Environmentalisme Muslim: Wacana Alternatif untuk Mengikat Komitmen Etis di Tengah Ragam Aktivisme Lingkungan

Dipublikasikan oleh Iman Permadi pada

Gade, Anna. 2019. Muslim Environmentalisms: Religious and Social Foundations (Environmentalisme Muslim: Fondasi Sosial dan Religius), Penerbit Universitas Columbia.


Salah satu kegelisahan akademis yang paling mendasari terbitnya buku “Muslim Environmentalisms: Religious and Social Foundations” (2019) karya Prof. Anna M. Gade begitu familiar namun menarik. Gade berusaha keluar dari perdebatan yang ia rasa non-produktif yang bermula dari pertanyaan: manakah gerakan (lingkungan) yang paling “Islami”? Terlebih jika praktik/gerakan itu diinisiasi oleh kelompok yang dieksklusi oleh wacana “agama” arus utama sebagaimana “aliran kepercayaan” di Indonesia?

Ritual labuhan yang dipraktikkan secara tahunan oleh masyarakat Muslim dan (saat penelitian ini dilakukan) dipimpin oleh mendiang Mbah Maridjan di lereng Gunung Merapi menjadi titik berangkat Gade untuk membingkai argumen-argumen yang ia konstruksi dalam buku ini. Basis kerja studi agamanya juga bermula dari hasil telaah diskursus bagaimana sejarah agama-agama merespon isu lingkungan melalui kumpulan tulisan yang diberi judul Islam and Ecology: A Bestowed Trust (2003). Gade kemudian menemukan celah kesenjangan percakapan sejarah “agama” dan “lingkungan,” bahwa seluruh topik tulisan yang dibingkai sebagai aktivisme religius dalam karya tersebut adalah agama-agama dunia (hlm. 9). Dengan kata lain, salah satu praktik keagamaan di tingkat lokal sebagaimana ritual labuhan masih absen dalam percakapan tersebut.

Seringkali, masyarakat Muslim Indonesia melihat apa yang dilakukan oleh penganut kepercayaan lokal–seperti komunitas di lereng Gunung Merapi–sebagai bagian dari Islam yang “tidak murni” karena mengandung unsur percampuran antara agama dan “non-agama” (sinkretisme). Kontestasi “purfikasi” semacam ini, menurut Gade, akan melemahkan fokus dan komitmen berbagai kelompok pada tujuan utamanya untuk saling menjaga jejaring kehidupan di Bumi. Lebih jauh, alih-alih mengeksklusi, Gade justru melihat bahwa praktik tersebut adalah bagian dari sejarah praktik “Islami” yang menyentuh nilai esensial dalam agama: menjaga keseimbangan hidup tanah, air, dan udara di mana mereka lahir, tumbuh, dan mati (Al Mizan). Secara ringkas, argumen utama dalam buku ini menegaskan bahwa keberagaman corak environmentalisme Muslim menggeser fondasi disiplin studi-studi humaniora dalam merespon persoalan hajat hidup manusia yang paling mendasar, seperti krisis lingkungan (hlm. 1). 

Ketimbang membingkai aktivisme Muslim dalam kerangka diskursus Islam ‘dan’ lingkungan/ekologi, atau “Green Islam,” Gade memberi tawaran kerangka Environmentalisme Muslim dalam membingkai keberagaman model aktivisme lingkungan kelompok Muslim. Ia memadatkan argumennya dengan mengatakan bahwa lingkungan adalah makhluk ciptaan Allah (creature) yang mempunyai nilai etis (hlm. 254-255). Bagi Gade, esensi gagasan tentang ‘lingkungan’ ialah ide tentang etika (ethical idea). Dengan kata lain, ketersalingan antar-makhluk menjadi niscaya dalam naluri kehidupan yang paling mendasar.

Akhiran (suffix) “–isme” yang melekat dengan kata “environmental” (dalam Environmentalisme Muslim) membentuk berbagai konsep moral, nilai, etika, dan intensionalitas pada komitmen Muslim terhadap “lingkungan” yang selalu dinilai sebagai elemen yang sangat signifikan dalam kehidupan (hlm. 15). Komitmen ini menjadi instrumen akselerasi gerak Muslim dalam hidup berdampingan dengan makhluk lainnya (creatures). Keberagaman bentuk komitmen kelompok Muslim dalam menjaga ruang hidupnya yang telah dan sedang berlangsung di level global memantik Gade untuk mencari tawaran alternatif yang lebih komprehensif dalam melihat dinamika ini. Secara spesifik, Gade mengerucutkan tujuan utama buku ini untuk memperluas kerangka penelitian tentang lingkungan dan studi Islam (atau “Islam” dan  “…”) sehingga wacana dan praktik kelompok Muslim dapat masuk ke dalamnya (hlm.13).  

Ringkasan: dari Telaah Kritis atas Ayat Suci, Dinamika Agensi, hingga Dekolonisasi

Secara keseluruhan, buku ini terbagi menjadi tujuh bagian. Bagian pertama memulai dengan melihat bagaimana praktik-praktik ramah lingkungan, di kalangan Muslim maupun non-Muslim, menempatkan environmentalismenya sebagai alat untuk mencapai tujuan religius. Sedangkan bagian kedua mengungkapkan bahwa Islam, dalam konteks environmentalisme, turut menentukan dinamika global sebagaimana gerakan-gerakan non-religius: misalnya, dalam produksi fatwa-fatwa lingkungan yang mendorong aksi-aksi koservasi alam. Gade mengilustrasikan bagaimana cara-cara NGOs (non-Goverrmental Organizations) menggaet kelompok Muslim untuk bergerak bersama dalam isu yang lebih luas seperti Islam dan pembangunan.

Bagian ketiga menjelaskan bagaimana environmentalisme Muslim menganalisis secara kritis ayat-ayat al Qur’an dan, pada saat yang sama, digunakan sebagai landasan aktivisme lingkungan. Lebih jauh, bagian ini juga melihat sumber-sumber klasik dalam prinsip-prinsip lingkungan, misalnya, menjaga keseimbangan entitas relasional antara makhluk (creatures) dan sumber daya alam (resources). Pasca diskusi tersebut, topik ini beranjak menuju pembahasan mengenai basis suara-suara environmentalisme Islami dengan isu kunci humaniora lingkungan. 

Anna Gade

Bab selanjutnya mendisksusikan tentang fikih dan etika Islam, termasuk aksi-aksi kaum Muslim dewasa ini dalam memproduksi hukum lingkungan yang berbasis Islam sebagai opini otoritatif dalam persoalan lingkungan. Di dalamnya, para pemikir hukum Islam lebih cenderung memandang lingkungan sebagai bagian dari suksesor kehidupan (life support). Teori dan praktik tersebut kemudian menjadi hal-hal yang paling krusial dalam hukum Islam yang secara keseluruhan bergantung pada keberlanjutan biodiversitas alam. Bagian ini melanjutkan dengan penjelasan tentang etika-etika praktis yang berkaitan dengan adab (comportment) memperlihatkan dasar dan konsistensi terhadap norma-norma ini dari perspektif tradisi praktik keseharian (everyday practice) Muslim global.

Diskusi selanjutnya menggambarkan tentang bagaimana pola-pola agama muncul dalam mendialogkan dimensi saintifik dan estetik environmentalisme Muslim, yang bermula dari laboratorik (alchemy) menjadi estetik (art). Disiplin-disiplin ilmu Islam yang selanggam dengan disiplin pengetahuan tersebut membentuk sistem simbolik yang mengkonstruksi terma “lingkungan” secara etik maupun religius dalam lanskap pengetahuan lingkungan (environmental horizon). Bagi Gade, hal ini meniscayakan adanya batas-batas dalam pemahaman dan kesadaran, seperti perubahan iklim. Pembahasan ini lebih khusus mengungkapkan sebuah etos sistemik yang menghubungkan antara dimensi saintifik, simbolik, dan sosioteriologis humaniora Islami (Islamic humanities). Bahkan, hal ini memberi kontribusi pada visi para pegiat lingkungan terhadap aspek-aspek tersebut dalam mengkoneksikan antara aspek lokal dan global, yang “nampak” (seen) dan “tak nampak” (unseen), serta aspek moral dan material.

Substansi argumen terakhir dalam bab keenam menegaskan bahwa praktik environmentalsime Muslim adalah praktik religius. Hal ini bukan karena environmentalisme akan membuat mereka menjadi “radikal” pada titik ketika berada pada puncak religiusitas. Namun, sebaliknya, emosi spiritual tersebut menuntun kebersalingan manusia religius dengan lingkungannya secara “natural” pada saat mereka menyelaraskan etika dan kesalehan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bagian ini memberi permisalan Muslim global dalam mengkoneksikan dirinya dengan alam sekitar karena dorongan semangat keIslaman (daripada sebaliknya, sebagaimana diilustrasikan dalam bab 2), menunjukkan bagaimana otoritas ritual dan pengalaman kolektif (shared experience) mengubah emosi dan proyeksi aktivisme lingkungan. Komunitas-komunitas yang dicontohkan dalam bagian ini tidak sepenuhnya terbaca dalam arus utama diskursus akademik karena struktur-struktur yang memproduksi dan mereproduksi berbagai persoalan mengenai humaniora lingkungan.

Bagian ketujuh menyimpulkan topik-topik diskusi yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya tentang bagaimana term lingkungan muncul dalam gagasan dan praktik. Ia meninjau ulang ekspektasi kesalingan dan keadilan yang telah diilustrasikan untuk mengekspresikan agama Islam secara, Qur’ani, syariah, estetik dan simbolik, saintifik, esoterik, dan moral-etik. Karakter tersebutlah yang, boleh jadi, identik dengan model humanistik environmentalisme secara keseluruhan, dengan penekanan, apa makna “lingkungan” itu sendiri.

Kontribusi Akademis: Dekolonisasi Percakapan “Agama” dan “Lingkungan”

Anna. M Gade, seorang Professor perempuan di bidang humaniora lingkungan (Environmental Humanities) dan bermarkas di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, mulai menyusun buku ini pada tahun 2003 silam. Ia melakukan investigasi kritis dalam kajan ini selama hampir dua dekade lalu hingga akhirnya mendapatkan gelar kehormatan dalam bidang studi lingkungan dari Gaylord Nelson Institute. Selain itu, ia juga sempat mengampu mata kuliah Religion and Ecology pada kelas pertengahan semester (intersection class) di CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) Universitas Gadjah Mada tahun 2011 silam.

Secara argumentatif, buku ini mengungkapkan kebaruan topik yang signifikan dalam memperbesar peluang untuk merekognisi praktik-praktik keberagama(a)n yang lahir dan tumbuh di kalangan masyarakat lokal dan seringkali dianggap oleh sebagian sarjana Muslim bukan bagian dari praktik Islam. Gade melakukan penelitiannya di sekitar area Gunung Merapi yang telah meletus secara dahsyat di akhir tahun 2010, terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, tepatnya tak jauh dari Provinsi Jawa Timur, lokasi di mana Clifford Geertz menyusun karya monumentalnya yang berjudul The Religion of Java” (1976). Dalam seting penelitian lapangan semacam ini, tersedia bermacam pendekatan humanistik untuk menjelaskan sebuah narasi tentang agama dan lingkungan. Pertama, dalam hal ini, “Tradisi Jawa” (Javanese tradition) adalah kerangka pengetahuan yang mendominasi penjelasan akademik (sebagaimana karya pertama Benedict Anderson tentang politik Indonesia, dan karya-karya Geertz lainnya). Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap kebudayaan agama yang melekat pada Kraton Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Sebaliknya, narasi-narasi yang meliputi dinamika ruang sosial, budaya, dan ekologi yang terbentuk oleh akumulasi perilaku manusia secara interaktif (notions of landscape) dan yang berbasis lapangan (place-based) telah lama menjadi standar metodologi dalam sejarah lingkungan dan geografi humanistik, menjadi contoh selanjutnya. Gade lebih memilih pendekatan yang cenderung mensinkronkan kedua orientasi tersebut satu-sama-lain dengan berbagai macam persoalan, seperti “environmentalisme Muslim,” daripada kajian umum Islam yang biasa disebut “agama dan ekologi”. Menurutnya, analisis yang berbasis komparasi pilihan kata kunci (preselected comparative keywords) cenderung mengindari norma-norma yang diekspresikan melalui tradisi-tradisi yang melekat dalam kehidupan suatu masyarakat (lived tradition). Hal ini tercermin dalam karya Geertz (1983) dalam studinya tentang sistem legal-etik di Indonesia sebagai bentuk pengetahuan lokal (local knowledge).

Penulis buku ini berhasil memberi kontribusi paling mendasar dalam teori lingkungan yang berpusat pada Muslim (Muslim-centered) misalnya, yang memunculkan banyak permasalahan tentang kerangka pengetahuan terhadap penciptaan (creation) seperti kemanusiaan (Humanities). . Meskipun buku ini secara spesifik menyebut Islam dan Muslim, inklusivitas pendekatan dan metode yang digunakan dalam buku ini juga dapat diterapkan dalam diskurusus “agama” atau “kepercayaan” lain. Namun, meski Gade berangkat dari pembacaan ritual Labuhan, diksi pilihannya, “environmentalism,” tampak begitu asing bagi masyarakat lokal yang sangat memungkinkan sudah mempunyai padanan kata yang berakar dengan kelokalan mereka.


Iman Permadi

Alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada