Cultuurstelsel dan Kompleksitas Industri Gula di Jawa pada Masa Kolonialisme Belanda

Dipublikasikan oleh Muhammad Rizky Pradana pada

Knight, G. Roger. 2014. Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in Colonial Java, 1830-1885 [Gula, Uap dan Baja: Proyek Industri di Jawa Era Kolonial, 1830-1885]. Penerbit University of Adelaide Press.


Apa jadinya hidup kita tanpa gula? Makanan dan minuman tentu jadi tak manis, terlebih gula merupakan bahan tambah pada masakan yang sudah dikonsumsi sejak lama. Tanaman tebu menjadi salah satu komoditas yang dibudidayakan untuk kebutuhan industri perkebunan sejak masa kolonial Belanda. Bahkan, komoditas gula telah sejak lama menjadi faktor yang mengubah lanskap pulau Jawa, terutama sejak 1830 melalui Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) besutan Van den Bosch. Kolonialisme Belanda di Jawa berikut dengan sistem tanam paksa membuat lahan pertanian warga di masa itu berubah menjadi perkebunan. Dibangunnya industri gula dan perluasan perkebunan tebu akibat sistem tanam paksa telah membawa Pulau Jawa sebagai salah satu produsen gula dunia, bersanding dengan Karibia dan Jerman.

G. Roger Knight menghadirkan historiografi epik yang menggambarkan Indonesia sebagai Oriental Cuba atau Kuba Timur. Pembahasan di buku ini terbagi menjadi tiga topik utama: Revolusi Industri di pabrik gula sejak Revolusi Perancis hingga Perang Dunia I, jejak borjuasi kolonial dalam industri gula; serta perkembangan teknologi manufaktur perkebunan sejak dekade pertama hingga krisis gula internasional pada 1984. Dalam bab pertama, Knight menjelaskan sejarah industri gula yang dimulai dari teknik sederhana dan kuno, hingga akhirnya berkembang menjadi manufaktur besar canggih. Selama berabad-abad, produksi gula dilakukan dengan cara tradisional. Untuk menghasilkan gula, batang tebu harus digiling hingga menghasilkan tetes cairan yang kemudian diekstrak menjadi butiran halus. Proses penggilingan tradisional dilakukan menggunakan tenaga manusia, hewan, atau air (sungai/air terjun). Proses tradisional tersebut memakan waktu dan membutuhkan banyak tenaga kerja, keahlian, serta pengalaman baik sebagai pekerja, pengawas, atau pengelola.

Kehadiran Revolusi Industri mulai menyingkirkan tenaga manusia dan hewan, untuk digantikan dengan mesin-mesin uap. Industri manufaktur gula pun juga terkena imbas. Mesin uap statis untuk gula pertama kali didirikan di Kuba–dijuluki sebagai “surga gula di Barat”pada 1797. Industri ini kemudian menyebar dari Kuba hingga ke Karibia, Inggris. Di belahan dunia lain, kawasan Asia Tenggara menjadi kompetitor industri gula, karena pabrik di sana hadir jauh sebelum 1830 an. Namun, penggunaan mesin uap di Asia Tenggara baru masif pada periode tahun 1840 – 1870 an. Di waktu hampir bersamaan, yakni pada 1850 an, terjadi kolaps industri manufaktur gula di anak benua India, hingga mereka beralih pada komoditas nila (indigo). Kejadian serupa terjadi di Mauritius pada 1870, sehingga kejatuhan manufaktur tebu di berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara kemudian membuat industri gula di Jawa mulai bangkit. Sejak saat itu, pemerintah kolonial Belanda di Kepulauan Hindia memainkan peran penting dalam industri gula dunia. Jawa dianggap menjadi wilayah paling maju untuk mengembangkan industri gula. Bertahannya industri gula di wilayah ini didukung dengan kemajuan sains terapan.

Pada bab dua, Knight menganalogikan campur baur pengetahuan baru untuk menghasilkan sains terapan sebagai Creole Prometheus –istilah Kreol yang bermakna mirip dengan akulturasi. Prometheus dalam mitologi Yunani adalah titan dengan kecerdasan dan keahlian, yang mencuri api milik Zeus dan memberikannya kepada manusia. Ia mengambil analogi Prometheus untuk menjelaskan penggunaan teknologi baru dalam bidang industri, termasuk penemuan besi dan mesin uap yang mendorong penemuan kereta api, kapal uap, hingga kebutuhan militer. Di Kuba, pembangunan jalur kereta api berkembang bersamaan dengan industri manufaktur gula. Sementara di Jawa, kereta api berkembang pada 1867 menyusul transportasi laut (kapal uap) yang muncul lebih dulu di Surabaya, Jawa Timur pada 1820 an.

Penggunaan mesin uap di pabrik gula di Jawa mengalami akselerasi, hingga akhirnya berdampak pada meningkatnya posisionalitas Pulau Jawa dalam konstelasi ekonomi dunia. Dengan digunakannya mesin uap, kebutuhan tenaga ahli mekanik dan insinyur meningkat. Selain itu, diaspora pekerja terampil dari berbagai wilayah koloni pun terjadi. Di bab ini, Knight menceritakan berbagai sosok pengusaha industri gula di masa itu, misalnya Oei Tiong Ham, Alexander Lawson, Theodore Lucassen, Thomas Edwards, dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah pensiunan militer yang menggunakan koneksi ke pemerintah untuk mendapatkan konsesi lahan. Kawasan Surabaya, Jawa Timur juga menjadi salah satu pusat industri bagi Eropa karena kemajuan industri gula maupun manufaktur baja di sana.

Di bab tiga, Knight menjelaskan hubungan antara sistem tanam paksa dengan kejayaan industri gula di Jawa. Pada masa tersebut, industri gula menyokong kebangkitan pemerintah kolonial Belanda sebagai pengekspor gula, meskipun skala pasarnya di bawah Kuba. Knight beranggapan bahwa cultuurstelsel yang bertujuan meningkatkan produksi komoditas ekspor seperti gula, kopi, dan nila menjadi pendorong stabilitas industri gula di Jawa. Pada bab empat, Knight menjelaskan tentang basis agraria dalam industri gula yang selama ini diasosiasikan dengan perkebunan dan perbudakan. Ia berargumen bahwa industri gula di Jawa sejatinya telah berdiri sejak lama, di mana perkebunan tebu diurus oleh petani miskin (buruh tani), dan juga ditanami komoditas lain. Apabila di Kuba perkebunan hanya difokuskan untuk tebu, di Jawa, diterapkan sistem tanam bergilir di perkebunan, misalnya tebu dan padi. Hal ini berkaitan erat dengan pengaturan oleh administrasi lokal, yang diimplementasi tanpa usikan pemerintah kolonial Belanda. 

Sistem feodalisme yang mendukung hegemoni industri gula tak bisa disangkal turut memengaruhi kehidupan sosio ekonomi pedesaan agraris Jawa di tanam paksa. Hal ini tampak dari pengerahan petani miskin untuk menanam tebu secara wajib di bawah pengawasan otoritas Belanda atau pejabat resmi pemerintahan Jawa (bupati, hingga kepala desa). Kerja paksa tersebut terjadi karena feodalisme tak imbang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu contohnya, yakni para priyayi yang diberikan keistimewaan menerima keuntungan bonus panen perkebunan (cultuurprocenten). Akibatnya, berbagai pemberontakan petani bermunculan, meski kemudian berhasil diatasi oleh pemerintah kolonial.

Dalam bab kelima, Knight menjelaskan bahwa kaum borjuis (yang sebagian besar tinggal di perkotaan) memiliki peranan vital dalam memertahankan proyek industri gula di Jawa pada masa itu, termasuk dengan memanipulasi hubungan bisnis dengan Belanda. Pasalnya, konstelasi manufaktur gula yang sebelumnya (1830 – 1840 an) dipegang oleh pemerintah kolonial, akhirnya diambil alih oleh para pengusaha swasta. Para borjuis (atau disebut sebagai ‘Tuan Gula’) menggunakan profit mereka untuk merenovasi pabrik, membangun pabrik baru, bahkan membuka usaha pertanian yang jauh dari jangkauan Belanda.

Selanjutnya, bab terakhir menjabarkan tentang industri dan sains terapan yang berperan menekan efisiensi produksi di pabrik gula. Salah satunya, ia bercerita tentang pabrik gula Colomadu yang menurut Van Gennep “tidak biasa” karena digunakannya berbagai teknologi mutakhir (juga mahal) dalam operasional; selain itu, menjadi semakin mengagetkan karena industri gula Colomadu dimiliki oleh orang Jawa. Knight juga membahas bagaimana kemunculan berbagai institut penelitian di Pasuruan, kehadiran ahli kimia, dan Dr. Ostermann sebagai pelopor lembaga riset di Jawa Barat (di bawah arahan ahli kimia dan fisika dari Jerman) –memainkan peranan penting dalam perkembangan manufaktur gula di masa tersebut.

Knight menutup tulisan dengan pembahasan tentang berakhirnya kejayaan industri gula pasca Perang Dunia II. Pada 1942 hingga 1945 saat Hindia Belanda dikuasai Jepang, banyak pabrik gula ditutup untuk dijadikan bengkel persenjataan dan keperluan perang. Pada periode 1945 – 1949, banyak pabrik gula dibumihanguskan oleh pejuang republik agar tidak dimanfaatkan musuh sebagai objek vital. Setelah Belanda mengakui kekalahan, Indonesia pun mewarisi proyek industri gula yang kemudian difungsikan kembali. Pada periode nasionalisasi tahun 1957-1959, terdapat 50 pabrik gula masih beroperasi di Jawa. Jumlah itu adalah dua pertiga dari total pabrik gula pada masa kolonial Belanda. Pasca 1960 an, industri gula kemudian ditempatkan di bawah pengawasan militer. Hingga hari ini, gula dari Jawa telah lenyap dari pasaran dunia, dan hanya melayani pasar domestik. Bahkan, pada akhirnya negara mulai mengimpor gula. Beberapa pabrik gula yang tak lagi beroperasi pun kini telah beralih fungsi jadi museum, sementara beberapa lainnya diganti dengan mesin baru untuk difungsikan sebagai pabrik kembali.  Ini menjadi memorabilia kejayaan industri gula di Jawa masa kolonial Belanda.

Historiografi ini menarik karena Knight berusaha menggambarkan cultuurstelsel sebagai pelindung yang menciptakan stabilitas industri gula di Jawa. Analisis Knight mengenai kemajuan industri gula di masa lalu kaitannya dengan sistem tanam paksa, feodalisme Jawa, sains terapan, dan kelindan hubungan Belanda dengan pengusaha lokal menjadi sumbangan penting bagi sejarah kolonialisme. Dari buku ini kita belajar, bahwa industri gula tak sekadar tentang bisnis. Barangkali, gula di Jawa tak akan lagi berjaya seperti dahulu, tetapi kisah Knight memungkinkan kita menjelajahi masa masa lalu sejarah tersebut.

 


Muhammad Rizky Pradana

Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Airlangga. Minat kajian seputar sejarah umum, pergerakan buruh dan pers kolonial, etnoastronomi, dan sejarah astronomi. Saat ini sedang membangun Insulinde Sejarah, sila kunjungi di @insulindesejarah.