Desentralisasi: Anomali dalam Dinamika Politik Pembangunan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Rizaldi Ageng Wicaksono pada

Lane, Max. 2014. Decentralization & Its Discontents: An Essay on Class, Political Agency, and National Perspective in Indonesian Politics (Kekecewaan-Kekecewaan Desentralisasi: Esai tentang Kelas, Agensi Politik, dan Perspektif Nasional dalam Politik Indonesia). Penerbit Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). 


Dalam Decentralization & Its Discontents (2014), Max Lane mengajak pembaca merefleksikan sistem politik pemerintahan di Indonesia yang hingga hari ini masih eksis: desentralisasi. Menurut Max Lane, desentralisasi bukan anak kandung gerakan Reformasi 1998, tetapi malah menjadi anomali dalam dinamika politik nasional di Indonesia. Ia menggunakan argumen tersebut untuk memprediksi pemilihan presiden pada 14 Juli 2014. Di bagian pembuka, ia memprediksi bagaimana Jokowi memenangkan pemilu. Bagaimana Max Lane membedah fenomena desentralisasi dan kaitan dengan politik elektoral masa kini?

Misteri Asal-usul Desentralisasi

Buku ini dibagi menjadi empat bagian. Bab pertama berjudul The Enigmatic Emergence of Decentralization. Bab dua bertajuk The Political Economy of Desentralisasi. Sementara, bab tiga adalah Decentralization: Its Discontents, dan terakhir National Agency in a “Co-ordinative State”: The Future of Decentralization.

Dalam bab pertama, Max Lane mengajak pembaca menelusuri asal muasal desentralisasi sehingga pada akhirnya dipilih sebagai alternatif format politik otoriter di masa pasca Reformasi. Max Lane memulai pembahasan dengan argumen mengenai ketiadaan perubahan di sektor ekonomi maupun strategi sosial dalam sistem desentralisasi. Ia berargumen bahwa desentralisasi –sebagai pengganti kekuasaan sentralistik ala era Soeharto –tidak pernah dibahas dalam berbagai gerakan yang tereskalasi pada 1990-an. 

Di masa tersebut, perbincangan arus utama gerakan perlu dilihat dari penelusuran aktor penentang pemerintahan Orde Baru yang membawa ide penguatan demokrasi, anti otoritarianisme dan penentangan praktik korupsi. Tuntutan demikian bermunculan dari aktivis akar rumput yang terdiri dari kaum miskin kota, buruh dan kelas menengah bawah yang memobilisasi diri untuk turun ke jalan. Politisi yang semasa itu menjadi oposisi seperti Megawati dan Amien Rais pun tak pernah memunculkan gagasan mengenai desentralisasi. 

Max Lane

Menurut Max Lane, desentralisasi dimunculkan oleh teknokrat yang ditunjuk langsung di masa pemerintahan B.J. Habibie. Kenaikan jabatan B.J. Habibie dari Wakil Presiden menjadi Presiden menjadi momen penting bagi transisi dinamika politik di Indonesia pasca Orde Baru. Ia menunjukkan Bagaimana Habibie adalah orang yang mampu membangun jembatan antara “elit lama” untuk beradaptasi pada “kaum elit baru”. 

Ekonomi Politik Desentralisasi

Pada bagian ini, Max Lane melakukan analisis ekonomi politik kelas mengenai mengapa desentralisasi cukup masuk akal untuk diterapkan di Indonesia. Salah satu teori mendasar yang ia gunakan adalah bahwa sistem politik dianggap sebagai superstruktur guna mempertahankan proses produksi dan menunjukkan aktivitas ekonomi dalam suatu masyarakat. Singkatnya, mereka yang berada di posisi berkuasa akan memengaruhi sistem politik. 

Implementasi teori tersebut tampak dalam bab ini saat Max Lane menganalisis tentang ekonomi politik dalam praktik desentralisasi. Ia memaparkan data terkait persebaran orang kaya di Indonesia, berapa jumlah kekayaan, dan sektor bisnis apa saja yang mereka gunakan untuk mendapatkan pundi-pundi kekayaan. 

Max Lane berargumen bahwa kelas kapitalis di Indonesia berkembang begitu lemah. Perkembangan kelas borjuis di Indonesia pada masa pasca kolonial tidak pernah secara jelas lahir dari persaingan alami khas kapitalisme Barat (western capitalism). Di masa Orde Baru, kelas borjuis dalam negeri menguat dengan politik patron klien dengan Soeharto. Bahkan, data yang ditunjukkan oleh Max Lane belum menjelaskan kekuatan kelas borjuis secara komprehensif. Ia justru menunjukkan bahwa Indonesia dikerubungi oleh lautan borjuis kecil dengan kapital terbatas yang hanya dapat eksis dan bersaing di skala provinsi ataupun kabupaten. 

Data tersebut tidak mengalami perubahan signifikan di masa pemerintahan Joko Widodo. Melalui buku oleh Zulfan Tadjoeddin dan Anis Chowdhury (2019) bertajuk Employment and Re-Industrialisation in Post Soeharto Indonesia menunjukkan bagaimana perusahaan manufaktur skala kecil mendominasi lebih dari 90% aktivitas produksi di Indonesia, dan 1,5% manufaktur skala besar. Persebaran kelas borjuis ini memengaruhi desentralisasi yang pada akhirnya mampu menguatkan eksistensi politisi dan partai politik di kalangan lokal. Namun hubungan antara desentralisasi dan politik lokal tersebut tidak dijelaskan dalam buku ini. 

Ketidakpuasan atas Desentralisasi

Bagian ketiga buku mencoba memotret dampak praktik sistem desentralisasi secara garis besar, salah satunya adalah minimnya agenda pembangunan ekonomi nasional. Pasalnya, ekonomi tidak hanya berkutat pada akumulasi kapital, tetapi justru bagaimana menggunakan modal untuk mendorong industrialisasi. 

Kendati muncul berbagai program pembangunan ekonomi seperti MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) di era Susilo Bambang Yudhoyono, proyek tersebut justru dinilai tidak menggairahkan publik. Kendati, kritik terus disuarakan oleh kelompok sayap kiri, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan peneliti atas pembangunan bertemakan ekonomi nasional ini. 

Dinamika kelas dalam relasi produksi sosial yang dipaparkan di bab sebelumnya menunjukkan bagaimana politik elit lokal di daerah justru mendominasi perekonomian dan suara politik. Maka, ketergantungan tiap daerah pada pendanaan yang digelontorkan oleh proyek nasional justru menjadi sebuah anomali. Meskipun demikian, konteks tersebut menunjukkan bagaimana praktik desentralisasi tidak berdampak mendongkrak ekonomi nasional. 

Max Lane juga membedah bagaimana desentralisasi seharusnya menghasilkan persaingan antar daerah untuk mendongkrak ekonomi nasional ternyata tidak pernah terwujud. Ia lantas melontarkan kritik atas diskusi desentralisasi seperti disampaikan oleh Pepinsky dan Wihardja dalam Decentralization and Economic Performance in Indonesia. Ia melontarkan kekecewaan terhadap dua peneliti yang menurutnya tak memiliki analisis atas kekosongan peran kelas sosial dalam relasi produksi melalui perspektif ekonomi nasional. Maka dari itu, diskusi mengenai ketidakmerataan pembangunan sosial, ekonomi dan kelembagaan sebagai bagian dari perencanaan dan pembangunan di tataran elit politik, menjadi topik yang masih jarang dibahas. 

Agen Nasional dalam “Negara Koordinatif”: Masa Depan Desentralisasi

Di bagian terakhir, Max Lane masuk pada perdebatan yang telah lama berkembang mengenai desentralisasi: yakni bagaimana daerah luar melawan “pusat” (diidentikan dengan Pulau Jawa). Ia berangkat dari kesesatan argumen tentang desentralisasi yang dianggap menguatkan kontradiksi antara daerah dengan pusat. Padahal, di masa desentralisasi kini, perdebatan antara daerah dan pusat tentang persebaran kekayaan nasional guna memfasilitasi ekonomi nasional dan pembangunan sosial masih jarang dilakukan.

Ketiadaan diskusi tersebut lantaran pemerintahan Orde Baru dengan model kapitalisme kroni yang tidak melahirkan ideologi perspektif tentang imajinasi pembangunan nasional. Kapitalisme kroni merupakan istilah di mana kesuksesan suatu bisnis bergantung pada relasi personal antara dengan pejabat pemerintah. Padahal, model tersebut justru meninabobokan kelas kapitalis nasional dengan perlindungan militer dalam setiap aktivitas perekonomian yang dijalani. 

Berakhirnya kroni kapitalisme membuka kesempatan kelas borjuis lokal untuk bergerak sebagai agen politik di tataran nasional. Ia memberikan contoh misal naiknya profil Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Ganjar Pranowo, dan lain sebagainya. Pada bab ini, Max Lane mencoba mendalami rekam jejak karir politik mereka, terutama Joko Widodo.

Max Lane juga melihat bahwa isu mengenai jaminan sosial menjadi tema yang seksi untuk diangkat oleh elit lokal kemudian merangkak menjadi elit nasional. Isu tersebut secara tidak langsung juga mematikan potensi politik mobilisasi massa kelas non-kapitalis di Indonesia. Selanjutnya, ia juga menunjukkan bahwa potensi agen politik nasional non-borjuis mulai bermunculan di tengah desentralisasi. Fenomena ini ditunjukkan dengan memotret dinamika gerakan buruh pasca 1998. Disebutkan pula di buku lain, bagaimana gerakan buruh sempat menjadi ancaman kelas borjuis nasional semenjak 2010 hingga 2012. Potensi tersebut semakin tampak  ketika terdapat intervensi yang dilakukan oleh agen-agen serikat buruh dalam melakukan intervensi terhadap pemilihan kepala daerah di beberapa daerah pusat industri.

Refleksi

Buku ini adalah satu dari sedikit analisis alternatif dari para pengamat politik dan sejarah Indonesia kontemporer. Analisis Max Lane menggunakan pendekatan kelas khas Marxian menunjukkan satu titik penting di mana desentralisasi tidak muncul dari aspirasi gerakan rakyat akar rumput pada 1980 hingga 1998-an. Justu, ia menunjukkan betapa desentralisasi menciptakan kekecewaan karena perkembangan ekonomi nasional justru mengalami stagnasi. Max Lane juga menganalisis bagaimana saat ini, aktor politik lokal dapat dengan mudah merangkak dalam pertarungan politik nasional. Seiring dengan masa kepemimpinan dua periode Joko Widodo sebagai presiden hampir berakhir, buku ini bisa menjadi pijakan untuk memetakan siapa saja yang berpotensi memenangkan pemilihan presiden 2024 mendatang. 

Namun, kini yang belum terlihat adalah peran non-kapitalis dalam melakukan intervensi politik di Indonesia. Kendati muncul Partai Buruh dengan Said Iqbal sebagai pimpinan, manuver politik dia belum menunjukkan angin segar yang mengisi kekosongan dalam sistem politik desentralisasi, yakni pembangunan nasional secara signifikan. Meskipun begitu, penelitian mengenai peran kelas buruh dalam dinamika politik Indonesia kontemporer dan hubungan dengan desentralisasi akan sangat menarik untuk diangkat secara lebih mendalam.