Revolusi Haiti sebagai Inspirasi atau Tragedi? Pelajaran C.L.R. James bagi Perjuangan Revolusioner

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

James, C.L.R. 1938 (1989). The Black Jacobins: Toussaint l’Ouverture and the San Domingo Revolution (Kaum Jacobin Kulit Hitam: Toussaint l’Ouverture dan Revolusi Haiti). Edisi kedua. Penerbit Vintage.


Dari tahun 1791-1803, rakyat Haiti, yang sebelumnya diperbudak, berjuang demi memenangkan pembebasan bersama. Revolusi ini dipimpin oleh Toussaint L’Ouverture, seorang mantan budak berkulit hitam yang kelak menjabat sebagai jenderal serta gubernur. Apa yang dapat kita pelajari dari kehidupan seorang pahlawan anti-kolonial seperti Toussaint?

Menurut C.L.R. James, penulis buku The Black Jacobins, kehebatan Toussaint berasal terutama dari kedekatannya dengan rakyat yang dipimpinnya dalam perjuangan. Dan, kejatuhan Toussaint pada akhirnya pun juga datang dari keterasingannya dari rakyatnya sendiri. Demikianlah peringatan James bagi kaum revolusioner.

C.L.R. James adalah cendekiawan Marxis yang lahir di Trinidad pada tahun 1901. Pada tahun 1932, ia pindah ke Inggris, di mana ia menulis beberapa karya besar seperti World Revolution (1937), tentang sejarah Komintern (Komunis Internasional), Black Jacobins (1938), tentang Revolusi Haiti, dan A History of Negro Revolt (1938), tentang sejarah pemberontakan anti-kolonial di Afrika. Di Inggris, James terlibat aktif dalam gerakan anti-imperialis untuk pembebasan negara-negara jajahan di Afrika dan Karibia, yang kemudian dikenal sebagai gerakan pembebasan Pan-Afrika.

Sepanjang karirnya, James menekankan pentingnya peran rakyat yang aktif dalam tugas revolusi. Pada masa mudanya, ia tergolong sebagai pengikut Trotsky dan mengkritisi pendekatan Stalin yang diktatorial. Selama ia tinggal di Amerika Serikat (tahun 1938-1953), ia membangun wacana tentang direct democracy (demokrasi langsung) sebagai pilar dari sosialisme. Bagi James, sosialisme dalam teori Marxis harus dilihat sebagai kemampuan dan kebebasan rakyat untuk mewujudkan kreatifitasnya dan menentukan arah kegiatannya sendiri.

C.L.R. James

Dalam The Black Jacobins, kita bisa melihat visi politik James yang khas melalui caranya dalam menarasikan Revolusi Haiti. Dalam analisis revolusi, James menekankan hubungan dialektis antara rakyat dan pemimpin yang saling melengkapi. Tanpa pemimpin yang bervisi jernih dan berkemampuan strategis, aspirasi rakyat tidak mungkin terwujudkan dalam perjuangan. Namun sebaliknya, tanpa kedekatan dan pertanggungjawaban pada rakyat, seorang pemimpin pasti akan tersesat dan gagal—sebagaimana nasib yang dialami Toussaint.

The Black Jacobins sering dibaca sebagai kisah anti-kolonial yang inspiratif semata. Namun, kita juga harus peka terhadap peringatan bagi kaum gerakan yang disampaikan James melalui tokoh Toussaint. Dalam kisah ini, ia digambarkan sebagai tragic hero (pahlawan tragis) yakni suatu peran yang sifat terpujinya layak diteladani dan kesalahannya harus dihindari agar tidak terulang lagi dalam perjuangan revolusioner di masa mendatang.

Ada Apa Dengan San Domingo?

Pada akhir abad ke-18, San Domingo (daerah yang kini dikenal sebagai Haiti) dijajah oleh Perancis dan merupakan koloni yang paling mengungtungkan di seluruh dunia. Akibat dari tanah subur dan sistem perbudakan, pulau kecil ini menjadi pusat produksi gula se-dunia. Kaum yang diperbudak terdiri dari orang-orang berkulit hitam yang diculik dari Afrika, diangkut ke “Dunia Baru”, dan lalu dijual kepada para pemilk perkebunan (kaum kulit putih yang telah menjajah kepulauan Karibia).

James menggambarkan betapa brutalnya sistem perbudakan ini, dengan berbagai macam jenis penyiksaan yang digunakan untuk memastikan kepatuhan dari kaum budak. Karena kondisi kerja di perkebunan yang padat dan kejam, James mengatakan bahwa kaum budak di San Domingo memiliki semua ciri yang identik dengan kaum proletar dalam analisis Marx, yakni mereka punya kemampuan teknis dalam pengelolaan perkebunan serta solidaritas yang tinggi antara sesamanya. Oleh karena itu, sejarah Revolusi Haiti menyaksikan tekad dan ikhtiar mereka untuk memenangkan dan mempertahankan pembebasannya.

Lain halnya dengan watak kaum Mulatto (blasteran) yang sepanjang masa revolusi tidak pernah seutuhnya setia kepada perjuangan kaum kulit hitam. Sebaliknya, mereka sering berpihak pada Perancis dan sistem perbudakan untuk mempertahankan superioritas mereka. Tentu saja kaum kulit putih (baik pemilik perkebunan lokal maupun pemerintah kolonial) selalu siap membela keuntungan usaha dan koloninya dengan cara apapun. Hanya para mantan budak, tulis James, yang pernah disiksa oleh sistem perbudakan; hanya mereka yang tak terkalahkan tekadnya yang siap mati demi revolusi.

Sistem perbudakan trans-Atlantik memang sejak semula kerap memunculkan pemberontakan dari orang-orang Afrika yang diperbudak, seperti para kelompok “maroon” yang mendirikan berbagai komunitas mandiri di luar jangkauan sistem kolonial. Namun, hanyalah Revolusi Haiti yang bisa dikatakan sukses, dalam arti bahwa ia tidak berakhir dengan penaklukan ulang oleh penjajah.

Setelah tahun 1789, kabar tentang Revolusi Perancis dan doktrin kebebasan serta kesetaraan yang dijunjungnya cepat tersebar di dunia kolonial. Di antara kaum budak perkebunan beredar kabar bahwa “kaum budak berkulit putih di Perancis telah membunuh semua majikannya” (hlm. 81). Cerita populer ini menjadi percikan yang menginspirasi gelombang pemberontakan baru di San Domingo, yang lama-lama menjadi revolusi, dan setelah satu dekade kemudian berakhir dengan kemerdekaan Haiti dan terbebasnya mereka dari perbudakan untuk selamanya.

Meletusnya Revolusi Haiti

Pemberontakan bermula di daerah utara (yang padat dengan perkebunan gula) pada bulan Agustus tahun 1791, dengan gerombolan orang-orang berkulit hitam yang membumihanguskan perkebunan dan membunuh majikannya. Setelah sekitar satu bulan pemberontakan berlalu, pasukan ini disatukan oleh Toussaint L’Ouverture.

Toussaint berasal dari kelompok “budak rumahan” (house slave), yang tidak dipekerjakan sebagai buruh perkebunan, tetapi sebagai mandor atau pengelola. Pengalaman ini, kata James, membekali Toussaint dengan keterampilan dalam memimpin, yang kelak digunakannya baik sebagai jenderal maupun penguasa. Dalam tokoh seperti Toussaint, James mengamati bahwa, “Pemimpin revolusi biasanya berasal dari kaum yang diuntungkan oleh manfaat kultural dari sistem yang diserangnya” (19). (Teori ini cukup diperkuat oleh sejarah Revolusi Indonesia juga, dengan banyak dari pemimpinnya yang mengalami pendidikan kolonial Belanda).

Meski Revolusi Perancis menyuarakan “liberté, égalité, fraternité” (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan), Perancis tetap berusaha mempertahankan keuntungannya yang dibuahkan melalui sistem perbudakan. Pemberontakan kaum kulit hitam ini dilawan oleh tentara Perancis serta sekutu-sekutu lokalnya (kaum kulit putih dan kaum blasteran). Namun, pasukan pemberontak juga punya sekutu.

Dalam konteks persaingan antar-penjajah, Inggris dan Spanyol melihat pemberontakan di San Domingo sebagai peluang untuk menghancurkan (ataupun merebut) koloni milik Perancis yang paling berharga ini. Spanyol, yang notabene menjajah daerah timur dari pulau yang sama, menyokong pasukan mantan budak ini dan pada tahun 1792 mengangkat Toussaint dan pemimpin-pemimpin lainnya menjadi jenderal dalam tentara kerajaan Spanyol. Inggris ikut membantu dengan memerangi armada Perancis di laut.

Namun, situasi persekutuan ini segera berputar balik. Pada akhir tahun 1793, pasukan Inggris menyerbu San Domingo dan dengan cepat menaklukkan daerah barat dan selatan. Dengan hampir seluruh koloninya di bawah kontrol tentara Spanyol dan Inggris, Perancis tampak akan kehilangan koloni kebanggaannya.

Akan tetapi, di Perancis sendiri, revolusi telah berbelok dengan kejayaan kaum Jacobin (radikal) pada tahun 1793. Bulan Mei pada tahun berikutnya, dengan tekanan dari rakyat Perancis yang bersolidaritas dengan Revolusi Haiti, pemerintah Perancis resmi menghapuskan perbudakan di seluruh wilayahnya. Saat mendengarkan kabar ini, Toussaint langsung menyatakan berbagung lagi dengan Perancis dan segera menaklukkan ulang seluruh daerah yang sebelumnya dimenangkannya untuk Spanyol.

Toussaint kemudian bisa fokus memerangi musuh lainnya yang masih menduduki daerah barat dan selatan. Setelah dua tahun perang yang ganas, tentara Inggris akhirnya berhasil diusir oleh pasukan para mantan budak ini pada awal tahun 1797. Toussaint diangkat sebagai gubernur (di bawah Republik Perancis) pada bulan Mei.

“Toussaint Louverture, chef des noirs insurgés de Saint Domingue”

Ironisnya, saat Toussaint sibuk mengalahkan musuh-musuhnya Perancis di San Domingo, Revolusi Perancis berbelok lagi dengan jatuhnya kaum Jacobin dan berdirinya pemerintahan yang konservatif di bawah kontrol kaum borjuis (yaitu golongan yang diuntungkan oleh sistem perbudakan). Perancis berusaha mengirim seorang utusan (Hédouville) untuk menurunkan Toussaint dari jabatan gubernur, tapi pasukan kulit hitam menolak keputusan ini. Mereka bahkan menangkap dan memberangkatkannya kembali ke Perancis. Kini pemerintah Toussaint telah menunjukkan kemandiriannya. Ia bersedia memerintah di bawah bendera Perancis, tapi ia tak sudi dikekang olehnya.

Pemerintah pusat di Perancis tentu saja dibuat marah oleh kabar ini, tapi tentara Perancis terlalu sibuk dengan perang di Eropa untuk mengirim pasukan ke kepulauan Karibia. Untuk sementara, satu-satunya pilihan bagi Perancis adalah menerima Toussaint sebagai gubernur secara de facto.

Rezim Toussaint

Toussaint menyadari bahwa Perancis tidak akan menerima kemandiriannya untuk selamanya. Maka ia bersiap-siap, menanti serangan dari pasukan Perancis dengan memperkukuh kekuasaan dan ekonominya. Ia berusaha menghidupkan kembali perkebunan gula, kadangkala dengan memaksa para mantan budak untuk kembali bekerja di bawah majikan lamanya—hanya saja kini sebagai buruh upahan, bukan budak. Demi tujuan ini, ia tidak pernah merampas tanah atau harta kaum majikan berkulit putih, dan membiarkan mereka tetap mengelola perkebunannya.

Apa yang dilakukan Toussaint ini mungkin terlihat membingungkan. Rasnya sendiri dikenakan kerja paksa sedangkan mantan majikannya diuntungkan. Bagi Toussaint, alasannya sederhana: mempertahankan kebebasan adalah segalanya, dan itu meniscayakan kekuatan militer; tentara dan senjata tentu membutuhkan dana, dan sistem perkebunan gula menghasilkan banyak sekali uang.

Bukan hanya pertahanan saja yang diimpikan Toussaint. Sampai akhir hayatnya, ia juga bercita-cita untuk membangun armadanya sendiri dan berlayar ke Afrika untuk membebaskan benua asal nenek moyangnya itu dari penjajahan dan menghancurkan perdagangan budak untuk selamanya. Aspirasi untuk kekuasaan global semacam ini pasti membutuhkan dana dan kekuatan yang besar—yang bagi Toussaint hanya bisa dibangun dengan industri perkebunan.

Namun keterbukaan Toussaint terhadap kaum kulit putih juga memuat unsur ideologis. Ia sangat mangagumkan peradaban Perancis dan nilai-nilai revolusionernya. Itulah mengapa Toussaint menginginkan San Domingo tetap menjadi bagian dari Republik Perancis yang diagungkannya itu. Ia menghargai orang-orang berkulit putih yang masih tinggal di San Domingo karena mereka lebih terpelajar dan memahami budaya yang “beradab” itu, tidak seperti para mantan budak yang “terbelakang.”

Maka dalam menguasai San Domingo, Toussaint berusaha memperkuat posisinya, dengan tujuan bersiap-siap jika serbuan dari Perancis datang, tapi juga ingin menunjukkan betapa mampunya dia untuk membangun peradaban Perancis di tanah Karibia itu. Ia kerap menyurati Napoleon Bonaparte (yang sudah naik tahta di Perancis), memohon restu dan dukungannya bagi pemerintahannya. Tak satu pun suratnya pernah dibalas.

Pada tahun 1800, Toussaint sudah menguasai seluruh pulau. Pasukan Mulatto di daerah selatan telah dikalahkannya, dan ia bahkan sudah menaklukkan koloni Spanyol di daerah timur. Tahun berikutnya, ia mengeluarkan undang-undang dasar baru, dengan seluruh kekuasaan terpusat dalam tangannya sendiri. Pada saat yang sama, di Perancis Napoleon mulai berencana untuk menaklukkan San Domingo kembali.

Namun kini Toussaint mulai menghadapi tantangan yang sama sekali baru, yaitu perlawanan dari rakyat kulit hitam sendiri. Keputusannya untuk menghidupkan kembali ekonomi perkebunan tidak masuk akal bagi para massa yang awalnya berontak justru untuk membebaskan dirinya dari sistem tersebut. Dan sayangnya, kata James, Toussaint bertindak secara otoriter tanpa menjelaskan logikanya kepada rakyat yang ia pimpin.

Pada tahun 1801, muncullah pemberontakan baru di daerah utara yang menolak sistem tanam paksa di perkebunan. Para pemberontak membunuh semua orang berkulit putih yang mereka temui. Pemberontakan ini segera dipadamkan oleh tentara Toussaint. Salah satu pemimpin gerakan ini ternyata adalah keponakan Toussaint bernama Moïse, yang segera dijatuhkan hukuman mati oleh pamannya sendiri.

Bagi James, kesalahan ini manandakan bahwa Toussaint sudah gagal sebagai pemimpin, karena ia mulai terasing dari aspirasi rakyatnya sendiri. Alih-alih memperhatikan keluhan rakyatnya sendiri, mereka malah dibungkam dan dibunuh oleh Toussaint. Dalam analisis James, sikap Toussaint sebagian disebabkan oleh masalah komunikasi, karena pertimbangan strategisnya tidak pernah dijelaskan kepada pengikutnya. Tapi hal ini juga masalah prioritas: apakah Toussaint lebih mementingkan para pemilik perkebunan berkulit putih dan “peradaban” Perancis daripada keingingan rakyatnya sendiri?

Perang Kemerdekaan dan Kaisar Dessalines

Akhirnya armada Perancis pun datang untuk menaklukkan kembali koloninya pada tahun 1802. Jika Toussaint mengimpikan sebuah negeri berpenduduk “black Frenchmen” (orang Perancis berkulit hitam), sejarah membuktikan bahwa kaum elit di Perancis jauh terlalu rasis untuk mengakui para mantan budak ini sebagai sesamanya. Pasukan Perancis datang untuk menurunkan Toussaint dan membelenggu tentaranya kembali—merampas kemanusiaannya dalam menegakkan lagi sistem perbudakan.

Awalnya serbuan Perancis berhasil dengan cukup lancar, dan kota-kota strategis cepat jatuh ke tangan Perancis. Toussaint segera mundur ke pegunungan dan menggunakan taktik gerilya. Pertengkaran berlanjut dengan ganas, dengan pihak masing-masing melakukan pembantaian massal secara terorganisir. Namun akhirnya Toussaint, dengan rasa putus asa melihat kekuatan tentara Perancis, menyerahkan diri dan setuju untuk berdamai dengan pemerintah kolonial. Toussaint segera ditangkap dan dikirim ke Perancis.

“Revenge taken by the Black Army for the cruelties practised by the French” (Marcus Rainsford, 1805)

Walaupun Toussaint siap kalah, ternyata rakyatnya belum. Perang gerilya melawan pendudukan Perancis tetap berlanjut. Pada bulan Oktober tahun 1802, Dessalines (jenderal berkulit hitam yang menggantikan Toussaint) memimpin serangan terhadap pusat-pusat kekuatan tentara Perancis. Pada masa akhir perang ini, pembantaian menjadi semakin brutal. Tentara Perancis membawa ribuan anjing untuk berburu orang-orang berkulit hitam, dan banyak juga yang ditangkap lalu ditenggelamkan ke dalam teluk dengan batu-batu diikat pada kakinya. Dessalines sendiri tidak membela orang-orang berkulit putih lokal seperti Toussaint. Ia dengan gagah berani memimpin tentaranya dan membantai banyak lawannya.

Pelan tapi pasti, kekuatan Perancis dipukul mundur hingga hanya tinggal satu kota (Le Cap) yang dikelilingi pasukan-pasukan mantan budak. Pada bulan November tahun 1803, setelah sekitar 75,000 tentaranya sudah tewas, Perancis akhirnya menyerah dan meninggalkan koloninya untuk selamanya. Bulan berikutnya, Dessalines memproklamasikan kemerdekaan negaranya, yang namanya ia ganti menjadi Haiti (nama pulau dalam bahasa suku asli setempat). Setahun berikutnya, ia menyatakan dirinya sebagai seorang kaisar.

Kekerasan mengemuka lagi pada tahun 1805, ketika hampir semua orang berkulit putih yang masih tinggal di Haiti dibunuh setelah tersebar rumor tentang persekongkolan kolonial untuk menegakkan perbudakan kembali. Kini di Haiti tinggal hanya orang berkulit hitam dan para Mulatto.

Setelah kemerdekaan dan kematian kaum majikan, perkebunan-perkebunan gula menjadi terlantar. Seluruh rakyat meninggalkan sistem kapitalis ini dan mulai bercocok tanam secara mandiri. (Kehancuran perkebunan di Haiti ini menjadi salah satu faktor dalam kemunculan industri gula di Jawa pada abad ke-19 kelak). Namun, alhasil, ekonomi Haiti tidak pernah bangkit dari kehancuran perang (seperti diimpikan Toussaint), dan Haiti dilanda kemiskinan dan kerentanan terhadap intervensi imperialis sampai hari ini.

Kegagalan Toussaint

Sebagaimana yang telah disebutkan, bagi James, sebagian kesalahan Toussaint berasal dari kegagalan dalam komunikasi. Namun, ada masalah yang lebih mendasar. Inilah yang disebut oleh James sebagai “kegagalan yang berasal dari pencerahan” (failure of enlightenment), atau masalah prioritas:

“Jika Dessalines bisa melihat keadaan dengan jernih dan gampang, alasannya karena tali yang mengikatnya pada peradaban Perancis sangatlah tipis. Dia melihat jelas apa yang berada di depan matanya karena dia tidak dapat melihat lebih jauh daripada itu. Kegagalan Toussaint adalah kegagalan yang berasal dari pencerahan, bukan dari kegelapan” (hlm. 288).

Toussaint seolah teracuni oleh rasa kagum pada Perancis. Ia terlalu mengharapkan kebaikan dari Perancis dan dari orang-orang berkulit putih lokal. Ia kurang siap memutus tali perhubungan antara negerinya dan menara peradaban dan pencerahan itu. Rakyatnya meminta untuk membantai semua mantan majikannya demi meraih kebebasan yang seutuhnya. Toussaint terlalu “Perancis” untuk mengabulkannya. Ia malah membalas aspirasinya dengan penindasan.

Inspirasi serta Peringatan

Saat awal memilih judul “The Black Jacobins” pada tahun 1938, James ingin menegaskan bahwa Toussaint, Dessalines, dan pemimpin-pemimpin lain di Revolusi Haiti mempunyai derajat yang sama dengan para pahlawan revolusioner legendaris lainnya, seperti kelompok “Jacobin” yang sempat memimpin Revolusi Perancis pada tahun 1793-1794. Fokusnya lebih terletak pada peran pemimpin dan kaum elit.

Namun, saat menyampaikan ceramah tentang karya monumentalnya ini pada tahun 1971, James menarik kesimpulan yang lumayan berbeda. Kini, ia lebih menyoroti peran sans-culottes, atau rakyat kecil di Paris yang menggerakkan revolusi—yang digambarkannya sebagai padanan bagi rakyat berkulit hitam di San Domingo. Sementara kelompok Jacobin berwatak “enlightened despots” (diktator tercerahkan), kaum sans-culottes memperjuangkan “demokrasi ekstrim”, di mana rakyat terlibat aktif dalam penentuan dan pengarahan revolusi.

Dalam edisi baru keluaran tahun 1963, James menambahkan beberapa catatan dalam The Black Jacobins tentang keunggulan kaum sans-culottes atau rakyat kecil, baik di Perancis maupun di Haiti. Ia menegaskan bahwa mereka “melihat dengan sangat jelas apa yang dibutuhkan pada setiap tahapan revolusi. … Kesulitan mereka [hanya] berasal dari kekurangan edukasi, pengalaman, dan sumberdaya untuk mengelola negara modern….” Sayangnya, “tidak mendengarkannya adalah kesalahan terbesar dalam karir Toussaint” (276).

Inilah paradoks yang harus dinavigasi bagi kaum gerakan, menurut James. Harus ada keselarasan antara aspirasi rakyat untuk transformasi kondisi kehidupannya dan kemampuan teknis yang dimiliki pemimpinnya untuk menuntun transformasi tersebut. Kalau kedua roda ini tidak sejalan, kereta revolusi tidak mungkin maju.

James awalnya menulis The Black Jacobins sebagai contoh untuk dipelajari oleh gerakan anti-kolonial di Afrika. Tapi pelajarannya masih sangat relevan bagi perjuangan kita hari ini. Dalam melawan neokolonialisme, kapitalisme, dan neoliberalisme, jangan sampai aspirasi rakyat dinomorduakan demi kepentingan elit—baik itu elit pemodal, LSM, ataupun mereka yang mengakui diri sebagai “baris depan” gerakan.

Kategori: sejarah