Makna Tersembunyi di Balik Minuman dalam Berbagai Konteks Sosial

Dipublikasikan oleh Joshua Lieto pada

Paul Manning. 2012. Semiotics of Drink and Drinking [Semiotika Minuman dan Minum]. Penerbit Continuum.


Mengapa kita biasa ditanya “Mau minum apa?” ketika sedang berkunjung ke rumah teman? Apa bedanya bir dan kopi jika diminum dalam suatu situasi sosial seperti itu? Kita minum bukan hanya karena kita haus, tetapi juga untuk menguji, membentuk, atau mengeratkan hubungan sosial. Selain minuman, yang kita pilih seringkali bercerita tentang hubungan sosial kita dengan orang lain, ia juga banyak bertutur tentang diri kita sendiri. Anggapan-anggapan inilah yang membentuk latar belakang buku Semiotics of Drink and Drinking (Semiotika Minuman dan Minum) yang ditulis oleh Paul Manning. Dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa minuman adalah benda yang terwujud dari praktik sosial (embodied social form). Ini artinya bahwa minum, sebagai praktik biasa sehari-hari, berdampak pada segala hal dalam interaksi sosial. Melalui bukunya, Manning menjelaskan arti-arti mimuman dalam berbagai konteks sosial, historis, dan epistemologis—atau yang terhubung dengan sistem pengetahuan.

Sebagian besar contoh kasus di buku ini diambil dari budaya minum di Amerika Utara, Eropa Barat, dan beberapa negara di Eropa Timur seperti Rusia dan Georgia. Melalui 8 bab dalam bukunya, Manning menjajaki berbagai jenis minuman—di antaranya termasuk kopi, gin, air putih, anggur, vodka, dan juga bir.

Diskusinya tentang kopi menjalin berbagai komentar dari barista-barista anonim yang diunggah di berbagai situs web untuk menunjukkan bagaimana ciri-ciri kopi yang dipesan—menurut barista—dapat mendefinisikan orang yang memesannya. Di samping ciri-ciri kopi yang dipesan, bahasan tentang kopi di buku juga menyentuh interaksi sosial yang dialami oleh barista. Untuk memastikan bahwa pelanggan akan senang dengan pembelian mereka, interaksi antara barista dan pelanggan biasanya sama pentingnya dengan kualitas kopi itu sendiri. Barista harus selalu memenuhi permintaan spesifik dari sang pembeli, dan kadang-kadang permintaan yang mereka terima sangatlah aneh sementara mereka harus selalu menjaga senyum. Dijelaskan dalam buku ini bahwa pekerjaan barista terdiri dari membuat kopi dan juga menjaga perasaan (phatic labor) dalam konteks yang berpusat di sekitar kopi. Walaupun deskripsi sederhana pekerjaan barista adalah “membuat kopi,” pekerjaan mereka sejatinya mengikutsertakan banyak hubungan sosial lain, dengan kopi menjadi titik fokusnya.

Untuk diskusi gin, Manning membahas acara pesta koktil (cocktail party) dalam konteks Amerika Utara untuk menunjukkan bagaimana gin digunakan sebagai minuman yang menandakan perbedaan di antara yang “tidak beradab” melawan yang “beradab.” Menurut analisis Manning, martini yang sebenar-benarnya terbuat dari campuran dua campuran minuman beralkohol, yaitu gin dan vermouth. Yang terpenting adalah komposisi: martini terbaik diracik dari persentase paling maksimal dari gin, dan persentase paling kecil dari vermouth. Kualitas ini—yang sangat dicari oleh para ahli minuman beralkohol—disebut dengan dryness. Jika vermouth terlalu banyak atau bahkan tidak ada sama sekali, martini dapat dikatakan tidak kering (dry) lagi—ini artinya, martininya tidak enak. Manning menarik contoh-contoh dari film-film Amerika Utara 1950-an untuk menganalisis percakapan yang menunjukkan bahwa orang yang tidak meracik martini dengan benar dianggap sebagai orang-orang “tidak beradab.”

Ini bukan hanya pendapat yang menyenangkan orang mabuk di pesta: menurut Manning, gin—sebagai komposisi utama dalam martini—menjadi simbol global bagi orang-orang Amerika Utara pada abad ke-20. Nama merek gin seperti Bombay Sapphire—yang menggunakan nama kota di India, Bombay, dan nama batu permata safir—mengacu pada aturan dunia kolonial di masa lalu dengan ekstraksi sumber daya dari tempat eksotik. Minuman gin, dengan kata lain, mencakup ideologi yang berkenaan dengan tempat dan waktu (temporality).

Dalam buku ini, dibahas pula mengenai bagaimana minuman sebagai simbol merupakan topik yang penting. Contohnya, Bab 4 dan 5 membicarakan macam-macam perbedaan di antara air mineral kemasan di Amerika Serikat, Rusia, dan Georgia. Di semua tempat ini, air dikemas dari sumbernya ke dalam botol sebelum diminum. Tetapi, inti proses ini berbeda di tempat masing-masing. Di Amerika Serikat, perhatian ditempatkan pada kebersihan air sebagai hasil proses pemurniannya yang industrial. Tidak ada rasa di air botol ini kecuali air tawar, dan air tawar itu dianggap di Amerika Serikat sebagai minuman yang paling sehat.

Sebaliknya, di Rusia dan Georgia, ada macam-macam air botol yang rasanya muncul dari ciri-ciri istimewa perairan perigi. Rasa air ini mendekati rasa buah-buahan, dan bahkan ada yang berbau tanah. Lebih dari itu, perairan perigi ini dulu dihormati sebagai air yang paling sehat di Rusia dan Georgia. Bab-bab ini menunjukkan bahwa ideologi minum bahkan masuk ke air mineral yang dikonsumsi sehari-hari.

Bab-bab yang lain memperluas diskusi dengan pembahasannya mengenai minuman anggur, vodka, dan bir. Setiap minuman ini memliki spesifikasi tempat dan waktu tersendiri; cita rasa minuman anggur—seperti perairan Georgia yang disebut di atas—terkait erat dengan ciri-ciri tanah di mana berbagai macam jenis anggur tumbuh. Dalam diskusi ini, Manning menjelaskan konsepsi terroir, atau lingkungan alami yang komprehensif di mana buah-buahan tertentu diproduksi. Terroir mencakup faktor-faktor seperti tanah, topografi, dan iklim. Terroir sangat spesifik sehingga para ahli minuman anggur bisa membedakan asal anggur dari rasa saja. Mereka, misalnya, dapat mengetahui spesifik sampai ke nama lembah atau malah ladang yang menghasilkan buah-buahan anggur tersebut.

Manning juga menerangkan bagaimana pengetahuan mengenai terroir terhubung dengan ritual konsumsi minuman lainnya, seperti vodka atau bir. Seperti anggur, rasa bir muncul dari komposisi utamanya (misalnya, gandum) yang ciri-ciri berasal dari terroir-nya. Di Georgia, bir merupakan minuman yang identik dengan pesta karena ia dapat menghubungkan orang dengan lingkungan alaminya—beginilah orang Georgia merayakan lingkungan yang mereka huni. Sebaliknya, vodka terkenal sebagai minuman yang tawar dan tanpa rasa karena disuling berkali-kali sampai tidak ada rasa dari terroir-nya. Manning menganalisis beberapa tulisan jurnal untuk mengungkapkan bagaimana vodka diminum di pertemuan romantis rahasia di antara dua orang kekasih. Karena isi asal vodka tersembunyi dalam proses produksi, minumannya bisa digunakan untuk tujuan apapun termasuk pertemuan romantis yang tersembunyi.

Pada akhirnya, melalui buku Semiotics of Drink and Drinking, Manning menyerukan bahwa berbagai macam minuman menjadi tanda dan benda yang mewujud melalui bagaimana mereka digunakan di berbagai latar sosial. Tulisannya menjelajahi minuman sebagai simbol yang diolah oleh praktik-praktik sosial yang terus berubah. Praktik-praktik ini bervariasi di antara berbagai tempat, waktu, dan juga konteks sosial. Untuk menajamkan analisisnya, Manning membahas contoh-contoh kasus yang beragam, di antaranya termasuk unggahan daring, percakapan dalam film, iklan minuman, dan tulisan yang menyebut minuman dalam interaksi sosial. Walaupun bukti-bukti yang Manning kumpulkan tersebar dari berbagai sumber yang disebutkan, hampir semua sumber menunjukkan bahwa minum adalah praktik biasa—yang tidak perlu dilihat lebih dalam—dan kepentingannya masih belum bisa dipahami secara lengkap.

Buku ini sukses mengarahkan perhatian kita pada arti-arti praktik sehari-hari yang kita terima begitu saja. Saya berharap buku ini dapat menjadi referensi yang berguna untuk peneliti yang tertarik untuk mencari arti tersembunyi dalam konteks kehidupan yang kita anggap biasa.