Transformasi Relasi Muslim-Kristen di Indonesia

Dipublikasikan oleh Karunia Haganta pada

Ropi, Ismatu. 2000. Fragile Relation: Muslims and Christians in Modern Indonesia (Relasi Rapuh: Muslim dan Kristen di Indonesia Modern). Ciputat: Logos.


Membicarakan relasi antara kedua agama besar di Indonesia—Islam dan Kristen—amatlah penting. Agama secara umum merupakan pokok pembicaraan setnral di Indonesia, terlebih lagi dengan tercantumnya agama di dasar negara, baik Pancasila maupun UUD 1945. Dibanding banyaknya peristiwa dalam relasi kedua agama tersebut, kajian yang dilakukan cenderung sedikit. Buku yang ditulis Ismatu Ropi ini menjadi sumbangan berharga bagi kajian tentang topik tersebut dan menjadi pijakan bagi karya lainnya mengenai topik serupa.

Buku ini diangkat dari tesis Ropi di McGill University, Kanada, di bawah bimbingan Howard M. Federspiel. Dalam pengantarnya, Ropi menyatakan bahwa kajian mengenai relasi Islam dan Kristen di Indonesia masih jarang didiskusikan. Sebenarnya, pembahasan mengenai relasi Muslim-Kristen bukan sepenuhnya tidak ada. Ropi mencatat beberapa karya sebelumnya yang menyinggung sedikit tentang relasi Muslim-Kristen. Pertama, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken (1985) karya Aqib Suminto yang fokus pada kebijakan Hindia-Belanda tentang netralitas agama. Kedua, Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesia Islam: Contacts and Conflicts 1596-1950 (1993) membahas pandangan kolonial Belanda terhadap Islam dan sebaliknya. Ketiga, disertasi Alwi Shihab di Temple University, The Muhammadiyah Movement and its Controversy with Christian Mission (1995) tentang respon Muhammadiyah terhadap Kristenisasi.

Dalam ketiga karya tersebut, relasi Muslim-Kristen digambarkan secara tidak utuh. Kebaruan yang dibawa Ropi adalah fokus pada relasi Muslim-Kristen dan dalam rentang waktu dari abad 16 sampai pasca-kemerdekaan Indonesia. Menurut saya, ada sedikit permasalahan saat judul asli tesis, Muslim Responses to Christianity in Modern Indonesia, diubah menjadi Muslims and Christians in Modern Indonesia, karena mengaburkan isi buku. Meski pandangan Kristen memegang peranan penting dalam pembahasan, sumber berupa pendapat Kristen nyaris absen dari buku ini dan pembaca langsung disuguhkan tanggapan dari Muslim.

Pada bagian pertama, Ropi menjelaskan berbagai teori mengenai kedatangan kedua agama tersebut ke Indonesia. Teori tersebut secara garis besar terbagi dua. Pertama, yang lebih sedikit dipercaya, adalah teori bahwa Islam di Indonesia disebarkan dari Tionghoa dan Mesir atau Persia. Kedua, yang banyak dipercaya, mengamini bahwa Islam masuk dari India, Gujarat, Koromandel atau Bengal, dan Arab. Proses ini berbeda dengan masuknya Kristen ke Indonesia yang dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama berupa kedatangan awal Kristen Nestorian ke Sibolga. Fase kedua adalah hadirnya Katolik Roma yang dibawa Portugis dan Spanyol. Fase ketiga adalah penyebaran Protestan oleh kolonial Belanda, termasuk dukungan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

Bentuk relasi awal yang dicatat oleh Ropi bersifat polemik. Tokoh Muslim penting bernama Nuruddin al-Raniri, misalnya, menyatakan bahwa kitab suci Kristen, Buddha, dan Hindu, tidak memiliki nilai religius. Dibanding tokoh Muslim lain, seperti Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, dan Ibn Hazm, pendapat Raniri terbilang ekstrem karena ketiga tokoh Muslim yang disebutkan di awal masih memberi pengakuan pada kitab suci Kristen. Pendapat ekstrem Raniri terlihat dari pernyataannya bahwa kitab suci agama-agama tersebut boleh dijadikan kertas toilet bila tidak ada nama Tuhan di dalamnya. Relasi awal ini, menurut Ropi, bertujuan mengafirmasi keyakinan Muslim itu sendiri.

Bagian kedua dari buku ini melihat respon Muslim terhadap tulisan-tulisan tentang Islam dari 1860 sampai Orde Lama. Pembahasan dibagi menjadi dua, yakni periode 1860-1945 dan Orde Lama. Tidak ada penjelasan mengenai absennya pembahasan tentang zaman Jepang. Subbagian pertama (1860-1945) merupakan periode yang unik karena diberlakukannya Politik Etis. Berbeda dengan periode sebelumnya, dalam periode ini relasi tersebut terjadi dua arah dalam bentuk perdebatan.

Debat pertama diawali tulisan Hendrik Kraemer, The Christian Message in a Non-Christian World (1938) dan Agama Islam (1928) yang dianggap melecehkan Islam. Tulisan tersebut ditanggapi oleh—salah satunya—A.D. Haanie, pemimpin Muhammadiyah. Tanggapan Haanie tidak emosional dan berfokus pada menentang argumen Kraemer, terutama soal pemisahan agama dan politik. Haanie juga membantah anggapan Kraemer bahwa Nabi Muhammad menerima Tuhan selain Allah atau kerap disebut ayat satanis (gharanic).

Debat kedua adalah tanggapan terhadap tulisan pendeta Jesuit, Ten Berge, yang menghina Nabi Muhammad. Tanggapan datang dari M. Natsir, pemimpin Persatuan Islam (Persis), lewat tulisannya berjudul Islam, Katholiek, Pemerintah (1931). Tulisan tersebut tidak hanya membantah tulisan Berge, tetapi juga mengkritik pemerintah Hindia-Belanda yang dianggap memihak Kristen meski mengklaim dirinya netral. Natsir juga terlibat polemik lain dengan Domingus Christoffel lewat Qur’an en Evangelie dan Moehammad als Profeet (1930) yang juga dianggap melindungi Islam dari sekular-nasionalis dan mistisisme Jawa. Tulisan lain dari Natsir adalah Ruh Suci (1930) yang menjelaskan kontradiksi dalam Alkitab.

Anggota Persis lain, A. Hassan, juga terlibat dengan polemik yang dianggap menyerang Nabi Muhammad, yakni tulisan Oei Bee Thay (1931) dan Siti Sumandari (1937). A. Hassan dalam Ketoehanan Jesoes Menoeroet Bijbel (1940) membandingkan Yesus dan Muhammad dan menyebut Kristen salah paham terhadap doktrin mereka sendiri dan juga Yesus.

Di masa Orde Lama, tren perdebatan teologis, terutama tentang Yesus, masih berlanjut. Perdebatan ini sejalan dengan perkembangan teologi Kristen yang menghasilkan berbagai karya yang melakukan kritik dan mempertanyakan berbagai isi Alkitab. Penulis Muslim, seperti Hasbullah Bakry dan O. Hashem, menggunakan berbagai tulisan yang mengkritisi Alkitab dalam tulisan mereka. Bakry menulis Isa dalam Qur’an Muhammad dalam Bible (1959) sebagai tanggapan terhadap karya F.L. Bakker, Tuhan Yesus dalam Agama Islam (1957). Bakker mengklaim bahwa Muhammad dipengaruhi oleh doktrin Kristen. Bakry membalas dengan menggunakan berbagai kritik terhadap Alkitab, seperti dari van Onck dan Joseph Priestly. Tidak hanya menentang pendapat Bakker, Bakry juga membahas doktrin Kristen seperti Trinitas dan kehadiran Nabi Muhammad dalam Alkitab. Pembacaan Bakry terhadap Alkitab cenderung untuk mengafirmasi agama Islam.

O. Hashem dalam Keesaan Tuhan: Sebuah Pembahasan Ilmiah (1962) juga membahas mengenai status Yesus. Dengan pendekatan ilmiah, Hashem berusaha menunjukkan kesalahan dari doktrin Trinitas dan politeisme. Keilmiahan tersebut, misalnya, ada pada Trinitas yang mengklaim Tuhan satu sekaligus tiga yang dilihatnya bertentangan dengan prinsip logika. Kesalahan lain adalah tidak konsistennya penggambaran tentang asal-usul Yesus dalam Alkitab dan status Yesus sebagai Tuhan sekaligus manusia.

Bagian ketiga membahas polemik di masa Orde Baru yang salah satunya muncul dari suatu pamflet yang tidak jelas asal-usulnya, tetapi diklaim berasal dari konferensi antara gereja Katolik Roma dan Protestan di Malang. Pamflet tersebut menjabarkan rencana Kristenisasi di Indonesia. Isu ini sejalan dengan fenomena ramainya perpindahan agama ke Kristen pasca-1965. Umat Muslim terlibat dalam pembasmian orang-orang yang dituduh PKI dan ternyata menyasar orang-orang abangan dan agama lokal. Tidak harmonisnya relasi antara umat Muslim dan pemerintah Orde Baru juga mendorong isu tersebut. Beberapa pihak yang merespon di antaranya Suara Muhammadijah (yang menyebarkan pamflet tersebut pertama kali pada 1963), Pandji Masjarakat, bahkan Rabitah Alam al-Islami yang mengundang Buya Hamka untuk mengklarifikasi kabar tersebut.

Perkembangan teologi di tingkat global juga semakin membentuk argumen dalam respon Muslim terhadap Kristen di masa Orde Baru. Salah satu perkembangan penting adalah penemuan Injil Barnabas dan Dead Sea Scrolls. Joesoef Sou’yb membahas mengenai Dead Sea Scrolls dalam Sekitar Dead Sea Scrolls: Penemuan Terbesar dalam Abad Ke-XX (1967). Dalam tulisan tersebut, Sou’yb mengecilkan peran Yesus, membantah Yesus sebagai Tuhan, dan manipulasi doktrin Kristen oleh Gereja. Hal serupa diungkapkan oleh Djarnawi Hadikusuma dalam Di Sekitar Perdjandjian Lama dan Perdjandjian Baru.

Sidi Gazalba membahas Kristen dengan penyampaian unik, yakni dialog. Tiga karyanya yang membahas Kristen adalah Dialog Antara Propagandis Kristen dan Logika (1971), Dialog Antara Kristen Advent dan Islam (1972), dan Djawaban atas Kritik Kristen Terhadap Islam (1971). Karya ketiga adalah tanggapan terhadap tulisan T. Verkuyl, Tentang Interpretasi Iman Kristen Kepada Orang-orang Muslim.

Pendekatan berbeda dan penting berasal dari M. Rasjidi, Menteri Agama pertama. Rasjidi menyoroti isu Kristenisasi dan mengkritiknya sebagai memanfaatkan kesulitan orang untuk menyebarkan agama. Selain menjadikan isu sosial sebagai perdebatan, perbedaan lain antara Rasjidi dengan tokoh-tokoh di atas adalah penekanannya pada toleransi. Dia menyebut bahwa Islam dan Kristen menekankan toleransi. Kritik Rasjidi lainnya adalah kerja sama penyebaran Kristen dengan pihak kolonial.

Mukti Ali, Menteri Agama 1971-1978, mengarahkan diskusi pada toleransi beragama. Dia berusaha menjembatani dialog Islam-Kristen dan memiliki perhatian pada perbandingan agama. Sebarisan dengan Mukti Ali, Nurcholish Madjid juga menekankan toleransi. Madjid juga mengarahkan toleransi tidak hanya kepada Kristen, tetapi agama-agama lain, dengan tafsirnya terhadap ahl al-kitab (istilah Islam yang merujuk pada umat Kristiani dan Yahudi). Ropi juga menekankan dalam kesimpulan mengenai masa depan relasi Muslim-Kristen dan peran Pancasila sebagai titik temu dalam dialog antar agama.

Komentar
Buku ini berfokus pada berbagai polemik dalam relasi Muslim-Kristen dari sudut pandang Islam. Dengan menganalisis berbagai tulisan polemik, Ropi menunjukkan pergeseran polemik tersebut, dari penolakan total (Nuruddin ar-Raniri), penyerangan terhadap doktrin Kristen (masa Hindia-Belanda dan Orde Lama), penggunaan kritik terhadap Alkitab di tingkat global (Orde Lama), sampai toleransi dan dialog agama (era Orde Baru). Pembahasan ini secara tidak langsung menegaskan hubungan antara Muslim Indonesia dengan wacana global, termasuk perkembangan teologi seperti penemuan Injil Barnabas dan Dead Sea Scrolls dan penggunaan berbagai sumber dari Barat. Polemik juga menjadi cerminan respon Muslim terhadap berbagai isu lainnya seperti kolonialisme dan sekularisme. Ropi berhasil menunjukkan tidak hanya transformasi yang terjadi dalam relasi Islam-Kristen, tetapi juga konteks sosial dan historisnya, seperti Gerakan 30 September dan kemungkinan kepentingan Orde Baru dalam membangun toleransi agama untuk stabilitas politik.

Namun, Ropi tidak menjelaskan alasan mengapa buku ini kebanyakan berfokus pada polemik dan bukan pada bentuk relasi lainnya—seperti kerja sama atau toleransi dan hidup koeksisten—yang akhirnya dilengkapi oleh Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2018).Peristiwa krusial juga dilewatkan oleh Ropi, yakni polemik pembahasan dari Hamran Ambrie. Hamran Ambrie yang berpindah agama dari Islam ke Kristen menghasilkan berbagai karya yang mengenai doktrin Kristen dan Islam. Peristiwa ini penting karena bahkan Kejaksaan Agung melarang peredaran buku-bukunya, termasuk Benarkah Ada Nubuat Nabi Muhammad dalam Alkitab dan Jawaban atas Buku Bibel, Qur’an dan Sains Modern. Polemik ini juga menandai pola yang kerap muncul bahkan setelah Reformasi, yakni kehadiran sosok “murtad” atau yang telah berpindah agama dalam memperdebatkan agama lamanya.


Karunia Haganta

Mahasiswa Antropologi UI