Gerakan Sosial di Indonesia Masa Orde Baru hingga Pasca Reformasi: Masih Relevankah Kini?

Dipublikasikan oleh Karunia Haganta pada

Dibley, Thushara dan Michele Ford (ed.). 2019. Activists in Transition: Progressive Politics in Democratic Indonesia (Aktivis dalam Transisi: Politik Progresif dalam Indonesia Demokratis). Penerbit Universitas Cornell.


Salah satu momen krusial pasca Reformasi adalah protes #ReformasiDikorupsi yang dilakukan serentak di berbagai daerah pada 2019 silam. Aksi tersebut didorong oleh rencana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), meski akhirnya kedua peraturan perundangan tersebut tetap disahkan di tengah gelombang penolakan publik. Aksi #ReformasiDikorupsi beberapa bulan sebelum Pandemi COVID-19 seolah menjadi nyala terakhir sebelum perlawanan menyurut di tengah krisis. Sejak saat itu, kebijakan pemerintah masih menimbulkan berbagai polemik, di antaranya pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Bahkan, suara kritis terhadap kinerja pemerintah terus diberangus dengan berbagai cara. 

Kondisi tersebut mendorong kita memeriksa ulang gerakan sosial pasca Reformasi di Indonesia. Melalui tagar #ReformasiDikorupsi yang ramai pada 2019, banyak orang meyakini bahwa bukan seperti ini Reformasi yang dahulu dicita-citakan. Lantas, bagaimana gerakan sosial yang dulunya mengubah rezim otoriter menuju demokrasi tersebut kini bertransisi? Pertanyaan tersebut berupaya dijawab dalam antologi Activists in Transition: Progressive Politics in Democratic Indonesia disunting oleh Thushara Dibley dan Michele Ford.

Buku ini menjawab tantangan Donatella Della Porta dalam karya mengenai gerakan sosial bertajuk Mobilizing for Democracy: Comparing 1989 and 2011 (2014) guna melihat dampak gerakan sosial di masa demokratisasi. Antologi ini berfokus pada gerakan progresif alih-alih konservatif. Pada pendahuluan, Dibley dan Ford berargumen bahwa gerakan sosial progresif mestinya membawa visi masyarakat terbuka dan inklusif, menghormati warga negara, serta mengupayakan kesetaraan akses hak sipil dan politik. Dalam demokratisasi, gerakan sosial progresif merupakan konstruksi bersama (co-construction), diupayakan oleh individu-individu, dan berpengaruh terhadap massa lainnya. Mengacu pada skema Rossi dan Della Porta, gerakan sosial dilihat dalam beberapa tahapan, yakni resistensi, liberalisasi, transisi, kemudian berlanjut pada perluasan nilai demokrasi. 

Namun, kasus di Indonesia cukup berbeda. Dibley dan Ford menyebutnya sebagai tahap stagnasi. Dalam konteks Indonesia, masa resistensi –sekitar 1965 hingga 1989 –dilihat sebagai masa perkembangan organisasi nonpemerintah, tepatnya pada 1970-an. Sementara, masa liberalisasi (1989-1994) ditandai dengan era keterbukaan sebagai arah kebijakan Orde Baru, menyesuaikan iklim politik dunia pada masa itu. Namun, keterbukaan tersebut tidak berlangsung lama karena segera digantikan dengan rezim Orde Baru yang represif, sehingga kemudian mendorong transisi (1994-2004). Ketika gejolak Reformasi mulai stabil sejak 2004, dimulailah masa stagnasi politik, ditandai dengan tidak adanya perubahan besar dalam demokrasi Indonesia.

Bagian selanjutnya membahas konteks gerakan sosial sebelum Reformasi 1998.  Pertama, Dibley dan Ford membahas tentang gerakan mahasiswa yang ditulis oleh Yatun Sastramidjaja. Dalam mitos yang berkembang dan dipromosikan oleh pemerintah Orde Baru, gerakan mahasiswa dipandang sebagai gerakan moral, sehingga harus netral dan bersih dari kepentingan politik praktis. Di hadapan otoritarianisme Orde Baru, gerakan mahasiswa semakin tak berdaya, bahkan dianggap tak signifikan bagi dinamika politik. 

Walaupun Orde Baru telah berakhir, aktivisme mahasiswa masih kental citranya sebagai gerakan moral. Oleh karena itu, mahasiswa kesulitan mengatur strategi untuk memperjuangkan tujuan mereka. Melalui delegitimasi gerakan mahasiswa dengan anggapan ‘telah dinodai’ atau ‘ditunggangi’, mereka dengan mudah dikacaukan, bahkan dianggap tak lagi relevan dengan kondisi sosial politik masa kini. Meskipun demikian, ambivalensi gerakan mahasiswa tersebut oleh Sastramidjaja dianggap sebagai keuntungan karena sifat fleksibel dalam menghadapi berbagai tantangan karena fokus pada konteks lokal alih-alih terobsesi dengan politik elektoral di level nasional. 

Berbeda dengan gerakan mahasiswa, aktivisme antikorupsi sangat populer di masa transisi (1994-2004) karena kekayaan kroni Soeharto yang mencolok, disimbolkan dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di masa Orde Baru. Dalam bagian ini, Elisabeth Kramer membahas gerakan antikorupsi yang semakin terkonsolidasi berkat iklim demokrasi mulai stabil pasca Orde Baru. Ketertarikan donor internasional juga turut menyuburkan menjamurnya berbagai gerakan antikorupsi. Puncaknya adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003. Di masa pasca Reformasi, KPK sebagai gerakan antikorupsi memperoleh tantangan berbagai pihak, misalnya kepolisian. Desentralisasi juga menambah beban baru pemberantasan korupsi karena maraknya tindak korupsi di tingkat lokal. Namun, kehadiran gerakan antikorupsi pada tingkat regional memberikan secercah harapan.

Bagian selanjutnya mengenai gerakan buruh ditulis Teri Caraway dan Michele Ford. Gerakan buruh melemah di masa Orde Baru dengan hanya satu serikat, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Di masa keterbukaan, gerakan buruh mulai menemukan momentum. Perlahan-lahan, berbagai organisasi buruh berdiri dan menjadi bagian penting dalam mewujudkan masa transisi. Dengan kebijakan kebebasan berorganisasi bagi buruh yang disahkan di masa Habibie, gerakan buruh berlipat ganda. Kunci kesuksesan gerakan buruh adalah konsolidasi. Di masa Reformasi, salah satu bentuk konsolidasi diwujudkan dengan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) yang memperjuangkan jaminan sosial pada 2012. Gerakan buruh juga bekerja sama dengan gerakan petani, nelayan, dan organisasi nonpemerintah terkemuka seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Trade Union Rights Centre (TURC), dan Urban Poor Consortium (UPC). Dengan memanfaatkan politik elektoral, gerakan buruh mendorong tuntutan kenaikan upah melalui sistem pemilihan langsung. Namun, ketiadaan akses langsung pada politik elektoral membuat gerakan buruh mengalami kesulitan dalam memengaruhi regulasi, misalnya pada 2015 ketika aturan penentuan upah minimum tak lagi dilakukan melalui negosiasi.

Pasang surut juga dialami oleh gerakan agraria. Di masa Orde Baru, gerakan agraria dinilai tidak konfrontatif, misalnya Bina Desa dan Mitra Tani. Gerakan agraria saat itu juga dilemahkan pemerintah melalui Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai organisasi petani resmi milik pemerintah. Organisasi nonpemerintah seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan gerakan mahasiswa Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) turut membentuk organisasi tani. Titik penting lainnya adalah berdirinya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 1994. Fragmentasi gerakan agraria tidak terhindarkan di masa Reformasi. Secara garis besar, pasca Orde Baru, gerakan agraria menggunakan tiga jenis strategi. Pertama, strategi mobilisasi dengan unjuk rasa. Kedua, strategi politik dengan mendorong pengesahan regulasi. Ketiga, strategi ekonomi dengan kegiatan ekonomi tanding.

Dibandingkan dengan gerakan sosial lain, solidaritas kaum miskin kota tidak terlalu terorganisasi. Bagian yang ditulis Ian Wilson menjelaskan bahwa pola gerakan kaum miskin kota adalah defensif karena mengutamakan keselamatan mereka dalam jangka pendek. Dalam praktiknya, gerakan tersebut termanifestasi melalui protes atau kontrak politik. Di sisi lain, gerakan ini mudah terjebak pada patronisme oleh kelompok tertentu yang menawarkan kekuasaan, misalnya preman yang memiliki relasi ke pejabat. 

Selanjutnya, pembahasan mengarah pada gerakan sosial berbasis identitas. Bagian ini dimulai dengan tulisan Greg Fealy mengenai gerakan Islam liberal progresif. Aktivisme tersebut dimotori tokoh-tokoh inteligensia muslim yang sebagian besar berlatar belakang perguruan tinggi Islam. Ketika Orde Baru mengalami “Islamic turn” dan merapatkan kekuasan dengan pihak Islam, gerakan ini terpecah antara mendekat dengan rezim Orde Baru atau tetap menjaga jarak. Berakhirnya Orde Baru menghasilkan dua kondisi: meningkatnya konservatisme Islam dan melemahnya gerakan Islam liberal. Ini terjadi lantaran berkurangnya represi terhadap islamisme, berimplikasi pada berkurangnya pendanaan internasional, karena kejatuhan rezim otoritarian.

Gerakan identitas lainnya adalah gerakan perempuan. Dalam bagian yang ditulis oleh Rachel Rinaldo, ia menjelaskan demokratisasi tidak selamanya sejalan dengan pembebasan perempuan. Organisasi nonpemerintah juga berperan penting dalam perkembangan gerakan perempuan. Di luar itu, organisasi keagamaan seperti Fatayat dan Muslimat dari Nahdlatul Ulama dan Aisyiyah dari Muhammadiyah bekerja sama untuk mendorong hak-hak perempuan. Kerja sama ini didorong karena konservatisme tereskalasi pasca Orde Baru. Di masa transisi, dibentuk Komnas Perempuan serta pengesahan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Meski demikian, desentralisasi justru menciptakan ruang bagi penguatan konservatisme melalui dukungan peraturan daerah. Bahkan, UU Antipornografi juga tetap disahkan meski diprotes oleh gerakan perempuan.

Pola serupa terjadi pada gerakan gay dan lesbian. Dalam tulisan Hendri Wijaya dan Sharyn Graham Davies, demokrasi dinilai memberi ruang bagi gay dan lesbian mengklaim hak mereka. Namun, secara bersamaan, visibilitas tersebut mengundang diskriminasi. Pada masa Orde Baru, gerakan ini bergerak dalam senyap. Di masa itu, gerakan gay lebih aktif dengan kehadiran organisasi seperti Lambda Indonesia dan GAYa NUSANTARA. Gerakan tersebut muncul melalui penerbitan, diskusi, dan film yang tidak konfrontatif dengan negara. Menjelang Reformasi, gerakan ini menguat dengan mengadakan kongres dan badan koordinasi nasional serta menjalin kerja sama internasional. Menguatnya gerakan gay dan lesbian mengundang reaksi kebencian dari negara maupun Islam konservatif. Menghadapi situasi tersebut, mereka mengambil posisi lunak dengan bekerja sama dengan media dan donor internasional.

Sementara itu, gerakan disabilitas masih kurang mendapat perhatian. Thushara Dibley menyebut gerakan ini terbilang baru dimulai sejak berakhirnya Orde Baru, terutama di Jakarta dan Yogyakarta. Melalui organisasi-organisasi di daerah tersebut, gerakan disabilitas memperjuangkan hukum yang menjamin pemenuhan hak-hak mereka. Meski terbatas, mereka memperoleh pencapaian berupa disahkannya Peraturan Daerah di Yogyakarta, undang-undang nasional, dan Komnas Disabilitas.

Pada bagian terakhir, Edward Aspinall merefleksikan berbagai studi kasus tersebut dengan menjelaskan tiga konteks gerakan sosial di Indonesia. Pertama, organisasi politik yang klientelistik. Kedua, gerakan sosial yang bertumpu pada jaringan informal. Ketiga, kehadiran oposisi terhadap tujuan progresif. Tantangan gerakan sosial adalah bagaimana mewujudkan aktivisme yang kebanyakan partikular ke dalam tujuan universal. Buku ini dapat dikatakan merupakan pengantar yang baik dalam memahami ragam isu gerakan sosial di Indonesia. 

Sebagai antologi, mustahil untuk memberi rincian lengkap di setiap bab. Meski demikian, beberapa isu yang diangkat seperti gerakan kaum miskin kota dan gerakan disabilitas memang masih jarang dibahas, sehingga menjadi sumbangan berharga bagi pengkaji sosial. Bagi pembaca yang membutuhkan sumber mengenai beragam gerakan sosial secara padat, buku ini sangat bermanfaat karena mengenalkan berbagai gerakan sosial sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi. Namun sebagai konsekuensi dari antologi, beberapa bagian muncul berulang, terutama pembahasan tentang berakhirnya Orde Baru. Terlepas dari itu, antologi Activists in Transition: Progressive Politics in Democratic Indonesia penting untuk menjadi refleksi ilmiah gerakan sosial di Indonesia. 


Karunia Haganta

Mahasiswa Antropologi UI