Dapatkah Ekonomi Hijau Menjadi Solusi? Menimbang Ulang Tranformasi Gerakan Lingkungan

Dipublikasikan oleh Fany N. R. Hakim pada

Klein, Naomi. 2019. On Fire: The Burning Case for a Green New Deal. Penerbit Alfred A. Knopf Canada. 


Permasalahan lingkungan kerap menimbulkan keresahan bagi masyarakat Indonesia belakangan ini, mulai dari darurat sampah di Yogyakarta akibat penutupan TPA Piyungan, kualitas udara yang memburuk di Jakarta dan sekitarnya, hingga kebakaran hutan di Kalimantan. Solusi yang ditawarkan oleh para pemangku kepentingan nampak tidak relevan dengan faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tersebut. Sementara itu, banyak orang mulai mencoba untuk menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan transportasi umum dan mengurangi penggunaan plastik. Namun demikian, salah satu penulis yang merupakan aktivis lingkungan, Naomi Klein, melalui bukunya berpendapat bahwa perlu ada perubahan sistemik sebagai solusi atas krisis iklim secara menyeluruh.

Saat melihat sekilas karya Klein On Fire: The Burning Case for a Green New Deal, hal pertama yang muncul di benak kita mungkin adalah planet yang terbakar. Itu tidaklah salah. Akan tetapi, dalam bukunya, Klein tidak hanya menyebut api yang membakar planet kita secara harfiah sebagai dampak dari perubahan iklim, tetapi juga sebagai krisis yang meningkat di seluruh dunia, di mana kemiskinan, rasisme, dan masalah sosial-politik lainnya terjadi.

“Api” dalam pengertian terakhir yang ia maksud adalah semangat membara dari gerakan keadilan iklim yang dilakukan banyak orang demi perubahan untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, bukan hanya dalam aspek lingkungan, tetapi juga berbagai aspek lainnya. Proyek ini disebut Green New Deal (GND)—sederhananya diterjemahkan sebagai revolusi ekonomi hijau, terinspirasi dari program New Deals oleh Franklin D. Roosevelt

Banyak ahli ekologi dan ilmuwan mulai menaruh perhatian terhadap proyek ini sejak suhu bumi meningkat hingga lebih dari 1,5 derajat Celcius. Sebelum Klein menelaah lebih jauh tentang GND, ia mengajak pembaca untuk memerhatikan gerakan lingkungan yang dilakukan oleh para aktivis muda, yang paling populer meski bukan yang pertama, Greta Thunberg, yang memengaruhi banyak anak muda dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam gerakan tersebut.

Buku ini berisi beberapa kumpulan esai Klein yang ia tulis dalam dekade terakhir. Klein mengamati isu multidisiplin yang berimplikasi pada perubahan iklim dan krisis lingkungan. Meskipun latar belakangnya bukan dari bidang akademik, ia menyertakan landasan ilmiah dari beberapa ilmuwan untuk memperkuat gagasannya tentang pentingnya mengubah cara hidup kita melalui GND. Perhatian utamanya mengenai transformasi ini adalah mencari pengganti alternatif bahan bakar fosil dengan energi terbarukan yang tidak merusak alam. Klein menjelaskan bahwa bahan bakar fosil dapat digunakan sebagai kontributor utama destabilisasi lingkungan. Ia mengkritik para pemimpin politik dan pemerintah dari negara-negara maju yang terus memberlakukan peraturan yang merusak planet ini dan mengabaikan para ilmuwan yang menawarkan solusi untuk pemulihan ekologi berdasarkan temuan mereka.

Dominasi Kapitalisme dan Kolonialisme dalam Pengelolaan Lingkungan

Pemerintah menganggap GND sebagai mimpi utopis dan mahal, sehingga mereka terus mengandalkan bahan bakar fosil untuk stabilitas moneter mereka. Klein juga mengacu pada Carolyn Merchant saat ia mengutuk British Petroleum yang melakukan pengeboran berlebihan pada sumber daya minyak yang menyebabkan tragedi kebocoran minyak, Deepwater Horizon, di Teluk Meksiko. Dalam hal ini, Klein mengutip konsep metaforis Merchant dari karyanya The Death of Nature, bahwa bumi adalah ibu yang mengasuh (nurturing mother), namun seringkali manusia menempatkan diri sebagai pusat dengan melihat makhluk hidup lain sebagai subordinat. Selalu ada konsekuensi setiap kali manusia melakukan kerusakan pada bumi. Klein mengaitkan gagasan Merchant dengan budaya masyarakat adat (indigenous people) yang berperan melestarikan alam karena mereka percaya bahwa alam itu sakral dan setiap benda memiliki spirit yang hidup di dalamnya.

Naomi Klein

Berbicara tentang masyarakat adat, menurut Klein, mereka sering menjadi korban dari pemegang kekuasaan—dalam hal ini adalah para kapitalis dan kolonialis. Klein menjelaskan bahwa banyak masyarakat adat terusir lantaran tanahnya dirampas oleh para kolonialis. Dalam menjelaskan hal ini, Klein mengacu pada teori pascakolonialisme yang dikemukakan oleh Edward Said. Meski Said bukan seorang ahli lingkungan secara khusus, dalam analisisnya terhadap konflik Palestina, terdapat unsur lingkungan di mana perang tidak hanya menimbulkan korban manusia tetapi juga kerusakan lingkungan. 

Selain itu, ia menemukan bahwa pribumi di tanah yang dijajah atau dikuasai oleh pihak lain juga mengalami penggusuran dan dilarang mengakses sumber daya alam di tanahnya sendiri dengan dalih pelestarian alam. Inilah yang disebut Klein sebagai “kolonialisme hijau”. Masyarakat adat menghadapi pelanggaran hak asasi manusia. Mereka didiskriminasi sehingga menderita kemiskinan dan bahkan mengancam keberlangsungan hidup mereka. 

Klein kemudian mengutip karya Said, Orientalism, yang menurutnya, orientalisme telah melanggengkan “yang liyan”, tidak hanya terhadap “orang Timur” tetapi juga terhadap penduduk asli (native) di dunia Barat, di mana mereka memiliki budaya dan tradisi sendiri yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi, pembangunan, dan modernisasi.

Selanjutnya, dalam menjelaskan dampak kapitalisme terhadap kelestarian lingkungan, Klein mengunakan istilah “eko-fasisme”. Singkatnya, eko-fasisme adalah ideologi sayap kanan yang menyatu dengan deep ecology. Dalam hal ini, kelompok sayap kanan tidak lain adalah kaum kapitalis. Klein mengatakan bahwa eko-fasis memandang faktor utama krisis ekologis adalah manusia sendiri. Klein mencontohkannya dengan menggunakan kasus pembantaian Christchurch di Selandia Baru. Menurutnya, tragedi tersebut tidak terkait langsung dengan persoalan ekologi, berdasarkan manifesto pelakunya yang merupakan orang kulit putih yang merasa terancam dengan semakin banyaknya umat Islam. Namun, hal ini menggambarkan perilaku eko-fasis yang sangat menentang pertumbuhan populasi manusia yang disertai sentimen dan kebencian terhadap kelompok tertentu.

Selain itu, Klein juga menekankan fakta bahwa yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologi global adalah segelintir orang terkaya di dunia, para kapitalis. Distribusi kekayaan yang tidak merata dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan oleh sekelompok orang tidak hanya mempertaruhkan bencana ekologis, tetapi juga menyebabkan krisis menyeluruh, seperti kemiskinan struktural, layanan kesehatan yang terabaikan, serta konflik berdasarkan perbedaan kelas, ras, dan agama.

Kemudian, Klein juga menawarkan beberapa langkah yang bisa dilakukan dengan mengimplementasikan GND, di antaranya adalah transformasi sistem ekonomi beserta infrastruktur dan proses produksinya, serta menetapkan standar pajak yang tinggi bagi perusahaan-perusahaan besar, terutama yang berpotensi merusak lingkungan.

Klein menambahkan, sebagai individu, kita dapat mengambil bagian dengan mengurangi budaya konsumtif yang sering dianggap sebagai “sifat bawaan manusia”. Akan tetapi, menurutnya, overconsumption adalah dampak signifikan dari produksi massal korporasi besar. Dalam analisisnya, Klein mengamati para pekerja seperti di Indonesia dan Tiongkok yang bekerja di perusahaan multinasional di mana mereka dirampas haknya dan dieksploitasi secara berlebihan dengan upah yang tidak proporsional. Di sini, ia memperhitungkan tidak hanya dampak kapitalisme terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap kemanusiaan.

Pendekatan Teologis dan Etis dalam Melihat Krisis Lingkungan

Dari perspektif agama, terdapat esai khusus yang berjudul “Vatikan Radikal?” dalam buku Klein, di mana ia mengulas ensiklik Paus Fransiskus, Laudato si’. Tulisan Paus Fransiskus berisi tuntutannya akan perubahan sistem ekonomi yang menurutnya berdampak pada krisis ekologi. Dalam esai tersebut, Klein membahas singkat tentang gerakan feminis karena dalam tulisan-tulisan Paus Fransiskus, terdapat pernyataan tentang bumi yang dianalogikan sebagai “saudara perempuan”. Klein menunjukkan kesimpulan yang ditarik oleh Paus Fransiskus, yaitu bahwa di dalam Alkitab tidak ada tempat bagi antroposentrisme. Meskipun demikian, di sisi lain, Klein tidak memungkiri bahwa antroposentrisme juga berasal dari doktrin Kristen—dalam hal ini Yudeo-Kristen—yang didukung oleh supremasi kulit putih dan misionaris kolonial sehingga ide tersebut bertahan. Pendekatan teologis ini diharapkan dapat menghasilkan penginjilan ekologi, di mana orang-orang yang beriman dapat menantang diri mereka sendiri untuk mencoba mengatasi perubahan iklim secara mendasar.

Dalam bab-bab terakhir bukunya, Klein lebih banyak membahas cara-cara etis yang perlu diamini oleh pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan dalam menciptakan regulasi yang lebih ekosentris. Klein juga mengacu pada Vandana Shiva mengenai akar masalah ekologi global: sistem ekonomi internasional. Klein menuntut perubahan progresif yang tidak hanya akan mengubah tatanan politik dan ekonomi, tetapi juga secara sosial memulihkan hak-hak orang yang sebelumnya dilanggar. Dalam hal ini, ia lebih menekankan pada perubahan yang menempatkan keadilan bagi semua orang. Menurutnya, masyarakat adat, kelompok minoritas, dan kaum muda bisa menjadi garda terdepan dalam menyuarakan gerakan perubahan dan keadilan iklim.

Catatan Kritis untuk Klein

Buku Klein yang sedang diulas di sini bukanlah karya pertamanya tentang masalah ekologi. Sebelumnya, ia fokus mengulas kapitalisme dan iklim dalam This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate. Meski ia menelisik masalah ekologi secara holistik di dalam buku ini, masih ada beberapa celah dalam argumennya. Setidaknya, terdapat tiga hal yang dapat dikritisi dalam buku Klein. 

Pertama, Klein berfokus pada perubahan iklim sebagai isu kolektif global. Menurutnya, “masalah kolektif membutuhkan solusi kolektif”. Ia memang mengklarifikasi bahwa setiap individu dapat berpartisipasi dan mengambil peran kecil untuk menjadi agen perubahan dalam misi restorasi ekologi. Namun pada saat yang sama, ia juga melontarkan pernyataan kontradiktif dengan mengecilkan peran individu yang dinilai kurang berdampak, sebab menurutnya, yang paling dibutuhkan adalah perubahan sistemik. Singkatnya, terdapat kontradiksi di sini. 

Poin kedua masih terkait masalah kolektivitas. Dalam esai-esainya, Klein masih banyak memberikan contoh krisis personal yang dialami oleh orang-orang sekitarnya yang tidak secara nyata menggambarkan dampak perubahan iklim secara masal. Ketiga, ia terlalu fokus pada kolonialisme dan orientalisme yang menjadi penyebab munculnya krisis struktural yang menurutnya menimpa masyarakat adat, kulit hitam, dan Muslim sebagai minoritas di dunia Barat. Ia memisahkan terlalu kentara antara “Barat” dengan “Timur” dan kurang melihat adanya upaya perubahan atau gerakan dari pihak-pihak yang menurutnya lemah dan terviktimisasi. 

Meskipun demikian, celah pada karya Klein ini tidak mengurangi esensi gagasan briliannya dalam menghadapi krisis lingkungan. Ia menaruh perhatian yang sama dengan banyak orang di dunia: perlu ada perubahan besar untuk mengatasi keadaan bumi yang telah rusak. Pada akhirnya, meskipun di satu sisi karya Klein ini perlu pengembangan kajian lebih lanjut, di sisi lain, karyanya ini sangat berguna untuk menambah perspektif kita memahami lingkungan dalam kerangka yang kompleks.


Fany N. R. Hakim

Seorang peneliti muda multidisipliner yang memiliki fokus utama pada isu gender dan lingkungan.