De Postkoloniale Spiegel: Refleksi Diri ‘Mantan’ yang Toxic

Dipublikasikan oleh Rhomayda A. Aimah pada

Honings, Rick, Coen van ‘t Veer & Jacqueline Bel (eds.). 2021. De Postkoloniale Spiegel: De Nederlands-Indische Letteren Herlezen [Cermin Poskolonial: Membaca Kembali Sastra Hindia-Belanda]. Leiden University Press.


Ketika membaca sejarah nasional Indonesia, sangat mudah melihat Belanda sebagai ‘mantan’ yang toxic. Disebut ‘mantan’ karena Indonesia pernah punya masa lalu dengannya, dan toxic karena ‘si mantan’ ini eksploitatif, rasis, seksis dan abusive.

Akan tetapi, persepsi yang bagi Indonesia sangatlah lumrah ini, ternyata tidak mudah disadari oleh Belanda. Buku De Postkoloniale Spiegel (2021), yang secara harfiah berarti ‘cermin poskolonial’ ini, memang layaknya sebuah cermin tetapi dalam wujud fiksi-fiksi Hindia-Belanda yang biasanya disebut NederlandsIndische letteren. Melalui karya-karya fiksi Belanda tentang relasi Belanda dan Indonesia pada masa lalu tersebut, Belanda kali ini tidak mengamati dirinya sebagai ‘mantan yang menawan’ melainkan sedang berusaha untuk mengkonfrontasi segala keburukannya selama ratusan tahun ketika berada di Indonesia. Berhasilkah?

Editor buku ini menjelaskan bahwa De Postkoloniale Spiegel adalah salah satu upaya Belanda sebagai sebuah bangsa untuk melihat ke masa lalunya secara lebih kritis dan bahkan berhadapan dengan kejahatannya sendiri. Tentu saja, kemunculannya tidaklah serta merta. Mereka melihat pendekatan poskolonial ini sebagai efek dari dinamika masyarakat Belanda yang kini merupakan sebuah masyarakat multi-etnis (multi-etnische samenleving).

Saya pribadi mau tidak mau turut mengaitkan perkembangan ini dengan gerakan Black Lives Matter sebagai pemicunya, yang gaungnya mengglobal melampaui Amerika, dan magnitudonya secara politis sangatlah besar. Beberapa tahun terakhir, misalnya, protes yang terjadi di Eropa menuntut ditumbangkannya patung-patung kolonisator dengan rekam jejak jahat di Asia dan Afrika; tahun ini Belanda akhirnya meminta maaf kepada eks-koloninya, Indonesia, atas kejahatan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, setidaknya selama masa perang kemerdekaan Indonesia; dan raja Belgia sampai hari ini masih saja dituntut untuk secara formal meminta maaf atas kolonisasi Kongo.

Baboe met kind op Java (1867) – Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden KITLV

 De Postkoloniale Spiegel adalah sebuah proyek penelitian yang melibatkan banyak kontributor yang terdiri dari peneliti senior, peneliti muda, laki-laki, perempuan, dari Eropa dan Indonesia. Meskipun secara spesifik membahas sastra Hindia-Belanda, buku ini relevan untuk dibaca oleh siapapun yang ingin melihat dinamika pembacaan sejarah kolonialisme. Karya-karya yang dikaji di sini sangat beragam. Dan, meskipun teori besarnya adalah poskolonialisme, setiap penulis mengadopsi teori-teori yang lebih spesifik sesuai dengan karya sastra yang dianalisa di bab mereka masing-masing. Buku ini mengkaji fiksi Hindia mulai dari karya klasik Multatuli Max Havelaar (1860) yang cukup kritis saat itu, hingga yang terbaru, Lichter dan Ik (Dido Michielsen, 2021) yang memberikan suara lantang pada para Nyai. Di antara kedua karya tersebut, dikaji pula penulis-penulis kanon (seperti Louis Coupers, P.A. Daum, E. du Perron, Carry van Bruggen, Maria Dermoût dan Jeroen Brouwers); penulis perempuan (seperti Annie Foore, Mina Kruseman, Melati van Java dan Thérèse Hoven); novelis Indonesia yang menulis dalam bahasa Belanda (Suwarsih Djojopuspito dan Arti Purbani); serta penulis cerita remaja.

Buku ini menyajikan narasi tandingan untuk melawan hegemoni arus utama yang bertahan berpuluh-puluh tahun seperti yang tertuang dalam Oost-Indische Spiegel (1972) karya Rob Nieuwenhuys, ‘dewanya’ sastra Hindia. Dalam De Postkoloniale Spiegel, Hindia-Belanda tidak melulu tentang glorifikasi dan romantisme tempo doeloe, karena di sana, terlalu banyak masalah yang belum terselesaikan.

Vergangenheitsbewältigung versi Belanda

Pada bagian pendahuluan, editor buku ini mengelaborasi beberapa hal penting, seperti latar belakang penyusunan buku, landasan-landasan teori terutama poskolonialisme dan orientalisme, dan logika pembagian babnya. Pembahasan dibuka dengan merunut secara singkat asal muasal kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda, yang baru pada abad ke-19 secara efektif menjadi koloni Belanda hingga tahun 1945 (kecuali Nieuw-Guinea). Namun demikian, meskipun Indonesia telah merdeka, memori orang Belanda tentang masa kolonial di ‘de Oost’ (timur) masih tetap hidup. Di Belanda, pasar malam tahunan tetap diadakan, kuliner Indonesia sudah begitu melokal, dan tema Hindia-Belanda tetap ditulis di berbagai media dan dibuatkan filmnya. Tapi lensa yang dipakai untuk melihat ‘de Oost’ ini seringnya masih nostalgis dan kolonial.

Moet je naar huis (C. Jetses) – ilustrasi Ot en Sien in Nederlandsch Oost-Indië (2001)

Karena Belanda hari ini adalah sebuah multi-etnische samenleving, tekanan untuk melihat bangsa-bangsa lain sebagai bangsa yang setara dan tuntutan untuk melihat masa lalu dengan pendekatan yang lebih kritis menjadi semakin besar. Pada tahun 2016, sebuah proyek penelitian sejarah besar-besaran bertajuk Independence, Decolonization, Violence and War in Indonesia, 1945-1950 diinisiasi oleh pemerintah Belanda untuk menginvestigasi kekerasan dalam perang kemerdekaan Indonesia. Penelitian ini adalah kolaborasi lembaga-lembaga negara Belanda untuk kajian linguistik, geografi dan etnografi (KITLV), sejarah militer (NIMH), dan dokumentasi perang (NIOD). Hasil penelitian ini kemudian menjadi dasar bagi Perdana Menteri Belanda pada awal tahun 2022 untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama Belanda kepada Indonesia. Belanda masih terus berjibaku dengan masa lalu kolonialnya, atau yang disebut oleh editor sebagai Vergangenheitsbewältigung versi Belanda, meminjam konsep Jerman Vergangenheitsbewältigung (‘mengelola masa lalu’) untuk mengkonfrontasi gelapnya sejarah bangsa sendiri di seputaran Perang Dunia II. Bedanya, Belanda terkesan tidak ‘segalak’ Jerman sehingga proses Vergangenheitsbewältigung-nya agak telat.

Sarjana-sarjana Belanda mulai membaca ulang sejarah kolonial Belanda. Fasseur (1969) sebenarnya sudah melaporkan adanya kekerasan selama perang kemerdekaan, lalu Limpach (2016) menjelaskan bahwa ternyata kekerasan itu terstruktur, dan Hagen (2018) menunjukkan segala macam perlawanan terhadap penguasaan Hindia-Belanda yang berlangsung berabad-abad. Sejarawan mulai memperhitungkan perspektif Indonesia juga, tidak melulu Belanda. Dalam tulisan Bossenbroek (2020), misalnya, Diponegoro dan Soekarno juga memainkan peran kunci. Van Reybrouck menulis Revolusi (2020) dan merekam ingatan saksi mata dari Indonesia yang pada tahun 1945 masih sangat muda. Vergangenheitsbewältigung Belanda dianggap sudah mulai berjalan.

Teori-teori utama

Argumen mendasar untuk menjadikan sastra sebagai sumber kajian sejarah dan menyusun buku ini adalah bahwa karya sastra sangatlah krusial, bukan hanya karena teks adalah representasi dari sebuah kenyataan, tapi karena ia juga menciptakan sebuah kenyataan (Meijer, 2005). Untuk sampai pada poskolonialisme, Orientalisme (Said, 1978) menjadi referensi penting. Karya sastra tidak hanya mewakili opini individu, namun ditentukan oleh sebuah kompleksitas – teks, pengetahuan dan obyek – yang kemudian dinamakan diskursus (meminjam Foucault). Dan, diskursus orientalis ini begitu kuat dan bisa menentukan interpretasi terhadap kenyataan pada level personal. Alhasil, gambaran tentang Timur (Orient, de Oost) ini justru banyak memberikan informasi tentang Barat (bagaimana Barat berpikir) daripada tentang Timur itu sendiri. Kita jadi tahu bahwa dalam diskursus kolonial, Barat memiliki visi dirinya secara lebih unggul dan dominan.

Dalam sastra, gambaran Timur yang selalu negatif adalah diskursus kolonial yang bisa dideteksi. Orang Timur yang disamakan dengan binatang atau yang digambarkan “malas, penurut, kotor, pembohong, bodoh dan di atas itu semua: ‘beda’” adalah contohnya (hlm. 17). Mengidentifikasi sang ‘liyan’ (othering) atau yang disebut Morrison (1992) sebagai exclusionary mechanisms diperhatikan secara khusus dalam buku ini karena merupakan salah satu karakteristik yang muncul berulang dalam pendekatan kolonial, yakni menganggap Belanda superior sekaligus melihat Indonesia sebagai yang lain, asing, dan berbeda (other).

Gezigt of Lebak (C.W.M. van de Velde, 1846) – koleksi Perpustakaan Universitas Leiden KITLV

Memiliki perspektif yang lebih inklusif (terlepas dari ras, kelas atau gender) adalah salah satu metode untuk berpikir kritis (poskolonial). Editor menegaskan bahwa yang dimaksud postkolonial dalam buku ini bukanlah periode setelah kolonialisme (seperti dalam ‘Post-Soeharto’ atau ‘post-reformasi’), melainkan merupakan pendekatan kritis terhadap teks-teks kolonial (hlm. 18). Karena itu, argumen Spivak (1988) tentang gender dan subaltern menjadi penting. Boehmers (1995, 2008) juga dijadikan rujukan untuk teori poskolonial yang secara khusus bisa diterapkan dalam fiksi, karena menurutnya, sastra kolonial dan poskolonial tidak hanya mengartikulasikan kepentingan kolonial atau kepentingan nasionalis, tetapi juga berkontribusi untuk membentuk, mendefinisikan, dan menjelaskan kepentingan-kepentingan tersebut.

Sastra Hindia-Belanda dalam tiga periode

Seluruh novel dan cerpen yang dikaji dalam buku ini dibagi ke dalam tiga periode besar sesuai kronologinya, yaitu ‘Het oude Indië’ (Hindia Lama) abad ke-19, ‘Van Indië naar Indonesië’ (dari Hindia ke Indonesia) pada paruh pertama abad ke-20, dan periode 1945 hingga sekarang. Sastra dalam periode pertama, meskipun ada yang cukup kritis terhadap pemerintah Belanda saat itu (seperti Max Havelaar), atau cukup feminis (Het huwelijk in Indië), ternyata masih kolonial. Tidak ada penolakan terhadap kolonialisme dalam karya-karya tersebut. Kesimpulan yang ditarik adalah bahwa hegemoni diskursus kolonial begitu kuat sehingga untuk memiliki pemikiran di luar itu sulit dilakukan.

Awal abad ke-20 merupakan periode diberlakukannya kebijakan politik etis, yang dipicu oleh terbitnya “Een eereschuld” yang ditulis Conrad Theodore van Deventer (1899) di De Gids. Pemerintah Belanda mulai mendirikan fasilitas umum seperti sekolah dan irigasi. Dilihat dari karya-karya sastra yang dibahas, meskipun stereotip kolonial masih kental di awal, namun novel Suwarsih Djojopuspito Buiten het gareel ternyata bisa sangat anti-kolonial dan mulai merambah ke aktivisme nasionalis Indonesia.

Di periode terakhir, ketika Belanda sudah bukan bagian dari Indonesia lagi (atau sebaliknya), pembahasan utamanya adalah bagaimana para penulis Belanda berhadapan dengan kenyataan yang baru. Di awal periode ketiga ini, meskipun karya-karya mereka bernuansa post-kolonial (ditulis setelah runtuhnya kolonialisme), ternyata perspektifnya masih kolonial. Rasisme tetaplah masalah besar. Namun pendekatan poskolonial sudah terlihat dalam Lichter dan ik ketika perspektifnya tidak lagi Belanda-sentris, melainkan perempuan, nyai, dan lokal (Jawa).

Akhirnya, sejarah tidak bisa diubah, tapi perspektif bisa. Saya senang karena setiap peneliti di buku ini, ketika menjelaskan sebuah argumen (abstrak), secara spesifik menunjukkan kata-kata yang problematis dalam buku yang mereka kaji (konkrit). Ini membantu pembaca mengenali pemikiran-pemikiran yang sifatnya kolonial dalam bentuk tulisan.

Nah, belajar dari kisah ‘mantan’, Indonesia apa kabar? Vergangenheitsbewältigung-nya sudah sampai mana nih?


Rhomayda A. Aimah

Mengajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris untuk Prodi Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Ali Rahmatullah Tulungagung.