Takhlik Shakespeare atas Kerentanan Kekuasaan dan Konflik Spiritual Para Penguasa

Dipublikasikan oleh Putriyana Asmarani pada

Shakespeare, William. 2014. The Complete Works of William Shakespeare (Kumpulan Lengkap Karya William Shakespeare). Penerbit Canterbury Classics.


Berada di puncak teratas, menjadi tangan kiri Tuhan dan mendengar sabdanya, Richard II dan King Lear adalah dua penguasa yang dikarang oleh William Shakespeare untuk mengumandangkan seberapa rentannya monarki modern dan labilnya spiritualitas. Richard II digarap sebelas tahun sebelum King Lear, meskipun begitu, dua karya magnetis ini ternyata bukan hanya soal estetisme dan aufklarung di zamannya. Keduanya memberikan kerangka dan pola atas kekuasaan dan konflik spiritual yang bisa dijadikan acuan untuk menganalisis penguasa zaman ini.

Kekuasaan dan Spiritualitas

Sebagai orang muda yang merasa bahwa ia adalah representasi Tuhan, Richard II cenderung plin-plan dan mudah terkecoh. Yang paling penting bagi Richard II adalah apakah ia akan mendapatkan cukup sanjungan untuk keputusan yang ia pilih. Terlebih, sebelum ia menyampaikan pilihannya, ia cenderung menekankan kembali bahwa dirinya adalah ruh tertinggi (upright soul) dan memiliki darah suci (sacred blood).

Now, by my sceptre’s awe I make a vow,

Such neighbour nearness to our sacred blood 

Should nothing privilege him not partialize

The unstooping firmness of my upright soul.

(Richard II, Act 1 Scene 1)

Cuplikan di atas adalah pernyataan Richard II yang merestui pembuktian keadilan dan kebenaran dengan pertarungan satu lawan satu. Tiba-tiba setelah itu, Richard II berubah pikiran, ia percaya bahwa jalur pengasingan bisa membersihkan jiwa orang-orang berdosa. Tapi, bukan berarti Richard II mengaku bahwa dirinya mudah goyah dengan keputusannya sendiri. Sebaliknya, ia merasa bahwa keadilan berasal dari dirinya seperti dalam pembelaan Richard II atas keputusannya berikut ini;

Thy son is banished upon good advice,

Whereto thy tongue a party-verdict gave.

Why at our justice seem’st thou then lower?

(Richard II, Act 1 Scene III)

Richard II sang raja muda akan gusar dengan siapa saja yang mempertanyakan keputusannya. Setiap kali ia menyampaikan pendapat, ia akan mengukuhkannya dengan menyebut nama Tuhan dan negara yang ia pimpin. Pengukuhan ini bagi saya adalah untuk melegitimasi sabda raja. 

King Lear memiliki pola yang sesungguhnya agak berbeda dengan Richard II. Kesepuhan menggiring King Lear pada puncak kegelisahan. Sadar akan keterbatasan waktu, King Lear terobsesi dengan bagaimana orang bakal mengenangnya dan kepada siapa ia percayakan warisan terbesar miliknya. Karena itu ia mengumpulkan seluruh anggota keluarganya, lalu membuat tiga putrinya bersaksi di hadapan semua tamu hanya untuk memastikan seberapa besar cinta mereka terhadap King Lear. 

Namun, semakin King Lear mempertanyakan cinta dan loyalitas dari ketiga putrinya, semakin ia merasa terdesak dan terkucilkan. Dari segala yang menimpa King Lear kemudian, King Lear merasa bahwa Tuhan mungkin tidak sedang memandunya, Tuhan mungkin tengah mempermainkannya. Hal ini memang sangat meresahkan King Lear, kerap sekali King Lear terperosok pada dualitas psikologis antara dirinya dan Tuhan. Seperti Richard II, King Lear juga percaya bahwa segala yang ia lakukan juga termasuk kehendak Tuhan. Richard II dan King Lear, sebagai raja, merasa bahwa Tuhan selalu berpihak pada mereka, dan apapun keputusan mereka adalah representasi kehendak Tuhan. Begitu pun dengan konsep keadilan yang mereka percayai, seakan-akan bukan dari mereka sendiri, melainkan atas bimbingan Tuhan. 

Ketiadaan berasal dari ketiadaan: begitulah tragedi King Lear bermula. Bila Richard II haus pujian, King Lear cenderung menimbang pujian mana yang paling berisi. Cordelia, putri bungsu kesayangan King Lear, mengisi timbangan itu dengan kekosongan, sehingga terpantik lah konflik batin King Lear. Ketiadaan atau kekosongan tidak merepresentasikan apapun, tidak dari cinta yang diharapkan King Lear atau bakti sembah yang semestinya diberikan oleh Cordelia. Muara konflik ini, menurut saya, berakar pada kondisi King Lear yang sedang meleburkan batas-batasnya sebagai manusia. Tuhan, tentu saja, ada. Kalau manusia mencintai Tuhan itu berarti wujud cinta itu benar-benar ada, bukan seperti yang dikatakan oleh Cordelia “nothing”. Itu yang membuat King Lear mengamuk atas pendapat Cordelia. 

Banyak sekali riset dan ulasan yang bermunculan dengan penafsiran “yang hadir dalam ketiadaan, dan yang tampak dari kekosongan”. Tema nothingness atau ketiadaan sangat kompleks dalam narasi drama King Lear. Sebaliknya, dalam Richard II, nothingness adalah representasi dari sesuatu yang memang ada. Memang dalam Richard II, ungkapan ini begitu jelas dan tidak menjadi konflik dalam drama, berbeda dengan King Lear yang memang mempermasalahkan nothingness.

Secara simbolis, singgasana memang merepresentasikan kekuasaan tertinggi dan absolut, namun bukan berarti singgasana tidak memiliki kerentanan. Selain perkara kenegaraan, singgasana juga bisa meleburkan sifat-sifat manusia dan sifat-sifat Tuhan seperti dalam dualitas psikologis Richard II dan King Lear. Dalam monarki, tunduk dan patuh pada raja juga berarti tunduk dan patuh pada gereja, menyembah raja juga berarti menyembah Tuhan. Pola ini memengaruhi aspek kehidupan lainnya, seperti perang membela negara adalah jihad, dan penghianat layak diberi hukuman mati.  

Solilokui di Ambang Kematian

Pola pikir Richard II dan King Lear bermetamorfosis seiring dengan laju cerita. Baik raja muda Richard II dan raja sepuh King Lear, keduanya haus pujian. Keduanya dihantui dengan penghianatan. Richard II yang selalu dipuji-puji, langsung tumbang seketika saat orang terkasihnya ternyata menentangnya. King Lear yang paling yakin kalau Cordelia mencintainya, langsung gelisah dengan pujian Cordelia yang kurang berisi. Kemudian, bagaimana dua kisah dan dua tokoh ini berakhir?

Frankenstein, dengan pakaian rombeng dan wajah mengerikan, datang menemui penciptanya untuk protes. Ia luapkan habis-habisan eksistensinya di dunia ini pada penciptanya. Dr. Jekyll juga berhadapan dengan Mr. Hyde. Dorian terus menerus menerima wejangan dari sahabatnya yang filosofis. Rekonsiliasi dua tokoh yang saling bertentangan ini adalah yang paling tipikal terjadi dalam novel-novel yang mengusung tema dualisme

Proses rekonsiliasi dalam karya-karya Shakespeare cukup berbeda. Menjelang kematian Richard II menyampaikan solilokui panjang soal dirinya sebagai raja dan sebagai manusia biasa. Ia membandingkan kedudukannya sebagai raja dan kebutuhan paling dasar badaniahnya sebagai manusia biasa. Farzana, dalam tulisannya yang berjudul Kingship as Divine Right in Shakespeare’s King Richard II (2016), menyatakan bahwa Richard II sebagai raja memiliki hak ilahiah. Maka darinya, konflik dualitas antara sebagai manusia biasa dan raja yang punya hak ilahi muncul dalam solilokui panjangnya:

All murder’d-for within the hollow crown

That rounds the mortal temples of a king

Keeps Death his court; and there the antic sits,

Scoffing his state and grinning at his pomp;

Allowing him a breath, a little scene,

To monarchize, be fear’d, and kill with looks;

Infusing him with self and vain conceit,

As if this flesh which walls about our life

Were brass impregnable; and, humour’d thus,

Comes at the last, and with a little pin

Bores through his castle wall, and farewell, king!

Cover your heads, and mock not flesh and blood

With solemn reverence; throw away respect,

Tradition, form, and ceremonious duty;

For you have but mistook me all this while.

I live with bread like you, feel want,

Taste grief, need friends: subjected thus,

How can you say to me I am a king?

(Richard II, Act 3 Scene 2)

Selanjutnya, Hole S–dalam jurnalnya yang berjudul The Background of Divine Action in King Lear (1968)menjelaskan bahwa drama King Lear lebih menonjolkan aktivitas spiritual daripada heroik. Cordelia, misalnya, menjadi standar kebaikan. Sebaliknya, King Lear dan Glouchester berada dalam perseteruan spiritual antara kebaikan dan keburukan. Catatan lain, misalnya CliffsNotes dalam Critical Essays Divine Justice, menitikberatkan pengaruh gereja di zaman Elizabethan yang memengaruhi pemaknaan kebaikan dan keburukan yang dihubungkan dengan surga. Selain itu, seperti kebanyakan karya-karya Shakespeare lainnya termasuk Richard II, hukuman bagi tokoh-tokoh cenderung berupa serangan mental. 

Karya-karya Shakespeare lain yang kental dengan dualisme seperti dalam Macbeth dan Hamlet telah diteliti oleh Smith M. dalam The Poisoned Chalice: Dualism in Macbeth. In Dualities in Shakespeare (1966). Smith menekankan norma dalam kebaikan dan keburukan yang melebur dalam kutipan Macbeth “Fair is Foul, Foul is Fair” (Act 1, Scene 1). Dualisme muncul dalam berbagai bentuk representasi namun yang lebih menonjolkan pergolakan dualitas psikologi adalah King Lear dan Richard II, terutama dalam hal spiritual.

Daftar Pustaka

Critical Essays Divine Justice. CliffsNotes. https://www.cliffsnotes.com/literature/k/king-lear/critical-essays/divine-justice.

Farzana, Shamsi. (2016). Kingship as Divine Right in Shakespeare’s King Richard II.  European Journal of English Language and Literature Studies, Vol.4, No.2, 40-49. 

Hole, S. (1968). The Background of Divine Action in King Lear. Studies in English Literature, 1500-1900, 8(2), 217–233. https://doi.org/10.2307/449656

Shakespeare, William. “King Lear”. The Complete Works of William Shakespeare. Canterbury Classics. 2014. 972-1015.

Shakespeare, William. “King Richard II”. The Complete Works of William Shakespeare. Canterbury Classics. 2014. 394-425.

Shelley, Mary. (2018). Frankenstein . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Smith, M. B. (1966). Dualities in Shakespeare. University of Toronto Press. http://www.jstor.org/stable/10.3138/j.ctvfrxfbw.

Smith, M. B. (1966). The Poisoned Chalice: Dualism in Macbeth. In Dualities in Shakespeare (pp.160–188). University of Toronto Press. http://www.jstor.org/stable/10.3138/j.ctvfrxfbw.10

Stevenson, Robert Louis. (2018). The Strange Case Of Dr. Jekyll and Mr. Hyde (First Published). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 

Wilde, Oscar. (2019). The Picture of Dorian Gray . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Kategori: Sastra

Putriyana Asmarani

Aktif menulis konten SEO di perusahaan kreatif. Risetnya Identitas Politik Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa dari National University of Singapore. Cerpen dan tulisan lainnya terbit di The Jakarta Post, Indian Periodical, Djavatimes, dan lain-lain.