Perdagangan, Bajak Laut, hingga Perbudakan: Kejayaan Zona Sulu Abad ke-19

Dipublikasikan oleh M.A. Gifariadi pada

Warren, James F. 1981. The Sulu Zone 1768-1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State (Zona Sulu 1768-1898: Dinamika Perdagangan Luar Negeri, Perbudakan, dan Etnisitas dalam Transformasi Negara Maritim Asia Tenggara). Penerbit Universitas Chicago. 


Berangkat dari disertasi James F. Warren di Australian National University pada 1975, kekayaan materi dan arsip yang dikumpulkan penulis dalam kurun delapan bulan merupakan pencapaian penelitian yang tak main-main. Dalam 315 halaman, Warren memuat lebih dari seratus tahun perjalanan sejarah Kesultanan Sulu, termasuk di dalamnya tabel-tabel perdagangan, kesaksian penyintas perbudakan, dan benang merah mengenai masa kejayaan Sulu pada abad ke-19. Sayangnya, masa gemilang Sulu hanya sementara. Sejak 1879, entitas masyarakat muslim terakhir yang masih merdeka di timur Nusantara ini telah diluluhlantakkan oleh Spanyol, imperium renta yang akhirnya bubar dua dekade setelahnya. 

Ada baiknya kita menyamakan pemahaman latar belakang dan lingkup pembahasan dalam The Sulu Zone. Secara geografis, gugus Kepulauan Sulu terletak di persimpangan antara Pulau Mindanao di timur laut dan pesisir Sabah di barat daya, diapit oleh Laut Sulu di utara dan Laut Sulawesi di selatan. Pulau terbesar di gugus kepulauan ini adalah Jolo, yang juga merupakan ibu kota Kesultanan Sulu. Orang-orang dari bermacam negara, masyarakat pra-negara, dan pos-pos perdagangan Eropa tersebar di Zona Sulu. Jolo menempati posisi strategis di “Jalur Timur” –jalur perdagangan maritim yang bermula di Fujian, lewat Luzon, Palawan, lalu memutar balik di Maluku dan Timor. Tanah vulkanis Jolo dialiri kali-kali kecil yang membuat sebagian besar penduduk bercocok tanam singkong, jagung, dan palawija. Hasil laut juga merupakan sumber pencaharian utama mereka. Selain itu, Zona Sulu juga terbilang aman dari cuaca ekstrem yang kerap melanda Luzon dan Bisaya. Di Timur Laut, cekungan Cotabato subur milik Kesultanan Maguindanao memasok kebutuhan pangan di wilayah Zona Sulu.

Gugus Kepulauan Sulu sendiri baru mulai ditinggali oleh Suku Tausug di Abad ke-11 yang disinyalir merupakan keturunan Minangkabau: sejak Syarif hingga Iskandar Agung. Namun Warren tidak banyak membahas periode bermukimnya Suku Tausug, selain menjelaskan bahwa mereka merupakan penutur bahasa Bisaya dan dianggap memiliki tata sosial lebih canggih ketimbang penduduk tetangga di Pulau Samal. 

Posisi strategis dan kondisi alam yang bersahabat di gugus kepulauan Jolo disadari betul oleh Kesultanan Sulu. Sejak abad ke-16, Jong dari Kekaisaran Ming bahkan telah singgah di Jolo untuk menukar porselen, sutra, dan peralatan logam dengan kerang, mutiara, dan hasil laut dari Zona Sulu. Proses tersebut berjalan tanpa interupsi selama Jolo mampu menyokong permintaan tinggi akan barang impor eksotis. Meski demikian, Jolo baru benar-benar lepas landas sebagai emporium perdagangan, ditandai dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara. 

Balambangan: Candu dan Mesiu

Kepiawaian merangkai kisah kebangkitan Sulu tampak saat Warren membahas maraknya perdagangan di Jolo sejak tahun 1768 hingga 1848 yang tak dapat dipisahkan dari peran historis Kesultanan Sulu sebagai mitra dagang Kekaisaran Qing di daratan Cina. Adalah para pedagang Inggris dari Kepresidenan Bengal –ketika itu daerah taklukan East India Company –yang mulai menyambangi Jolo secara serius untuk berdagang. Tujuan mereka yakni memperoleh komoditas eksotis Zona Sulu untuk ditukar dengan teh cina. Ya, Sulu merupakan mata rantai dalam perdagangan candu-teh yang termasyhur dan sangat menguntungkan itu.

James F. Warren

Sebagaimana lazimnya praktik kolonial Eropa di Abad ke-17, agen East India Company mendirikan pos dagang untuk melanggengkan kegiatan perdagangan. Namun jangan samakan pos dagang dengan gudang biasa. Umumnya bangunan tersebut telah dilengkapi dengan tembok pertahanan dan pasukan penjaga, menjelma sebuah enklaf dalam makna yang sebenar-benarnya. Dengan bekal restu dan uluran tangan persahabatan Sultan Sulu, Inggris memilih Balambangan, sebuah pulau yang terletak 500 km di sebelah barat Jolo sebagai pos dagang. Sejak tahun 1772 dari Madras perdagangan merium dan mesiu, candu dan peluru pun semakin masif sebagai komoditas. Tidak hanya dipengaruhi perdagangan, kehadiran Inggris di Zona Sulu juga didorong oleh persaingan yang meruncing antara kekuatan negara kolonial di masa tersebut. Pasalnya, letak Balambangan tidak hanya ideal untuk melangsungkan perdagangan maritim via “Jalur Timur” tapi juga menghadang pengaruh Spanyol di Zamboanga dan Belanda di Makassar. Pun, Kesultanan Sulu memandang kehadiran pos dagang di Balambangan dalam bingkai persaingan mereka dengan Kesultanan Maguindanao di Cotabato. 

Kemesraan  East India Company dan Sulu tidak bertahan lama. Maraknya perselisihan antara agen EIC di Balambangan dan para datu’ Tausug di Jolo memicu pecahnya konflik antara kedua negara di tahun 1775. Prajurit Tausug, pelaut Iranun, dan perompak Samal bahu-membahu menyerbu pos dagang East India Company di Balambangan. Dengan takluknya pulau itu, sebuah elemen baru diperkenalkan (dalam jumlah besar) di Zona Sulu: mesiu. Meriam, bedil, dan peluru melanggengkan Zaman Keemasan Sulu; bukan hanya sebagai etalase hasil laut, tapi juga sentra grosir budak di timur Nusantara. 

Peta Zona Sulu

Awas Lanun!

Terdapat satu segmen dalam buku ini yang agak membingungkan. Pembaca yang tidak mengikuti korespondensi pegawai kolonial pada abad ke-19 mungkin akan kesulitan memahami gairah Warren dalam membantah anggapan mengenai fenomena rampok laut di zaman tersebut sebagai konsekuensi atas keterputusan jalur perdagangan dan kemiskinan penduduk Asia Tenggara. Berlawanan dengan asumsi orientalis, Warren menegaskan bahwa semakin merajalelanya praktik perbudakan dan perompakan di lautan Zona Sulu sebagai konsekuensi dari peningkatan volume perdagangan di Jolo. Perdagangan dan lanun adalah kesatuan konteks yang tak bisa saling dipisahkan. 

Bicara mengenai perompakan dan perbudakan, tak ada bangsa yang lebih berperan membahanakan nama Sulu di zaman ini selain Suku Iranun (atau kerap disebut Orang Lanun). Suku yang etnonimnya identik dengan “bajak laut” ini memulai peradaban mereka sebagai masyarakat bercocok tanam di lereng Gunung Makaturing, Mindanao. Mereka masih berkerabat dengan orang Maranao dan Maguindanao di Cotabato. Karena suku tersebut lah, orang Iranun selamat dari erupsi Makaturing di tahun 1765 dan akhirnya mendapatkan suaka. Namun, suaka tersebut bersifat sementara. Dalam satu generasi saja, bangsa Iranun telah bersalin rupa menjadi pelaut ulung yang mengarungi lautan Asia Tenggara untuk merompak dan menangkap budak. 

Mujur bagi Kesultanan Sulu, kejatuhan Balambangan tidak mengurangi gairah Inggris dan kekuatan-kekuatan Eropa lainnya untuk berdagang dengan Jolo. Minat mereka akan teripang, sarang walet, dan mutiara dari Zona Sulu kian meningkat, diikuti dengan permintaan tenaga kerja guna mengumpulkan komoditas tersebut. Warren menggambarkan proses tersebut sebagai keterpaduan kapitalisme modern ala Eropa dengan rezim ketenagakerjaan yang telah mendarah daging di kepulauan Nusantara: perbudakan. Bedanya, institusi tersebut beroperasi pada skala lebih besar dan sistematis dibandingkan perbudakan yang lazim dipraktikkan bangsa-bangsa Zona Sulu sebelumnya.

Kaum Iranun dan orang-orang Samal di Balangingi mengisi kebutuhan tenaga kerja dengan mengkhususkan seluruh kegiatan mereka pada perdagangan budak. Perkembangan teknologi baru seperti kapal Lanong dan Garay membelah ombak, digerakkan layar berbentuk persegi panjang dan didayung oleh dua puluh hingga tiga puluh orang. Menggunakan kapal-kapal itulah orang-orang Iranun dan Balangingi menghantui pesisir Nusantara –dari Teluk Lingayen di Luzon hingga Kepulauan Riau. Di Bisaya, hamba-hamba Spanyol meminta perlindungan pada gereja. Di Buton, warga mendirikan perkampungan jauh dari bibir pantai. Mereka sangat takut dengan ancaman Lanun. Sayangnya, upaya mereka acapkali sia-sia, karena perahu-perahu lincah merangsek masuk lewat muara sungai, membakar pemukiman dan menculik siapapun yang bisa mereka angkut sebagai budak ke Jolo.

Pada pertengahan Abad ke-19, perdagangan budak telah menjadi bagian integral masyarakat di Zona Sulu. Budak –atau banyanga dalam lema lokal –tidak hanya dipekerjakan untuk memanen teripang dan mutiara, tapi sebagai pengrajin, buruh tani, hingga musikus dan penerjemah. Orang-orang Eropa, yang umumnya melek aksara dan berpendidikan dihargai lebih tinggi di pasar-pasar budak Jolo. Bangsawan Tausug menaruh minat pada mereka untuk dipekerjakan sebagai dokter dan instruktur senjata. Pun orang-orang Tagalog dan Bisaya yang telah dibaptis dan dididik gereja, diminati sebagai juru tulis para bangsawan. Nasib paling sial menanti mereka yang sakit-sakitan: tuan-tuan mereka biasanya akan membawa banyanga ke Borneo untuk dikorbankan. Suku-suku pedalaman membutuhkan tumbal upacara, dan datu’ Tausug harus membeli hasil hutan untuk dipasok ke Cina. Di Kenyah, Borneo, komoditas sarang walet dihargai nyawa. 

Dua Kaki Sultan Sulu

Dinamika perdagangan yang mewarnai The Sulu Zone tidak bisa dilepaskan dari kejayaan kolonialisme Eropa pada abad ke-19. Kehadiran Eropa tak hanya mendatangkan kemakmuran dalam bentuk peningkatan volume dagang, tapi juga mengancam keberadaan Sulu sebagai negara berdaulat. Pada paruh akhir abad ke-19, Sulu patut bangga sebagai salah satu dari sedikit bangsa Asia Tenggara yang masih merdeka, sebagaimana Aceh dan Mataram Lombok di indonesia. Lokasi Zona Sulu di periferi kekuasaan Belanda, Spanyol, dan Inggris memelihara esksitensi Sulu sebagai pengimbang kekuatan bagi ambisi negara-negara kolonial.

Pasca ekspansi bangsa Eropa tahun 1850, Jolo tidak lagi dipandang sebagai perantara yang berguna menghubungkan dengan perdagangan di daratan Cina, melainkan sebagai sarang lanun yang merongrong kewibawaan Pax Hispanica.  Sendi-sendi kedigdayaan Jolo di Zona Sulu pun telah digerus secara bertahap. Pos-pos dagang Sulu di Sabah, misalnya, jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1856, sementara kegiatan perdagangan yang lama menjadi tumpuan kekuasaan para datu’ Tausug diambil alih pendatang Cina. Berkat jaringan mereka yang mapan dan tersebar di sekujur Nanyang, orang-orang Cina ini sukses merambah jalur-jalur dagang baru. 

Sejak 1860, Angkatan Laut Spanyol menggunakan kapal uap untuk memblokade Jolo. Didorong sentimen anti-perbudakan, armada-armada Spanyol menenggelamkan semua prahu yang berlayar dari Sulu. Tak kuasa menjawab serangan Spanyol, orang-orang Tausug pun babat alas dan beralih ke pertanian. Alhasil, ketika Sultan Sulu akhirnya ditaklukkan Spanyol pada 1879, Sulu tidak lagi mencerminkan kedigdayaan dan kekayaan yang pernah diraih leluhur mereka. Zona Sulu kini justru lebih dikenal sebagai wilayah rawan lanun dan pertumpahan darah tak berkesudahan.

Refleksi

Pembaca yang akrab dengan korpus literatur sejarah Asia Tenggara akan melihat kemiripan teoretik dan gaya penulisan The Sulu Zone dengan karya-karya Anthony Reid. Tidak mengagetkan, lantaran Reid merupakan pembimbing disertasi James F. Warren di Australian National University. Pembahasan buku yang melingkupi iklim, lingkungan, ekonomi, dan struktur masyarakat menjadi ciri khas dari paradigma Total History yang dipunggawai Reid dalam studi Asia Tenggara. Keputusan Warren membatasi lingkup geografis penelitian di Zona Sulu membuat ia mampu menceritakan hubungan perbudakan dan perdagangan secara sangat runtut dan rinci. 

Sayangnya, kelengkapan konten buku ini berimbas pada banyaknya tabel dan cara penulisan yang terasa kering. Tabel begitu mendominasi paruh pertama buku, sehingga membutuhkan ketelitian dan waktu lebih lama untuk menyelesaikan The Sulu Zone. Banyak juga pembahasan dalam buku ini yang baru dielaborasi dalam karya tulis Warren yang lain, misalnya Volcanoes, Refugees, and Raiders (Warren, 2018) dan A Tale of Two Centuries (Warren, 2003) tentang asal-usul bangsa Iranun. Fakta bahwa Sulu telah lama diuntungkan oleh kehadiran bangsa-bangsa Eropa sebelum akhirnya takluk di era Imperialisme Lanjut menunjukkan pola interaksi rumit dan dinamis mengenai kawasan ini. Peranan Warren dalam merintis historiografi islam modern di Filipina selama empat puluh tahun belakangan tidak bisa diabaikan.


M.A. Gifariadi

Seorang mahasiswa S2 di Program Spatial, Transport and Environmental Economics di Vrije Universiteit Amsterdam. Saat ini penulis juga bekerja di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Ketertarikan utamanya terletak pada sejarah lingkungan dan teknologi di Zaman Modern Awal Asia Tenggara.