Mendisiplinkan Timur Tengah: Atau, Bagaimana Antropologi di AS Menjadi Antek-antek Penguasa

Dipublikasikan oleh Stanley Khu pada

Deeb, Lara & Jessica Winegar. 2016. Anthropology’s Politics: Disciplining the Middle East [Politik Antropologi: Mendisiplinkan Timur Tengah]. Penerbit Universitas Stanford. 


1

Imajinasi idealistik tentang akademisi adalah manusia yang hayatnya dituntun oleh semangat kebebasan dalam menjelajahi gagasan. Akademisi melakukan riset dan mengajar, dan yang tak kalah pentingnya: menghasilkan, mempertanyakan, dan membabarkan pengetahuan. Tapi ini gambaran yang naif dan tak menjejak bumi. Bahkan di negara yang konon paling liberal sekalipun – AS – pendidikan tinggi dan universitas adalah semesta yang dipenuhi tegangan kelas, ras, gender, dengan pembedaan antara topik-topik yang terbuka untuk didiskusikan, dan yang tunduk pada pembisuan struktural. Faktanya, Deeb & Winegar memulai buku mereka dengan kalimat berikut: “We never could have written this book before tenure.

Lara Deeb

Studi Deeb & Winegar menyelidiki hubungan antara dunia akademik dan politik di AS pasca Perang Dunia II. Minat serius pertama terkait kawasan Timur Tengah digagas oleh yayasan swasta dan badan pemerintah. Dari sini, struktur akademik dan dinamika politik di AS pelan-pelan mendikte produksi pengetahuan antropologis tentang Timur Tengah sejak kurun 1950-an sampai hari ini. Konsekuensinya, debat publik, praktik universitas, dan asosiasi akademik di AS secara subtil memengaruhi jalur karir dan konten pengajaran para antropolog, yang otomatis meredam potensi kesarjanaan kritis terkait kawasan ini. Contoh konkretnya adalah kebijakan luar negeri ala Wild West dari AS dan pendudukan Israel atas Palestina, dua isu ‘terlarang’ yang tidak boleh dibedah oleh pisau analisis antropologi.

2

Bab satu menuturkan biografi dari seratusan antropolog pengkaji Timur Tengah di AS selama beberapa dekade terakhir. Biografi mereka menunjukkan bahwa aksi memilih disiplin ilmu dan fokus regional tertentu tidak pernah merupakan hasil dari pilihan personal yang sepenuhnya dimotivasi individualisme. Misalnya, mayoritas sarjana kulit putih memilih disiplin antropologi karena awalnya terbuai oleh fantasi Orientalis untuk meneliti masyarakat liyan nan eksotik dalam pencarian mereka akan kemanusiaan sejati. Di sisi lain, para pengkaji yang berasal-usul dari Timur Tengah meminati antropologi karena pengalaman imigrasi mereka ke AS, yang sarat episode-episode diskriminasi intens. Bagi kelompok ini, perspektif humanistik antropologi diyakini mampu memberi pemahaman tentang latar kultural mereka sekaligus kritik atas narasi dominan di AS. 

Minat pada Timur Tengah juga tidak terlepas dari gejolak geopolitik di kawasan ini: pendirian Israel pada 1948, penemuan cadangan minyak di paruh pertama abad ke-20, revolusi Islam Iran pada 1979, dst. Dampak dari rangkaian peristiwa ini adalah obsesi AS untuk mengontrol Timur Tengah demi melanggengkan ambisi imperialnya. Singkat kata, bab ini adalah kisah tentang perjumpaan antara orang-orang yang meminati antropologi/Timur Tengah dengan kajian akademik yang sedari awal pendiriannya terus mengalami politisasi.

Jessica Winegar

Bab dua melanjutkan biografi para antropolog pengkaji Timur Tengah dengan membahas sensor dan prasangka yang terjadi pada saat mereka mengajukan proposal riset dan beasiswa. Kita diberitahu bahwa nama-nama pemberi beasiswa tenar seperti Fulbright dan Guggenheim melakukan intervensi terhadap integritas akademisi. Misalnya, sebuah riset tentang relasi Israel-Palestina yang mengandung kata seperti okupasi dan kolonialisme hampir pasti akan ditolak. Beberapa promotor juga dengan tegas menolak proposal riset bertema Timur Tengah dengan alasan mengada-ada, baik yang bersifat teknis (bahwa studi tidak memiliki kepustakaan yang mencukupi) maupun pragmatis (bahwa akademisi kelak akan kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus). 

Latar belakang kultural juga turut bermain. Misalnya, jika akademisi adalah seorang Arab/Muslim/Palestina, dia akan ditanyai tidak mengenai isu-isu yang berhubungan dengan risetnya, tapi pertanyaan yang menjurus ke urusan personal: Apakah Anda Muslim yang taat? Apa perasaan Anda tentang gerakan intifada? Bab ini menunjukkan bahwa pengaruh hegemonik dari sentimen pro-Zionis yang bersirkulasi di antara dosen, administrator, dan donor melahirkan sebuah atmosfer akademik di mana para antropolog yang pada akhirnya tetap memilih fokus kajian Timur Tengah wajib menjarakkan diri sejauh mungkin dari topik-topik sensitif jika ingin menjamin masa depan karir akademik mereka.

Bab tiga meminta kita membayangkan seperti apa rasanya memulai karir sebagai asisten profesor antropologi dengan minat kajian Timur Tengah di sebuah negara yang secara tradisional, tapi terutama sejak 9/11, mengusung sentimen anti-Arab dan anti-Muslim. Kita barangkali membayangkan bahwa mekanisme sensor hanya berlaku dalam konteks-konteks umum, misalnya pemaparan di konferensi ilmiah atau pengajaran di ruang kelas, dan bahwa ada ruang kritis yang lebih besar di arena seperti jurnal ilmiah (lagipula, berapa banyak orang yang membaca jurnal ilmiah?). Tapi, faktanya, proses peer review yang dilakukan oleh mitra bestari ternyata tidak luput dari infiltrasi politik. Tidak jarang seorang penulis diminta untuk mengganti kata ‘Palestina’ dengan ‘Arab’ (logika ini sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Israel baru-baru ini bahwa “tidak ada yang namanya bangsa Palestina”), atau untuk mengimbangi narasi kebengisan militer Israel dengan narasi pengebom bunuh diri Palestina (untuk secara superfisial menunjukkan sebuah relasi kausal yang alamiah). 

Bias politik ini adakalanya menjadikan standar ilmiah terkesan amatiran. Alkisah, seorang antropolog mengirim tulisannya ke sebuah jurnal bereputasi. Dalam tulisan ini, dia melaporkan tentang sebuah pengeboman di wilayah Israel yang diyakini oleh warga Palestina sebagai ulah dari badan intelijen Israel sendiri. Editor jurnal membalasnya dengan pertanyaan: Dari mana Anda tahu dan bagaimana Anda bisa yakin kalau pengeboman ini dilakukan oleh Israel sendiri? Respons semacam ini menunjukkan entah kenaifan akut, ataupun ketidakpahaman tentang perspektif etik-emik. Tujuan penulis bukanlah untuk menjawab pertanyaan ‘siapa melakukan apa’ (ibarat Sherlock Holmes), melainkan menggali proses pemaknaan dari sebuah masyarakat yang secara konstan hidup dalam ancaman bahaya. Namun, alih-alih menanggapi tulisan secara kontekstual, bias editor pada akhirnya berujung pada komentar yang bukan saja tidak objektif, tapi juga ngegas.  

Bab empat membahas problema etika terkait partisipasi antropologi dalam kerja intelijen pemerintah dan militer. Barangkali tidak banyak yang tahu, tapi Franz Boas, sedini 1919, telah mengkritik beberapa antropolog yang menurutnya “telah melacurkan sains dengan memakainya sebagai samaran bagi aktivitas mata-mata mereka [di Amerika Tengah].” American Anthropological Association (AAA) merespons surat terbuka Boas dengan mengusirnya dari keanggotaan asosiasi. Ini bukan sekadar insiden masa lampau, karena sampai sekarang pun badan-badan pemerintah seperti CIA dan FBI terus berusaha merekrut para antropolog pengkaji Timur Tengah untuk melayani kepentingan negara. Suara di AAA sendiri tidak kompak. Meski sebagian pihak menggulirkan mosi untuk menolak semua iklan lowongan kerja dari CIA (yang berseliweran di publikasi cetak dan daring AAA), sebagian lainnya menolak mosi ini, dengan alasan bahwa melarang iklan adalah “cara kuno Soviet”. 

Di sini, kita melihat bagaimana relasi-relasi antara produksi pengetahuan, etika, profesionalisme, dan pandangan politik personal saling berkelindan secara dilematis. Bagi disiplin ilmu selain antropologi, problema etis menyangkut keikutsertaan dalam kerja intelijen negara mungkin tidak begitu panas diperdebatkan. Tapi bagi para antropolog, terutama yang berfokus pada isu regional sensitif seperti Timur Tengah, persoalannya bukan hanya sekadar ‘hak untuk bekerja’ atau ‘intelektualisme menara gading’, melainkan kewajiban untuk menyuarakan kepentingan dari kaum marjinal yang suaranya secara konstan dibungkam oleh mesin-mesin hegemoni penguasa.

Bab lima memberitahu bagaimana asosiasi akademik dengan reputasi tersohor seperti AAA menganut standar ganda yang jauh bertolak belakang dengan pamornya. AAA tercatat telah mengeluarkan aneka pernyataan publik dan meloloskan mosi-mosi yang mendukung hak suku bangsa asli Amerika, dan bahkan pernikahan sesama jenis. Menanggapi seruan Bush pada 2004 untuk melakukan amandemen konstitusional atas hukum di AS dalam upaya melarang pernikahan sesama jenis, AAA mengeluarkan pernyataan berikut: “[tidak ada bukti bahwa] tatanan sosial yang sukses bergantung pada pernikahan [dalam bentuknya] sebagai institusi heteroseksual yang eksklusif.” Ironisnya, proposal yang mengusung semangat serupa terkait Timur Tengah (dukungan atas hak Palestina dalam menentukan nasib sendiri dan kecaman terhadap invasi di Irak) ditolak berkali-kali. Ini tak pelak menunjukkan bahwa komunitas antropologi di AS yang direpresentasikan oleh AAA telah memarjinalisasi para antropolog pengkaji Timur Tengah. Kebisuan AAA menyiratkan bahwa nyawa warga sipil tak bersalah yang melayang dengan sia-sia setiap harinya di daerah-daerah konflik ini tidak dianggap sebagai prioritas. 

Untuk sekadar menyodorkan komparasi: pada November 2001, AAA bersidang untuk membahas tuduhan pelanggaran etika yang dilakukan Napoleon Chagnon kepada masyarakat Amazon yang ditelitinya, berdasarkan buku yang diterbitkan Patrick Tierney pada tahun 2000. Pada periode 2000-2001 ini, setidaknya terjadi dua peristiwa penting yang sama sekali luput dari perhatian AAA: pada September 2000, berlangsung intifada jilid dua di Palestina, dan pada Oktober 2001, AS dan sekutunya menginvasi Afghanistan. Di sini, seolah-olah humanisme yang terkandung secara harfiah dalam nama disiplin ilmu antropologi (anthropos) tidak diterapkan secara universal, tapi hanya berlaku dalam sebuah logika eksklusif yang sarat nuansa politik

3

Buku ini adalah kisah suram tentang cara kerja kuasa dalam dunia akademik AS, di mana ideologi atau haluan politik secara hegemonik menentukan kurikulum, debat, dan praktik kesarjanaan seperti apa yang boleh dijalankan oleh praktisi pendidikan. Beralih ke dalam negeri, buku ini dapat dibaca sebagai sebuah provokasi yang retoris tentang status dan peran antropologi di Indonesia: sudah sampai sejauh manakah asosiasi atau komunitas antropologi kita menjalankan fungsinya sebagai corong bagi harapan-harapan humanistik? 

Dalam konteks yang lebih spesifik, kita bisa bertanya: sudah berapa banyakkah karya ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi) antropologi yang membahas isu-isu sensitif seperti misalnya keadilan, kesetaraan, dan hak menentukan nasib sendiri (soal poin terakhir ini, faktanya kita punya ‘Palestina’ versi kita sendiri di Indonesia, yang secara ironis juga bermula dari huruf ‘P’)? Apakah isu-isu sensitif ini tidak cukup terwakili karena kurangnya imajinasi dari pihak mahasiswa/i, atau jangan-jangan, ini ada kaitannya dengan batas-batas struktural tertentu yang secara preventif menghalangi isu-isu ini untuk dibahas secara akademis-antropologis? Berkaca pada studi Deeb & Winegar, kita dapat menyimpulkan bahwa antropologi – di manapun lokasinya – harus mulai memaknai ulang keterlibatannya, dan pengetahuan yang coba diproduksinya, di dunia.


Stanley Khu

Stanley Khu, kelahiran 1 Juli 1990, menamatkan pendidikan S1 Antropologi di Universitas Padjadjaran tahun 2013, dan S2 Sosiologi di Jawaharlal Nehru University, India, tahun 2016. Minat kajian adalah seputar etnisitas dan agama, serta eksplorasi teoritis dalam kerangka filosofis, sosiologis, dan antropologis Saat ini bekerja sebagai pengajar di jurusan Antropologi Universitas Diponegoro.