Gerwani, Kepanikan Seksual, dan Kemunculan Orde Baru

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Wieringa, Saskia. 2002. Sexual Politics in Indonesia [Politik Seksual di Indonesia]. Penerbit Institute of Social Studies, The Hague. 


Kemunculan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kampanye yang direkayasa untuk memicu kepanikan seksual di masyarakat. Demikianlah kata Saskia Wieringa, seorang sosiolog di Universitas Amsterdam, dalam bukunya Sexual Politics in Indonesia (2002). Menurutnya, moralitas bangsa seolah diancam oleh para perempuan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang konon menari dengan telanjang, mencukil mata para jenderal, dan melukai kemaluannya di Lubang Buaya pada pagi G30S (Gerakan 30 September) itu. Inilah narasi yang disebarkan oleh Suharto pada akhir tahun 1965. 

Dalam bukunya itu, Wieringa menawarkan sebuah analisis gender terhadap kejadian ‘65 serta pembunuhan massal dan kudeta yang mengikutinya. Dalam pandangan Wieringa, dinamika gender sering diabaikan oleh para sejarawan yang mengkaji malapetaka nasional ini. 

Bagi Wieringa, kekerasan tahun ‘65 menjadi landasan bagi “iklim intelektual” Orde Baru yang patriarkis, dan bisa dibaca sebagai reaksi terhadap gerakan perempuan yang semakin kuat dan berani pada tahun-tahun sebelumnya. Setelah “pembasmian” PKI (Partai Komunis Indonesia), perempuan Indonesia “ditundukkan kembali” di bawah rezim patriarkis Suharto (hal. 5). “Kodrat” wanita ditegakkan secara resmi, dan gerakan perempuan lenyap dari medan politik—diganti dengan organisasi-organisasi birokratis-hirarkis seperti Dharma Wanita.

* * *

Buku ini bukan hanya tentang kekerasan tahun ‘65 dan warisan patriarkisnya. Wieringa, yang sudah meneliti sejarah gerakan perempuan Indonesia sejak dekade 1970an, menyajikan sebuah sejarah gerakan perempuan secara umum, serta sejarah Gerwani secara khusus. Tiga bab (2, 3, dan 4) menceritakan awal perkembangan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia dan perkembangannya hingga akhir rezim Sukarno. Bab-bab berikutnya (5, 6, dan 7) menyoroti Gerwani secara khusus dengan memperhatikan hubungannya dengan PKI dan Sukarno. Bab terakhir (8) mengangkat propaganda anti-Gerwani dan kehancurannya dalam proyek pembunuhan massal yang dilaksanakan setelah G30S. 

Wieringa menawarkan tiga jenis “sejarah tersembunyi” dalam karya ini—yang terbit hanya beberapa tahun setelah kejatuhan Suharto. Pertama, ia menceritakan sejarah gerakan perempuan, yang menurutnya, jauh lebih radikal daripada yang diakui oleh kebanyakan sejarawan. Kedua, ia membongkar sejarah palsu tentang Gerwani yang sudah menjadi organisasi terlarang selama Orde Baru. Ketiga, ia menawarkan sebuah analisis gender terhadap kejadian ‘65 (hal. 8).

Wieringa menggarisbawahi tiga aspek penting dari metode penelitian feminis yang digunakannya. Pertama, “empirisisme feminis” yang menggunakan pengalaman perempuan sebagai data kasar. Kedua, “feminisme berbasis sudut pandang” (standpoint feminism) yang menghargai perspektif dari kelompok tertindas, sebab merekalah yang dapat melihat struktur penindasan dari sudut pandang yang lebih jernih. Ketiga, pendekatan posmodernis yang membedah narasi atas “kebenaran” sebagai hasil dari relasi kuasa (hal. 16-7). 

Lantaran kebanyakan arsip dari organisasi-organisasi dalam “keluarga komunis” (termasuk PKI, Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat, SOBSI, dan BTI) disita dan dihancurkan dalam kekerasan ’65, sumber yang digunakan Wieringa terbatas pada dua sumber data utama berikut. Pertama, ia membaca arsip dan media organisasi-organisasi ini di beberapa perpustakaan di luar negeri, terutama Cornell dan Leiden. Kedua, ia menggunakan data yang ia peroleh dari hasil wawancaranya dengan mantan-mantan anggota Gerwani, baik secara diam-diam saat Orde Baru masih berkuasa maupun secara terbuka setelah Reformasi. 

* * *

Suatu organisasi dan gerakan sosial tidak bisa dikaji tanpa melihat konteks yang dihadapinya. Karena itu, Wieringa memulai pembahasannya dengan ideologi gender yang dominan dalam masyarakat Indonesia pada awal kemerdekaan. “Kodrat” wanita merupakan konsep penting yang diperebutkan dalam wacana gender nasional. Menurut Wieringa, konsep ini tidak pernah dikritisi atau ditolak secara utuh oleh Gerwani atau ormas perempuan lain, sebab semua unsur dalam gerakan perempuan tetap berkeyakinan bahwa biologi dan peran sosial perempuan itu berbeda dari laki-laki. Meskipun demikian, tanpa harus ditolak, konsep “kodrat” ini masih bisa diartikan ulang.

Saskia E. Wieringa

Menurut Wieringa, terdapat dua model utama “kodrat” yang kerap dihadap-hadapkan pada zaman awal kemerdekaan: Sumbadra dan Srikandi. Sebagai sama-sama istri dari Arjuna (seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata), kedua tokoh wayang ini mencitrakan dua visi bagi peran perempuan. Sumbadra adalah sosok istri yang penurut, setia, dan tidak tampil ke hadapan publik, sedangkan Srikandi mempunyai sifat berani dan ikut turun ke medan perang. Sosok Srikandi lah yang dijadikan sebagai model perempuan sejati bagi Gerwani, yakni tipe perempuan penggerak militan dan istri setia sekaligus. 

Pertanyaannya kemudian, kepada siapakah Gerwani setia? Gerwani tidak pernah berafiliasi dengan PKI secara resmi. Akan tetapi, secara ideologis dan keanggotaan, Gerwani memiliki banyak kesamaan dengan partai tersebut. Dalam perkembangannya, terutama pada awal 1960an, Gerwani semakin tampil layaknya bagian dari PKI. Gerwani juga menunjukkan kesetiaannya kepada Sukarno sebagai pemimpin revolusi nasional. Sama halnya dengan PKI dan ormas kiri lainnya secara umum, Gerwani hampir selalu mendukung dan terlibat secara antusias dalam semua kampanye Sukarno (seperti di Irian Barat dan Malaysia). Bahkan, saat Sukarno mulai berpoligami pada tahun 1953, Gerwani memilih bersikap diam, padahal inilah isu yang selama ini mereka lawan dengan keras. Hal ini kemudian memicu kritik dan kekecewaan dari organisasi perempuan lainnya. 

Lantas, isu-isu apa yang memotori Gerwani sebagai suatu gerakan? Menurut Wieringa, terjadi pergeseran dalam ideologi Gerwani, mulai dari masa berdirinya organisasi ini pada tahun 1950 hingga mengalami kehancuran 15 tahun berikutnya. Dari awal, Gerwani lahir sebagai organisasi dengan dua sayap: feminis dan sosialis. Tetapi lama-kelamaan, seiring akrabnya Gerwani dengan Sukarno dan PKI, kegiatan dan wacana yang mereka produksi semakin memprioritaskan isu-isu sosialis dan anti-imperialis ketimbang isu-isu “feminis.”

Seperti ormas-ormas perempuan lain, Gerwani (awalnya bernama Gerwis, Gerakan Wanita Istri Sedar) lahir dengan memperjuangkan isu-isu yang berdampak pada perempuan, seperti poligami dan pernikahan anak, harga sembako, dan pendirian TK. Gerwani tidak hanya menjangkau perempuan elit atau kelas menengah, tetapi juga menyuarakan dan memperjuangkan isu-isu ini di kalangan rakyat buruh kota dan petani desa. Karena berbeda dengan organisasi perempuan lainnya yang cenderung lebih elitis, Gerwani berkembang pesat—anggotanya mula-mula berjumlah 80.000 pada tahun 1954 sampai lebih dari 600.000 pada akhir tahun 1957 (hal. 152-54). 

Selain itu, berbeda dengan gerakan perempuan lainnya, pemikiran Gerwani yang sosialis tersebut selalu mengaitkan isu-isu “perempuan” dengan dinamika politik nasional dan global, seperti keberlanjutan dominasi modal asing yang memiskinkan negara dan rakyat. Oleh karena itu, Sukarno menjadikan Gerwani sebagai ormas perempuan idaman, karena menurutnya, hanyalah Gerwani yang tidak tampil sebagai sebuah “ladies’ club” bagi perempuan borjuis-elit. Akan tetapi, perlu diingat di sini, sebagaimana disinggung di muka, kebanyakan organisasi perempuan lainnya mengecam poligami Sukarno.

Lama-kelamaan, Gerwani lebih tampak sebagai organisasi sosialis yang beranggotakan perempuan daripada organisasi yang bisa dikatakan “feminis.” Menurut Wieringa, sifat feminisnya mulai menghilang. Lantaran semakin akrabnya dengan Sukarno, Gerwani kemudian lebih berfungsi sebagai wadah untuk memobilisasi massa perempuan untuk mendukung kampanye-kampanye presiden, bukan untuk menuntut kepentingannya sendiri. Sejak kongresnya pada tahun 1961, Gerwani hampir tidak pernah mengangkat isu poligami dan pernikahan anak lagi. 

Kegiatan Gerwani dalam ranah sosial—seperti pendirian TK—dihargai oleh PKI dan Sukarno sebagai wujud kontribusi perempuan yang sesuai kodratnya (yaitu sebagai pemimpin di ranah sosial, bukan politik). Orientasi gerakan Gerwani kemudian bergeser: dari penggerak mandiri kemudian berubah menjadi pendukung rezim. Menurut Wieringa, pada titik inilah Gerwani bertindak seperti Srikandi: terlibat secara aktif dan militan dalam perjuangan yang dipimpin oleh Arjuna (Sukarno). 

Menurut wacana Gerwani pada saat itu, pendekatan yang mereka tempuh tidak bertentangan dengan identitasnya sebagai gerakan perempuan. Dalam retorika Gerwani, kesetaraan dan keadilan bagi perempuan hanya bisa diraih dengan mewujudkan masyarakat sosialis. Kemajuan perempuan di negara-negara sosialis seperti Rusia, Cina, Vietnam, dan Korea Utara dijadikan contoh dari tujuan yang bisa dicapai oleh perempuan Indonesia. 

Wieringa juga mencatat bahwa—berbeda dengan narasi Orde Baru yang menuduhnya asusila—Gerwani masih cukup konservatif dalam isu-isu sosial-moral. Gerwani menentang keras “imperialisme budaya” dalam bentuk film dan musik dari Amerika Serikat yang berunsur seksual. Gerwani juga berjuang demi menghilangkan pelacuran dari Indonesia. Secara umum, Gerwani berusaha menjadi “ibu” yang baik bagi bangsa yang muda (baru merdeka) dengan melindungi anak-anak dari hal-hal buruk (yang mereka samakan dengan hal-hal borjuis-kapitalis). 

* * *

Sebagaimana dijelaskan Wieringa, semua cerita tentang kekejian Gerwani di Lubang Buaya hanyalah mitos belaka. Laporan autopsi dari para jenderal menyatakan tidak adanya tanda penyiksaan di kemaluan atau mata sama sekali. Semua “pengakuan” dari anggota-anggota Gerwani yang belakangan dikutip di media itu didapatkan secara terpaksa saat disiksa tentara. Semua foto tarian telanjang (“Harum Bunga”) yang belakangan beredar di koran direkayasa oleh tentara dengan menggunakan para tahanannya secara paksa. Singkatnya, Gerwani dikambinghitamkan. 

Tetapi bagi Wieringa, membongkar mitos tidaklah cukup. Kita juga harus bertanya: mengapa mitos itu bisa muncul dan tersebar sehingga seakan-akan menjadi fakta? Mengapa Gerwani menjadi sorotan utama (di samping PKI sendiri) dalam kampanye media pasca-G30S? Siapa yang beruntung jika Gerwani disalahkan?

Menurut Wieringa, Suharto “memanipulasi secara sengaja” masyarakat Indonesia supaya membenci PKI dan Gerwani dengan memanfaatkan norma-norma budaya, seksualitas, dan agama. Pada bulan-bulan setelah G30S, Suharto sebagai dalang memprovokasi masyarakat dengan cerita-cerita palsu tentang tarian telanjang dan pengebirian para jenderal. Melalui analisis media, Wieringa melacak perkembangan cerita ini pada koran-koran yang terbit pada akhir tahun 1965, yang setiap harinya menjadi semakin heboh (dan terputus dari kenyataan). 

Ormas-ormas agama—termasuk cabang perempuannya—menyambut propaganda ini dengan cukup antusias (dan kerap terlibat langsung dalam pembunuhan massal). Menurut Wieringa, kalangan agamis sudah lama tersinggung oleh keberanian Gerwani di ranah politik, yang dianggap menyama-nyamai peran laki-laki dan menyimpang dari ajaran agama. 

Pembantaian juga dijustifikasi dengan logika patriarkis. Jika Gerwani bertindak asusila, PKI dianggap sebagai walinya yang bertanggung jawab dan layak disalahkan. PKI dianggap “membiarkan” “perempuannya” menyimpang dari norma agama dan adat. Tatanan masyarakat seolah-olah dibuat amburadul oleh Gerwani dan PKI, dan karena itu, harus dibasmi. Berdasarkan logika ini, hadirnya pahlawan yang menyelamatkan masyarakat dan menatanya kembali merupakan suatu desakan, dan di sini lah persis ide tentang Orde Baru itu dimunculkan. 

Selama rezim Orde Baru, “PKI” menjadi bayangan yang menghantui kehidupan politik dan sosial. Apa ancaman di balik hantu itu? “Jangan-jangan PKI bangkit lagi dan demam kekejian seksual tersebar kembali!”, demikianlah yang bisa kita lihat dari perbincangan publik. Gambar-gambar fantastis para anggota Gerwani di Lubang Buaya—seperti pada patung Monumen Pancasila Sakti atau dalam film Pengkhianatan G30S/PKI—melambangkan bahaya yang pernah melanda masyarakat Indonesia sebelum diselamatkan oleh Orba. 

Menurut Wieringa, Suharto justru membutuhkan citra kekejian Gerwani untuk dikambingkitamkan demi memperkukuh rezimnya. Dalam masyarakat “pasca-Orba”, bukankah saatnya mitos-mitos semacam itu dibongkar?