Dialektika Islam dan Jawa pada Awal Reformasi

Dipublikasikan oleh Chusnul C. pada

Daniels, Timothy. 2009. Islamic Spectrum in Java (Spektrum Islam di Jawa). Ashgate Publishing Limited.


Buku ini merupakan karya etnografis yang menyuguhkan dialektika nilai antara Jawa dan Islam, termasuk konstelasi keduanya di ruang publik. Adakala Jawa dan Islam beriringan jalan, dan adakala keduanya saling bersebrangan. Sebagai sebuah karya etnografis, Timothy Daniels memposisikan Jawa sebagai nilai yang lebih dulu ada dan tidak terlepas dari nilai-nilai Hindu-Buddha, sementara Islam sebagai yang datang kemudian. Baik Jawa maupun Islam ditulis secara detail dengan menghadirkan berbagai spektrum Islam di Jawa yang digambarkan secara efektif tanpa terjebak pada keberpihakan dan justifikasi benar-salah. 

Sumber gambar: Amazon UK

Buku ini terbit pada tahun 2009 dan terdiri dari tujuh bab. Konteks yang menjadi fokus dari buku ini ialah Yogyakarta pada masa Reformasi—transisi dari rezim otoriter ke demokrasi yang dimulai pada tahun 1998. Pada awal Reformasi, pemerintah membuka keran keterbukaan kebebasan berpendapat sehingga berbagai gagasan terkait masyarakat dan negara banyak bermunculan. Berbagai elemen masyarakat kemudian berbondong-bondong mencoba untuk mendefinisikan ulang identitas kelompoknya. Daniels secara spesifik menangkap gejolak kelompok Islam di Jawa yang merasa tertantang untuk kembali mempertanyakan tujuan dan makna beragama. 

Timothy Daniels

Pada Bab 1, Daniels mengeksplorasi tentang Yogyakarta sebagai kota budaya dan sekaligus tujuan pariwisata. Daniels menyebutkan bahwa Yogyakarta memiliki pusat kota utama. Di antaranya ialah istana sultan, tempat tinggal keluarga kerajaan, alun-alun, dan masjid utama. Sebagaimana dikutip Daniels, Evers dan Korff (2000, 115-116) mencatat bahwa pola spasial tersebut merupakan ‘citra Islamisasi dan Melayu dari kota India di Asia Tenggara kuno’ dengan istana dan institusi keagamaan yang berfungsi sebagai “sacred centers” yang mendefinisikan kota. Sacred center di sini merujuk pada konsep Hindu-Buddha yang menempatkan kota sebagai mikro-kosmos dan menjadi rujukan karena dianggap memiliki kekuatan supranatural. 

Kota Yogyakarta kemudian menjadi pusat wisata yang didukung dengan beragam pertunjukan budaya. Salah satunya ialah dengan menghadirkan ‘Malam Pekan Gemilang Yogya’ yang menampilkan berbagai pertunjukan kesenian seperti campursari, wayang kulit, dan berbagai tarian tradisional. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Yogyakarta juga banyak menampilkan berbagai upacara adat seperti peringatan Bulan Sura dengan mengadakan berbagai selamatan dan ritual seperti mubeng beteng. Selain peringatan Bulan Jawa, beragam ritual juga dilakukan saat menjelang peringatan Islam, seperti menjelang Idul Fitri ataupun Maulud Nabi dengan melakukan gerebeg, yakni mengarak gunungan yang berupa hasil pertanian dari keraton ke masjid agung, untuk kemudian diperebutkan masyarakat sebagai bentuk ngalap berkah.

Upacara-upacara adat tersebut menunjukkan perpaduan yang kompleks antara kosmologi dan metode komunikasi ritual dari sumber-sumber Islam dan pra-Islam yang merupakan bagian dari spektrum Islam Jawa (Geertz 1960, Woodward 1989, dan Muhaimin 2006). Keyakinan akan sumber kekuatan dinamis serta adanya kepercayaan pada roh leluhur yang kuat, menunjukkan adanya kekuatan pra-Islam. Misalnya, meskipun masih dipengaruhi oleh kosmologi Islam, sebagian banyak penduduk setempat menafsirkan Ratu Kidul sebagai jin, sementara beberapa yang lain menganggapnya sebagai dewi yang merupakan pasangan Dewa Gunung Merapi. 

Namun demikian, mereka yang mengaku Islam dan masih mempraktikkan ritual Hindu-Buddha biasanya disebut dengan istilah kejawen, dan hanya dianggap sebagai kepercayaan non-agama, dan karena itu mereka ditempatkan sebagai bagian dari budaya. Hal ini erat kaitannya dengan wacana terkait lokalitas pada masa Orde Baru yang membedakan secara biner antara budaya dan agama. Sementara definisi budaya mencakup tradisi dan kepercayaan adat dan praktik-praktik ritual turun menurun, agama diartikan sebagai sebuah sistem kepercayaan yang terorganisir dengan berdasarkan sumber autoritatif kitab suci. Implikasinya ialah: agama dan kepercayaan (yang didasarkan pada budaya/adat) dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dan bahkan saling bertentangan. Misalnya, praktik beragama masyarakat Yogya yang mempraktekkan tradisi leluhur banyak dilabeli sebagai budaya syirik oleh penganut Islam normatif yang berorientasi modernis.

Di sisi lain, penganut Islam yang berorientasi tradisional lebih mengakomodasi percampuran antara ‘budaya’ dan ‘agama’. Beberapa pemimpin Muslim tradisionalis menganggap bahwa sekularisme memungkinkan percampuran budaya dan agama dan tidak menekankan agama di atas budaya. Sikap tersebut sebagian menjelaskan persepsi mayoritas Muslim Indonesia sebagai muslim “moderat” atau “liberal”. Sementara para intelektual Muslim modernis menganggap sekularisme sebagai pemisahan budaya dari agama secara rasional sehingga semua praktik adat tidak memiliki keterkaitan sama sekali dari makna keagamaan. 

Kemudian, Bab 2 berisikan tentang berbagai pendapat para antropolog terkait bentuk Islam Jawa. Sebagaimana dikutip Daniels, Thomas Stamford Raffles membuat perbandingan antara Muslim Jawa yang toleran (terhadap lokalitas) dan Muslim Arab yang fanatik. Menurut Raffles, toleransi Muslim Jawa tersebut membuat mereka tidak sempurna sebagai Muslim dan akan dengan mudah kembali ke agama lama mereka, yakni Hindu. Demikian pula, Snouck Hurgronje secara konsisten mengangkat pengetahuan dan norma-norma Islam Arab sebagai model untuk mengevaluasi sejauh mana Muslim Indonesia mendekati Islam otoritatif (Benda, 1985). Menurutnya, antara adat dan hukum Islam saling bertentangan dan mereduksi Islam. 

Sementara itu, Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga kategori, yakni Santri, Abangan, dan Priyayi. Santri adalah mereka yang dianggap sholeh dan paling mendekati Islam otoritatif; priyayi adalah tipikal masyarakat Jawa yang memiliki kedekatan dengan birokrasi pemerintah dan mengkombinasikan antara Islam, animisme, dan Hindu-Buddha; sementara abangan ialah mereka yang lebih menekankan kepercayaan animisme dalam kehidupan sehari-hari. Geertz lalu menggambarkan keragaman Islam Jawa sebagai sinkretisme antara Islam, ‘animisme’, dan Hindu-Buddha. Sebaliknya, Mark Woodward berargumen bahwa penggabungan berbagai nilai tersebut justru merupakan bentuk sufisme Jawa. 

Dalam bab ini, Daniels menganalisis kesulitan dalam menggunakan kategori multivalent tersebut untuk menggambarkan spektrum Islam di Jawa serta membahas pergeseran makna dan kontestasi masing-masing dalam politik masa lalu dan masa kini. Beragamnya bentuk Muslim Indonesia menunjukan spektrum yang lebih luas dengan berbagai variasi penggunaan istilah ‘agama’ dan ide-ide sekuler.  

Bab 3 membahas keragaman agama dalam bentuk praktik penyembuhan yang dikategorikan menjadi tiga, yakni dukun, kyai, dan ustadz. Menurut Daniels, kategori tersebut ditujukan untuk melihat atau membedakan mana penyembuh yang Islami dan non-Islami. Menurut Daniels, mereka yang masuk kategori dukun ialah penyembuh yang menggunakan metode Islam dan Jawa (sesaji dan merapal mantra) dan membangun relasi dengan makhluk supranatural. Kemudian kategori kedua ialah kyai dan terkun (dokter-dukun). Penyembuh yang masuk kategori kyai memiliki metode penyembuhan dengan cara-cara Jawa dan Islam. Mereka melakukan praktik puasa geni, bertapa serta memiliki pusaka keris namun lebih menekankan pada kekuatan tenaga dalam. Di sisi lain, kyai menyembuhkan sembari membaca selawat dan membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sedangkan, terkun (dokter-dukun) melakukan praktik penyembuhan dengan mengkombinasikan antara metode medis dengan metode agama yang menekankan zikir dan sholawat untuk membersihkan hati. 

Ketegori ketiga, yakni ustadz, menggunakan metode penyembuhan dengan cara membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits atau yang dikenal dengan rukyah. Para ustadz berusaha meyakinkan pasien mereka jika akar masalah mereka bersumber dari praktik-praktik kejawen atau praktik mistis lainnya. Selain praktik penyembuhan, para ustadz juga melakukan praktik politik, seperti yang dicontohkan oleh seorang ustadz yang merekrut beberapa pasien untuk masuk PKS (Partai Keadilan Sejahtera). 

Pada Bab 4, Daniels mendiskusikan konflik sosial dan ideologis terkait kemunculan Inul Daratista sebagai salah satu bintang pop nasional dan musik dangdut sebagai bentuk seni budaya yang paling populer di kalangan masyarakat. Melalui fenomena Inul, Daniels mempertimbangkan gambaran sebuah bangsa dan ekspresi masa depan yang saling bertolak belakang. Inul ditentang oleh Rhoma Irama karena goyang ngebornya dianggap mengundang syahwat. Rhoma menyerukan boikot sebagai salah satu bentuk dari jihad. Sebaliknya, Inul mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk Taufik Kiemas, dan Presiden Keempat Abdurrahman Wahid yang membela Inul atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. 

Bab 5 menjelaskan perkembangan Muhammadiyah, dimulai dari sejarah pendirian dan perkembangannya, dan kemudian periode setelah K.H. A. Dahlan wafat, terutama soal interpretasi Muhammadiyah terhadap berbagai bentuk kebudayaan, termasuk ritual dan kesenian. Kelompok Muhammadiyah merupakan suatu organisasi reformis yang biasanya dicirikan dengan karakteristik anggotanya yang cenderung lebih “rasional”. Melalui bab ini, Daniels menggambarkan adanya perdebatan di kelompok Muhammadiyah, yakni antara anggota Muhammadiyah di akar rumput dengan anggota elit di tingkat nasional terkait perbedaan interpretasi terhadap bentuk budaya lokal, ritual, dan seni. 

Anggota Muhammadiyah akar rumput baik yang ada di Yogya maupun di Lamongan sepakat bahwa berbagai ritual dan kesenian seperti labuhan dan wayang merupakan perbuatan syirik dan bid’ah. Namun, para ulama Muhammadiyah dan anggota Muhammadiyah lainnya bersikap lebih toleran terhadap kebudayaan karena menganggap bahwa hal tersebut adalah bentuk dari kreatifitas dan ekspresi. Perbedaan sudut pandang terkait sikap mereka terhadap budaya membuka kembali diskusi terkait dakwah kultural yang berakhir dengan diadakannya kongres nasional di Makassar pada tahun 2003.  Kongres tersebut menghasilkan kesepakatan agar Muhammadiyah bisa lebih adaptif terhadap dinamika budaya dan perubahan sosial dalam masyarakat. 

Bab 6 membahas seni pertunjukan teater, baik yang dilakukan oleh kelompok profesional, modern, maupun mahasiswa. Para aktivis dan seniman kreatif telah menggunakan pertunjukan teater selama hampir tiga dekade untuk mengkritik pemerintah dan masyarakat dengan metode yang lebih menekankan perlawanan. Pada masa Orde Baru, penyensoran dan represi selalu menjadi ancaman sehingga membuat banyak kelompok kesenian mengekspresikan ketidakpuasan mereka melalui tema-tema simbolik. Kemudian saat Reformasi, mereka menjadi lebih terbuka dalam menunjukkan garis-garis perbedaan ideologisnya bersama dengan kecenderungannya pada tema-tema tertentu. Salah satu kelompok teater mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga, kelompok teater Eska memilih untuk mengambil tema yang berkaitan dengan Islam. Mereka mencoba membangun masa depan Islam populis, sosialis-demokratis, dan transformatif untuk Indonesia dalam melawan dominasi global.

Bab 7 berisikan tentang gerakan keagamaan baru ‘Maiyah’ yang didirikan oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) pada tahun 1990 di Jawa Timur dan kemudian berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia. Meskipun berbasis Islam, Pengajian Maiyah terbuka untuk umum, dan kerap didatangi tamu dari berbagai agama dan profesi. Penerimaan masyarakat umum terhadap pengajian Maiyah salah satunya dilatarbelakangi oleh tema yang dibawa oleh pengajian ini lebih bersifat populis. Daniels mengatakan, karakteristik Maiyah berhasil mendobrak perbedaan antara domain sekuler dan agama. Gerakan Maiyah mempromosikan bentuk demokrasi radikal dan sebuah sikap pasca-globalisasi yang menolak untuk menjadi budak dari pemangku kepentingan perusahaan. 

Daniels dalam Islamic Spectrum in Java ini menyimpulkan bahwa pada awal-awal Reformasi, masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai krisis multidimensional. Pemerintah dan para pemimpin agama dihadapkan pada tantangan besar terkait relevansi dan keberlanjutan mereka diantara massa yang menuntut angin perubahan yang signifikan. Para organisasi keagamaan telah mencoba untuk merumuskan kembali metode pendekatan mereka agar terjangkau oleh masyarakat luas. Para seniman teater mahasiswa telah berupaya untuk membingkai kritik sosial mereka dalam konteks pasca Orde Baru. Selain itu, pengikut gerakan keagamaan baru, seperti yang dicontohkan dalam kasus Maiyah, telah mencoba mempertahankan semangat perubahan. Pada era Reformasi, Muslim Jawa ditantang untuk mengejar tujuan keagamaan, memperkuat identitas sekaligus membangun aliansi baru. Hal tersebut adalah tantangan utama yang dihadapi oleh Para Muslim Jawa dengan berbagai spektrum Islamnya yang sangat luas. 


Chusnul C.

Alumni CRCS UGM. Menyukai isu yang berkaitan dengan budaya, tourism, jurnalisme dan media, religion, dan pop culture. Bisa dikunjungi di akun Instagram @ichuslucky.