Pohon Menjulang, Angin Bersarang: Filologi Pertunjukan dan Pewujudan Realitas Budaya

Dipublikasikan oleh Wahyu Widodo pada

Arps, Bernard. 2016. Tall Tree, Nest of the Wind: The Javanese Shadow-play Dewa Ruci Performed by Ki Anom Soeroto – A Study in Performance Philology [Pohon Menjulang, Anging Bersarang: Wayang Dewa Ruci oleh Ki Anem Soeroto – Sebuah Studi Filologi Tampil]. NUS Press.


Pada tanggal 23-24 September 1987 di Amsterdam, Belanda, pementasan wayang kulit digelar dengan lakon Dewa Ruci, yang dibawakan oleh dalang kondang, Ki Anom Suroto (lahir: 11 Agustus 1948). Lakon ini mengkisahkan pencarian Bima atas makna kehidupan dan religiusitas (kawruh sangkan paraning dumadi). Pencarian ilmu asal-mula dan tujuan akhir kehidupan itu (the science of the whence and whither of being) disimbolkan dengan pohon menjulang, tempat angin bersarang (kayu gung susuhing angin). Pencarian yang penuh enigma tersebut dalam rangka memenuhi titah gurunya, Durna. Kisah ini menyedot perhatian penikmat wayang kulit di mancanegara, dan tentu saja masyarakat Jawa sendiri. Pertunjukan tujuh jam tersebut menjadi fokus kajian dalam buku ini. Tall Tree, Nest of the Wind, terjemahan atas frasa simbolik kayu gung susuhing angin, adalah hasil kajian yang komprehensif atas pertunjukan wayang kulit semalam suntuk itu. Buku ini menuntun pembacanya untuk memasuki dunia pentas Jawa sekaligus dunia batin masyarakat Jawa melalui beberapa pertanyaan kunci berikut: Bagaimanakah gerak-gerik boneka wayang di layar pipih dan tembus pandang tersebut (kelir) memiliki signifikansi bagi penontonnya? Lantas bagaimana bahasa Jawa yang dipakai dalam percakapan antar-tokoh tersebut dipahami? Dan bagaimanakah iringan musik yang mengiringi pementasan tersebut dipahami sebagai gerak-kesatuan dalam pementasan?

Melalui pertunjukan itu, Bernard Arps, Profesor bahasa Jawa dan Indonesia di Universitas Leiden, menyuguhkan cara pandang baru dalam mengkaji seni pementasan dengan mengawinkan dua disiplin, yakni kajian naskah klasik-tulis-tangan (philology) dan kajian pentas (performance). Bagaimana bisa dua disiplin yang memiliki perhatian yang berbeda tersebut dikawin-padukan? Kajian filologi bertumpu pada kajian teks klasik yang statis, sementara kajian pentas berfokus pada gerak pertunjukan yang dinamis? Arps mengatakan bahwa pengkajian teks dan pengkajian pentas tidak dipertentangkan antara yang satu dan yang lain dalam lahirnya induk ilmu humaniora tersebut, terutama di kesarjanaan Amerika dan Eropa (hal. 31). Lebih lanjut, ia menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pengkajian teks memiliki keserupaan dengan pengkajian pentas. Keserupaan itu setidaknya bisa dilihat dari lima hal: keterbuatan (artefactuality), ketercerapan (apprehensibility), ketersusunan (compositionality), kontekstualitas (contextuality), dan kesejarahan (historicity). Kelima hal tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait antar-unsurnya. Kelima prinsip dalam pengkajian naskah-tulis-tangan tersebut bisa diterapkan untuk mengkaji kajian pentas yang tentunya hasil kajian tersebut terpercaya dan andal (hal. 41). Melalui buku ini, Arps sesungguhnya membuktikan apa yang sedang ia formulasikan. Bagaimana keterandalan prinsip kerja filologi apabila diterapkan dalam menganalisis objek yang lebih luas: pertunjukan, pagelaran ritual, kajian media, dan kajian budaya lainnya. Baginya, filologi bukan hanya bertungkus lumus dengan membaca teks klasik-tulis-tangan. Lebih dari itu, filologi adalah cara kerja atau metode untuk memahami dan menggali pewujudan realitas budaya (worldmaking) melalui artefak kebudayaan. Secara terang, ia mengatakan bahwa “philology: the artefact-focused study of worldmaking” (hal. 62).

Lantas apakah pewujudan realitas budaya itu? Arps (1996; 1999) dalam karya awalnya menyebut fenomena ini sebagai diegesis tatkala ia mengkaji Kidung Rumeksa Ing Wengi dan dunia buku priyayi Jawa yang hidup pada pertengahan abad XX, Kartasupana. Kata worldmaking baru ia pakai dalam karyanya dalam kurun satu dasawarsa terakhir (Arps, 2017;  2018) . Konsep ini memang berkembang dan kemudian stabil dan konsisten digunakan dalam karya Arps. Untuk memahami konsep ini, saya akan mencoba membuat ilustrasi sebagai berikut. Dunia atau realitas yang saat ini kita hadapi bisa berbeda atau bisa sama dengan realitas/dunia yang diciptakan dalam artefak. Artefak di sini bisa berupa teks sastra, teks pertunjukan, dan semua unsur yang terkandung di dalamnya. Memahami secara komprehensif kelima unsur dalam suatu artefak akan mengungkap proses pewujudan realitas budaya tersebut

Bernard Arps

Contoh lain adalah datang dari dunia film. Istilah diegesis yang dipakai Arps (1996) meminjam dari kajian film. Tatkala ada musik dalam film, dan musik tersebut mendukung jalan kisah yang diperagakan oleh tokoh dalam film tersebut, maka musik tersebut digolongkan sebagai diegetic music. Akan tetapi, apabila musik tersebut sekadar pengiring, dan tidak tampak dimainkan oleh tokoh dalam film tersebut, maka disebut non-diegetic music. Dengan begitu, semua unsur dalam artefak ditujukan untuk membentuk realitas kebudayaan yang diingini oleh sang pembuat. Dari sini setiap artefak kebudayaan sejatinya disusun dan dibangun untuk menciptakan dunia atau realitasnya sendiri. Realitas tersebut bisa sama atau berbeda dari yang dihadapi oleh penikmatnya. Suatu artefak tersusun atas beberapa lapis. Lapis yang paling luar adalah lapis bahasa untuk kasus pertunjukan dalam buku ini. Melalui bahasa dan aksaranya, suatu artefak sedang menghadirkan realitas dengan kompleksitasnya. Sayangnya, ihwal penguasaan bahasa sebagai lapis penting tidak mendapat perhatian lebih oleh Arps, meski Arps menyadari betul pentingnya penguasaan bahasa ini. Ringkasnya, tugas pengkaji budaya adalah memahami dan menunjukkan bangunan realitas yang dikonstruksikan melalui artefak tersebut. Inilah misi disiplin ilmu filologi: yakni menemu-padukan pewujudan realitas kultural dalam artefak. Untuk memahami kompleksitas pementasan wayang kulit dan juga mengungkap proses pewujudan realitas kultural, Arps membuat sebuah edisi pertunjukan atasnya. 

Edisi Pertunjukan

Sebagaimana lazimnya kajian filologi yang menyuguhkan naskah klasik-tulis-tangan agar mudah diakses oleh pembaca, maka bentuk edisi naskah dibuat oleh filolog. Edisi naskah adalah menghadirkan dan menginterpretasikan sebuah naskah melalui serangkaian pembacaan, pengalihaksaraan, penerjemahan, dan penganotasian kata yang dibutuhkan untuk membuat naskah klasik tersebut mampu diakses dengan mudah oleh pembaca awam (Robson, 1988:11). Selain itu, pengantar ihwal teks juga perlu dihadirkan untuk memberikan gambaran konteks artefak. Bentuk edisi naskah sudah sangat berlimpah, misalnya adalah edisi naskah Śiwarātrikalpa karya Mpu Tanakung yang dikerjakan oleh Teeuw, Galestin, S.O. Robson, Worsley, & P.J. Zoetmulder (1969). Apa yang dilakukan Arps dalam membuat edisi pertunjukan wayang kulit lakon Dewa Ruci tersebut adalah serupa dan sebangun. Ia menyuguhkan edisi pertunjukan wayang kulit agar mudah diakses dan dipahami oleh pembaca modern, baik mereka yang berbahasa Jawa, maupun orang yang berbahasa Inggris (hal. 63-72). Dalam pertunjukan tersebut, Ki Anom banyak memperagakan adegan percakapan (antawacana) dan juga deskripsi suasana dan persona (sanggit) dalam bahasa Jawa klasik. Melalui edisi pertunjukan ini, Arps menyajikan teks pertunjukan yang dilengkapi dengan deskripsi bunyi dan penggalan gambar pentas. Setiap apa yang terjadi di kelir yang pipih itu dideskripsikan, ditranskripsi, ditransliterasi, dan diberi penjelasan (anotasi). Hal itu misalnya dalam adegan tatkala Bima pulang sowan dan pamitan ke ibunya, Kunthi, dan saudara-saudaranya. Bima dalam adegan tersebut minta restu akan menceburkan diri ke dalam samudra untuk menemukan air suci sebagaimana diperintahkan gurunya. Adegan itu sangat dramatis dan mengundang kesedihan. Untuk menghadirkan suasana sedih dalam adegan tersebut, dalang akan melantunkan sêndhon tlutur sebagai berikut 

surêm-surêm diwangkara kingkin kilau-sinarnya pupus 

lir manguswa kang layon seolah-olah menghendaki

denya ilang memanise sirnanya pesona-kilau itu

wadananira landhu kumêl kucêm wajahnya layu dan kusam

rahnya maratani darah mengalir

ooo

marang saliranipun keseluruh badannya

mêlês dening ludira kawangwang dia tampak berkilau karena merahnya darah

nggêgana bang sumirat langit memerah-darah

ooo

(hal. 354-355).

Pelantunan sêndhon tlutur di atas biasanya juga dipakai tatkala adegan kematian seorang satria dalam perang, misalnya, meninggalnya Karna dalam lakon Banjaran Karna. Penggalan di atas adalah sekelumit deskripsi dari edisi pertunjukan. Pembaca-sekaligus-penonton wayang kulit disuguhi lakon Dewa Ruci dalam bentuk teks pertunjukan yang lengkap (hal. 108-605). Deskripsi yang rigid dan rapi itu, memberikan gambaran bagi pembaca modern untuk menjangkau bagaimana pentas wayang kulit yang rumit dan kompleks itu bisa dipahami. Kesebangunan dan keserupaan kerja antara pengkajian teks dan pengkajian pentas tersebut yang menginisiasi lahirnya pendekatan baru: filologi pertunjukan (hal. 41-62). Filologi bertujuan untuk mengapresiasi dan memahami sebuah artefak tulis-tangan, yang mungkin berasal dari abad silam. Dalam kerangka filologi yang diperluas, objek material yang ditangani tidak semata pada korpus teks-tulis, tetapi juga bisa teks-lisan yang dipentaskan sebagaimana wayang kulit, peragaan ritual, bahkan ceramah keagamaan di Youtube. Melalui perspektif tersebut, upaya filologi yang diperluas ini akan mampu mengungkap pertanyaan mengapa dan bagaimana dalam pewujudan realitas kultural dibalik suatu artefak.

Mengundang Perdebatan

Gagasan Arps ini memantik dan mengusik pembicaraan hangat di kalangan pengkaji Asia Tenggara. Pembahasan yang bernas itu diwadahi dalam sesi perdebatan sebagaimana tertulis di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 173 (2017), hal. 115–131. Perdebatan itu juga memberikan kesempatan Arps untuk menjawab dan sekaligus membantah anggapan dan pembacaan yang keliru atas buku tersebut. Salah satunya adalah pertanyaan tajam dari Foley, pengajar di University of California, Santa Cruz: “Tradisi tidak memiliki kepedulian berapa jumlah ketukan cempala dan setiap jeda dalang tatkala pementasan, apakah pembaca dituntut juga memiliki kepedulian tersebut?” Pertanyaan ini muncul menanggapi anotasi yang detil di buku tersebut, yang di dalamnya memuat deskripsi bunyi cempala pada kotak wayang (dherodog). Arps menjawab pertanyaan itu bahwa setiap ketukan cempala pada kotak wayang menandakan transisi dari satu cerita ke cerita lain, dari satu suasana ke suasana lain dalam pementasan. Memang, detil itu dibutuhkan untuk menerang-jelaskan apa yang terjadi pada pertunjukan. Perdebatan ini layak disimak dan dibahas tersendiri. Ringkasnya, perdebatan itu menunjukkan kokohnya argumentasi teoretik yang dibangun dan detilnya data disusun untuk memformulasi lahirnya gagasan filologi pertunjukan. Ia lahir bukan atas lamunan kosong. Ia lahir dari hasil endapan teoretik yang berlangsung sepanjang karier akademik penulisnya, dan juga hasil olah-bongkar data selama lebih dari dua dasawarsa.

Keterbandingan

Apa yang silap diformulasikan oleh Arps dari kerja filologis adalah kerangka pikir perbandingan. Dari kelima hal di atas, keterbandingan (comparability) adalah cara kerja filologis yang utama yang seharusnya juga menjadi perhatian dalam merumuskan kerja filologi yang diperluas. Keterbandingan merupakan penjajaran dan penyandingan artefak dalam lingkungan dan memiliki unsur yang sama untuk dikaji keduanya secara memadai. Hal itu, sebagaimana dilakukan oleh Arps (1992; 2018), sayangnya luput diformulasikan. Melalui kerangka kerja bandingan, linguistik bandingan (historical linguistic) dan kekerabatan bahasa lahir dan tumbuh subur di Eropa. Lebih dari itu, keterbandingan pula yang menginisiasi lahirnya studi politik lintas kasus dan negara di bidang kajian politik kawasan (Turner, 2014:xiv). Filologi pertunjukan sendiri tidak akan mungkin lahir kalau tidak ada perbandingan antara apa yang tertulis di dalam teks, misalnya, dalam Serat Dewa Ruci dan pertunjukan wayang itu sendiri.  Melalui keterbandingan kita bisa melihat dengan tepat perluasan dari teks dan konteks dalam suatu artefak ke artefak yang lain (entextualization). Di atas segalanya, buku ini menunjukkan bahwa tidak bisa disangsikan kuatnya pengaruh kerangka kerja filologis dalam studi humaniora. Sayangnya, ilmu ini lambat laun terlupakan karena tuntutan praktis dari liberalisasi ilmu pengetahuan selama kurun dua dasawarsa terakhir. Akan tetapi, berbekal usaha yang gigih dan pantang menyerah sebagaimana Bima menemukan pohon menjulang, tempat angin bersarang, penelitian filologi yang diperluas mendesak untuk tetap dipertahankan dan dilakukan pada masa mendatang.

 

Daftar Rujukan

Arps, B. (1992). Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese Literature. London, University of London: School of Oriental and African Studies (SOAS).

Arps, B. (1996). The Song Guarding at Night: grounds for cogency in a Javanese incantation. In S. C. Headley (Ed.), Towards an Anthtropology of Prayer: Javanese Ethnolinguistic Studies/ Vers une anthropologie de la prière: études ethnolinguistiques javanaises (pp. 47–113). Aix-en-Provence: Publications de l’Université de Provence.

Arps, B. (1999). How a Javanese Gentleman Put His Library in Order. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 155(No. 3), 416–469.

Arps, B. (2017). Flat puppets on an empty screen, stories in the round Imagining space in wayang kulit and the worlds beyond. Wacana, 17(3), 438. https://doi.org/10.17510/wacana.v17i3.455

Arps, B. (2018). Drona’s betrayal and Bima’s brutality: Javanaiserie in Malay Culture. In Traces of The Ramayana and Mahabharata in Javanese and Malay Literature (pp. 58–98). Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Robson, S. O. (1988). Principles of Indonesian Philology. Dordrecht, Holland/Providence- U.S.A: Foris Publications.

Teeuw, A., Galestin, T. P., S.O. Robson, Worsley, P. J., & P.J. Zoetmulder. (1969). Śiwarātrikalpa of Mpu Tanakun: An Old Javanese Poem, Its Indian Source and Balinese Illustrations. The Hague: Bibliotheca Indonesica, KITLV Press.

Turner, J. (2014). Philology: The Forgotten Origins of the Modern Humanities. Princeton, Oxford: Princeton University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctt5hhrxf

Kategori: Jawaseni

Wahyu Widodo

Mahasiswa Doktoral di Leiden Institute of Area Studies, dan juga pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang.