Payung, Celana, dan Pasar Malam: Perebutan Kekuasaan Budaya Indonesia Kolonial

Dipublikasikan oleh Alif Raya Zulkarnaen pada

van der Meer, Arnout. 2020. Performing Power: Cultural Hegemony, Identity, and Resistance in Colonial Indonesia [Mencitrakan Kekuasaan: Hegemoni Budaya, Identitas, dan Perlawanan di Indonesia Kolonial]. Penerbit Universitas Cornell.


Budaya merupakan salah satu cara negara dapat memerintah rakyatnya, sebut Antonio Gramsci. Selain menggunakan kekerasan atau kekuatan militer (coercion), negara dapat menggunakan nilai, tradisi, dan simbol suatu budaya untuk membentuk persetujuan (consent) rakyatnya; hal ini disebut sebagai kekuasaan budaya (cultural hegemony). Sementara itu, Indonesia adalah negara dengan budaya yang kaya lagi beragam. Kalau begitu, sejarah panjang Indonesia tentu mengandung setidaknya satu contoh kekuasaan budaya, bukan?

Inilah fokus buku Performing Power: Cultural Hegemony, Identity, and Resistance in Colonial Indonesia oleh Arnout van der Meer. Dalam bukunya, van der Meer menunjukkan bagaimana Belanda membentuk kekuasaan budaya di pulau Jawa melalui penggunaan atau apropriasi budaya visual Jawa. Ia menguraikan perkembangan kekuasaan budaya tersebut, dan kemudian, bagaimana ia “diusik” dan direbut oleh kaum pribumi yang terpelajar dalam peristiwa yang kita kenal sebagai Kebangkitan Nasional. Dalam enam bab, buku ini tidak hanya mengidentifikasi bagaimana Belanda kolonial membentuk suatu kekuasaan budaya terhadap Indonesia, tetapi bagaimana pertunjukan dan penampilan (appearance) berperan dalam pembentukan, dan kemudian perebutan kekuasaan budaya tersebut. 

(Bukan) Negara Teater: Kekuasaan Budaya Belanda terhadap Indonesia

Arnout van der Meer

van der Meer membuka bukunya dengan menjelaskan latar dari kekuasaan budaya Belanda. Dalam Bab Satu, ia menulis bahwa kekuasaan budaya mulai dibentuk oleh VOC untuk menundukkan priyayi Jawa yang mereka perlukan untuk memerintah daerah jajahan mereka. Keperluan ini mendorong VOC–dan kemudian, pemerintahan kolonial Belanda–untuk menampilkan kekuasaan budayanya dengan menggunakan simbol-simbol kekuasaan Jawa, seperti utamanya, payung songsong. Payung songsong, yang utamanya digunakan oleh para priyayi, dicat dengan warna yang menunjukkan status mereka seperti emas, biru, dan lainnya. Awalnya, pejabat VOC mulai menggunakan songsong agar tampak setara dengan para priyayi. Tetapi, ketika VOC bangkrut dan administrasinya diambil alih oleh Hindia Belanda, Gubernur-Jenderal Herman Daendels membuat lambang-lambang Jawa–salah satunya, songsong–untuk dijadikan perangkat formal kepejabatan VOC. Tentu hal ini menyebabkan suatu pertentangan antara para raja Jawa, utamanya Hamengkubuwana II dengan Daendels. Daendels mencoba untuk merebut kekuasaan budaya para raja Jawa, salah satunya dengan merebut simbol-simbol dan pertunjukan kekusaan mereka. 

Perebutan ini berlanjut seiring semakin banyakny simbol dan tampilan kekuasaan Jawa yang diserap menjadi kekusaan budaya Belanda kolonial. Selain songsong, Bahasa Jawa pun digunakan: para bupati harus berbincang bahasa Jawa kromo kepada pegawai Belanda, yang menjawab dengan bahasa Jawa ngoko. Sementara itu, warga Jawa juga harus melakukan sembah kepada pegawai Belanda. Terjadi “Jawanisasi” dalam pemerintahan Belanda, agar status Belanda yang lebih tinggi dapat “diterjemahkan” dan ditampilkan melalui bahasa perpolitikan Jawa. Inilah fondasi dari kekuasaan budaya Belanda: ketinggian derajat mereka ditunjukkan lebih tinggi bukan hanya secara pangkat, tapi juga secara visual. 

Bab Dua dan Tiga memunculkan ironi besar: usikan terbesar terhadap kekuasaan budaya Belanda justru berasal dari Belanda dalam bentuk Politik Etis. Berbeda dengan kekuasaan budaya sebelumnya, Politik Etis bertujuan untuk membalas hutang budi Belanda dengan membuat para pribumi menjadi “beradab”–sesuai dengan standar Eropa. Kata kunci dari keberadaban ini adalah “modernitas” dan “rasionalitas”, yang berarti selain para pribumi harus dididik “agar menjadi modern” pemerintahan Kolonial juga harus dimodernkan. Bagi para penganut Politik Etis, keunggulan Belanda harusnya ditunjukkan tidak melalui cara-cara pribumi, melainkan melalui keunggulan teknologi dan modernitas. Bukan pula melalui ritual-ritual kuno, alias Jawanisasi, pada pemerintahan kolonial yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Tentu saja, hal ini mendorong adanya ketegangan antara pegawai sipil pemerintahan kolonial dengan para pendukung Politik Etis seperti Gubernur-Jenderal J. B. van Heutsz dan G. A. J. Hazeu, yang mencoba meredam Jawanisasi melalui edaran-edaran. van der Meer menulis bahwa ada empat “edaran Hormat” penting, masing-masing bertujuan untuk meredam aspek-aspek kekuasaan budaya Belanda yang tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga memalukan, seperti melarang pejabat untuk menggunakan songsong atau menerima sembah. Edaran-edaran ini ditentang oleh para pegawai sipil, yang berargumen bahwa tanpa adanya simbol-simbol kekuasaan seperti payung dan sembah, Hindia Belanda tidak bisa dipertahankan kecuali dengan kekerasan. 

Hazeu melawan balik: menurutnya, songsong dan sembah justru akan mendorong para pribumi untuk melawan pemerintahan kolonial. Suatu penindasan yang ditunjukkan tanpa malu–seperti dengan songsong dan sembah–mungkin akan berhasil untuk mengendalikan masyarakat pribumi yang terkekang dengan mentalitas feodal. Namun demikian, hal ini justru akan mendorong kecaman dari suatu masyarakat yang semakin berpendidikan. Dan Hazeu pun kemudian terbukti benar. Politik Etis mendorong munculnya tokoh-tokoh pribumi berpendidikan tinggi seperti Goenawan Mangoenkoesoemo dan Raden Soemartono, yang menyadari akan rupa feodal dari kekuasaan budaya Belanda, dan langsung mengkritiknya; dan target pertama dari kritik pedas mereka tentulah tradisi sembah dan songsong. Inilah awal dari Kebangkitan Nasional: muncul suatu kelompok pribumi yang sadar atas metode kekuasaan budaya Belanda, dan dengan begitu, aktif menentangnya. 

Munculnya “Indonesia”

Bab Empat buku ini menunjukkan bagaimana generasi pribumi ini menentang dan memperebutkan kekuasaan budaya Belanda. Ilustrasi yang digunakan van der Meer adalah celana. Salah satu cara bentuk kekuasaan budaya Belanda diperkuat adalah melalui stereotipe, dengan orang Belanda memakai celana dan para pribumi yang memakai kain dan sarung. Stereotipe tersebut menampilkan perbedaan antara “Belanda yang beradab” dan “Jawa yang tunduk”, dan dipertahankan selama berabad-abad untuk melanggengkan kekuasaan budaya Belanda. Cara utama generasi pribumi menentang dan merebutkan kekuasaan budaya adalah dengan menantang stereotipe yang ada, menuntut, dan kemudian memaksa berbaur dengan orang Belanda. Darinya, muncul pribumi yang memakai celana ala Barat, berbicara bahasa Belanda dengan fasih, dan–lebih “kurang ajar” lagi–berbaur dengan bebas dengan orang Belanda. 

“Lain dulu, lain sekarang!” Karikatur yang menggambarkan perubahan sosial di Hindia Belanda (van der Meer, bab empat).

Dunia kolonial bereaksi terhadap pembauran tersebut–seperti yang dijelaskan Bab Lima–melalui politik identitas. Belanda menonjolkan identitas kulit putih dan “kemampuan” mereka untuk menjajah daerah beriklim berbeda sebagai bukti keunggulan Belanda. Singkat kata, songsong dan sembah kini mulai digantikan oleh “modernitas” dan “keunggulan ilmiah” sebagai simbol–dan pembenaran–dari kekuasaan Belanda. Akibatnya, meski menerima kemajuan teknologi, para pribumi juga menentang budaya kebarat-baratan dan modernitasnya sebagai hal yang buruk. Mereka mulai kritis terhadap beragam “penyakit” yang bisa ia sebabkan–seperti kecanduan alkohol dan narkoba–yang pada akhirnya membuat mereka berpikir bahwa orang Timur harus kembali ke Timur. Darinya, muncul dikotomi antara “Timur” dan “Barat”, “dan tidaklah mungkin keduanya bertemu,” seperti dalam puisi Kipling yang dikutip oleh van der Meer. Karena itu, jurang ini memunculkan dua identitas yang berbeda: sang “Penjajah” dan sang “Pribumi”, “colonizer” “dan “colonized”, “Eropa-modern” dan “Pribumi-terbelakang”; “Belanda” dan “Indonesia.”

Bab Enam menunjukkan perebutan kekuasaan budaya antara kedua identitas tersebut, yang diakhiri dengan kemenangan “Indonesia” dalam perebutan kekuasaan budaya; menariknya, melalui ilustrasi pasar malam. Pasar malam merupakan ajang untuk memamerkan teknologi dan produk-produk modern, dan juga, keunggulan Belanda. Dalam pasar-pasar malam pertama, kaum pribumi berpakaian celana dan jas (“si Indonesia”) terlihat sedikit dan aneh. Tetapi, pada 1930-an, penampilan “si Indonesia” di pasar malam mulai lumrah, membeli produk-produk modern Barat yang awalnya hanya bisa dibeli oleh orang Belanda, dari selendang bayi yang dibuat dari kain Swiss, dan bahkan sabun bermerk Lifebuoy. Bahkan, orang Indonesia pun mulai menyelenggarakan pasar malam sendiri. Kalau keunggulan Belanda ditampilkan melalui modernitas dan keunggulan teknologi, maka, “Indonesia” pun mampu beradaptasi dengan kedua hal tersebut. Dengan runtuhnya “penampilan” keunggulan Belanda, Indonesia mulai merebut kekuasaan budaya mereka perlahan-lahan.

Penampilan Kekuasaan: Kekuasaan Budaya, Identitas, dan Perlawanan di Indonesia Kolonial

Dalam bab epilognya, van der Meer menyamakan kekuasaan budaya Belanda dengan suatu pentas. Dalam pentas ini, pemerintahan kolonial adalah produser sekaligus pemeran utama dalam pentas tersebut, dan rakyat pribumi adalah penonton yang harus dipukau. Tetapi, lambat laun, skrip pentas ini berubah, dan para penonton sadar mereka bisa membuat pentas sendiri yang lebih baik. Saat dibubarkan Jepang, pentas Belanda sudah tidak laku

Dari pengibaratan tadi, van der Meer menunjukkan bahwa ada tiga fase utama dalam kekuasaan budaya Belanda di Indonesia. Fase pertama adalah Jawanisasi, di mana Belanda mencoba untuk menggunakan simbol-simbol dari kebudayaan pribumi untuk membentuk–atau lebih tepatnya lagi, mengapropriasi–kekuasaan budaya dari Indonesia. Dalam fase kedua, Politik Etis mencoba untuk melepaskan kekuasaan budaya dari ketergantungan terhadap simbol-simbol kebudayaan pribumi, utamanya dengan membuat suatu identitas “Barat” yang unggul secara ilmiah, yang justru malah mendorong adanya suatu identitas “Timur” untuk menentangnya. Fase ketiga merupakan fase endgame, di mana identitas “Timur”, “Indonesia” mulai merebut kekuasaan budaya dari Belanda dengan cara merebut penampilan yang biasanya menunjukkan keunggulan orang Belanda. 

Jadi, poin utama buku ini bukanlah bahwa kekuasaan merupakan suatu “pentas”, tapi bagaimana peran “pentas” dalam membentuk kekuasaan. Penampilan ternyata penting untuk membentuk kekuasaan budaya, dan “tampilan” yang berbeda dapat mengusik kekuasaan tersebut. Bagi Belanda, hal ini ada dalam munculnya “Indonesia”–para pribumi berpakaian modern–yang merupakan keganjilan besar dalam tampilan pertunjukan mereka. Dan peran penampilan dalam membentuk identitas dan mengusik kekuasaan budaya terbukti masih penting dalam hari ini, dengan banyaknya diskusi mengenai pakaian seperti jilbab dan batik dalam kebudayaan Indonesia. Intinya, penampilan ternyata penting dalam pembentukan dan perebutan kekuasaan: dalam hal ini, barangkali kita perlu menilai suatu buku dari sampulnya.


Alif Raya Zulkarnaen

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia. Minatnya termasuk Geografi Manusia, Budaya, dan Sejarah.