Beretika Lewat Telinga: Produksi dan Sirkulasi Khotbah Kaset di Mesir

Dipublikasikan oleh Stanley Khu pada

Hirschkind, Charles. 2006. The Ethical Soundscape: Cassette Sermons and Islamic Counterpublics [Etika Mendengar: Khotbah Kaset dan Kontra-publik Islam]. Penerbit Universitas Columbia.


1

Studi tentang media selama ini hanya mengistimewakan satu indra: mata. Contoh kasus berupa koran, televisi, dan sinema membuktikan poin ini. Di sinilah studi etnografi Charles Hirschkind menempati status yang unik. Dengan mempelajari khotbah kaset, pengkhotbah, dan para pemirsanya di Kairo pada dekade 1990-an selama 18 bulan, dia mengajak kita untuk menaruh perhatian pada aspek etis-politis dari mendengar. Pergeseran fokus dari mata ke telinga ini bukannya tanpa landasan: menurut pakar-pakar hukum Islam klasik, batas sebuah kota, salah satunya, ditentukan oleh sampai sejauh mana seruan adzan dari muazin bisa terdengar oleh penduduk. Kita bisa membandingkan ini dengan situasi kontemporer kita, di mana visualitas kini menjadi satu-satunya cara untuk menentukan batas antar kota (peta, Google Map, gapura selamat datang dan selamat jalan).

Tujuan Hirschkind adalah memahami bagaimana praktik mendengar dan teknik retorika tertentu membentuk produksi dan sirkulasi khotbah kaset di Mesir sejak akhir 1960-an, serta bagaimana ini berkontribusi pada fenomena kebangkitan gerakan Islam di Mesir. Baginya, penyampaian khotbah dan praktik mendengarkannya tidak hanya sekadar aksi kognitif, tapi juga keterlibatan tubuh dengan aspek-aspek kinestetik, emosional, dan estetik. Dengan demikian, pengaruh khotbah kaset terhadap para pendengarnya tidak hanya berkutat pada kapasitasnya dalam menyebarkan gagasan dan menanamkan ideologi religius, tapi juga pada efek yang dihasilkannya bagi indra sensorik dan kebiasaan perseptual pendengarnya. Dalam konteks ini, khotbah kaset bisa dianggap sebagai teknik pendisiplinan yang esensial dalam pemupukan kebajikan dan sensibilitas religius.

2

Bab satu menggambarkan sebuah bentang suara etis yang dihasilkan melalui sirkulasi khotbah kaset dan praktik mendengarkannya. Para pengkhotbah yang suaranya mengisi kaset-kaset ini bukan sembarang orang. Mereka adalah orang-orang yang terafiliasi dengan kelompok-kelompok Islam yang dilarang atau minimal diawasi ketat oleh rezim Mubarak pada waktu itu (salah satunya, Ikhwanul Muslimin). Karena keterbatasan ruang dan izin resmi pemerintah, mereka memakai kaset untuk menyampaikan pesan mereka – utamanya seruan untuk kembali ke Islam – yang sering terdengar di toko, pasar, taksi, bus, dan rumah-rumah. Meski di permukaan khotbah kaset ini sering dikaitkan dengan fanatisisme (tak jarang kita mendengar pelaku terorisme yang diberitakan menyimpan kaset semacam ini), Hirschkind menunjukkan bahwa mayoritas konten kaset mengajarkan tentang tanggung jawab sosial dan disiplin etis sebagai cara untuk menghadapi ketimpangan sosial, kemiskinan, dan marjinalisasi politik. Secara umum, cara penyampaian khotbah kaset dan khotbah masjid memang berbeda, dan Hirschkind menyadari tentang ketegangan ini. Misalnya, dalam sebuah khotbah kaset bertema kematian yang didengarnya di taksi, seorang rekannya berceletuk, “Pengkhotbahnya pasti orang Arab Saudi. Hanya mereka yang tahu cara menakut-nakuti seperti itu.” Dengan demikian, khotbah tidak pernah netral dan murni religius, tapi selalu berkelindan dengan isu-isu sosial-politis.

Charles Hirschkind

Bab dua menuturkan bagaimana tindakan mendengar dipahami dalam tradisi Islam, dari diskusi tentang Ibn al-’Arabi sampai ke gerakan dakwah kontemporer. Misalnya, bab ini menjabarkan usaha pemerintah Mesir selama satu abad terakhir untuk mentransformasi khotbah agar melayani kepentingan nasional. Selama kurun 1960-an, khotbah kaset pada dasarnya hanyalah reproduksi dari khotbah Jumat di masjid yang direkam untuk kemudian diedarkan oleh pemerintah. Menentang upaya birokratisasi ini, sejak kurun 1970-an, khotbah kaset semakin independen dari institusi masjid. Khotbah yang dulunya apolitis mulai mengambil pendirian politis, yang darinya para pendengar mendebat hegemoni kultural Barat lewat prosedur mendengar dan bernalar dalam Islam. Aksi sesederhana mendengar khotbah mendorong individu untuk menjelmakan sikap afektif tertentu serta pedagogi moral yang bersifat pra-diskursif. Di Mesir, poin ini dipahami melalui pembedaan kualitas suara antara tarab (memesona, memikat) dan ataffiya (emosional, sentimental). Istilah pertama mengusung potensi demokratis, karena suara yang tarab ini diyakini mampu memikat para pendengarnya untuk berpartisipasi dalam proyek kolektif, dan semua pengkhotbah yang hebat pasti memilikinya. Di sisi lain, istilah kedua tidak bersifat dialogis, sehingga individu yang mendengarnya tidak terberdayakan dan tetap terkurung dalam individualitasnya (bayangkan, misalnya, lagu Pop Melayu yang hanya sekadar membuat individu baper).

Bab tiga berargumen bahwa mendengar adalah sebuah proyek etis bagi pembentukan subjek yang saleh. Bab ini bisa dibaca sebagai kritik atas pemikiran Habermasian yang menganggap elemen-elemen non-rasional dalam diskursus politik sebagai pengaruh buruk bagi proses demokrasi deliberatif. Jadi, meskipun salah satu tujuan utama khotbah adalah meyakinkan pendengar akan kebenaran dari sebuah argumen, fitur lebih penting dari sebuah khotbah yang efektif adalah kemampuannya dalam menggerakkan pendengar menuju kecondongan etis tertentu: kejujuran, kesederhanaan, kesalehan. Aneka kecondongan ini dijelmakan secara dramatis di dalam khotbah melalui permainan intonasi suara, pengungkapan yang ekspresif, atau penekanan pada kata tertentu. Dengan aneka teknik ini, hati pendengar dituntun untuk mendengar sabda Tuhan, sementara tubuhnya digerakkan untuk terlibat dalam tindakan moral. Tapi, ini baru separuh cerita. Para pendengar percaya bahwa kapasitas seorang pengkhotbah dalam menyentuh sanubari mereka adalah refleksi dari kualitas moralnya. Dalam konteks ini, moralitas diyakini terkandung oleh suara, yang bersirkulasi via kaset untuk mengetuk hati manusia. Misalnya, seorang informan Hirschkind bersaksi bahwa pada hari meninggalnya Shaykh ‘Abd al-Hamid Kishk (salah satu pengkhotbah kaset paling tersohor di Mesir), kaset miliknya yang berisi khotbah almarhum juga ikut rusak! Sekilas, pengakuan semacam ini tentu irasional, tapi secara emik bisa dibaca sebagai keyakinan bahwa kaset tidaklah sekadar benda material, melainkan ekstensi dari eksistensi pengkhotbah.

Bab empat mengaitkan khotbah kaset dengan apa yang Hirschkind sebut ranah kontra-publik. Seiring kemunculan situs-situs dakwah modern yang tidak hanya terbatas di masjid, khotbah kaset menduduki peran yang semakin penting dalam proyek moral individu, dan membuka, alih-alih menghalangi, ruang potensial bagi argumentasi dan deliberasi di antara Muslim. ‘Publik’ cenderung didefinisikan sebagai ranah kebebasan berpendapat yang otonom. Tapi, definisi ini bertumpu pada dikotomi publik-privat, negara-masyarakat, dan individual-kolektif. Sebaliknya, bagi Hirschkind, fenomena dakwah memintasi semua dikotomi ini. Berlangsung di tempat-tempat ‘publik’ (taksi, jalanan, tempat kerja) maupun ‘privat’ (rumah), aktivitas dakwah menjungkirbalikkan dikotomi sekuler-liberal. Praktisi dakwah secara konsisten mengangkat ke publik isu-isu yang dari perspektif otoritas adalah urusan pribadi, mulai dari isu remeh seperti bergosip (yang tentu saja bukan urusan negara, tapi diyakini mengandung risiko moral oleh juru dakwah) sampai isu yang lebih serius (misalnya pelanggaran HAM, yang di rezim Mubarak hanya boleh dibicarakan di rumah masing-masing). Jadi, gerakan dakwah membentuk ranah kontra-publik, dalam pengertian bahwa definisi ‘publik’ yang disodorkan oleh pemerintah Mesir dalam proyek modernisasinya berbenturan dengan logika dakwah yang tidak mengenal pembedaan privat-publik.

Bab lima menggambarkan lebih lanjut implikasi sosial dari ekstensi teknologis atas suara dan khotbah, yakni melalui deskripsi tentang pergeseran pusat otoritas religius dari khatib yang dilatih secara tradisional sebagai pengkhotbah masjid profesional menuju da’iya yang lebih berkonotasi modern. Tidak seperti khatib yang kakinya berpijak di dua perahu (agama dan negara), visi da’iya tentang dunia yang ideal menempatkan ummah, alih-alih negara-bangsa modern, sebagai pusat narasi historis yang meliputi pengalaman hidup. Dengan demikian, isu-isu tentang pembangunan dan patriotisme yang dilaporkan dan dirayakan sebagai ‘berita’ di ranah publik resmi (baca: dikontrol pemerintah) hanya menempati posisi sekunder dalam ranah kontra-publik da’iya. Sebaliknya, isu yang mendominasi khotbah kaset adalah imaji-imaji tentang bencana apokaliptik berikut presentasi dramatis tentang kematian dan alam baka, yang secara alamiah lebih mengena ke hati individu. Untuk mencontohkan dramatisasi ini, Hirschkind mengutip panjang-lebar sebuah khotbah kaset dan menaruh catatan-catatan notasi musik seperti crescendo, pianissimo, accelerando, dan forte di antara kata-kata dalam khotbah untuk memudahkan kita membayangkan ritme, suasana, dan drama yang dialami ketika individu mendengarkan khotbah kaset.

Bab enam membahas bagaimana tema kematian yang dominan dalam khotbah berfungsi sebagai pengingat konstan akan alam baka di benak para pendengar. Kematian dipahami sebagai kondisi fundamental dari kehidupan manusia. Kesadaran dan kepastian akan kondisi ini tidak bisa diperoleh melalui pengetahuan abstrak rasional (al-‘aql), tapi hanya bisa diraih melalui dhawq, sebuah konsep yang mengindikasikan jenis pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman personal dan menjelma sebagai kecondongan permanen di dalam hati (al-qalb), anggota tubuh (al-jawarih), dan lidah (al-lisan). Hirschkind mengkritik opini umum yang menganggap diskursus kematian yang dominan dalam Islam sebagai obsesi yang destruktif (dengan figur pengebom bunuh diri sebagai justifikasinya). Baginya, tema kematian dalam khotbah kaset lebih tepat jika dibaca bukan sebagai kebencian pada dunia, tapi sesuatu yang memberikan arah dan tujuan pada dunia. Untuk alasan ini, ranah kontra-publik yang diciptakan oleh khotbah kaset bisa dipahami sebagai sebuah ruang etis untuk mempertanyakan secara kolektif bagaimana umat Muslim harus hidup dalam dunia yang secara konstan dibayang-bayangi kematian.

3

Dihadapkan pada negara Mesir sekuler dan liberalisme sekuler Barat – dengan aneka diskursusnya yang abstrak dan tidak menyasar pengalaman sehari-hari – khotbah kaset dengan tema-tema konkret seperti nestapa kaum Muslim di Bosnia dan Palestina mengandung potensi untuk merenungkan ketidakadilan dan penindasan, serta mengaitkannya dengan situasi personal individu berikut dunia di sekitarnya. Singkatnya, hal tersebut diorientasikan untuk membentuk sebuah ranah kontra-publik yang mendebat dan berargumen tentang isu-isu kesalehan dan etika di tengah-tengah kepungan perspektif ‘modern’ yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari.

Gagasan Hirschkind tentang etika bisa dibaca sebagai argumen yang mengutamakan tata-cara operasi bahasa religius alih-alih kontennya, atau dengan kata lain: cara penyampaian alih-alih makna yang disampaikan. Baginya, etika mendengar dalam Islam berakar dalam penekanan praktis pada respons ragawi terhadap khotbah. Berhubung pengalaman yang dialami lebih bersifat sensorik dan emotif, aksi mendengar khotbah bisa dibaca sebagai ancang-ancang pra-sadar untuk mengadopsi kesalehan, dan dengan demikian bisa dianggap sebagai aksi moral itu sendiri. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tujuan utama studinya adalah untuk mempertanyakan asumsi populer selama ini bahwa nalar dan sensibilitas religius adalah dua hal yang bertentangan, dan untuk merintis sebuah analisis yang dapat melampaui dikotomi sekuler-liberal ini.


Stanley Khu

Stanley Khu, kelahiran 1 Juli 1990, menamatkan pendidikan S1 Antropologi di Universitas Padjadjaran tahun 2013, dan S2 Sosiologi di Jawaharlal Nehru University, India, tahun 2016. Minat kajian adalah seputar etnisitas dan agama, serta eksplorasi teoritis dalam kerangka filosofis, sosiologis, dan antropologis Saat ini bekerja sebagai pengajar di jurusan Antropologi Universitas Diponegoro.