Malas atau Antikapitalis? Wacana Rasis dalam Kolonialisme

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Alatas, Syed Hussein. 1977. The Myth of the Lazy Native: A study of the image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th century and its function in the ideology of colonial capitalism [Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial]. Penerbit Frank Cass. 


Dari zaman kolonial hingga hari ini, orang-orang pribumi di Asia Tenggara seringkali dicap dengan stereotip sebagai bangsa yang pemalas. Dalam karya monumental bertajuk The Myth of the Lazy Native, Syed Hussein Alatas membongkar mitos ini dan menjejaki asal-usul penyebutan “malas” dalam ideologi kapitalisme kolonial. Gambaran inlander yang malas justru dibaca sebagai konstruksi untuk menjustifikasi penjajahan serta mengabaikan perlawanan terhadap rezim kolonial. 

The Myth of the Lazy Native pertama kali terbit pada 1977, satu tahun sebelum Orientalisme oleh Edward Said lahir. Mirip dengan tesis Said, Alatas berargumentasi bahwa gambaran para penulis Barat atas bangsa-bangsa Timur senantiasa didistorsi dengan bias Eurosentris. Namun, jika karya Said kadang kala dituduh ahistoris lantaran membicarakan “Barat” dan “Timur” secara esensialis, sosiolog kelahiran Bogor ini justru menempatkan wacana Orientalis dalam sejarah kolonialisme dan proses ekonomi politik yang materiil. Alatas memaparkan bagaimana penjajah Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol sengaja menghancurkan kekuatan bangsa-bangsa pribumi lalu menghina ketika mereka menolak dieksploitasi dalam berbagai proyek perkebunan dan industri pertambangan milik penjajah. Bagi Alatas, Orientalisme merupakan hasil dari sejarah penjajahan. 

Dari Pujian ke Ejekan

Di masa awal ketika kapal-kapal Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara, bangsa-bangsa pribumi sering kali dipuji atas keterampilan mereka dalam kerajinan, pertanian, dan industri-industri kecil. Para saudagar dari Jawa, Melayu, dan Filipina juga terkenal sebagai kekuatan komersial besar yang pandai dan rajin dalam berdagang.  

Namun, sejak abad ke-18, citra tersebut mulai berubah. Tiba-tiba, para pribumi yang dulu dipuji, mulai diejek dan dijuluki sebagai pemalas. Apa alasannya? 

Secara garis besar, ada dua penjelasan yang ditawarkan Alatas atas kemunculan wacana ini. Pertama, kolonialisme berdampak besar pada masyarakat pribumi, sengaja menghancurkan kelas pedagang dan menyebarkan berbagai penyakit seperti malaria serta penggunaan candu. Kedua, definisi “malas” (lazy atau indolent) dalam ideologi kolonial mengabaikan kerja keras yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari para petani dan nelayan. Pasalnya, para penjajah hanya menghargai kerja dalam industri-industri milik kolonial yang umumnya ditolak oleh masyarakat pribumi. 

Sayangnya, wacana rasis tersebut tidak selesai dengan kemerdekaan dan pengusiran penjajah. Kata Alatas, stereotip tentang pribumi malas tetap memengaruhi wacana akademik dan kebijakan pemerintah. Jika dipantau lagi, setelah hampir setengah abad sejak penerbitan buku ini, sepertinya mitos pribumi malas masih belum mati juga, dan kritik Alatas tetap relevan di masa kini. 

Kapitalisme Kolonial

Alatas menegaskan bahwa “kapitalisme kolonial” di Asia Tenggara identik dengan monopoli. Kejayaan Belanda di bidang komersial diraih dengan kehancuran para pesaing dari bangsa-bangsa lokal melalui berbagai perjanjian dengan penguasa tempatan yang menjamin hak perdagangan eksklusif bagi Belanda. Alhasil, VoC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) menjadi satu-satunya aktor besar dalam perdagangan, sehingga kelas pedagang pribumi lambat laun menghilang. 

Syed Hussein Alatas

Gara-gara kolonialisme, kehidupan masyarakat pribumi menjadi kurang dinamis. Kegiatan ekonomi mereka dibatasi pada subsistensi dan perkebunan yang menyuplai Kompeni dengan berbagai komoditas yang mereka pasarkan. Ekonomi perkebunan diimplementasikan berlandaskan hierarki rasial yang mensubordinasi pekerja pribumi di bawah kalangan elit kulit putih. Di Jawa, dinamika tersebut muncul dalam sistem kerja paksa atau cultuurstelsel. Semua keengganan dan perlawanan bangsa pribumi terhadap sistem yang tidak manusiawi disalahtafsirkan oleh ideologi kolonial sebagai bukti kemalasan.

Pada skala lokal, para pendatang dari Tionghoa memenuhi peran sebagai pedagang-pedagang kecil. Dalam sistem rasial Belanda, hanya pribumi yang dikenakan kerja paksa, sehingga memungkinkan para pedagang asing untuk mendominasi kegiatan pasar. Konyolnya, kenyataan struktural ini lalu tercerminkan dalam wacana tentang “pribumi malas,” dan mereka kerap dibandingkan dengan bangsa Tionghoa yang dianggap rajin dalam bekerja dan berdagang. 

Menurut Alatas, kolonialisme justru menghalangi perkembangan ekonomi di tengah masyarakat Asia Tenggara. Alih-alih dimekarkan oleh kolonialisme atau dibiarkan berkembang secara mandiri, tanah jajahan dihisap dan direpresi. Seandainya elit lokal tidak dihancurkan dan disubordinasi sebagai kelas birokrat kolonial, Alatas berkeyakinan bahwa masyarakat pribumi pasti bisa meraih modernisasi secara mandiri dengan menyerap teknologi dan pemikiran yang sedang berkembang di Barat. 

Sebagian pembahasan Alatas terinspirasi oleh analisis Jose Rizal, seorang sarjana Filipina dari era kolonial yang pada 1890 menuliskan tentang “kemalasan bangsa Filipina.” Rizal mengakui bahwasannya bangsa Filipina terbelakang dan bersifat malas. Namun, ia tegaskan bahwa fenomena tersebut justru hasil dari penjajahan Spanyol yang telah membunuh sebagian besar penduduknya, merepresi, dan mencuri dari pengusaha-pengusaha lokal. Bagi Alatas, sama seperti Rizal, kebanyakan kekurangan dalam masyarakat pribumi justru bisa dilacak penyebabnya kepada proses penjajahan. 

Malas atau Antikapitalis?

Namun, layak dipertanyakan, apakah sifat “malas” yang disoroti para penjajah benar-benar harus dilihat sebagai kekurangan? Atau mungkinkah ada konflik dalam nilai yang membedakan ideologi penjajah dan kehidupan pribumi secara fundamental? 

Di Jawa, sistem cultuurstelsel dijustifikasi oleh kaum konservatif Belanda dengan alasan bahwa bangsa Jawa terlalu malas untuk dipekerjakan, kecuali kalau dipaksa. Di Semenanjung Melayu, bangsa Melayu dianggap terlalu sulit diatur, sehingga pemerintah kolonial Inggris mengimpor pekerja-pekerja dari Tiongkok dan India selatan untuk dikerahkan (secara terpaksa) dalam perkebunan karet dan pertambangan timah. Apakah fenomena ini benar-benar membuktikan bahwa masyarakat pribumi adalah pemalas? 

Tentu saja tidak. Alatas membantah mitos tersebut dengan menegaskan bahwa menyambung hidup di masyarakat petani atau nelayan pasti membutuhkan kerja keras. Kalau pribumi itu malas, ia pasti sudah lama punah. Namun, para penulis Eropa yang menjuluki demikian sebetulnya tidak pernah benar-benar melihat kehidupan desa di Jawa atau kampong di Malaya. Menurut Alatas, para penjajah hanya menghargai nilai kerja sebagai “bekerja” ketika aktivitas tersebut terjadi dalam produksi kapitalis yang menguntungkan penjajah.

“Yang membuat bangsa Melayu diberi julukan sebagai pemalas adalah penolakan mereka untuk dijadikan alat dalam sistem produksi kapitalisme kolonial” (72). Orang pribumi boleh saja bersusah payah menanam padi atau melaut mencari ikan, tetapi selama tidak mau diupah rendah sebagai buruh perkebunan tebu atau tambang timah, ia akan dianggap pemalas di mata penjajah. 

Sebaliknya, orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke Semenanjung Melayu dipuji sebagai pekerja yang baik dalam citra penjajah Inggris. Mereka mau (atau biasanya ditipu atau dipaksa) bekerja untuk mendapatkan upah harian (yang jarang juga cair) demi keuntungan kolonial. Mirip dengan orang-orang Tamil dari India selatan yang didatangkan dengan tujuan yang sama. Dalam sebuah tulisan oleh seorang Inggris, mereka diibaratkan sebagai hewan bagal yang mudah dipekerjakan. 

Kapitalisme –terlebih kapitalisme kolonial –membutuhkan sumber daya manusia murah yang tenaganya bisa dihisap demi keuntungan sebesar-besarnya. Entah melalui penggusuran petani atau dengan penculikan dan perbudakan, sistem kapitalis selalu berusaha memastikan adanya kelas pekerja untuk dieksploitasi. Proses proletarisasi tersebut tidak mungkin terjadi tanpa perlawanan. Namun konyolnya, perlawanan tersebut justru dipahami oleh para penjajah sebagai semacam cacat dalam bangsa pribumi. Jika ideologi kolonial melihat sikap pribumi sebagai bukti sifat pemalas, Alatas mendorong kita untuk menafsirkan kembali serta menghargai makna “malas” sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim kapitalis dan kolonial.

Siapa yang Malas? Siapa yang Salah?

Ironisnya, Alatas mencatat bahwasannya kaum kulit putih sendiri hampir tidak pernah terlibat dalam kerja keras dalam dunia kolonial Asia Tenggara. Mereka semua dimanjakan oleh hidup serba gampang karena dilayani terus oleh pembantu, babu, atau kuli. Mereka adalah kelas yang tidak produktif dan parasitik, bertambah kaya atas upaya orang-orang yang dijajah. Di dunia kolonial, yang malas justru adalah si penjajah. 

Menurut Alatas, wacana rasis yang sudah terbukti absurd ini bisa dipahami sebagai hasil dari “kegagalan dalam bertanggung jawab” (misplaced responsibility). Para penjajah “menyalahkan para pribumi untuk masalah-masalah yang mereka ciptakan sendiri” (205). Penjajahan telah menghancurkan kelas pedagang pribumi, mensubordinasi bangsa pribumi di dalam hierarki rasial, menyebarkan candu, memperluas sistem perbudakan, dan menyebabkan peningkatan kasus malaria. 

Lalu, mereka berani menyalahkan pribumi sebagai bangsa pemalas?