Hewan-Hewan di Negeri Koloni: Tatapan Kolonial Catatan Perjalanan Belanda

Dipublikasikan oleh Riqko Nur Ardi Windayanto pada

Honings, Rick & Esther Op de Beek (eds.). 2023. Animals in Dutch Travel Writing 1800-Present (Hewan dalam Tulisan Perjalanan Belanda 1800 hingga Sekarang). Penerbit Universitas Leiden.


Tulisan perjalanan mensyaratkan perpindahan ruang yang memungkinkan perjumpaan antara pejalan (Diri) dengan manusia-masyarakat, kebudayaan, hewan, dan objek lainnya. Antologi Animals in Dutch Travel Writing 1800-Presents memosisikan hewan sebagai liyan, dan menjelaskan relasi antara hewan dengan manusia sejak abad ke-19 dalam berbagai narasi perjalanan. 

Pembahasan ini menarik karena menganalisis representasi hewan yang kerap termarginalkan dari isu sosial. Sejalan dengan itu, hewan dianggap tak memiliki kapasitas merepresentasikan diri melalui bahasa. Fakta tersebut kemudian menciptakan pertanyaan: bagaimana hewan ditampilkan dan dikonstruksi oleh para pengarang Belanda? Pertanyaan tersebut dijawab melalui sebelas penelitian. Buku ini diklasifikasikan dalam dua bagian, pertama terdiri dari beberapa artikel yang ditulis oleh Bosnak dan Honings, Müller, Toivanen, Sunjayadi, Zeller, dan Arps. Bagian kedua memuat tulisan Altena, Smith, van Kalmthout, de Beek, dan Sedláčková. Setiap artikel memiliki temuan dan pembacaan yang bervariasi, meskipun beberapa memiliki karakteristik mirip antara satu dengan lainnya. 

Hewan-Hewan di Tanah Jajahan dalam Konstruksi Kolonial 

Rick Honings

Secara umum, bagian pertama buku mendiskusikan bagaimana hewan digambarkan dalam logika kolonial, khususnya di koloni seperti Hindia Belanda dan Suriname oleh para pengarang Belanda. Pembahasan catatan perjalanan diletakkan dalam tipologi fungsi hewan dengan pendekatan pascakolonialisme secara interseksional. Tulisan Bosnak dan Honings menunjukkan bagaimana hewan menjadi subjek yang dijumpai, dicari, dan ditaklukkan melalui penjelajahan dengan menganalisis tulisan Reinwardt, Blume, Olivier dan Junghuhn. Secara sadar, hewan kerap digunakan untuk menyusun pengetahuan saintifik tentang biodiversitas tanah jajahan, juga dipergunakan demi kepentingan ekonomi-politik.

Esther Op de Beek

Hal ini selaras dengan Pieter Bleeker yang menempuh perjalanan ke Maluku dan Jawa untuk melakukan proyek taksonomi ikan (ada dalam tulisan Müller). Selain itu, Pieter Bleeker menjumpai hiburan lokal rampog macan (sabung harimau dengan kerbau) yang dianggap kejam karena mengadu hewan. Dalam hal ini, struktur kuasa kolonial diproduksi dengan menganggap praktik lokal sebagai tindakan kejam alih-alih bagian dari kebudayaan. Menurut analisis Müller, logika tersebut bertolak belakang dengan dua tulisan perjalanan oleh pengelana Jawa, Purwalelana dan Sastradarma.

Pandangan kolonial lainnya dianalisis oleh Toivanen dalam tulisan mengenai kuda jawa dan Sunjayadi yang membahas cicak dan tokek. Prange dan van Diest melihat kuda jawa secara anekdotal diibaratkan kucing, selain sebagai alat transportasi di Jawa abad ke-19. Asosiasi tersebut dikarenakan kuda dinilai adaptif dengan kondisi geografis dataran tinggi Jawa. Sementara, cicak dan tokek dipersepsikan sebagai kadal atau buaya mini penghibur, meski kadang juga dianggap pengganggu. Persepsi dan asosiasi demikian menegaskan dominasi ideologi kolonial di mana pengarang Belanda menggunakan kerangka pengetahuan untuk memahami hewan di negara koloni sebagai makhluk asing. Hewan mengalami eksotisasi, misalnya cicak dan tokek yang dianggap sebagai entitas eksotik dan hiburan.

Selanjutnya, Zeller membahas kerangka berpikir Barat yang mengapropriasi monyet di Suriname dengan strategi familiarisasi dan defamiliarisasi. Penulis Belanda mengasosiasikan monyet sebagai hewan lain yang familiar bagi mereka, atau menyamakan dengan pribumi. Penyamaan tersebut merupakan praktik animalisasi (penghewanan) manusia sebagai bagian dari rasialisme. Sementara itu, defamiliarisasi ditandai dengan meminggirkan dan meliyankan monyet untuk dijadikan binatang konsumsi. Hal tersebut menegaskan logika kolonial yang menganggap bahwa monyet harus dipisahkan dari ‘kehitaman’ untuk mendapatkan daging putih yang siap dimasak.

Berbeda dengan lima tulisan sebelumnya, kajian Arps bukan mengenai tulisan perjalanan faktual, melainkan fiksi (novel) bertema perjalanan: Thuis gelooft niemand mij (2016) karya Maarten Hidskes, dan Merdeka! (2016) oleh Jacob Vis. Kedua kisah perjalanan tersebut bercerita tentang perang kemerdekaan Indonesia. Kejahatan, kekejaman, dan kekerasan selama perang oleh kombatan Indonesia dan Belanda digambarkan menggunakan metafora hewan. Pasukan Belanda digambarkan sebagai tentara terlatih yang bertransformasi menjadi bengis, sementara pejuang Indonesia diilustrasikan sebagai monyet, tikus, anjing, dan ular. Ini menunjukkan bagaimana hierarki dibangun di atas logika kolonial. Hierarki tersebut menyiratkan Belanda sebagai manusia, dan pribumi dianggap bernaluri hewan. 

Hewan-Hewan Melintas Masa dan Benua

Bagian kedua buku menawarkan diskusi beragam dengan menganalisis teks yang dikaji melalui cerita dari berbagai benua, mulai dari Eropa, Afrika, Australia, hingga Arktik. Korpus kajian membentang sejak kuarter terakhir abad ke-19 hingga 21. Altena membicarakan kedekatan Betsy Perk dengan keledai dalam Mijn ezeltje en ik (1874) karangan Leonhard Huizinga. Keledai digambarkan sebagai pendamping Perk yang juga menyimbolkan emansipasi. Relasi intim antarspesies semacam ini juga ditunjukkan dalam tulisan de Beek. Ia membahas Marokko, het land van het dode paard (1972) dan Wie reist met de dieren is nooit alleen (1977) karya Leonhard Huizinga. Dalam kedua cerita tersebut, kuda tidak hanya dianggap mendampingi, tetapi juga mengaktifkan ingatan pejalan yang membawa ia pada nostalgia tentang Maroko. 

Jika dua artikel di atas menggambarkan hubungan hewan dengan manusia secara personal, relasi kolektif tampak dalam Eskimoland (1934) karya Tinbergen yang dianalisis Smith. Berdasarkan pengamatan lapangan oleh Tinbergen, berbagai hewan seperti burung, anjing laut, paus, anjing, dan beruang kutub, dimanfaatkan oleh suku Inuit untuk berbagai kebutuhan, mulai dari makanan, pakaian, hingga moda transportasi. Smith juga menelaah secara komparatif untuk membuktikan bahwa tulisan Tinbergen mirip dengan Texel (1927) karya Thijsse. Pembahasan Smith secara tak langsung mengimplikasikan spesiesisme –ideologi yang melegitimasi dominasi manusia atas hewan secara ekonomi dan ideologis (hlm. 16—17). 

Dominasi manusia atas hewan menjadi sorotan Sedláčková yang membandingkan konstruksi naratif hewan dalam Dier, Bovendier (2010) oleh Frank Westerman dengan Alleen de knor wordt niet gebruikt: Biografie van een varken (2009) karya Yvonne Kroonenberg. Menurut Sedláčková, Westerman membentuk imaji kuda Lipizzan sebagai objek hiburan manusia yang berharga, berbeda dengan spesies kuda lainnya. Di sinilah terjadi rasisme dan spesiesisme ganda: manusia (subjek) dan kuda Lipizzan (sebagai objek); juga dikotomi antara kuda yang berharga dan tidak berharga.

Westerman tidak mempersoalkan eugenika atau pembiakan selektif pada kuda, yang dianggap tidak bermoral bagi manusia, meskipun kerap tidak dipertanyakan pada hewan. Sebaliknya, Kroonenberg menjelaskan tentang dominasi manusia atas hewan (spesiesisme) dan karnisme (penggunaan babi sebagai sumber protein daging). Dalam analisis ini, Kroonenberg tidak menolak karnisme secara total, tetapi menawarkan alternatif lain, yakni mengurangi pembelian daging dengan memilih produk organik.

Berikutnya, Kalmthout menganalisis enam karya yang terbit pada 1950—1960-an sebagai korpus. Ia menguraikan fauna Australia yang diperkenalkan oleh orang Eropa, di antaranya kuda, domba, sapi, dan kelinci; juga fauna endemik, seperti angsa hitam, burung cendet, burung emu, kanguru, koala, anjing dingo, platipus, dan burung kukabura. Beberapa fauna lokal dikonsepsikan secara stereotipikal, seperti burung emu yang bodoh, atau koala lucu tetapi cakarnya berbahaya. Logika kolonial juga diatribusikan pada suku Aboriginal yang disandingkan dengan hewan. Hal ini menggarisbawahi bahwa tulisan perjalanan yang terbit pada periode modern tetap mewarisi, mereproduksi, dan melanggengkan struktur kuasa kolonial. Seperti di Hindia Belanda dan Suriname, Australia menjadi zona kontak menarik, sebab memfasilitasi perjumpaan Barat dengan hewan-hewan lain yang dianggap eksotis dan distereotipkan berbahaya.

Ruang Diskursif bagi Kajian Catatan Perjalanan

Kembali pada pertanyaan awal tentang bagaimana hewan dipresentasikan dan dikonstruksi, buku ini menunjukkan bagaimana catatan perjalanan di negara jajahan tidak bisa dilepaskan dari tatapan kolonial. Pada abad ke-21, representasi hewan mulai menunjukkan pluralitas, menunjukkan bahwa konstruksi narasi juga bersifat dinamis dan meluas seiring konteks ruang dan waktu dalam produksi tulisan perjalanan. 

Jawaban atas pertanyaan di awal disajikan secara solid oleh sebelas peneliti dengan teori dan metodologi yang mereka gunakan.  Menurut editor, tipologi fungsi hewan oleh Elizabeth Leane menjadi konsep utama para kontributor (hlm. 18). Mereka begitu piawai membahas topik ini menggunakan berbagai pendekatan seperti pascakolonialisme, cerita perjalanan kontemporer, nostalgia, naratologi, ekologi representasi, dan perbandingan tekstual. Secara ketat sekaligus fleksibel, kontributor mampu mengoperasikan teori tanpa terjebak pada glorifikasi akademis tertentu.

Secara metodologis, para kontributor menyajikan analisis secara diskursif. Tidak hanya berkutat pada teks, mereka mendialogkan teks dengan konteks historis, ideologis, kultural, sosial, dan personal (pengarang catatan perjalanan). Oleh karena itu, meskipun berunsur travel writing, buku ini menempatkan teks dalam konteks luas dengan substansi yang bernas.

Kekuatan teoretik dan metodologis demikian menjadikan buku ini mampu mengejawantahkan topik minor dalam catatan perjalanan, yakni hewan, dalam pembahasan mendalam dan menjanjikan. Animals in Dutch Travel Writing 1800-Present juga menawarkan prospek bagi kajian cerita perjalanan di Indonesia. Dalam pengamatan dan pengalaman saya yang pernah secara akademis mempelajari genre travel writing, kajian seperti ini banyak berfokus pada pejalan dan tidak memberikan pembahasan memadai terhadap subjek yang sebetulnya menarik untuk didalami. Selain itu, banyak kajian cenderung mengulang dan terbelenggu teori Carl Thompson dan Debbie Lisle, yang menganggap teks seperti benda mati. Penjelajahan dengan menggunakan berbagai pendekatan belum dianggap penting dalam kajian cerita perjalanan di Indonesia, terutama yang secara khusus membahas hewan, lingkungan, dan biota alam. Menurut saya, secara reflektif dan kritis, buku ini mendorong keberanian untuk memulai eksplorasi agar kajian tulisan perjalanan di Indonesia tidak ketinggalan gerbong kereta.

 

 


Riqko Nur Ardi Windayanto

Riqko Nur Ardi Windayanto menamatkan pendidikan sarjana di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Menekuni studi filologi (kajian naskah kuno) Melayu.