Kaum “Barbar” Melawan Negara

Dipublikasikan oleh Bima Satria Putra pada

Scott, James C. 2009. The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia [Seni untuk Tidak Dikuasai: Sebuah Sejarah Anarkis di Dataran Tinggi Asia Tenggara]. Yale University Press. 


Selama ini, kita menyebut masyarakat yang terisolasi, yang tinggal di bagian paling hulu aliran sungai dan dataran tinggi, sebagai “masyarakat yang tertinggal”. Biasanya label ini disematkan pada mereka yang kesulitan untuk mendapatkan akses ke pasar, buruknya jalur transportasi dan jauh dari bantuan pemerintah. Tetapi, bagaimana bisa mereka berada di sana? Apakah leluhur mereka pada suatu kali jalan-jalan dan akhirnya menemukan tempat yang ideal untuk ditempati?

James C. Scott dalam The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (2009), menawarkan cara pandang baru tentang masyarakat dataran tinggi di Asia Tenggara, dengan menemukan peran kritis macam apa yang dimainkan oleh “kaum yang tidak beradab” dalam konteks historisnya. Buku setebal 464 halaman ini adalah proyek ambisius yang mengolah data teramat kaya dari hampir seluruh bidang ilmu sosial interdisipliner, mulai dari sejarah, linguistik, geografi, etnografi, demografi, dan mitologi yang dibagi ke dalam sembilan setengah (9 ½) bab.

Dalam salah satu bagian yang bisa disebut ringkasan utama tesisnya, Scott berpendapat bahwa masyarakat yang berada di wilayah yang ia sebut sebagai Zomia di dataran tinggi Asia Tenggara, berdasarkan rancangannya memang sudah “barbar-dari-sononya”, karena dengan sengaja mengatur tatanan sosialnya untuk dapat mempertahankan otonomi mereka dari negara-negara predator di sekitar mereka. Dalam hal ini, medan yang sulit dilalui atau jarak jauh yang harus ditempuh adalah pilihan aktif untuk sengaja menjauhi peradaban. Tesis ini kontroversial karena menantang berbagai asumsi dan stereotip yang kadung populer bagi penduduk terpencil, sekaligus mempertanyakan niatan sesungguhnya dari proyek pembangunan yang dipromosikan oleh negara modern. Apakah pembangunan jalan, infrastruktur dan akses pendidikan adalah cara untuk memperkuat kekuasaan negara, sebagaimana ditunjukkan oleh kerajaan kuno?

Zomia

Bab pertama dikhususkan untuk membahas Zomia, sebuah wilayah yang Scott sebut sebagai “dunia perbatasan/pinggiran” (world of peripheries), yang ditandai dengan lemahnya tancapan otoritas karena hambatan demografis dan geografis. Zomia adalah sebutan Scott untuk merujuk pada sebuah kawasan dataran tinggi seluas Eropa, yang berada di antara pegunungan Himalaya, selatan Cina, bagian paling ujung timur laut India, sebagian besar utara Burma, serta dataran tinggi di hampir seluruh negara Asia Tenggara daratan hingga semenanjung Malaya. Wilayah ini mencakup delapan negara-bangsa, terdiri dari sekitar delapan puluh hingga seratus juta penduduk, tersusun atas ratusan suku bangsa dengan lima keluarga bahasa. Sebagian besar penduduk Zomia ditandai dengan komunitas berskala kecil yang otonom, terdesentralisasi satu sama lain dan “relatif” egalitarian. Dengan kata lain, orang-orang Zomia telah hidup di luar struktur negara (stateless), atau anarkis.

Pada bagian selanjutnya (2 & 3), Scott membahas premis geografi politik dengan menarik batas ruang negara (state spaces) di Asia Tenggara, yang kerap terbangun secara biner antara dataran tinggi-dataran rendah, atau pusat-pinggiran. Negara di Asia daratan harus menghadapi tingkat gesekan geografis yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, kebanyakan negara kuno berada di aliran sungai yang baik untuk irigasi sawah, sebab transportasi air memangkas biaya angkut beras. Scott berpendapat bahwa sebelum teknologi penghancur jarak tercipta, negara-negara kuno di Asia Tenggara sangat kesulitan untuk mengkonsentrasikan dan memproyeksikan kekuasaannya tanpa jalur air yang dapat dilayari.

Ini juga mempengaruhi dinamika kekuasan negara-negara kuno. Wilayah yang lebih datar juga memainkan peran penting untuk mempermudah penarikan pajak dan upeti, menangkap budak, dan menghukum pemberontak. Dataran tinggi dengan demikian adalah wilayah aman bagi para pelarian dan pemberontak yang mencoba mempertahankan kebebasannya, sesederhana karena tempat terpencil adalah wilayah yang tidak terjangkau oleh kekuasaan dan peradaban. Zomia tidak hanya menjadi wilayah perlawanan terhadap negara di dataran rendah, tetapi sekaligus zona pengungsi bagi para pelarian politik yang kabur dari proyek pembentukan negara.

Wilayah Merdeka

Scott mencoba membongkar narasi historis yang telah begitu mengakar tentang pemisahan antara orang beradab dengan yang tidak. Penanda utama untuk keduanya menurutnya adalah sejauh mana mereka dikuasai. Dalam konteks Asia Tenggara, menjadi beradab berarti tinggal di desa-desa permanen di lembah-lembah, mengolah ladang tetap, lebih menyukai padi lahan basah, mengakui hierarki sosial dengan raja dan ulama di puncaknya, dan menganut agama keselamatan utama —Buddha, Islam, atau, dalam kasus Filipina, Kristen. Sementara itu, orang-orang barbar adalah mereka yang hidup berpindah-pindah, menghindari pertanian yang permanen, tidak memeluk agama dominan, dan tidak mengakui otoritas. Pada akhirnya, ini akan memainkan dinamika pembentukan identitas antara yang menguasai dan dikuasai, yang dibahas dalam Bab 4. 

Menurut Scott, “yang barbar” hanya bisa dipahami dalam relasinya dengan “yang beradab”. Keberadaan peradabanlah yang menghasilkan kaum barbar. Proses pembentukan negara menghasilkan pinggiran peradaban yang terkodekan secara etnis. Ini berlaku pada negara lembah Han Cina, Siam, Vietnam, Burma dan Melayu. Misal di Nusantara, seperti dijelaskan Scott, akar dari ke-Melayu-an (malayness): “…juga dipengaruhi oleh proses masyarakat non-negara yang menjadi taklukan dari negara pelabuhan kecil.” Melayu bukanlah semata identitas etnis: tetapi juga mengakui kekuasaan Sultan, menggunakan bahasa Melayu, memeluk Islam dan terlibat dalan perdagangan di muara atau pesisir.

Negara padi (padi states) memiliki misi peradaban, untuk selalu mencoba memperluas kekuasaan dan memperbanyak taklukkannya. Seringkali, mereka yang berada di luar kendali otoritas secara budaya dibingkai sebagai “sama seperti kita, tetapi terbelakang dan kurang berkembang,” atau “leluhur kita yang masih hidup.” Binaritas ini muncul sebagai akibat dari homogenisasi, di mana negara mencoba menyebarkan agama resmi dan menghapus agama lokal, secara paksa menarik mereka ke dataran rendah sebagai tenaga kerja atau mewajibkan jenis pertanian tertentu. Negara kuno pada akhirnya berusaha memastikan bahwa orang-orang yang dikuasai dapat dipantau, dan karena itu menciptakan bahasa nasional yang sama agar mempermudah penegakan hukum.

Meski begitu, masyarakat anarkis mengembangkan beragam mekanisme untuk menangkis atau kabur dari negara. Inilah yang akan dibahas pada bab-bab sesudahnya.

Jurus-Jurus Orang Merdeka

Scott berpendapat bahwa mobilitas yang tinggi dan pemukiman semi-permanen adalah salah satu cara yang memungkinkan masyarakat tanpa negara untuk mempertahankan kemerdekaannya. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat tanpa negara hidup dengan ekonomi berburu-meramu atau pertanian ladang berpindah. Praktik ladang berpindah, klaim Scott, adalah pilihan politik untuk tetap berada di luar ruang negara. Pada bagian 6, Scott menyebut hal ini sebagai “pertanian melarikan diri” (escape agriculture). Apa yang ditanam juga merupakan pilihan politik sejauh itu sulit untuk dipantau, bernilai ekonomi rendah dan sulit untuk ditariki pajak. 

James C. Scott

Pada bagian 6½, Scott memperlihatkan bahwa masyarakat beradab juga mengembangkan aksara karena hal itu membantu penegakan hukum, pencatatan pajak, diplomasi dan penulisan sejarah. Aksara melayani bagaimana kekuasaan dapat diwariskan dan dikembangkan. Sebaliknya mereka yang tidak beradab relatif menggunakan sejarah lisan sebagai strategi pertahanan karena ia memiliki kelenturan dan dapat diadaptasi. Ketiadaan sejarah bagi masyarakat tanpa negara memaksimalkan ruang bagi mereka untuk manuver kultural. Sebagai contoh, Scott memperlihatkan bagaimana genealogi dan jaringan kekerabatan jadi lebih mudah disesuaikan untuk beragam situasi, seperti menciptakan aliansi atau pernyataan perang.

Scott pada bagian 7 juga mencoba membedah bagaimana struktur dan organisasi sosial masyarakat dataran tinggi juga melayani kepentingan untuk mempertahankan otonomi mereka. Struktur yang relatif egalitarian mempersulit pencaplokan negara karena ketiadaan otoritas mencegah kekuasaan mengkooptasi suatu wilayah tersebut. Menggunakan istilah Malcolm Yapp, suku ubur-ubur (jellyfish tribe) adalah suku tanpa kepala (asefalus), “populasi yang tidak terstruktur yang tidak menyediakan pintu masuk atau keluar.” 

Identitas kesukuan yang longgar juga membuat tiap kelompok dapat melompat dari satu identitas ke identitas yang lain yang secara sistematis adalah penyesuaian terhadap kekuasaan dan kehormatan. Oleh karena itu, Scott bahkan berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai “suku” itu sama sekali tidak ada. Ini menjelaskan tantangan antropologis yang selalu kepayahan dalam mengidentifikasi satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

Pada bab 8, Scott memberikan tiga contoh tentang nubuatan dan gagasan yang menjiwai kebangkitan orang-orang gunung melawan negara-negara dataran rendah, yang memberikan contoh kuat dari dialog yang kacau antara negara bagian dan masyarakat pinggiran. Ia menjadikan gerakan kepercayaan di antara orang-orang Hmong, Karen dan Lahu sebagai studi kasus. Menurutnya, masyarakat tanpa negara telah menciptakan mitos millennialisme sebagai sarana perlawanan populer, yang mengingatkan kita tentang pengikut Saminisme di Jawa Tengah pada zaman kolonialisme Hindia Belanda.

Mencurigai Peradaban

Negara-bangsa modern telah menceritakan secara budaya bahwa upaya memasukkan masyarakat terpencil merupakan upaya menuju pembangunan, kemajuan ekonomi, melek huruf, dan integrasi sosial. Dalam praktiknya, itu berarti sesuatu yang lain. Menurut Scott, tujuan utamanya kurang lebih adalah untuk membuat mereka “produktif”, dengan memastikan bahwa kegiatan ekonomi mereka dapat dibaca, dikenakan pajak, dapat dinilai, dan dapat disita atau, jika gagal, untuk menggantinya dengan bentuk produksi yang sudah ada. Untuk mengupayakan hal itu, negara mencoba menghapus agama lokal, menyebarkan bahasa nasional, serta memastikan bahwa penduduknya dapat diakses dan dipantau.

Kajian Scott wajib menjadi perhatian kita di Indonesia mengingat kesamaan historis, geografis dan kultural dengan penduduk di Asia daratan. Bagi para sejarawan, Scott telah mempopuler model historiografi yang tidak melulu memusatkan diri pada penguasa, tetapi juga yang dikuasai. Terlepas dari konteks dan perubahan yang telah terjadi, analisis Scott tampaknya lebih berguna sebagai bahan untuk secara kritis melihat agenda pembangunan di wilayah terpencil. Kajian Scott juga mendorong kita untuk memaknai ulang hubungan kekuasaan antara pusat-daerah dan maju-tertinggal, serta konteks historis hubungan antar ras dan agama dengan menautkannya pada sejarah pembentukan negara pada zaman kuno, kolonial hingga negara-bangsa modern.


Bima Satria Putra

Peneliti independen, penulis Dayak Mardaheka: Sejarah Masyarakat Tanpa Negara di Pedalaman Kalimantan (2021). Tetap berkomitmen menulis meski sedang menjalani hukuman 15 tahun penjara.