Marxisme dan Rasisme: Perspektif Tradisi Radikal Kulit Hitam

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Robinson, Cedric. 1983. Black Marxism: The Making of the Black Radical Tradition. (Marxisme Kulit Hitam: Pembentukan Tradisi Radikal Kulit Hitam) Penerbit Universitas North Carolina.


Marxisme merupakan wacana radikal yang memberontak dari dalam masyarakat Eropa sendiri untuk melawan kapitalisme dan penindasannya. Tetapi, apakah tradisi Marxis sanggup mendekonstruksi hegemoni peradaban Eropa modern secara lebih menyeluruh? Apakah Marxisme mampu memahami isu-isu seperti rasisme, perbudakan, dan juga menjelaskan masyarakat agraris? Pertanyaan inilah yang dilontarkan oleh Cedric Robinson dalam karya monumentalnya, Black Marxism.

Buku ini tidak sekadar menceritakan pemikiran para tokoh Marxis berkulit hitam saja. Alih-alih, Black Marxism membandingkan asumsi-asumsi dasar dalam Marxisme dengan sejarah yang dialami orang-orang Afrika yang diperbudakkan serta pemikiran radikal yang dikembangkan oleh keturunan mereka.

Buku ini terbagi dalam tiga bagian besar. Pada bagian yang pertama, Robinson mengkaji ulang sejarah awal pertumbuhan kapitalisme di Eropa, dengan menekankan betapa perkembangan ekonomi diwarnai oleh hierarki ras dan etnis dalam peradaban Eropa. Bagian ini belum membahas sejarah orang-orang kulit Hitam, tapi melacak akar-akar kapitalisme dan rasisme dalam tubuh Eropa sendiri.

Pada bagian kedua, Robinson mulai membahas sejarah orang-orang berkulit Hitam di bawah penjajahan dan perbudakan Eropa serta awal tumbuhnya tradisi radikal kulit Hitam dalam kondisi penindasan tersebut.

Bagian ketiga memprofil tiga tokoh intelektual besar dalam tradisi radikal kulit Hitam dari akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, yaitu W.E.B. Du Bois (1868-1963), C.L.R. James (1901-1989), dan Richard Wright (1908-1960). Robinson mencatat bahwa mereka semua mulai membangun pemikiran radikal di dalam naungan Marxisme, tapi pada akhirnya menyadari berbagai keterbatasannya dan mencari solusi di tradisi radikal kulit Hitam.

Karya ini mengandung beberapa argumen pokok yang hadir dan dikembangkan sepanjang buku, yaitu:

  • Kapitalisme tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya yang rasis, dan turut diwarnai oleh rasisme tersebut. Inilah tesis dari apa yang disebut dengan “racial capitalism” (kapitalisme rasial).
  • Buku ini mencetuskan konsep dan istilah “the Black radical tradition” (tradisi radikal kulit Hitam), yaitu tradisi pemberontakan melawan kapitalisme rasial di Eropa, yang tumbuh dari pengalaman ketertindasan di bawahnya serta latar belakang budaya Afrika yang dimiliki bersama.
  • Marx salah dalam menempatkan kelas buruh kota Eropa sebagai aktor sejarah yang paling radikal dan berpotensi untuk mengalahkan kapitalisme. Sebenarnya, tradisi radikal kulit Hitam lebih radikal dari itu, karena berasal dari luar Eropa sendiri dan bisa menjadi negasi yang lebih menyeluruh. (Ini mirip pemikiran Fanon dan Mao.)
  • Marxisme menjadi sumber inspirasi yang kaya bagi para tokoh intelektual Hitam radikal. Tetapi, karena berbagai keterbatasannya dalam menganalisis kapitalisme rasial, mereka harus melampauinya dan lebih berpaling pada khazanah tradisi radikal kulit Hitam sendiri.

Poin terakhir ini juga terlihat dalam pendekatan Robinson sendiri. Ia menggunakan banyak konsep dan analisis yang berasal dari Marx, tapi juga sering mengkritisi kelemahannya. Sama seperti tokoh-tokoh yang diprofilnya, Robinson tidak bisa tergolong sebagai Marxis yang ortodoks, tapi juga tidak bisa seutuhnya ditempatkan di luar tradisi Marxis.

Bagaimanapun, buku ini layak tergolong bacaan wajib bagi semua Marxis yang juga berusaha memahami dialektika kuasa dalam konteks sosial yang tidak dapat direduksi kepada kelas semata (misalnya yang diwarnai oleh etnis, budaya, kekerabatan, agama, dan gender).

 

“Kapitalisme Rasial”

Dalam bagian pertama Robinson bertujuan menunjukkan bahwa rasisme (yang ia sebut sebagai racialism) adalah faktor besar dalam perkembangan kapitalisme sedari awal sejarahnya.

Argumen ini menolak pemahaman Marxis ortodoks yang sering menganggap rasisme sebagai produk yang dihasilkan atau diperalat oleh kapitalisme dan budaya borjuis. Ide ini mengikuti dogma bahwa budaya dan ideologi (yaitu “superstruktur” dalam bahasa Marxis) adalah buah hasil dari relasi ekonomi-politik yang lebih dasar (disebut “landasan” atau base). Dalam pandangan ini, rasisme itu dipahami sebagai gejala semata.

Cedric Robinson

Akan tetapi, Robinson menegaskan bahwa sikap dan ideologi “racialism” memainkan peran penting sebagai “kekuatan materiil” (material force) yang sangat mendasar dalam perkembangan sejarah Eropa. Menurutnya, rasisme ada sebelum kapitalisme, dan rasisme itu turut membentuk dan mewarnai kapitalisme dalam sejarah perkembangannya. Maka darinya, Robinson menggunakan istilah “kapitalisme rasial” (racial capitalism) untuk menandai sistem ekonomi kapitalis yang tidak hanya memperalat rasisme, tapi juga dibentuk oleh rasisme itu sendiri.

Dalam bab 1, Robinson melacak pemikiran hierarkis dalam sejarah Eropa yang membedakan atara suku etnis dan kelas, khususnya dengan konsep perbedaan kualitas “darah” di antaranya. Kapitalisme, karena lahir dalam konteks ini, terus mempertajam sistem pembedaan ini dan mendorong perkembangan rasisme sebagai landasan ideologis bagi dominasi dan eksploitasi bangsa dan suku lain oleh kaum borjuis.

Bab 2 menujukkan bahwa sejak awal pertumbuhan kapitalisme di Inggris, perkembangannya sudah diwarnai oleh antagonisme antaretnis. Kapitalisme tumbuh seiring dengan penjajahan Irlandia oleh kerajaan Inggris. Dari awal, relasi produksi dan kondisi kerja dipengaruhi hierarki etnis. Buruh Irlandia digaji jauh lebih kecil dan dicap pemalas oleh para kapitalis. Pada kelas proletar Inggris, kesadaran kelas malah kalah dengan kebanggaan nasional-etnis. Maka darinya, mereka sering lebih membanggakan keunggulannya di atas para buruh Irlandia daripada bersolidaritas dengannya sebagai sesama kaum buruh.

Lagi-lagi, Robinson tidak melihat rasisme ini sebagai alat kaum borjuis untuk memecah-belah kaum proletar, tapi sebagai sesuatu yang sudah laten dalam budaya proleter sendiri. Semua dinamika ini mempermasalahkan konsep Marx bahwa kaum proletar pasti akan disatukan dalam kesadaran kelas untuk membuat revolusi yang mengalahkan kapitalisme. Pada kenyataannya, racialism berhasil merusak kesadaran tersebut dengan memecah-belah kaum proleter berdasarkan hierarki etnis.

Bab 3 membahas hubungan Marxisme dengan nasionalisme. Marx dan Engels sendiri menganggap bahwa penguasaan negara-bangsa terkait erat dengan pertumbuhan kapitalisme dan munculnya kaum proletar. Mereka melihat negara-bangsa sebagai medan perjuangan, dan menganggap bahwa awal pembebasan proletar itu harus terjadi pada tingkat nasional pada negara-negara yang sudah terindustrialisasi. Namun, menurut Robinson, Marxisme masih cenderung meremehkan faktor budaya (sebagai “superstruktur”) dalam kesadaran kelas dan perjuangannya, baik di Eropa sendiri maupun di negara-negara terjajah di Afrika, Asia, dan Amerika.

 

Akar-akar Tradisi Radikal Kulit Hitam

Menurut Robinson, pemberontakan dan pemikiran radikal yang dibangun oleh diaspora Afrika di hadapan kapitalisme rasial Eropa merupakan sebuah tradisi radikal yang besar dan unik. Ini istilah dan konsep yang relatif baru. Sebelum Robinson, berbagai macam pemberontakan dan kritik yang dibangun oleh orang-orang kulit Hitam dalam sejarah lebih cenderung dipandang sebagai fenomena-fenomena yang terpisah. Namun, menurut Robinson, semua sejarah radikal ini punya akar yang sama, yaitu latar belakang peradaban dan budaya Afrika yang sama sekali bentrok dengan budaya borjuis Eropa. (Ini juga kenapa Robinson kadangkala dikritisi dan dituduh telah terbawa esensialisme budaya.)

Sayangnya, menurut Robinson, tradisi radikal besar ini jarang diakui dalam penulisan sejarah dan ingatan kolektif. Kenapa? Sebuah faktor besar, yang dibahas dalam bab 4, adalah narasi dehumanisasi yang dibangun Eropa terhadap orang-orang Afrika. Robinson mengklaim bahwa dehumanisasi ini sebenarnya bisa dilacak ke penghinaan yang dialami Eropa di bawah dominasi peradaban Islam Afrika pada zaman pertengahan. Maka, hal ini mendorong pembangunan citra “Negro” bagi bangsa Afrika, yang menghapus segala sejarah peradaban dan kejayaan Afrika dan menggambarkan bangsa itu seakan-akan di luar sejarah—sebagai sosok yang primitif. Narasi dehumanisasi ini lah yang melandasi proyek penjajahan dan perbudakan. Menurut Robinson, ini juga menjadi alasan kenapa tradisi radikal kulit Hitam diabaikan dalam sejarah dan pemberontakannya disepelekan.

Bab 5 membahas sistem perdagangan budak trans-Atlantik (transatlantic slave trade, abad ke-16 sampai abad ke-19) dan menempatkannya sebagai unsur penting dalam perkembangan kapitalisme global. Di sini, Robinson mengutip Marx bahwa perbudakan merupakan kasus “akumulasi primitif” (primitive accumulation) yang paling penting. Dalam Marxisme, “akumulasi primitif” menandai proses di mana para kapitalis pertama-tama berhasil mengumpulkan cukup banyak modal untuk membangun sistem kapitalis. Marx menyatakan bahwa modal awal ini tidak dikumpulkan secara damai, tapi biasanya dirampas dengan kekerasan: “ditulis dalam huruf-huruf darah dan api.” Demikianlah, penculikan dan perbudakan terhadap orang-orang Afrika merupakan proses biadab yang menyediakan kaum elit Eropa dengan cukup banyak “modal manusia” (human capital) yang mulai memotori sistem kapitalis. Maka dari itu, kapitalisme itu tidak hanya diwarnai oleh budaya rasisme Eropa, tapi juga dibangun atas eksploitasi perbudakan berbasis ras.

Penindasan ini berperan sebagai lahan yang subur untuk pertumbuhan tradisi radikal yang melawannya. Setelah memaparkan latar belakang ini dalam bab-bab sebelumnya, bab 5 akhirnya mulai membahas “tradisi radikal kulit Hitam” sendiri dalam sejarah. Bab ini menceritakan banyak kasus di mana orang-orang Afrika yang diperbudakkan, tidak pernah benar-benar “menjadi budak” yang pasrah kepada ketertindasannya (hal. 124). Ada banyak kasus pelarian dan pemberontakan yang bahkan berakhir dengan pendirian komunitas-komunitas merdeka di luar kuasa penjajah. Yang terbesar termasuk Palmares di Brasil pada abad ke-17 dan Revolusi Haiti pada pergantian abad ke-19. Robinson menegaskan bahwa gerakan-gerakan radikal ini diwarnai oleh kepercayaan khas yang dianut oleh para orang berkulit Hitam yang terlibat, seperti obeah dan voodoo.

Robinson menggambarkan bagaiamana sejarah ini dibentuk tidak hanya oleh kondisi material dan penindasan yang dialami orang-orang ini, tapi juga oleh budaya Afrika sendiri. Ia tulis:

“Pencapaian ini [pemberontakan] sebagai fenomena struktural terkait erat dengan sistem global (world system) dan penyebaran imperialis yang didorongnya. Namun, koherensinya bersandar pada identitas ke-Afrika-an masyarakat yang terlibat. Sebagai proses struktural, dinamikanya terpusat pada penyebaran imperialisme sendiri. Ialah dialektika antara imperialisme dan pembebasan, yaitu kontradiksi yang mendorong munculnya perlawanan dan pemberontakan dari dalam kondisi penindasan—bahkan dalam ideologinya.” (hal. 166)

Dalam bab 7, Robinson agaknya menggemakan pemikiran Frantz Fanon dengan menegaskan bahwa pembebasan bagi subyek berkulit hitam itu lebih bersifat internal atau psikologis ketimbang eksternal material. Maksud dari argument ini adalah bahwasanya yang paling penting adalah pelestarian kesadaran kulit Hitam sebagai aktor sejarah—sebagai agen—yang sama sekali menolak pengertian “Negro” yang menempatkannya sebagai budak semata.

 

Marxisme dan Pemikiran Radikal Kulit Hitam

Bagian ketiga dari buku ini memprofil tiga tokoh besar dalam awal pertemuan antara Marxisme dan tradisi radikal kulit Hitam. Ketiga tokoh yang diangkat di sini—yaitu W.E. B. Du Bois, C.L.R. James, dan Richard Wright—berasal dari diaspora Afrika di Amerika, baik kepulauan Karibia maupun Amerika Serikat. Mereka berasal dari masa pascapenghapusan perbudakan, yang mana masih merupakan masyarakat yang penuh dengan rasisme, eksploitasi, dan penindasan.

Robinson mencatat bahwa secara umum, para intelektual ini berasal dari kaum elit dalam kalangan kulit Hitam. Posisi mereka dalam petite bourgeoisie (atau kaum borjuis kecil), memberinya berbagai peluang dan juga halangan. Karena aksesnya terhadap pendidikan, mereka sempat terpapar terhadap literatur pemikiran radikal Eropa, terutama Marxisme. Namun demikian, latar belakang kelas dan pendidikan ini juga mewarnai pandangan dunia mereka sehingga menjadi lebih susah bagi mereka untuk mengkritisi budaya dan ideologi borjuis-Barat. Masalah demikian ini juga menghantui para pemikir revolusioner Eropa sendiri, yang juga biasanya berasal dari kaum borjuis kecil.

Robinson menempatkan Marxisme sebagai batu loncatan bagi para pemikir kulit Hitam ini. Tradisi Marxis lah yang mulai menyediakan mereka dengan kosakata dan alat analisis untuk mengkritisi kapitalisme. Tapi menurut Robinson, semua pemikir ini akhirnya juga menyadari keterbatasan Marxisme sebagai ilmu pembebasan yang menyeluruh, sehingga mereka mencari solusi dalam tradisi radikal kulit Hitam sendiri.

Bab 9 membahas pemikiran W.E.B. Du Bois (1868-1963), yang Robinson sebut sebgai “simpatisan yang kritis bagi Marx” (hal. 207). Dalam karyanya Black Reconstruction, Du Bois banyak membenarkan analisis Marx, tapi juga menawarkan beberapa kritik. Du Bois menempatkan kalangan berkulit Hitam yang dulu diperbudakkan sebagai kaum yang paling revolusioner. Ini berbeda dengan pandangan Marx, yang menganggap kaum proletar kota sebagai kelas yang paling radikal. Hal ini membuat Marx percaya bahwa revolusi bergantung pada kesadaran kelas proletar.

Robinson setuju dengan Du Bois dalam hal ini, dan ia menegaskan bahwa kaum kulit Hitam tetap diperas dalam kapitalisme, namun tetap berada di luar logika sistem tersebut. Maka darinya, mereka lebih kebal dari bius ideologi borjuis-imperialis, dan mereka lah yang sebenarnya merupakan kelas yang paling revolusioner.

Dalam bab 10, Robinson mengangkat figur C.L.R. James (1901-1989), seorang pemikir dan aktifis asal Trinidad yang menulis buku berjudul The Black Jacobins. Karya ini menceritakan kisah revolusi Haiti (1791-1804). James mengambil sikap terhadap Marx yang berbeda dari dari Du Bois dan Robinson: dengan mengidentifikasi orang-orang yang diperbudak di Haiti sebagai semacam kaum proletar a la Marx. Lagi-lagi berbeda dari Du Bois dan Robinson, James menganggap bawha kaum proletar di Eropa dan kaum budak di koloninya sama-sama punya potensi revolusioner karena kedua lokasi mempunyai peran yang sama-sama penting dalam perkembangan kapitalisme.

Satu tema lain yang Robinson soroti dalam pemikiran James ialah peran dari pemimpin dalam gerakan pembebasan rakyat. Ia menyadari bahwa kebanyakan teoris revolusioner (termasuk dia sendiri) berasal dari kaum borjuis kecil, bukan kaum proletar sendiri. Tapi, mereka juga sangat berpotensi untuk mengkhianati revolusi. Dalam kasus revolusi Haiti, James tegaskan bahwa pemimpinnya, Touissant Louverture (1743-1803) akhirnya terbukti terlalu dekat dengan budaya dan ideologi Perancis, sehinggi ia menghalangi dan melawan semangat radikal dari rakyat budak yang dipimpinnya sendiri. Akhirnya, James menaruh harapan revolusioner pada rakyat sendiri, bukan para elit yang dengan “sok” memimpinnya.

Tokoh ketiga yang diprofil adalah Richard Wright (1908-1960), yang diangkat dalam bab 11. Berbeda dengan Du Bois dan James, Wright tidak berasal dari kalangan elit kulit Hitam, melainkan dari rakyat miskin agraris di wilayah selatan Amerika Serikat. Seorang pengarang novel sekaligus aktifis partai komunis AS, Wright menggunakan karya-karya fiksinya sebagai wadah untuk mengembangkan pemikiran Marxis yang lebih merakyat, dengan berangkat dari citra proletar yang lebih akurat.

Wright menolak ide bahwa kaum proleter secara alami akan berkesadaran kelas dan ikut memperjuangkan komunisme. Dalam novelnya berjudul Native Son, ia menunjukkan bahwa seorang pekerja miskin berkulit Hitam belum tentu berpolitik progresif, tapi “mengandung kemungkinan baik untuk Komunisme maupun untuk fasisme” (297). Sama seperti Du Bois dan James, Wright juga menyatakkan bahwa perlawanan terhadap kapitalisme yang paling kuat tidak selalu berasal dari kaum proletar. Yang lebih teralienasi—maka lebih radikal—menurut Wright, adalah rakyat dan budaya kulit Hitam.

Menuju Pembebasan Total

Dalam bagian penutup, Robinson menulis:

Marxisme Barat … telah terbukti tidak cukup radikal untuk melihat dan menghapus rezim “rasialis” yang mencemari analisisnya … atau untuk menyadari implikasi-implikasi dari asal-usul Marxisme sendiri dari kelas [borjuis kecil]. … maka [Marxisme] sering disalahkirakan sebagai sesuatu yang ia sebenarnya bukan: sebuah teori bagi pembebasan total. (317)

Kata total di sini penting. Menurut Robinson, Marxisme sebagai perangkat analisis untuk memahami bahwa kapitalisme (bukan “kapitalisme rasial”) tidak sanggup untuk mendekonstruksi keseluruhan dari sistem penindasan yang berlaku.

Sebagai alternatif, ia menawarkan tradisi radikal kulit Hitam. Dalam bagian kedua, Robinson menunjukkan bahwa tradisi radikal ini sudah berakar lama dalam sejarah pemberontakan dalam diaspora kulit Hitam sejak awal era perbudakan. Namun, dengan para cendekiawan yang dikaji dalam bagian ketiga, Robinson mengatakan bahwa tradisi ini “bertransformasi menjadi sebuah konfrontasi yang sungguh-sungguh terhadap dominasi Eropa.” Yang dikembangkan dalam tradisi ini adalah “perlawanan total” (total opposition) (hal. 312).

Bagi pembaca yang akrab dengan tradisi Marxis, buku ini melontarkan kritik dan argumen yang menusuk cukup dalam. Sebaliknya, seorang Marxis pasti akan mempunyai berbagai kritik terhadap buku ini juga. Tapi mending kita menanggapinya bukan secara dikotomis, tapi secara dialektis. Buku ini (dan Tradisi Radikal Kulit Hitam secara umum) merupakan sebuah antitesis dari Marxisme yang telah dan senantiasa menyadarkan tradisi Marxis arus utama atas pentingnya ras dan budaya dalam analisis kapitalisme dan penindasan.

Kategori: Marxisme