Kemilau di Tapal Batas Negeri: Menilik Sejarah Indonesia-Australia dalam Kisah Buruh Mutiara

Dipublikasikan oleh Rangga Ardia Rasyid pada

Martínez, Julia & Adrian Vickers. (2015). The Pearl Frontier: Indonesian Labor and Indigenous Encounters in Australia’s Northern Trading Network (Perbatasan Mutiara: Buruh Indonesia dan Pertemuan Antar-Orang Asli dalam Jaringan Perdagangan Australia Utara). Honolulu: University of Hawai’i Press. 


Ketika membahas tentang hubungan sejarah Indonesia-Australia, hubungan antar kedua negara ini terasa sangat singkat dan “baru”. Meski jarak antar dua bentang geografis terlihat cukup dekat, tetapi ada jejak sejarah yang absen dalam hubungan keduanya. Jejak sejarah Indonesia seringkali hanya terlihat melalui hubungan dengan Samudra Hindia atau Laut Cina Selatan. Sementara itu, kondisi yang sama di Samudra Pasifik, Australia, dan Oseania jarang sekali dikaji secara mendalam. Padahal, wilayah tersebut menawarkan kedekatan sosial-komunal yang tidak kalah dinamisnya dengan sisi barat Indonesia. 

Pergerakan manusia, komunitas, dan identitas lintas wilayah Indonesia-Australia adalah fokus utama dari buku Julia Martinez dan Adrian Vickers yang berjudul The Pearl Frontier Indonesian Labor and Indigenous Encounters in Australia’s Northern Trading Network (2015). Sebagai sebuah perkembangan dari tesis Julia Martinez pada tahun 1999 yang meneliti interaksi buruh Asia-Australia di Darwin serta diselingi komentar intelektual dari Adrian Vickers, buku ini merajut cerita-cerita individu dalam pembentukan batas negara Indonesia-Australia pada abad ke-20. Dengan berfokus pada koneksi trans-negara, keduanya mengangkat cerita para buruh mutiara Indonesia yang datang dan tinggal di Australia, sebagaimana terefleksikan dalam kata-kata dalam buku ini: “Mencari Indonesia di Australia, dan Australia di Indonesia”. 

Lahirnya Wilayah Perbatasan yang Dinamis 

Julia Martinez dan Adrian Vickers mengikuti “boom and bust” dari komoditas kulit mutiara dan relasinya pada pergerakan manusia di wilayah Indonesia-Australia-Timor Leste-Papua-Pasifik. Wilayah tersebut memiliki dinamika pergerakan yang melampaui batas negara modern. Dalam dinamika tersebut, sebuah produk laut yang dicari-cari berhasil ditemukan. Tumbuh dalam perairan di sekitar Laut Timor, Flores, dan Arafura, kulit mutiara menjadi sumber daya laut yang dikejar oleh perusahaan Australia, terutama sebagai aksesoris industri baju di Eropa dan Amerika Utara. Dalam geliat ekonomi tersebut, sepanjang 1870an hingga 1930an, jaringan buruh Indonesia ke Australia pun terbentuk.

Julia Martínez

Ketika membahas pencarian mutiara, buku ini menggambarkan wilayah perbatasan Indonesia-Australia sebagai “pearl frontier”, sebuah wilayah perbatasan yang dinamis. Dinamika ini ditonjolkan sebagai upaya untuk mendekonstruksi persepsi Indonesia Timur ataupun Australia Utara sebagai wilayah “pinggiran” yang jauh dari geliat pusat pemerintahan. Perspektif mengenai pearl frontier ini diperlihatkan dalam pergerakan buruh yang terjadi antara pulau Flores, Rote, Savu, Tanimbar, Babar, dan Aru dengan kota Broome, Darwin, dan Thursday Island di Australia. Lebih lanjut, Julia Martinez dan Adrian Vickers menonjolkan kelenturan budaya masyarakat Indonesia Timur untuk menunjukkan bagaimana jaringan tersebut dapat terfasilitasi. 

Selain membawa wilayah “pinggiran” ke dalam fokus utama, buku ini juga menjawab tulisan sejarawan Hans Hagerdal mengenai potensi dan tantangan menulis sejarah Indonesia Timur. Artikelnya yang berjudul “Eastern Indonesia and the Writing of History” (2015) dalam Archipel mengeksplorasi potensi studi sejarah tentang Indonesia timur. Buku ini menunjukkan bahwa selain sumber, perspektif baru juga dibutuhkan dalam kajian wilayah perbatasan Indonesia-Australia. 

Interaksi Buruh Indonesia dengan Pemerintah Australia

Jaringan buruh mutiara mulai terbentuk bersamaan dengan periode yang dikenal sebagai ”White Australia” atau Australia Putih. Sejak tahun 1901 hingga pertengahan abad ke-20, pemerintah federal Australia membuat kebijakan untuk membatasi imigrasi populasi Asia ke wilayah mereka. Namun, alih-alih melihat periode tersebut sebagai “pembungkaman”, Julia Martinez dan Adrian Vickers menggambarkan dinamika interaksi yang terjadi antara buruh Indonesia dan pemerintah Australia. Interaksi ini menjadi lebih menarik setelah tahun 1916 ketika industri mutiara dikecualikan dari kebijakan White Australia untuk mengubah semua tenaga kerjanya menjadi kulit putih. 

Sepanjang abad ke-20, suasana “pengecualian” tersebut membawa buruh Indonesia di posisi yang menarik. Buku ini menunjukkan bahwa mereka berkompetisi dan bernegosiasi demi standar hidup yang lebih baik. Hingga dalam prosesnya, para buruh Indonesia merasa lebih “bebas” dibandingkan ketika masih di Hindia-Belanda. Salah satu contohnya adalah segregasi rasial. Buruh Indonesia menantang segregasi tersebut dengan menikahi orang-orang Aborigin dan berintegrasi dengan suku-suku mereka. Dalam hal lain, interaksi juga terjadi ketika buruh Indonesia semakin aktif di tahun 1920-1930an dalam serikat NAWU (North Australian Workers Union) yang pada masa itu didominasi buruh kulit putih. 

Tak jarang, interaksi tersebut dapat berjalan dengan damai, seperti pada sebuah acara tahun 1936, ketika buruh Indonesia bertanding di turnamen Sepak Bola Darwin. Acara tersebut dapat mengaburkan divisi rasial atau etnisitas antar mereka. Contoh-contoh seperti di atas diangkat dalam buku ini untuk menunjukkan bahwa buruh Indonesia “hidup” dan “berkembang”, meski zaman tersebut memberikan ekspektasi yang berbeda kepada mereka. Buku ini memperlihatkan bahwa interaksi yang terjadi bukan hanya mengenai diskriminiasi satu arah dari Australia, tetapi juga usaha dialog yang dibuat oleh buruh Indonesia yang terpinggirkan. 

Mencari Kesetaraan dan Kewarganegaraan di Negeri Sebrang

Kisah buruh Indonesia di Australia menjadi semakin kompleks ketika Perang Dunia Kedua terjadi di Asia-Pasifik. Periode ini menjadi sangat menarik karena struktur kolonialisme dan imperialisme runtuh dan menciptakan wilayah Asia-Pasifik yang merdeka. Dalam buku ini, Julia Martinez dan Adrian Vickers membahas Perang Dunia Kedua untuk memperlihatkan kelanjutan perjuangan buruh Indonesia demi mendapatkan kesetaraan hak. Bersatunya buruh Indonesia dengan pemerintah Australia untuk melawan Jepang terjadi karena mereka mendapatkan janji-janji kesetaraan dan bahkan hak-hak kewarganegaraan dari pemerintah Australia.

Diskusi mengenai motivasi tersebut digunakan dalam buku ini untuk menyajikan kompleksitas situasi yang dihadapi oleh buruh mutiara di tengah arus politik Australia-Indonesia setelah perang. Peristiwa seperti runtuhnya Hindia-Belanda dan munculnya Republik Indonesia memberikan ambivalensi bagi buruh Indonesia, khususnya mengenai letak mereka di dalam peta ideologi ‘Negara-Bangsa’ dan ‘Warga Negara’ yang semakin vokal. Selain itu, persoalan ini menjadi semakin kompleks lantaran pemerintah federal Australia juga menjauhi White Australia serta kemunduran industri mutiara secara umum.

Adrian Vickers

Julia Martinez dan Adrian Vickers mengeksplorasi ambivalensi ini untuk melihat sikap buruh Indonesia terhadap rezim politik yang datang dan pergi. Meskipun mobilitas di pearl frontier kembali terhenti, hal ini tidak mematahkan semangat mereka untuk mencari kehidupan yang stabil. Sebaliknya, buku ini menjadi bukti bahwa diaspora Indonesia memiliki suara yang kuat di dalam lanskap sosial Australia. Usaha mereka untuk meraih kesetaraan pun mendapatkan hasilnya dalam bentuk kewarganegaraan permanen di Australia. Pengalaman mereka sebagai buruh mutiara mengajak kita untuk mengimajinasikan pembentukan identitas di luar batasan negara-bangsa. 

Kajian Buruh dalam Sejarah Industri Mutiara Australia

Salah satu perspektif baru yang dieksplorasi dengan baik dalam buku ini adalah mengenai buruh sebagai subjek. Karya-karya sebelumnya mengenai industri mutiara telah banyak dipublikasikan, seperti karya sejarawan Steve Mullins, Octopus Crowd: Maritime History and the Business of Australian Pearling In Its Schooner Age (2019). Secara berbeda, Julia Martinez dan Adrian Vickers mereka ulang sejarah mutiara Australia dari sekadar “sejarah industri” menjadi “sejarah buruh”. 

Keduanya mengangkat “suara buruh” untuk menyajikan perspektif lain dari periode ketika kapitalisme menjadi kekuatan besar yang mengatur Australia. Apa yang buku ini sajikan semakin mewarnai periode tersebut. Sebagai contoh, lihatlah Abdoel Gafoer, sosok yang fotonya dijadikan sampul depan buku ini.  Ia lahir di Alor pada tahun 1897 lalu direkrut ke Broome pada tahun 1921 dan bekerja sebagai buruh mutiara selama periode itu. Ia lalu menikahi seorang perempuan Aborigin dari suku Yaruwu hingga diangkat sebagai salah satu tetua suku tersebut.  Sosoknya menunjukkan bahwa kehidupan buruh Indonesia di Australia mengaburkan garis pembatas negara-bangsa. Mereka hidup sebagai pekerja di Australia dengan tetap mempertahankan hajat hidup dan budaya Indonesia Timurnya. Lebih dari sekadar mobilitas, makna “sejarah buruh” dalam buku ini adalah mengenai usaha para buruh Indonesia untuk hidup yang terus berkelanjutan.

“Mencari Indonesia di Australia, dan Australia di Indonesia”

The Pearl Frontier menyajikan sebuah perspektif segar tentang relasi kesejarahan Indonesia-Australia. Terlebih, dengan diskursus kesejarahan yang seringkali hanya bertumpu pada pelayaran-pelayaran pelaut Makassar, buku ini membawa pembaca untuk melihat ke luar periodesasi tradisional. Dengan mengambil fokus pada abad ke-19 dan ke-20, Julia Martinez dan Adrian Vickers berhasil menonjolkan konektivitas kedua negara di tengah arus kolonialisme dan imperialisme Eropa yang begitu kencang. Selain itu, buku ini berhasil menunjukkan bagaimana ide modern seperti ‘negara-bangsa’ sangatlah lentur di wilayah perbatasan. Sementara itu, pembahasan mengenai kebijakan negara digunakan dalam buku ini untuk mendukung pembahasan pergerakan diaspora Indonesia.  

Lebih penting lagi, Julia Martinez dan Adrian Vickers berhasil memikat pembacanya karena periode yang dibahas sangatlah erat dengan konsep “kesunyian” mobilisasi di Nusantara. Pengotakan manusia dengan wilayahnya terjadi ketika otoritas negara semakin memperluas dan memperkuat dirinya. Ekspansi kolonialisme Hindia-Belanda ke “luar Jawa” serta kebijakan White Australia memiliki tujuan untuk membuat kontrol dan batasan bagi pergerakan di Asia. Pada kenyataannya, sebagaimana ditunjukkan dalam buku ini, pergerakan industri mutiara menciptakan “dunia Indonesia di Australia dan dunia Australia di Indonesia”.

Pendekatan yang digunakan dalam buku ini memberikan mimbar kepada suara-suara individu dalam sejarah sehingga cerita-cerita tentang orang Australia yang mencari mutiara di Flores dan Arafura, atau buruh Indonesia di Broome dan Thursday Island dapat terpetakan. Suara-suara mereka yang tersebar di wilayah perbatasan menunjukkan jaringan aktif antara Indonesia dengan Australia—sebuah jaringan yang memperkaya heterogenitas dalam kontak kesejarahan Indonesia dan Australia. 


Rangga Ardia Rasyid

Alumus S1 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada angkatan 2017. Tertarik dengan sejarah di media baru, sejarah kontrafaktual, ilustrasi, video game, dan horror Lovecraftian.