Senjata makan tuan: bagaimana Pencerahan menjadi mitos

Dipublikasikan oleh Andre Prayoga pada

Horkheimer, Max, dan Theodor W. Adorno. 1947 [1998]. Dialektik der Aufklärung. Philosophische Fragmente (Dialektika Pencerahan: Fragmen-Fragmen Filosofis). Penerbit S Fischer Verlag. 


Theodor Wiesengrund Adorno—seorang sarjana filsafat—dan Max Horkheimer—seorang sarjana psikologi—adalah dua tokoh intelektual asal Jerman yang termasyhur dalam mazhab Teori Kritis Frankfurt. Karena latar belakang Yahudi mereka, Adorno and Horkheimer memutuskan untuk bermigrasi ke New York, Amerika Serikat ketika rezim Nazi sedang berkuasa. Mengalami masa-masa pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan modern, namun juga dua perang terbesar dalam sejarah umat manusia sekaligus pertentangan antarideologi besar—seperti fasisme, komunisme, nasionalisme, dan liberalisme—Adorno dan Horkheimer sangat terkejut atas bagaimana kemajuan yang diwarisi dari Abad Pencerahan justru menyeret manusia ke dalam bentuk baru dari aksi-aksi “barbar”: misalnya, banyaknya genosida yang dilaksanakan dengan cara dan justifikasi rasionalitas. Di saat yang sama, dogmatisasi Marxisme yang dilakukan oleh partai komunis di Soviet Russia juga telah mengecewakan banyak intelektual-intelektual kiri.

Di New York, dengan situasi dunia yang sedemikian penuh sesak dengan polemik-polemik besar, magnum opus Adorno and Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments lahir. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1944 di New York, kemudian direvisi di Amsterdam pada tahun 1947 dan menjadi populer di kalangan pelajar di era 1960-an. Sebagai subjudul, “fragmen-fragmen filosofis” (philosophical fragments) merujuk kepada antitesis atau refleksi terhadap narasi besar ideologi-ideologi yang populer kala itu, karenanya Adorno dan Horkheimer lebih mengutamakan pendekatan induktif dalam mencapai pemahaman akan keseluruhan, atau totalitas metanaratif. Buku ini membawa pemikiran Nietzsche dan Freud ke dalam epistemologi Marxisme; sesuatu yang tidak biasa di kalangan pemikir Marxis. Buku ini juga mengesampingkan pendekatan Marxisme ortodoks yang menekankan basis (ekonomi) atau materialisme historis (pertentangan kelas). Alih-alih, buku ini lebih mengutamakan pendekatan superstruktur (sosial budaya). Maka, tidak mengherankan jika pembaca tidak akan menemukan analisis ekonomi dan sejarah masyarakat sebagai sejarah perjuangan kelas dalam buku ini. Yang banyak dibahas adalah mitos Yunani kuno sebagai analogi untuk mencapai pemahaman tentang Pencerahan sebagai mitos.

Selain poin di atas, buku ini juga memberikan kesan pesimis kepada kaum-kaum pergerakan revolusioner karena penolakannya terhadap konsepsi teleologi Pencerahan. Dengan mengamati kebudayaan kaum urban di Amerika Serikat pada saat itu, Adorno dan Horkheimer bahkan melihat adanya tendensi otoritarian secara halus lewat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat Amerika Serikat yang liberal. Mereka berkata, “Macht und Erkenntnis sind synonym”—pengetahuan dan kekuasaan adalah sinonim. Jadi, barang siapa yang menguasai pengetahuan, maka dialah yang berkuasa.

Bagi Adorno dan Horkheimer, hilangnya rasa kemanusiaan berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diwarisi dari abad Pencerahan. Mengutip dari pernyataan Kant:

Pencerahan (Aufklärung) adalah kebangkitan manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Ketidakdewasaan ini adalah ketidakmampuan dalam menggunakan pemahamannya secara mandiri tanpa petunjuk dan bimbingan dari sumber-sumber lain (yang bersifat otoritatif atau takhayul). (Kant, Immanuel: Schriften zur Anthropologie, Geschichtsphilosophie, Politik und Pädagogik 1. Werkausgabe Band XI (Hrsg. Weischedel, Wilhelm). Wiesbaden 1968, p. 53.)

Pencerahan menjanjikan suatu masa yang akan datang di mana akal budi akan menjadi jalan utama untuk mengungkap rahasia alam sehingga menjadikan manusia tuan dalam struktur alam semesta dan menciptakan masyarakat madani berdasarkan prinsip sekularisme, persamaan hak dan kebebasan individu. Proyek rasionalisasi (disebut juga demitologisasi) terhadap dunia pelan-pelan mengkonsepsikan linearitas sejarah—istilah filosofisnya teleologi—yang tunggal. Proyek ini berasumsi bahwa alam pikiran manusia sudah pasti akan menuju ke arah dunia akal sehat (common sense) yang menggantikan peran mitos dalam menjelaskan fenomena alam semesta. Namun, usaha ini malah menggeser cita-cita rasional dari Pencerahan menjadi sekadar mitos belaka—setidaknya dari pengamatan Adorno dan Horkheimer.

Menurut Adorno dan Horkheimer, mitos dan Pencerahan memiliki kesamaan sebagai konsepsi dan usaha untuk menjelaskan fenomena alam semesta. Manusia menggunakan mitos dan Pencerahan untuk menentukan arti dan relasi—seperti kausalitas, antagoni dan protagoni—di dunia. Mitos dan pencerahan juga digunakan untuk menetralisasi kontradiksi yang muncul dari kasus-kasus partikular (individu) dengan menggunakan hukum “universal” dari kedua konsep tersebut. Mitos membuat subjek patuh terhadap peraturan-peraturannya yang tampil melalui kisah-kisah dongengnya. Pada suatu masa, mitos berasumsi bahwa badai petir hebat terjadi akibat kemarahan Thor. Di sisi lain, Pencerahan juga memiliki kemiripan dengan mitos: ia membuat subjek tak berkutik melalui peraturan serta rumus yang demikian formal dan matematis. Bahkan, dalam banyak kasus, ketika terdapat anomali dalam pengamatan, aksi generalisasi lah yang menjadi solusi untuk menjembatani ketidaktahuan tersebut. Dalam hal ini, Pencerahan yang bertujuan membongkar struktur otoritas buta malah menjelma menjadi otoritas buta.

Maka, menurut Adorno dan Horkheimer, alih-alih memperbaiki dunia, ilmu pengetahuan yang lahir dari akal budi malah mematikan peradaban. Ilmu pengetahuan seakan menjadi norma yang paling konstituen dalam menuntun lampu pencerahan.

Kemajuan ilmu pengetahuan modern memang telah banyak membongkar aspek-aspek pengetahuan “tradisional.” Namun, pada saat yang bersamaan, ia juga membangun kuasa tunggal atas ilmu-ilmu lainnya berkat jitunya formula universal dan buah fungsinya. Ilmu pengetahuan modern menjadi sangat solid, sistemik dan semakin menjauh dari cara pandang lain untuk memahami dunia. Ilmu pengetahuan modern juga cenderung mengabaikan aspek-aspek humanis yang penting dalam diri manusia, seperti moralitas dan perasaan. Bagi ilmu pengetahuan modern yang mengedepankan empirisisme, hal-hal tersebut tidak dapat dikalkulasi, diukur, dan distandarisasi. Maka darinya, mereka patut untuk dianggap tidak selaras dengan sistem dan tidak “saintifik.”  Sikap semacam ini malah membuka gerbang selebar-lebarnya menuju jalan absolutisme.

Apa yang tidak sesuai dengan kalkulabilitas dan kegunaan, disanksikan oleh Pencerahan… Pencerahan justru totaliter..” (Adorno & Horkheimer: Dialektik der Aufklärung. Philosophische Fragmente. Frankfurt am Main 1998, p. 12.)

Karakter totalitarian Pencerahan yang formal itu pun juga merambah ke dunia kesenian, dunia di mana kebebasan dan keanekaragaman benar-benar dianggap sakral. Pencerahan mendefinisikan estetika dan mempopularisasikannya secara masal dan komersial melalui paradigma kapitalisme yang juga anak dari Pencerahan itu sendiri. Hal ini membuat esensi dari seni perlahan pudar.

Peristiwa ini tidak hanya terjadi di negara-negara totaliter, namu dapat terjadi di negara-negara liberal demokrasi di mana kaum oligarki yang lebih memiliki kuasa menentukan standar keindahan tubuh. Kebudayaan hari ini (schlägt alles mit Ähnlichkeit, A&H, 128) terjangkit oleh hal yang selalu sama. Film, radio, majalah merepresentasikan sebuah sistem yang tiap cabangnya memiliki satu suara karena eratnya keterkaitan kaum pemilik modal raksasa dengan industri-industri yang bergerak di bidang hiburan. Kompleksitas kesenian dan kebudayaan direduksi dan dijadikan konsumsi hiburan sepele untuk masyarakat yang diindividualisasi berkat kesejahteraan ekonomi. Kepatuhan subjek kepada kuasa modal pun tersubjugasi secara halus. Kesadaran palsu ini terus direproduksi tidak hanya oleh kaum kapitalis, melainkan oleh jutaan konsumen yang berpartisipasi dalam sirkulasi dan standardisasi dalam sistem produksi kapitalisme.

Dengan dalih kebutuhan konsumen, kategori-kategori standardisasi diperluas dan didistribusi secara massal oleh kecanggihan teknik modern (yang dimiliki oleh kaum modal raksasa). Hal ini menjadi alasan bagaimana inovasi atau keunikan sukar terjadi. Maka dari itu, inovasi, kompetisi sehat, dan keanekaragaman produk yang sering dipostulir dalam kapitalisme sebenarnya kurang lebih adalah ilusi. Hal ini disebabkan karena pelaku-pelaku usaha pada saat itu termonopoli oleh korporasi raksasa seperti General Motors, Ford, Disney, Metro Goldwyn, dan Warner Brothers. Akibat orientasi terhadap kuantitas dalam masyarakat, industri kesenian dan kebudayaan pun acap kali diwarnai oleh spontanitas, kegagapan, kedangkalan konten yang dibalut oleh kuasa efek dan kerincian teknis. Adorno dan Horkheimer menulis: “Die ganze Welt wird durch das Filter der Kulturindustrie geleitet”—seluruh dunia diarahkan oleh filter budaya industri (A & H, 134). Semakin padat dan tanpa celahnya perkembangan teknik menduplikasi objek empirik, semakin rentan terjadinya tipu muslihat (Verdoppelung der Realität).

Inilah yang menurut Adorno & Horkheimer menjadi karakter pemaksaan dalam masyarakat modern, di mana esensi teknik dianggap sebagai optimalisasi kuantitas, yang padahal hanyalah fungsi “melayani: di dalam paradigma ekonomi hari ini. Selain itu, berkat konformitasnyam subjek tidak lagi terlalu memperdulikan hal-hal perjuangan universal walaupun keadaan eksploitatif sedang berlangsung (terutama dalam konteks buku ini: eksploitasi kultural).

Peristiwa ini tidak hanya terjadi di negara-negara totaliter, namun dapat terjadi di negara-negara liberal demokrasi di mana kaum oligarki yang lebih memiliki kuasa menentukan standar keindahan tubuh, keindahan lantunan musik, penyiaran film melalui sistem rating dengan tujuan kenaikan laba yang berarti mempertahankan status kuasanya. Maka dari itu, Adorno & Horkheimer melihat bahwa manajemen atau administrasi yang bersifat dekoratif di negara liberal demokrasi hampir tidak ada bedanya dengan negara-negara otoriter.

Lain dari masalah kultural, Adorno dan Horkheimer melihat kecenderungan bahwa ilmu pengetahuan seringkali tidak digunakan untuk tujuan-tujuan luhur, misalnya untuk mencari kebenaran dan kegunaan demi kepentingan masyarakat luas. Alih-alih, ia sering digunakan atas dasar metode operatif dan efektif untuk menciptakan kontrol dan dominasi di masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi dalam rezim fasis, komunis Soviet dan nasionalis-otoriter, namun juga di negara demokrasi-liberal hari ini. Ilmu pengetahuan modern digunakan oleh rezim-rezim tersebut untuk mengobjektifikasi populasi secara massal serta melanggengkan intoleransi—melalui jalan bahasa, administrasi, pendidikan, cara berperilaku, berekonomi, serta berpakaian—dengan dalih membangun peradaban. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan atau akal budi itu sendiri tidaklah objektif sejak dari awal perencanaanya tergantung siapa yang memegang kendali kuasa.

Dalam akal budi sendiri, terdapat relasi dialektis yang dapat terpolarisasi satu sama lain. Merunut dari filsafat Kant, akal budi tidak dapat diceraikan dari diri manusia.  Akal budi juga didefinisikan bukan hanya sebagai suatu entitas tunggal, melainkan juga tersegmentasi kedalam dua jenis. Jenis yang pertama adalah akal budi individual (partikular), yaitu sebuah subjek transendental yang bersifat kualitatif, otonom, dan saling berhubungan dengan subjek lainnya, tetapi merdeka dari hal-hal yang bersifat sensoris (a priori) – meski demikian dianggap universal. Jenis yang kedua adalah akal budi universal seperti hal-hal yang bersifat kalkulatif (seperti matematika) dan sensoris (seperti ilmu-ilmu empirik atau a posteriori). Meski demikian, akal budi, dengan segala hormat atas kemampuannya mengungkap banyak sekali fenomena alam, tidaklah pasif belaka. Ia sangat bergantung kepada subjek. Adorno dan Horkheimer maka dari itu menekankan pentingnya subjek yang otonom ini untuk mensintesiskan konflik antar akal budi partikular dan universal agar proyek peradaban Pencerahan (objektivitas) yang sesungguhnya dapat dipertahankan dan dilanjutkan.

Kesimpulan:

Buku ini masih sangat layak untuk dijadikan refleksi filosofis sampai hari ini. Adorno dan Horkheimer tentu tidak bermaksud untuk melambaikan salam perpisahan kepada projek Pencerahan. Melainkan, mereka berusaha mensinyalir sifat-sifat destruktif dan subjektif dari progresivitas yang dihasilkan oleh Pencerahan dengan ilmu pengetahuan dan teknik yang memberhalakan kuantitas, fungsi dan efektifitas yang juga sedikit banyak terjadi di negara-negara demokrasi dewasa ini.

Contohnya banyak sekali. Misalnya, bagaimana kebijakan ekonomi lebih menaruh perhatian yang berkarakter kuantitatif dan sepihak, seperti pengadaan pagelaran politik oligarki. Ada pula produksi komoditas ekstraktif tiada henti yang merusak lingkungan. Daftarnya masih berlanjut lagi: pemotongan anggaran untuk kepentingan masyarakat, penyeragaman subjek oleh moralitas hegemon atas nama persatuan nasional, dan propagasi bentuk kehidupan atau cara hidup ideal di berbagai sosial media (tampak melalui kesenian dan kebudayaan). Tanpa menyadari problem sosial politik yang konkret, konsumer akan terus mengalami tendensi psikologis untuk terus mengikuti perilaku konsumtif walau kocek minus.

Lihat juga kasus-kasus perolehan, manufakturisasi dan perdagangan data pribadi di dunia maya secara arbitrer seperti apa yang terjadi dewasa ini oleh Facebook. Platform ini dituduh tidak menindak dengan serius konten-konten negatif seperti penyebaran kebencian, penghasutan masyarakat, perekrutan gangster, perdagangan perempuan, serta perdagangan narkoba. Demi motif profit, Facebook memposting dan memviralkan sebuah konten dengan bantuan algoritma yang berbasis engagement, distimulasi oleh emoji-emoji yang tersedia. Internet yang dulu didambakan sebagai alam kebebasan, sekarang menjadi pemecah bangsa. Di banyak negara, sudah terjadi diskriminasi bahkan pembantaian terhadap kaum minoritas yang diamplifikasi oleh sistem ini. Misalnya, rasisme dan Islamofobia yang menimpa Rohingya di Myanmar dan Muslim di India. Ada pula bangkitnya politik sayap kanan di Brazil yang cenderung dapat mengarahkan masyarakat menuju politik otoritarian.

Buku ini juga mengingatkan bahwa apa yang disebut kemajuan atau progress tidaklah semata-mata netral karena segala hal “irasional” pun dapat dilakukan dengan cara yang sangat “rasional” atas prinsip progresivisme, maupun atas dasar klaim-klaim saintifik. Warisan-warisan dari abad Pencerahan harus tetap dilanjutkan dan hanya bisa dijaga oleh sikap kritis yang berkelanjutan. Hal ini bertujuan agar akal budi tidak diinstrumentalisasikan untuk tujuan-tujuan destruktif, melainkan kolektif.

Karena, tanpa kritik, abad Pencerahan—yang juga dibentuk dari kritisisme terhadap absolutisme beberapa abad lalu—juga memiliki tendensi mengabsolutisasi dirinya sendiri. Pada akhirnya, Pencerahan adalah sebuah narasi, yang tidak berbeda dengan konsep-konsep pemikiran sebelumnya dalam sejarah yang tampak melalui institusi-institusi publik.


Andre Prayoga

Pegiat musik dan seorang mahasiswa bidang Sosialpolitik dan Kebudayaan.