Sejarah Kecupan dalam Budaya Populer: Dari Roman Kesatria hingga ‘Ada Apa Dengan Cinta?’

Dipublikasikan oleh Sarah Wisista pada

Danesi, Marcel. 2013. The History of the Kiss!: The Birth of Popular Culture [Sejarah Kecupan!: Kelahiran Budaya Populer]. Penerbit Palgrave Macmillan.


Tokoh protagonis film Pretty Woman (1990), seorang pekerja seks bernama Vivian Ward yang diperankan oleh Julia Roberts, berkata bahwa ia akan melakukan apa pun untuk kliennya, kecuali mencium di mulut. Alasannya sederhana sekaligus runyam: Vivian tak ingin membangun perasaan romantis kepada mereka. Dalam novel karya Dewi Lestari, Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh (2001), seorang tokoh bernama Diva yang juga pekerja seks, mengimani prinsip serupa. Hanya kepada seorang pria bernama Gio, ia mengizinkan bibirnya dikecup. Satu-satunya pria yang diperbolehkan masuk ke ruang tamu, sementara orang lain hanya bisa menuntaskan bisnis di kamar tidur. Ruang tamu dimanifestasikan sebagai tempat di mana keintiman hadir, meski tak selalu bertendensi seksual. Analogi tersebut barangkali mirip dengan makna berciuman.

Dua contoh di atas menggambarkan bagaimana budaya populer menempatkan aktivitas berciuman dalam kategori melampaui kesenangan badaniah semata. Bahkan, ada subteks yang menyiratkan bahwa berciuman lebih sakral dibandingkan berhubungan seks. Pasalnya, berciuman berurusan dengan perasaan, sehingga dianggap tidak layak diperjualbelikan. Mengapa urusan berciuman kerap dikaitkan dengan cinta dan romansa? Sejak kapan pemaknaan ini muncul, dan faktor apa yang membentuknya? 

Pertanyaan tersebut melandasi Marcel Danesi, Profesor Antropologi Linguistik di Universitas Toronto menuliskan manuskrip bertajuk The History of the Kiss!: The Birth of Popular Culture (Sejarah Kecupan!: Kelahiran Budaya Populer). Dalam tujuh segmen pembahasan, Danesi menelusuri aktivitas berciuman secara historis dan pengaruhnya kepada perkembangan budaya populer.

Tema dalam buku ini berpusat pada pertanyaan besar tentang motivasi umat manusia berciuman. Apakah manusia memang sudah diprogram secara biologis untuk berciuman, atau justru mempelajarinya secara kultural? Guna menjawab pertanyaan tersebut, pada bab pertama, Danesi menelusuri jejak tentang kecupan dalam beragam kisah dan tradisi bangsa-bangsa kuno. Dalam temuannya, ia menyebutkan bahwa mencium sebagai salam pembuka (greetings) terdapat dalam interaksi di berbagai suku bangsa seperti Mesopotamia, Persia, dan Romawi Kuno. Mencium juga dimaknai sebagai cara menunjukkan rasa hormat dalam konteks religius, misalnya mengecup kitab suci atau kaki Paus. Pada bagian ini, Danesi tidak menyebutkan aktivitas berciuman sebagai representasi cinta romantis. 

Narasi tentang romansa dalam ciuman justru ditemukan dalam konteks seksual, contohnya pada teks kuno Kama Sutra, di mana di salah satu bagian membahas cara mencium, termasuk bagian tubuh mana saja yang harus dikecup demi membangkitkan gairah pasangan. Bibir dan mulut ada dalam daftar, mengingat kedua organ tersebut dinilai bersifat sensitif terhadap rangsangan (erogenous). Temuan ini memperkuat nosi bahwa berciuman merupakan pintu masuk menuju aktivitas seksual, alih-alih simbol cinta romantis. 

Dalam beberapa teks Weda, hanya ada satu kosakata untuk menyebutkan kecupan (kiss), yang bermakna serupa dengan hirupan (sniff). Bahkan hingga kini, banyak suku bangsa modern sebetulnya tidak memiliki kosakata khusus sebagai padanan “kiss”. Misalnya, kata kerja “cium” dalam Bahasa Indonesia yang dapat diartikan sebagai mengecup, mengendus, atau menghirup.

Berdasarkan berbagai penelusuran tersebut, Danesi membangun argumen bahwa makna yang dikaitkan dengan kecupan dan ciuman muncul setelah melewati proses kultural panjang, alih-alih desain genetika semata. Danesi percaya bahwa berciuman sebagai aktivitas romantis dimulai sejak Abad Pertengahan. Klaim ini ditopang melalui perunutan kisah-kisah, legenda, dan berbagai bentuk lain dari tulisan populer yang muncul sekitar akhir abad ke-11 hingga awal abad ke-12 di Eropa. 

Marcel Danesi

Pada masa itu, ciuman di bibir mulai merangsek masuk ke dalam tatanan hidup orang-orang Roma, dianggap sebagai sesuatu yang subversif sekaligus simbol kebebasan cinta (unarranged romance). Kala itu, menikah di luar persetujuan keluarga menjadi fenomena yang dikecam keras. Oleh karena itu, mempertahankan hubungan bersama orang yang dicintai, meski di tengah segala ketidakpastian dianggap sebagai tindakan kesatria. Dalam berbagai sajak dan prosa, para kekasih digambarkan menunjukkan cinta kepada satu sama lain dengan berciuman. Gelombang kepenyairan baru, yakni “roman kesatria” (courtly love), kemudian muncul merayakan keugal-ugalan anak muda dengan membingkai ciuman sebagai tindakan cinta sejati.

Dari berbagai narasi anonim tentang sepasang kekasih yang menentang kehendak keluarga, Shakespeare memberikan mereka nama Romeo dan Juliet. Meskipun terdapat simpang siur tentang siapa sebetulnya yang menjadi inspirasi Shakespeare, epos Romeo dan Juliet merupakan cerminan tentang tuntutan anak muda zaman itu untuk dibebaskan dalam memilih calon pasangan. Kecupan menjadi sentral dalam kisah tersebut lantaran Romeo dan Juliet digambarkan bercumbu dalam pertemuan-pertemuan rahasia, hingga mereka menjemput akhir yang tragis dengan ciuman cinta sejati. A kiss that transcends death –sebuah kecupan yang melampaui kematian.

Di masa itu, berciuman dipotret sebagai upaya merongrong status quo dalam tataran religius patriarkis di Eropa. Maka, kemunculannya dalam narasi, sajak, dan seni visual pun menarik perhatian khalayak. Danesi berargumen bahwa roman kesatria merupakan proto dari budaya populer yang kita kenal sekarang. Karya-karya tersebut ditulis dari, untuk, dan oleh orang-orang biasa, dituturkan secara vernakular, hingga kemudian mengawali terbentuknya rumpun bahasa Roman, alih-alih Latin. 

Kepopuleran roman kesatria membuat kecupan di bibir yang tadinya berkonotasi seksual, menjadi lekat dengan gagasan tentang “cinta sejati” (true love). Pembahasan tersebut dikupas lebih lanjut oleh Danesi di bagian kedua buku, dalam eksplorasi mengenai simbol dan ritual yang berkelindan dengan makna ciuman. Saat ini, berciuman dianggap menjembatani persekutuan fisik dan rohani bagi sepasang kekasih, maka kecupan pada bibir pun mulai dianggap lumrah muncul dalam perhelatan publik –misalnya, pada upacara pernikahan umat Nasrani.

Kekuatan subversif berciuman terus dikulik Danesi dalam babak pembahasan selanjutnya. Dalam bab ketiga, Danesi melacak signifikansi kecupan bibir dalam berbagai kisah –mulai dari mitologi Yunani kuno hingga gosip-gosip selebriti Hollywood. Kecupan antara Cupid dan Psyche misalnya dianggap sebagai metafora pertemuan antara yang sakral dan profan. Penampilan Madonna dan Britney Spears yang berciuman di MTV Video Music Award 2003, selain dikenang karena bombastis, juga digadang-gadang sebagai babak baru dalam penerimaan publik Amerika akan pembebasan perempuan.

Bukan hanya dalam mitologi atau di atas panggung saja ciuman dapat menjadi penanda sebuah fenomena akbar. Dalam bab keempat tentang berbagai kecupan dalam media visual, Danesi mendedah foto dari majalah Life yang melegenda: potret seorang pelaut sedang mencium perawat di depan Times Square. Foto tersebut barangkali menjadi potret orang berciuman paling terkenal hingga kini, sekaligus sangat politis sebab mengabadikan gegap-gempita warga Amerika Serikat yang merayakan kemenangan negaranya atas Jepang di Perang Dunia II.

Dalam bab kelima dan keenam, Danesi mengarsipkan serba-serbi kecupan dalam dua media seni yang paling prominen membentuk budaya populer kita hari ini: musik dan sinema. Danesi menginspeksi lagu-lagu cinta dan penggambaran kecupan dalam berbagai sajak –mulai dari genre canso yang muncul nyaris bersamaan dengan roman kesatria, hingga lagu-lagu musisi papan atas langganan masuk dalam Billboard 40.

Titanic (1997)

Danesi menganalisis sinema sebagai budaya populer yang paling berperan dalam mengkristalisasi imajinasi tentang makna romansa dari kecupan. Sinema menjadi media yang paling berhasil menembus batas-batas geografis sehingga dapat memengaruhi audiens lintas benua. Dalam sinema, kita bukan hanya membayangkan bagaimana adegan berciuman dilakoni lewat narasi, melainkan menyaksikannya secara visual di layar. Berciuman menjadi adegan dramatis, sekaligus pelepasan atas tensi yang dibangun sepanjang cerita. Contohnya, sebagai audiens kita turut berbahagia melihat Jack dan Rose –tokoh utama dalam Titanic (1997) –berciuman di atas dek kapal, atau perasaan tercabik meski lega tatkala melihat Rangga akhirnya mencium Cinta sebelum lepas landas ke Kota New York (Ada Apa dengan Cinta? (2002)). Melalui sinema jugalah, kita pertama kalinya melihat ciuman antarras debut di layar perak, misal dalam Star Trek (1968), yang semakin menegaskan kekuatan subversif dari berciuman.

Ada Apa Dengan Cinta? (2002)

Pada bab terakhir, Danesi membayangkan berbagai kemungkinan mengenai pemaknaan kecupan di era internet. Ia menyoroti skena kencan daring, budaya bercumbu (hook-up culture), dan beragam forum siber yang memungkinkan pengguna mendiskusikan seksualitas secara anonim. Kembali Danesi mempertanyakan, mungkinkah makna dan signifikansi berciuman akan berubah? Hingga kemudian ia membuat kesimpulan klise tetapi ada benarnya, bahwa ciuman akan terus ada. Alasannya, ciuman kini telah terhubung sepenuhnya dengan konsep cinta. 

Mundur sedikit ke pengantar buku, Danesi sempat menyelipkan pertanyaan menggelitik dari mahasiswanya tentang berciuman, “Mengapa kita memaknai kegiatan yang tidak higienis itu sebagai hal romantis?”. Karena tak punya penjelasan memuaskan, Danesi berjanji akan membahas pertanyaan itu kapan-kapan. Singkat cerita, Danesi tidak pernah membahasnya dalam diskusi, dan memilih menuliskan buku ini sebagai jawaban. 

Sebagai usaha Danesi untuk membuat kegiatan berciuman menjadi masuk akal, saya berpikir bahwa buku ini berhasil menjawab pertanyaan si mahasiswa dengan menawarkan argumen cermat. Berciuman menjadi signifikan sebab ia adalah aksi yang menantang stagnasi institusi keluarga dan keagamaan pada masanya. Berciuman mendobrak batas-batas “pseudo-norma”, mencatut istilah Danesi, yang mengungkung masyarakat dengan gagasan-gagasan rigid soal seksualitas, gender, dan ras. Aktivitas sesederhana sekaligus serumit berciuman, ternyata berkelindan dengan banyak aspek, termasuk peranannya dalam membersamai kelahiran budaya populer kita hari ini.

Meskipun secara jelas Danesi menggunakan kacamata “cendekiawan Barat” dalam penulisan buku ini, temuannya tetap menarik untuk dikaji sebagai upaya memahami bagaimana umat manusia mengekspresikan rasa cinta. Sekaligus, penting untuk memandang makna berciuman sebagai hasil kontestasi yang dipengaruhi konteks sosial budaya dalam lokus dan periode tertentu dari masa ke masa. Temuan Danesi dalam The History of the Kiss!: The Birth of Popular Culture dapat dijadikan referensi penelitian lanjutan untuk membedah ekspresi abstrak tentang hasrat dan emosi manusia dalam bingkai analisis kultural.


Sarah Wisista

Mahasiswa Antropologi Budaya UGM.