Teori Imperialisme, Masihkah Relevan? Taktik Negara Kaya Mempertahankan Ketimpangan

Dipublikasikan oleh Rizaldi Ageng Wicaksono pada

King, Samuel T. 2021. Imperialism and The Development Myth: How Rich Countries Dominate in The Twenty-first Century (Imperialisme dan Mitos Pembangunan: Dominasi Negara-Negara Kaya di abad ke-21). Penerbit Universitas Manchester Press.


Telah lebih dari satu abad teori imperialisme Lenin dikonsumsi oleh masyarakat dunia, khususnya akademisi dan aktivis. Namun, apa itu imperialisme? Lebih jauh, masih perlukah teori imperialisme digunakan ketika membicarakan wacana geopolitik global kontemporer? Samuel T. King dalam buku ini menjawab dengan tegas: penting. Dalam Imperialism and The Development Myth (How Rich Countries Dominate in The Twenty-first Century), King menceburkan diri dalam sebuah perdebatan teoretis yang telah dilakukan sejak lama oleh berbagai akademisi dan peneliti Marxis. 

Beberapa di antaranya termaktub dalam perdebatan antara David Harvey dengan Prabhat Patnaik dan Utsa Patnaik. Mengaitkan dengan kebutuhan atas sumber daya alam pembangkit listrik, Harvey merefleksikan bagaimana pengurasan bersih kekayaan dari Timur ke Barat yang telah berlaku selama lebih dari dua abad, telah berbalik arah, khususnya semenjak India Timur terkenal sebagai pembangkit tenaga listrik dalam ekonomi global. Utsa & Prabhat menegaskan bahwa selama ini tidak ada perpindahan kekayaan, karena di satu sisi, negara Barat tidak dapat memproduksi komoditas di Asia karena masalah geografis. Itulah mengapa produksi yang berhubungan dengan komoditas sumber daya alam didorong tanpa harus membahayakan arus uang di kota (dan/atau negara imperialis).

Chris Harman dan Alex Callinicos dalam kritik mereka juga berupaya mempresentasikan teori Lenin dengan menghilangkan substansi dari teori imperialisme, yakni monopoli. Dalam argumen tersebut, tampak bagaimana neoliberalisme dipandang berhasil mendongkrak perkembangan ekonomi di negara-negara dekolonisasi. Salah satu fakta lain adalah bagaimana perkembangan industri di Tiongkok yang menantang dominasi Amerika Serikat, bahkan melampaui pertahanan dominasi unipolarisme (penguasaan satu negara terhadap negara lain –baik dalam segi militer, ekonomi, maupun budaya). 

Sam King

Pembahasan utama dalam buku ini merupakan upaya King dalam mempertahankan teori imperialisme, dan relevansinya saat ini. Pertama, ia menggugat anggapan akademisi yang percaya bahwa teori Lenin tentang imperialisme telah usang. Kedua, King juga menantang para pendukung teori imperialisme yang secara parsial menyadur dan mereproduksi teori tersebut. Ia menjelaskan kedua pandangan itu dalam buku yang terdiri dari lima bab. Pada bab awal, King menunjukkan keterbelahan dunia di era neoliberal dalam kacamata geopolitik yang didorong oleh ketimpangan ekonomi politik global. Dalam bab dua, ia meninjau berbagai literatur beraliran Marxist yang menegasikan teori imperialisme, dan selanjutnya membahas Tiongkok yang kini dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara imperialis status quo. Di bab tiga, King membicarakan teori imperialisme Lenin secara mendalam dengan menghubungkan konsep monopoli dan nilai guna kerja manusia yang dikemukakan oleh Marx dalam Das Kapital. Pada bab empat, King menggunakan teori imperialisme sebagai pisau untuk menganalisis situasi geopolitik kontemporer. Di bab akhir, King membantah pandangan akademisi yang menyebutkan Tiongkok sebagai negara imperialis baru. Ia berupaya membongkar alasan terselubung mengapa negara imperialis membombardir Tiongkok dengan berbagai propaganda media dan embargo ekonomi. 

Negara yang Terbelah

Pembahasan tentang negara yang terbelah-belah dalam kutub ‘negara kaya’ (yang jumlahnya segelintir) dan ‘negara miskin’ (sebagai mayoritas penduduk dunia) ditunjukkan melalui data yang mudah ditelusuri, yakni Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita masing-masing negara. Jika dianalisis, 59,8 persen PDB per kapita dunia dikuasai oleh 32 dari 194 negara yang jumlahnya kurang dari 1 miliar penduduk dunia (13,6 persen). Sementara, 148 negara lainnya hanya menguasai 37,5 persen PDB per kapita yang di dalamnya terdapat 6 miliar lebih penduduk dunia (atau sebesar 85 persen dari total populasi). 

Menurut Sam, penggunaan data PDB per kapita merupakan cara paling tepat –meski tentu ada kekurangan –untuk menganalisis ketimpangan antarnegara, ketimbang menggunakan analisis paritas daya beli (PDB-purchasing power parity). Ini didasari atas argumen bahwa PDB adalah ukuran pendapatan yang diterima oleh kelas pemilik modal (kapitalis) dengan kelas tak berpemilik modal (buruh) untuk menjual komoditas keseluruhan yang mereka miliki. PDB dengan demikian sangat berguna untuk membandingkan nilai pasar global (harga) produk tenaga kerja per orang.

Gambar 1: GDP per kapita (sumber: Bank Dunia)

Angka-angka yang disajikan King dalam buku ini diambil dari situs web resmi Bank Dunia, di mana semua orang bisa mengakses data pekembangan angka PDB per kapita dari seluruh negara. Meskipun data PDB per kapita yang disadur dari Bank Dunia berhenti pada 2016, argumen King mengenai negara yang terbelah dan ketimpangan semakin menajam saat ini, masih menunjukkan ketepatan analisis jika kita lihat pada gambar di atas. 

Latar Belakang Peminggiran Teori Imperialisme

Pada bab dua dan tiga, King menyelami latar belakang historis para penulis beraliran Marxist yang menolak imperalisme. Dalam bab ini, secara jelas King menantang para pemikir Marxist kontemporer yang banyak bermukim di negara Dunia Pertama laiknya Harvey (Amerika Serikat), Callinicos dan Harman (Inggris). Menurut King, penolakan atas teori imperialisme di abad ke-21 dilandasi pada sejarah perjuangan antiimperialisme semenjak abad ke-20 yang terbagi dalam dua gelombang. 

Gelombang pertama dimulai ketika teori imperialisme dicetuskan oleh Lenin. Terutama pada Perang Dunia I, ketika teori imperialisme digunakan sebagai alat analisis untuk menjelaskan bagaimana peristiwa tersebut sama sekali merugikan kelas buruh. Pasalnya, tidak ada keuntungan yang didapatkan bagi kelas buruh ketika negara saling berperang. Itulah mengapa kelas buruh di negara-negara yang berperang harus mengorganisasi diri mereka untuk menolak agenda perang.

Gelombang kedua bertitik tolak pada peristiwa perjuangan pembebasan nasional di negara-negara terjajah, terutama pada rentang waktu pasca Revolusi 1917 Uni Soviet yang menghidupkan Kongres Komunis Internasional. Dalam laporan Lenin pada kongres kedua, ia kembali menekankan bagaimana imperialisme semakin kuat, dengan mencontohkan fakta tentang dunia yang terbelah-belah. Lenin memperkirakan sekitar 70 persen populasi global hidup di wilayah dengan situasi ekonomi politik yang ditindas. Ini menjadi faktor mengapa perjuangan pembebasan nasional negara-negara terjajah harus dimenangkan. 

Berakhirnya Perang Dunia I dan II yang berimplikasi pada kemerdekaan bangsa terjajah dari kolonialisme pendudukan militer, diikuti dengan masuknya negara-negara dekolonisasi menuju pasar tenaga kerja global, dianggap menandai tamatnya dominasi negara adidaya seperti Jerman, Belanda, Australia, Amerika Serikat, dan Jepang atas wilayah-wilayah pendudukan mereka. Melalui analisis historis, diikuti dengan pembahasan pemikir Marxist kontemporer yang meminggirkan teori imperialisme Lenin, King menyimpulkan bahwasannya imperialisme dalam narasi dominasi negara adidaya terhadap negara tertindas tak lagi relevan. Fakta masuknya ekonomi Tiongkok ke pasar kapitalisme pun membawa keyakinan lebih tinggi bagi para revisionis teori ini untuk semakin mempercayai bahwa konsep imperialisme sudah tak signifikan.

Pengaplikasian Teori Imperialisme di Era Kontemporer 

Bab tiga merupakan kelanjutan upaya King menyelami teori imperialisme dan pengaplikasiannya terhadap perkembangan ekonomi politik kontemporer. Jika di bab sebelumnya King fokus pada pemblejetan argumen para penentang, pada bagian ini ia mencoba menganalisis relevansi teori imperialisme Lenin. Menurut King, sikap Lenin mengartikulasikan teori imperialisme sangat penuh kehati-hatian. Pasalnya, imperialisme selalu memiliki beberapa aspek utama, di antaranya monopoli, parasitisme, pembusukan, eksploitasi, berlanjutnya produksi komoditas, reaksi politik dan meningkatnya kontradiksi sosial akut, serta konflik.  

Pada bagian ini, pembaca awam akan dibingungkan dengan berbagai definisi teoretis khas Marxist yang jarang dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Apalagi tatkala King mengulas perdebatan teori ilmiah atas kajian imperialisme secara lebih mendalam. Namun, karena penelitian King merupakan hasil riset doktoral filsafat, wajar jika nuansa perdebatan dalam buku ini sangat kental dengan perang wacana teoretis. Namun sebetulnya spektrum teoretis tersebut hanya terjadi di awal pembahasan saja, karena kemudian ia lebih lanjut memperdalam makna monopoli, dikaitkan dengan fakta relevan di lapangan. Salah satu contohnya misalnya persoalan riset dan pengembangan dalam ranah produksi yang menjadi inti monopoli di abad ke-21, dan hanya tersentralisasi di negara-negara imperialis.

Kapital Monopoli dan Nonmonopoli

Bab empat buku ini mencoba membangun argumen bagaimana produksi komoditas dalam kapitalisme kontemporer masih mempertahankan ‘perpindahan tidak setara’ dalam rantai produksi global. Ia memperdalam pembahasan dari bab sebelumnya yang menyatakan bahwa dekolonisasi sebagai upaya pemerataan proses (ekonomi politik) yang akan memakmurkan Dunia Ketiga adalah semu. King menyajikan data empiris mengenai rantai produksi global oleh berbagai perusahaan multinasional –baik yang bermarkas di negara Dunia Pertama maupun di Dunia Ketiga –dengan mengkaji tentang pembagian kerja. Ia membongkar rantai produksi komoditas bermerek dari Dunia Pertama yang memindahtangankan kerja perakitan mereka ke negara Dunia Ketiga. Contoh kasusnya adalah perusahaan Apple yang mengalihdayakan produksi ke Foxconn (Taiwan), tetapi tetap mempertahankan riset dan pengembangan perangkat lunak, desain, dan peranti teknologi di California. 

Dengan demikian, Apple secara efektif memangkas modal produksi, mengingat upah buruh perakit peranti di Tiongkok jauh lebih murah ketimbang Amerika Serikat. Di sisi lain, Foxconn tidak diberikan hak untuk mengakses hasil riset sebagai implikasi dari rezim hak paten dalam hukum internasional. Namun, pembagian kerja seperti ini hanya terjadi dalam produksi komoditas canggih. Komoditas yang relatif lebih mudah untuk diproduksi seperti tekstil atau alas kaki, tidak dikontrol oleh negara Dunia Pertama. Kasus ini merupakan contoh empiris bagaimana monopoli terjadi secara masif, menegaskan relevansi teori imperialisme Lenin di abad ke-21. 

Tiongkok Bukan Negara Imperialis

Di bab terakhir, buku ini menunjukkan kesalahan fatal bagi para penganut Marxist yang mempercayai bahwa Tiongkok merupakan negara imperialis baru. Dalam penyelidikan, King menunjukkan bahwa eskalasi riset dan pengembangan di Tiongkok masih jauh terbelakang dibandingkan dengan geliat di negara imperialis, padahal ekspansi perusahaan multinasional begitu menggeliat. Itulah mengapa menurut King, perang dagang yang melibatkan Huawei beberapa waktu belakangan tidak akan dimenangkan oleh Tiongkok. Hal tersebut terjadi karena Huawei belum mampu menciptakan chip mereka sendiri, alih-alih menggunakan material dari perusahaan berbasis di Amerika Serikat. Sehingga, kendati Tiongkok menunjukkan perkembangan industri pesat setelah masuk ke pasal global, mereka tidak akan mampu menyusul dominasi Amerika Serikat dan negara inti imperialis lain. King juga mengkritik propaganda oleh Amerika Serikat yang cenderung rasis. 

Kesimpulan

Secara umum, buku ini memberikan gambaran jelas untuk memahami mengapa hampir seluruh negara-negara Dunia Ketiga tidak dapat meningkatkan kualitas produksi secara mandiri, misalnya dengan mengubah industri manufaktur padat karya ke industri modal. Fakta ini memunculkan pertanyaan lanjutan untuk kita: apakah dekolonisasi sudah benar-benar direalisasikan secara tuntas?

Kekurangan dalam buku ini yakni munculnya berbagai wacana teoretis yang khas digunakan oleh intelektual Marxis. Hal tersebut membuat tulisan semakin sulit dipahami oleh pembaca di Indonesia, mengingat adanya sejarah kelam Genosida 65 yang banyak menyensor berbagai literatur Marxist bahkan hingga kini. Latar belakang Samuel T. King sebagai seorang doktor di dunia akademik, serta aktivitas dia dalam organisasi politik kepartaian membuat penelitian ini memiliki bobot berbeda pada kesimpulan akhir. Ia tak hanya berhenti pada relevansi teori imperialisme Lenin di abad ke-21 belaka. Lebih jauh, King mendorong persatuan kelas pekerja di negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghancurkan sistem kapitalisme dan imperialisme; moral intelektual yang sudah sangat jarang ditemui di lingkungan akademik kita hari ini.