Memahami Krisis Ekologi-Lingkungan melalui Kerangka Ekopsikologi Radikal

Dipublikasikan oleh Naufal Firosa Ahda pada

Fisher, Andy. 2013 (2002). Radical Ecopsychology: Psychology in the Service of Life [Ekopsikologi Radikal: Psikologi demi Kehidupan]. Edisi kedua. Penerbit SUNY.


Krisis ekologi dan lingkungan menjadi salah-satu masalah yang dihadapi oleh makhluk hidup di bumi terutama manusia. Kerusakan tersebut tidak hanya memaksa manusia menyikapi krisis tersebut, namun juga dalam upaya membentuk suatu pemahaman ulang yang relevan dan sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Upaya dalam merespon tersebut salah-satunya melalui disiplin keilmuan yang saat ini telah ada dan berkembang, seperti studi lingkungan dan studi ekologi sebagai dua disiplin ilmu yang berfokus pada permasalahan lingkungan. Keduanya saat ini dapat dikatakan masih berusaha dalam memformulasikan suatu bentuk pendekatan dan pemahaman yang sesuai agar krisis ekologi yang terjadi dalam kehidupan dapat teratasi.  

Namun, kemudian permasalahan tersebut masih menyisakan suatu pertanyaan, sudahkah keduanya mampu merespon permasalahan tersebut? Apakah hanya melalui kedua disiplin tersebut krisis ekologi dapat diatasi? Berangkat dari pertanyaan tersebut, diperlukan pendekatan lain sebagai upaya dalam memahami dan berkontribusi secara holistik dalam permasalahan yang terjadi. Dalam usaha memahami krisis ekologi, maka setidaknya perlu ditelusuri ulang akar permasalahan tersebut. Dalam buku yang ditulis Andy Fisher, Radical Ecopsychology: Psychology in the Service of Life, Fisher menawarkan pendekatan alternatif terhadap lingkungn melalui ilmu psikologi.

 

Paradigma Ekopsikologi Radikal

Psikologi modern, menurut Fisher, hanya menekankan pada aspek kemanusiaan dan melakukan pengabaian terhadap hal eskternal yang berkaitan dengan manusia. Dalam konteks ini Fisher memandang hal lain seperti hewan, tumbuhan, alam, dan sungai sebagai variabel yang turut serta dalam memengaruhi cara pandang dan pengalaman manusia. Di bagian pendahuluhan, Fisher mengangkat isu lingkungan dengan menyebutnya sebagai ”patologis” alih-alih “krisis ekologi.” Alasannya? Ia berpendapat bahwa diksi “patologis” merupakan gangguan atau cerminan yang menggambarkan manusia secara langsung, baik pada diri dan sekitarnya. Anggapan tersebut selaras sebagaimana dalam paradigma intervensi psikologi yang dilakukan ketika manusia dinilai telah mengganggu keberlangsungan diri dan lingkungan sekitarnya.

Fisher menjelaskan sekaligus mengkritik dampak dari sains modern yang membuat segregasi antara dunia material dan aspek pikiran-emosional. Pemisahan tersebut berpengaruh pada cara manusia berelasi dengan alam dan sekitarnya. Dalam konteks ini, Fisher secara berhati-hati dalam menyelidiki dan memahami permasalahan yang terjadi. Ia mengkaji persoalan tersebut dengan berbagai macam pendekatan yang dianggap relevan: seperti pendekatan psikologi, hermenutik, fenomenologi, filsafat, dan ekologi.

Andy Fisher

Salah-satu hal menarik yang dapat digarisbawahi dalam buku tersebut adalah Fisher tidak memisahkan pendekatan tersebut menjadi bagian-bagian tersendiri, melainkan sebagai sebuah orkestra yang saling berkaitan dan berkesinambungan satu-sama lain, dengan menempatkan psikologi sebagai latar belakang keilmuan yang dia gunakan. Fisher mengusulkan istilah “radical ecopsychology“–atau ekopsikologi radikal–sebagai kelanjutan dari kajian ekopsikologi yang diprakarsai oleh Theodore Roszak. Ekopsikologi ala Roszak mengkaji interaksi dunia dan aspek manusia (mental, emosi, perasaan, and perilaku), sementara ekopskologi radikal Fisher lebih menekankan pada hubungan eksternal dan internal baik pada manusia maupun non manusia yang berorientasi pada nilai partisipatif, transformatif, dan kolaboratif. 

Fisher menyinggung secara singkat bahwa setiap manusia mengalami kondisi kelekatan pada berbagai hal di dalam kehidupan mereka sejak dahulu. Fisher mengambil contoh bagaimana bayi dikondisikan untuk terikat dengan ibunya agar kebutuhan mereka terpenuhi. Ketika beranjak dewasa, manusia tetap memiliki keterikatan terhadap manusia bahkan barang lain. Contoh tersebut mendukung tesis Fisher bahwa manusia memiliki kerinduan yang mendalam dan keterikatan pada berbagai hal tanpa batasan. Fisher menambahkan sebuah pertanyaan: mengapa masyarakat sekarang yang dianggap modern cenderung tampak tidak terlalu peduli dengan keberadaan sesuatu lain di luar diri mereka? Dalam Bab I, Fisher menjelaskan asal-usul masalah tersebut dengan menelusuri kehidupan manusia seiring berkembangnya sistem sains, teknologi, politik, dan ekonomi. 

 

Krisis Ekologi: Permasalahan Persepsi dan Makna Manusia

Dalam Bab I, Fisher mengaitkan isu ekologi dan hubungan manusia dengan alam yang dianggapnya saling terisoloasi karena perkembangan sains modern.  Saya berspekulasi bahwa sains yang dimaksud Fisher adalah sains yang memandang manusia dan alam sebagai sesuatu yang berbeda, dengan memosisikannya sebagai objek untuk dipelajari. Karena isolasi ini, keilmuan psikologi seringkali hanya berfokus pada manusia dan aspek-aspeknya–seperti emosi, pikiran, dan perilaku–dan mengabaikan faktor lingkungan. Menurut Fisher, idealnya psikologi seharusnya juga memasukkan alam sebagai subjek studi atau bahkan bagian dari komunitas. Ketika psikologi dapat meletakkan pandangan tersebut, maka alam dengan sendirinya akan dipahami sebagai aspek penting di dalam psikologi.

Pernyataan tersebut menjawab kritik dari David Kidner yang menyatakan bahwa psikologi cenderung pasif terhadap permasalahan ekologi yang sedang terjadi, sehingga banyak akademisi dan psikolog tidak menganggap dan menempatkan masalah ekologi di dalamnya. Pada dasarnya masalah yang ada pada institusi psikologi juga berkaitan erat dengan permasalahan persepsi dan pemaknaan. Fisher dalam konteks ini meminjam pandangan Maurice Merleau Ponty tentang fenomenologi persepsi dengan istilah living body-nya. Ponty menjelaskan bahwa pengalaman manusia di dunia merupakan persepsi yang dimediasi melalui badan. Manusia tidak memiliki keterikatan dengan alam dikarenakan manusia tidak memiliki interaksi dan persepsi dengan dunia. Fenomena keterputusan hubungan dengan alam dapat dilihat melaui contoh yang diperlihatkan oleh Fisher, dengan mengambil masyarakat perkotaan yang sebagian besar cenderung tidak memiliki hubungan dan keterikatan dengan alam, dibandingkan dengan masyarakat adat.

Contoh yang diperlihatkan oleh Fisher ini menunjukkan bahwa permasalahan ekologis tidak dapat dipandang sebagai permasalahan yang dapat dipisahkan dari sistem lain. Masalah ekologis merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Oleh karenanya, para ahli ekologi mengatakan bahwa kita perlu membawa diskursus ekologi ke dalam bentuk kerangka sosial yang familiar dengan masyarakat agar semua dapat berperan dalam menyikapi masalah tersebut. Hal ini juga sejalan dengan tesis Gramsci bahwa bahwa kita perlu memiliki sesuatu yang erat kaitannya dengan pandagan umum (common sense) seperti ideologi, filosofi, dan solidaritas yang sejalan dengan kepercayaan masyarakat.

Hal tersebut juga berkaitan dengan pemaknaan yang merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, manusia memiliki berbagai macam bahasa dalam memaknai segala sesuatu di sekitarnya, termasuk alam. Tanah bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu hal yang rendah dan kotor, sementara itu di tempat lain tanah dapat dianggap sebagai material yang memiliki jiwa dan harus diperlakukan sebagai makhluk hidup. Contoh tersebut dapat dijadikan sebagai permulaan dalam memahami bahwa organisme manusia memiliki struktur bahasa yang beragam dan sangat kompleks. Fisher menyatakan bahwa pandangan manusia terhadap sekitarnya akan memengaruhi manusia dalam bertindak terhadap sekitarnya.

Aku adalah Kamu: Memahami Alam melalui Pengalaman Mendalam

Dalam Bab II bejudul Nature and Experience, Fisher mengajak para pembaca untuk menelusuri pengalaman dan kenangan yang pernah dirasakan untuk memulai diskusi dalam bab tersebut. Fisher sangat terisnpirasi oleh John Livingston dan Neil Evernden dalam hal pemahaman terhadap alam. Di dalam bab ini, ia juga memasukkan diskurus bahasa dari Gendlin yang mengangkat soal interaksi antara perasaan dan simbol. Dalam penjelasannya, manusia seringkali merasakan berbagai pengalaman–khususnya dengan alam–namun memiliki keterbatasan dalam menyalurkan pengalaman tersebut melalui bahasa yang dapat dipahami. Hal ini merupakan suatu fenomena yang wajar terjadi mengungkat tubuh kita telah terprogram secara sistematis melalui variabel lain seperti budaya yang kita tinggali. 

Meskipun merupakan sesuatu yang wajar, bagi Fisher hal tersebut merupakan permasalahan yang krusial, karena dengan demikian manusia dapat menciptakan suatu makna tanpa harus berinteraksi dan bersentuhan dengan pengalaman tersebut (introjection). Hal ini membawa kita kembali ke bagian bab sebelumnya serta menempatkan kita ke dalam masalah yang kompleks. Sejujurnya, psikologi memang tidak dapat menjawab semua permasalahan kehidupan khususnya yang memiliki aspek-aspek yang kompleks. Namun setidaknya psikologi dapat dikonstruksikan agar dapat memiliki tawaran dalam memahami suatu masalah. Krisis ekologi dalam hal ini, jika dipahami sebagai bagian dari masalah psikologis, setidaknya dapat diangkat melalui perspektif Gestalt yang menempatkan suatu masalah pada pola-pola luas yang saling berkaitan satu sama lain. Di samping itu, Fisher juga menggunakan paradigma psikologi humanistik yang tidak memandang sinis terhadap masalah manusia.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, pendekatan Fisher cukup unik dikarenakan mengambil khasanah lokal ke dalam kerangka berfikirnya. Perlu diingat juga bahwa Fisher juga terpengaruh oleh ajaran Budhhisme, walaupun tidak secara detail mengungkapkan di dalam bab tersebut. Sebagai contohnya, Fisher mengusulkan cara lain yaitu metode Vipassana yang umum digunakan dalam praktik meditasi di dalam ajaran Buddha. Fisher memandangan bahwa Vipassana memiliki suatu kemiripan dengan proses pengalaman manusia, di mana manusia diharuskan menyadari berbagai macam hal di sekelilingnya. Untuk konteks ini, saya cukup kagum dengan kolaborasi yang dilakukan Fisher karena ia berusaha menghadirkan pendekatan yang tidak umum ke dalam konsep radikal ekopsikologi yang ia gunakan. 

Selanjutnya pada bagian akhir, Fisher memunculkan suatu istilah yang terbilang baru dalam diskursus ekopsikologi, yakni naturalistic psychology (psikologi naturalistik). Psikologi naturalistik menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan dalam menerima dan merevisi ideologi besar yang telah terkonstruksi dalam kehidupan mereka. Wacana ini juga berusaha menekankan bahwa ekopsikologi dapat menjadi suatu cara dalam memulihkan ulang perasaan kita terhadap berbagai macam hal yang berhubungan dengan keberadaan manusia. Fisher juga memperkuat tesisnya dengan meminjam contoh di dalam psikologi perkembangan terkait dengan keterikatan manusia terhadap hal-hal yang menemaninya sejak dari kecil. Analogi tersebut menempatkan ekopsikologi agar dipahami sebagai tahap-tahap manusia dalam menciptakan pemaknaan dan berakhir dengan keteritakan terhadap sekitarnya. Hal ini juga berlaku pada konteks simbol dan bahasa yang pada saat ini cenderung menghilangkan simbol-simbol seperti pohon, gunung, sungai, laut, alam dan sebagainya, serta menggantikannya dengan simbol TV, gedung, mobil, dan seterusnya.

 

Kesimpulan

Secara keseluruhan, buku Fisher mampu membawa psikologi ke dalam konteks yang lebih luas sebagaimana judul yang digunakan. Penulis menghadirkan tawaran baru dengan mengelaborasikan dengan pendekatan lain yang ia anggap memiliki peran krusial dalam konteks krisis ekologi. Ia juga tidak meninggalkan pendekatan psikologi, dengan menggunakan dua pendekatan, yakni gestalt dan humanistik. Fisher secara sukses telah melacak secara mendalam dan menekankan pentingnya problem bahasa, pemaknaan, persepsi, dan pengalaman sebagai variabel penting di dalam radical ecopsychology

Meskipun Fisher telah berhasil mengembangkan pendekatan tersebut, ia masih berkutat pada paradigma atau ideologi radical ecopsychology. Hal ini dapat dilihat pada masing-masing babnya yang cenderung mengangkat soal masalah kehidupan manusia. Sehingga, buku ini lebih cocok dianggap sebagai permulaan dalam menformulasikan dasar pemikiran ekopsikologi, dibandingkan dengan intervensi/langkah praktis dalam menjawab problematika krisis ekologi. Satu hal yang saya dapat melalui buku tersebut adalah bahwa kemungkinan manusia masih dihadapkan pada persoalan yang ada di dalam dirinya. Permasalahan yang kompleks tersebut kemudian secara langsung juga berdampak pada hal lain di luar dirinya.


Naufal Firosa Ahda

Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Fokus riset yang diminatinya adalah Psikologi Agama dan Ekopsikologi