Antropologi Marxisme Arab pada Era Poskolonial

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Bardawil, Fadi. 2020. Revolution and Disenchantment: Arab Marxism and the Binds of Emancipation (Revolusi dan Kekecewaan: Marxisme Arab dan Ikatan-ikatan Emansipasi). Penerbit Universitas Duke. 


 Revolution and Disenchantment merupakan karya etnografi yang dengan peka dan teliti menceritakan perkembangan gerakan Marxis di Lebanon pada tahun 1960-70an. Tokoh-tokoh utama dalam cerita ini adalah para aktivis dan pemikir yang berkiprah di organisasi “Socialist Lebanon” (disingkat jadi SL), sebuah kelompok kiri Marxis yang tidak terikat pada Soviet. Fadi Bardawil, penulisnya, juga mengikuti tokoh-tokoh dari SL setelah bubarnya organisasi tersebut, dan pembaca menyaksikan berbagai upaya intelektualnya untuk menganalisis dinamika sosial dalam konteks yang semakin diwarnai oleh komunitas beragama alih-alih kelas ekonomi.

Dalam buku ini, antropolog lulusan Universitas Columbia itu menyajikan analisis yang sangat kaya, baik jika dilihat sebagai karya etnografi ataupun sebagai karya sejarah intelektual. Analisisnya memberikan kritik yang menarik terhadap narasi dominan dalam dunia akademik sekaligus menyumbangkan arsip pemikiran sebuah gerakan Marxis dari dunia Arab poskolonial.

“Kritik Epistemologi” terhadap Aktivis-aktivis Marxis di Dunia Islam

Salah satu kesan terbesar dari Revolution and Disenchantment adalah perlawanan Bardawil terhadap sebuah kecenderungan dalam dunia akademik mutakhir yang ia sebut sebagai “kritik epistemologi” (epistemology critique). Jenis kritik ini terinspirasi dari argumen Edward Said dalam Orientalisme yang mengkaji kolonialisme dengan fokus ke ranah wacana dan pemikiran, bukan sekadar pada penjajahan dalam bentuk material. Maka darinyam di samping “orientalisme” sendiri terdapat istilah “self-Orientalizing” (meng-oriental-kan diri), sebuah julukan yang diberikan kepada orang-orang dari bangsa terjajah yang ikut percaya pada narasi Orientalis dan supremasi Barat.

Tuduhan semacam itu sudah cukup sering dilontarkan dari pemikir-pemikir poskolonial di Barat kepada berbagai jenis aktivis di negara-negara berkembang yang pendekatannya dianggap kebarat-baratan. Misalnya seperti tuduhan Saba Mahmood bahwa para pemikir Islam liberal merupakan “sekutu imperialisme,” atau kritik Joseph Massad bahwa aktifis-aktifis LGBT di dunia Arab punya perspektif yang orientalis dan pro-imperialisme Amerika.

Narasi tersebut juga sering diidentikkan dengan gerakan-gerakan Marxis dari dunia Islam. Dalam Orientalisme, Said sendiri sudah menunjukkan bahwa Marx terbawa pandangan yang rasis terhadap Dunia Timur, dan fakta demikian ini sering dirujuk sebagai bukti bahwa para aktivis komunis tersebut pun termasuk golongan self-orientalizing itu.

Menurut Bardawil, tuduhan ini berbau esensialisme yang simplistik karena menyaring semua aktor ke dalam dikotomi antara dua kelompok: yang “otentik” pada budayanya sendiri, dan yang kebarat-baratan, terayu oleh kerangka pemikiran penjajahnya, pengkhiat epistemologis.

Bardawil menegaskan bahwa tidak pantas kalau pemutaran ideologi dan teori secara global dilihat sebagai arus alir yang hanya searah (Barat ke Timur). Ia menyebut penelitiannya sebagai “studi lapangan di teori” (fieldwork in theory) yang memperhatikan “kehidupan sosial dari teori” (the social lives of theory) sebagaimana digunakan oleh para aktivis. Bardawil utamanya fokus pada proses penerjemahan (yang ia sebut transfiguration) yang menyesuaikan teori yang berasal dari dunia yang asing ke dalam konteks lokal (8).

Fadi Bardawil

Contoh utama adalah pentingnya Paris sebagai pusat wacana radikal pada tahun 1960-an. Para anggota SL selalu mengikuti terbitan-terbitan baru dari Paris. Tapi ini bukan karena berguru pada Barat atau menelan mentah-mentah pemikiran Eropa. Tapi justru Paris saat itu berperan sebagai medan (atau “jembatan”) untuk pertukaran pemikiran revolusioner dari seluruh dunia. Dalam berbagai majalah terbitan Paris, para aktivis Lebanon dapat menelusuri pemikiran dari pemikir radikal lain dari dunia ketiga, seperti Mao Zedong, Che Guevara, dan Frantz Fanon, juga bersama para Marxis Barat seperti Gramsci.

Kerangka Marxis yang berasal dari Barat itu, tegas Bardawil, malah kerapnya digunakan untuk melawan kolonialisme sekaligus dominasi kapitalis lokal. Dan para pemikir SL senantiasa bersikap kritis terhadap bias barat yang tarkandung dalamnya dan berusaha menyesuaikan teori-teorinya dengan konteks lokal di Lebanon.

Menerut Bardawil, kritik epistemologi yang salah sasaran itu menunjukan the metropolitan unconscious, atau asumsi-asumsi di bawah sadar para akademisi yang terletak di metropol (pusat kekaisaran), baik “bule” maupun diaspora dari dunia poskolonial (seperti Said, Massad, dan Mahmood). Karena mereka paling rajin mengkritisi imperialisme, kadangkala mereka pun jadinya kurang peka terhadap masalah-masalah khas yang dihadapi dalam dunia poskolonial sendiri.

Bardawil menggarisbawahi ironisnya kalau akademisi mengkritisi aktivis; karena bagi akademisi, kemurnian dan kebenaran teori lah yang jadi ukuran utama, sedangkan bagi aktivis yang penting itu efektif-tidaknya sebuah teori sebagai sarana untuk menuju pembebasan kaum tertindas. Para aktivis, singkatnya, tidak punya privilege-nya para akademisi untuk mengutamakan kemurnian epistemologi.

Ringakasan Bab-bab:

Buku ini terdiri dari dua bagian. Yang pertama–yang mengandung tiga bab–menggambarkan aktivisme dan pemikiran SL pada era 1960-an saat mereka sedang semangat-semangatnya menggagas revolusi proletar (kelas buruh) terhadap kaum pemodal. Pada bagian kedua, tokoh-tokoh dari SL mulai berpaling dari impian itu lantaran melihat melaratnya politik antaragama dan sekte yang sudah berhasil memecah-belah rakyat jelata yang dulu ingin mereka satukan. Ini membuat impian revolusi berbasis kelas terasa tak terbayangkan lagi, dan para pemikir ini mulai mencari kerangka teoretis lain untuk memahami dinamika sosial dan lapisan-lapisan penindasan yang terjadi dalam Lebanon pada era 1970-an, terutama setelah mulainya perang saudara Lebanon pada tahun 1975.

Bab 1 menceritakan kehidupan para aktivis SL sebelum mendirikan organisasinya. Sebagian besar terbawa pemikiran nasionalisme Arab, terinspirasi oleh politik anti-kolonial dari Gamal Abdul Nasser, Revolusi Aljazair terhadap Perancis, dan perlawanan Palestina terhadap Zionisme. Tapi lama-lama, dan terutama setelah melihat gagalnya Republik Persatuan Arab (gabungan antara Mesir dan Suriah) pada tahun 1961, mereka mulai kecewa dengan politik Pan-Arabisme. Mereka melihat bahwa masalah-masalah yang dihadapinya butuh pendekatan yang jauh lebih rumit daripada sekedar anti-imperialisme semata. Mereka membutuhkan kerangka teoretis yang dapat melihat struktur sosial dan bentuk penindasan secara global antarnegara maupun lokal antarkelas. Alias, mereka membutuhkan Marxisme.

Bab 2 menggambarkan pemikiran dan gerakan SL pada era 1960an, termasuk kegiatannya dalam penerjemahan literatur Marxis cetakan Inggris dan Perancis dari seluruh dunia, seperti disebut di atas. Bardawil fokus pada tulisannya Pengantar Membaca Manifesto Komunis, dan bagaimana mereka menyesuaikan dan menerjemahkan karya klasik Marx tersebut ke dalam konteks Lebanon. Bardawil tegaskan bahwa teks-teks teoretis ini terutama digunakan untuk mengkritisi kelompok politik lain. Para komunis pro-Soviet dicap “miskin teori” karena melihat sejarah secara sederhana dan menganggap bahwa negara pra-kapitalis tidak mungkin mencapai komunisme tanpa sudah melewati kapitalisme dulu (62). Para Nasseris dikritisi karena hanya bicara “sosialisme” di bibir saja, tanpa mempermasalahkan kontrol atas sarana produksi (means of production) (71). Bab ini yang juga mengandung kritik terhadap “kritik epistemologi” seperti diterangkan di atas.

Dalam Bab 3, Bardawil membandingkan tanggapan para aktifis SL terhadap kekalahan Arab dalam perang melawan Israel pada tahun 1967 dengan tanggapan pemikir-pemikir lain. Ada pemikir Marxis lain seperti Sadiq Jalal al-Azm (asli Suriah) yang memberi otokritik ke dunia Arab yang mempermasalahkan keterbelakangan budayanya dan pemikiran agamisnya. Lain halnya dalam tulisan-tuliasn SL dari saat itu, yang memusatkan kritiknya pada kelas, struktur sosial, dan relasi kekuasaan yang ada dalam negara-negara Arab, bukan “budaya” lokal yang disalahkan (85).

Bagian II mulai menceritakan kekecewaan para pemikir SL dengan kerangka Marxis saat dihadapkan dengan mengingkatnya politik sektarian (antarkelompok beragama). Bagaimana mereka bisa menggalakkan revolusi proletar jika kaum proletar (kelas buruh) saja dipecah-belah dan mendukung kaum elit agamanya masing-masing?

Berlanjut dari masalah besar ini, Bab 4 memberi narasi tentang perkembangan pemikiran salah satu pemikir SL, yaitu Waddah Charara. Ia kecewa dengan dinamika organisasi, terutama kesombongannya dalam “memimpin” rakyat secara otoriter. Ia terus mengangkat pola pikir yang Maois (aliran Mao Zedong) yang mendorong para intelektual untuk merakyat dan belajar dari kaum tertindas, bukan sekedar memimpinnya dari atas. Charara lalu pindah ke kampung kaum buruh, tindakan yang disebut etablissement oleh para Maois Perancis. Dari pengalaman itu lah Charara mulai menghargai bentuk-bentuk solidaritas sosial yang di luar ranah kelas, seperti keluarga dan agama. Ia malah mulai menaruh harapan di bentuk-bentuk kebudayaan lokal sebagai sarana untuk mempromosikan revolusi kaum tertindas.

Bab 5 dimulai dengan perang saudara Lebanon dan pembunuhan di antara kelompok-kelompok beragama (Muslim Syi’ah, Muslim Sunni, dan Kristen). Dalam keadaan seperti itu, SL tidak mungkin melanjutkan aktifvsmenya, karena perjuangan kelas terasa sungguh mustahil di tengah-tengah perang saudara. Tapi Bardawil menjelaskan bawha semua aktivis tetap rajin memberi kritik sosial–kini terhadap semua pihak sosial dan politik dalam perang. Tapi mereka tidak lagi semangat menggerakkan revolusi. Mereka menjadi intelektual-intelektual yang tercerai berai, yang bergerak di bidang-bidang akademik dan kebudayaan, bukan bagian-bagian dari gerakan massal dan agen-agen kemajuan sejarah seperti dulu diharapkan.

Bukan hanya perang saudara di Lebanon, tapi tersebarnya ideologi Islamis secara besar-besaran pada era akhir 1970-an dan awal 1980-an menghadapkan semua pemikir Marxis Arab dengan masalah yang sama: identitas sosial selain kelas ekonomi menjadi semakin penting. Bab 6 membandingkan tanggapan para mantan aktivis radikal terhadap dunia sosial baru ini. Selain pendekatan Charara dan mantan SL yang lain yang memilih untuk mengundurkan diri dari ranah aktifisme, ada banyak dari kaum Maois yang menganggap bahwa Islamisme merupakan wujud perlawanan sejati dari rakyat, dan malah ada orang-orang Kristen yang masuk Islam karena menaruh harapan revolusionernya pada gerakan Islamis. Di lain pihak ada para Marxis seperti Sadiq Jalal al-Azm yang menganggap Islamisme sebagai ideologi yang dangkal dan terbelakang, maka ia membela “rasionalisme” sekuler (172).

Pada akhir bab ini, Bardawil mengingatkan kepada para akademisi di bidang sejarah intelektual bahwa perkembangan dan perdebatan ideologis seperti yang tersebut di atas tidak bisa dipahami dan dibandingkan seperti benda lepas yang tidak terikat pada masalah-masalah sosial dan politik khusus dari daerah dan zamannya. Maka darinya, dibutuhkan pendekatan etnografis yang bisa menerangkan “ruang masalah” (problem space, istilah dari David Scott) yang dihadapi aktor-aktor sosial yang menggagas teorinya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Dalam buku ini Bardawil berusaha untuk mengembangkan analisis yang tidak terpusat pada Barat (atau decentering the West). Titik-tolak permasalahan bagi Bardawil bukan mirip-tidaknya atau terpengaruh-tidaknya SL dengan pemikiran Barat seperti para penggiat “kritik epistemologi.” Ia fokus pada masalah-masalah lokal yang dihadapi, bukan tren-tren transformasi epistemik secara global. Pendekatan ini jelas mempunyai kelebihan untuk memahami perkembangan gerakan seperti Marxisme Arab dengan segala seluk-beluknya.