembangkan agar semakin mampu mengakomodasi masyarakat adat secara inklusif. 


Krisharyanto Umbu Deta

Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada