Dua Wajah Penjajah: Memahami Kecemasan Kolonial melalui Arsip

Dipublikasikan oleh Krisnawan Wisnu Adi pada

Stoler, Ann Laura. 2010. Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense (Sepanjang Bulir Arsip: Kecemasan Epistemik dan Nalar Kolonial). Penerbit Universitas Princeton. 


Pernahkah kita berpikir, bahwa kolonialisme Belanda selama kurang lebih 3,5 abad itu adalah proyek yang tak kokoh-kokoh amat? Barangkali, kita perlu memaknai sejarah kolonial itu sebagai sebuah “rumah kaca”, bangunan yang kokoh sekaligus rapuh, sebagaimana ditawarkan oleh Ann Stoler—yang terinspirasi oleh Pramoedya Ananta Toer—melalui bukunya ini. 

Berbeda dengan cara kebanyakan antropolog menelusuri persoalan dengan “turun lapangan”, Stoler justru banyak bersentuhan dengan arsip. Menurut Stoler, arsip—sebagai produk rasionalitas modern—justru menjadi pintu masuk untuk menguak kontradiksi internal dalam tubuh kolonialisme Belanda. Kontradiksi-kontradiksi ini tersebar dalam bangunan arsip ultramodern, yang di baliknya justru berisi pergulatan rasionalitas dan perasaan. Buku ini merupakan sebentuk penelusuran yang berkomitmen pada kertas dan sensibilitas dimensi politik sekaligus personal: kata Stoler, etnografi jenis lain. 

Stoler membagi buku ini ke dalam 7 bab. Meski tidak ada pengantar dalam buku ini, Bab 1 dan 2 bisa dibilang mengantarkan kita untuk mengikuti penelusuran panjang selanjutnya. Pada kedua bab tersebut, Stoler menegaskan bahwa arsip pemerintah kolonial Hinda Belanda bukanlah barang yang sekedar menyimpan rekam peristiwa yang lewat begitu saja. Arsip-arsip itu justru menjadi ruang penulisan kembali sejarah penguasa dalam merespon ancaman-ancaman kepada kedaulatan mereka. Namun, apa yang dilakukan Stoler bukanlah menguak pesan tersembunyi, melainkan mengidentifikasi koordinat lentur yang turut membangun apa yang ia sebut sebagai nalar kolonial. Ia berargumen bahwa nalar itu tidaklah stabil; tetapi selalu berubah dan berkaitan erat dengan habitus epistemiknya. 

Berbeda dengan cara kebanyakan peneliti memperlakukan arsip hanya sebagai sumber data, Stoler lebih menitikberatkan arsip sebagai proses. Tidak hanya mencermati informasi apa yang muncul, Stoler juga mengamati proses birokrasi arsip hingga dimensi afeksi yang bekerja dari para subjek sejarah tersebut.

Alih-alih bergantung pada narasi sejarah arus utama, Stoler mengambil porsi besar pada sejarah minor untuk mengidentifikasi esensi nalar kolonial itu. Beberapa di antaranya adalah keberadaan Komisi Kemiskinan; Demonstrasi 1848 yang melibatkan kelompok kreol dan inlandsche kinderen (orang Eropa yang lahir di tanah koloni); serta Valck dan kasus pembunuhan di Deli. Sejarah minor itulah yang malah menunjukkan sisi lain dari tatanan kepengaturan rasional, yakni ruang kritis yang melibatkan struktur perasaan. 

Arsip sebagai proses kemudian menjadi paradigma untuk melihat bagaimana nalar kolonial menentukan metode pengorganisasian isu dalam rangka mempertahankan legitimasi, sekaligus menyembunyikan kerapuhannya. Salah satu contoh adalah ketika peristiwa Demonstrasi Mei 1848—yang melibatkan orang-orang kreol dan inlandsche kinderen—hanya muncul sebagai arsip verbalen, satu kategori untuk arsip yang tidak biasa dan sampai sekarang jarang digunakan sebagai sumber narasi sejarah kebanyakan. Padahal, fenomena demonstrasi itu menuai kecemasan yang dahsyat dari pemerintah kolonial, bahkan hingga di era politik etis. 

Ann Stoler

Pada Bab 3, Stoler mengurai secara lebih dalam perihal struktur perasaan. Ia menjelaskan bahwa rasionalitas politik kolonial sebenarnya juga dibangun atas dasar manajemen afeksi melalui kontrol sentimen. Salah satu contoh adalah bagaimana pemerintah kolonial merespon peristiwa Demonstrasi Mei 1848. Sekitar lima hingga enam ratus orang (orang Eropa, kreol, dan “kulit berwarna”) berkumpul di Klub Harmonie pada 22 Mei 1848. Mereka berdemonstrasi menolak dekrit 1842 yang menghasilkan monopoli akses pekerjaan di sektor pelayanan sipil. Pekerjaan di sektor itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki sertifikat Radikaal dari Akademi Delft di Belanda. Para orang tua resah sebab mereka merasa dieksklusi dari fase pendidikan moral anak-anaknya. 

Perasaan parental ini menjadi titik tolak Stoler untuk mengidentifikasi ketegangan kota dan kaitannya dengan isu global serta persoalan rasial. Inti dari demonstrasi itu adalah para demonstran menuntut persamaan hak antara orang Eropa di Belanda dengan orang keturunan Eropa di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial menjadi cemas jika demonstrasi ini memicu keterlibatan populasi Jawa dan Cina yang lebih banyak. Akhirnya, demonstrasi tetap digelar dengan peringatan, “Orang Eropa yang ribut akan ditangkap, orang Jawa dan Cina yang ribut akan ditembak”. Di sini, sentimen parental memainkan porsi yang lebih besar ketimbang rasionalitas, karena pemerintah merasa ini bisa menjadi pengkhianatan dari dalam. Mereka juga cemas kalau demonstrasi ini memiliki kaitan dengan gejolak komunis di Paris dan Amsterdam beberapa waktu sebelumnya. 

Peristiwa itu kemudian melahirkan suatu pengaturan afektif yang secara khusus dilayangkan kepada orang-orang berdarah campur. Melalui pendidikan, mereka “dimurnikan” untuk menegaskan kecintaan parental yang berkiblat ke tanah Belanda. Semua ini terekam dalam tumpukan arsip kolonial dan menjadi cetak negatif dari bangunan arsip Belanda yang maha modern itu. 

Tampaknya, Stoler memang menyoroti dengan cermat keberadaan kelompok inlandsche kinderen dan kreol, serta bentuk pengaturan penguasa kepada mereka. Pada Bab 4, Stoler mengurai penalaran atas kategori inlandsche kinderen sebagai proyek stabilisasi tatanan rezim yang dalam prosesnya menjumpai banyak kerapuhan. 

Inlandsche dimaknai sebagai konotasi atas home-grown, atau orang Eropa yang lahir di koloni. Sementara, kinderen lebih dalam pengertian bahwa mereka adalah subordinat. Ini adalah kategori yang menerangkan kelompok masyarakat yang dianggap berpotensi membangkang. Maka, pemerintah kolonial punya fantasi bahwa diperlukan pengawasan yang ketat agar kelak mereka dapat menjadi loyal dalam pemerintahan kolonial yang modern dan stabil. 

Namun, stabilitas memang tinggal fantasi ketika pada tahap tertentu terjadi keterputusan antara yang direncanakan dengan apa yang terjadi di lapangan. Ada medan kekuatan yang berubah dan sulit diraba dengan cermat. Salah satunya adalah ketiadaan data statistik yang mampu menunjukkan jumlah populasi inlandsche kinderen secara pasti, meski mereka selalu disebut dalam arsip-arsip pemerintahan. 

Bab ini juga menceritakan tentang imajinasi pemerintah kolonial atas masyarakat tanah Hindia Belanda melalui tiga romansa besar. Pertama, Romansa Artisanal (1840-an) yang merupakan agenda penciptaan pekerja Eropa (pekerja kerajinan) yang handal sebagai kelas menengah-bawah yang dapat diandalkan. Lalu, Romansa Industrial (1860-an-1870-an) yang berupaya membuat angkatan kerja industri dari kelas darah campuran putih miskin (kreol) yang tidak terampil. Terakhir, Romansa Rural, yang merupakan fantasi tentang populasi petani skala kecil yang damai, hidup dari basis agrarian yang sederhana namun produktif. Ini adalah cetak biru imajinasi kolonial yang poin intinya adalah menciptakan masyarakat jajahan menjadi terampil, namun tetap ada dalam kategori rasial. Ini merupakan sebuah visi yang tidak stabil karena pada kenyataannya banyak sekolah keterampilan yang buka-tutup. 

Posisi inlandsche kinderen juga masih menjadi persoalan. Di satu sisi, mereka turut menjadi sasaran penciptaan kelas pekerja yang terampil. Namun, di sisi lain, mereka dilihat sebagai ancaman politik. Dalam rangka merespon persoalan inilah sentimen parental kembali memainkan peran kunci, ketika anak laki-laki berdarah campur harus menikah dengan perempuan Belanda supaya ia kembali “dimurnikan”. Itu sebabnya pada 1872, proyek romansa dengan visi industrinya telah gagal digantikan dengan proyek pengasuhan anak. Namun, pada 1883 penekanan pengetahuan praktis dan jabatan rendah melalui sekolah-sekolah khusus kembali digalakkan. Itu semua adalah gambaran visi yang selalu berubah: gambaran dari ketidakajegan nalar kolonial itu sendiri. 

Meski begitu, pemerintah kolonial memang tak jemu-jemunya berupaya membangun stabilitas tatanan. Kemunculan berbagai komisi, salah satunya Komisi Kemiskinan, adalah buktinya. Hal ini dibahas dengan detail pada Bab 5. Komisi Kemiskinan yang pertama dibentuk pada 1872 di saat ada gerakan reformasi sosial di Eropa dan ras tetap menjadi kategori penentu siapa yang akan benar-benar memperoleh bantuan. 

Arsip memang digunakan sebagai bukti untuk aktivitas komisi. Tetapi, Stoler menunjukkan beberapa arsip yang menerangkan bahwa komisi ternyata tidak melakukan sensus atau penyelidikan secara mendalam dan hanya menggunakan desas-desus sebagai data. Atas nama kerahasiaan, pemerintah kolonial melarang publik untuk mengakses laporan komisi. 

Namun, Komisi Kemiskinan yang dibuat pada 1901 agak berbeda. Sebagai bagian dari era Politik Etis, komisi ini mencoba untuk lebih objektif dan mengutamakan kesejahteraan sosial secara merata. Sayangnya, karakteristik rasial tetap tersirat dalam operasi komisi ini. Pada bab ini ditunjukkan bahwa jika statistik membantu menentukan karakter fakta sosial, maka komisilah yang menyediakan kerangka interpretatif, historis, dan epistemiknya. 

Di sisi lain, lagi-lagi kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai menengah-bawah (inlandsche kinderen, kreol, “kulit berwarna”) dianggap sebagai ancaman politik. Setelah puncak depresi pada 1930-an, ada kekhawatiran bahwa mereka akan semakin berhubungan erat dengan gerakan nasionalis yang tumbuh karena situasi standar hidup yang rendah. 

Di bab ini pula, dikisahkan seorang Frans Carl Valck yang dihapus dari historiografi kolonial. Ia adalah seorang asisten residen, sama seperti Douwes Dekker, yang cenderung membela pribumi dan banyak melaporkan kasus korupsi pejabat kolonial, terutama di Deli. Berbeda dengan Douwes Dekker yang menggunakan kanal sastra, Valck lebih bergerak di ranah birokratis dan penyelidikan legal yang penuh sentimen rasial. Terutama untuk sebuah kasus pembunuhan di perkebunan di Deli yang menewaskan pemilik kebun (orang Belanda) bersama keluarganya. Peristiwa pembunuhan itu secara gamblang diurai oleh Stoler melalui Bab 6. Bahwa ada ruang pemberontakan yang tak bisa ditembus oleh penyelidikan rasional-legal, yakni rumor. 

Pada bagian terakhir, Bab 7, buku ini bicara tentang disposisi imperial; soal bagaimana rezim kolonial memaksakan intensitas dan kualitas afeksi ekologi sosialnya. Ada tiga premis problematis. Satu, akumulasi pengetahuan akan menegaskan kekuasaan penguasa. Dua, pengetahuan harus mengarah pada kesadaran etis. Tiga, kesadaran etis akan menghasilkan hati nurani yang menolak kemunafikan imperial. Para agen kolonial hidup dalam pergulatan antara pengetahuan versus ketidaktahuan yang pura-pura. Namun, persoalannya adalah bahwa ketidaktahuan yang pura-pura itu tetap dijaga. Ketidaktahuan dan kebimbangan kolonial inilah yang sedang dieksplorasi oleh Stoler. 

Stoler lebih memilih berangkat dari ruang keseharian. Oleh karena itu, ia banyak mengeksplorasi ruang sosial keluarga dan persahabatan dari generasi keluarga kolonial yang dianggap minor. Salah satunya adalah sosok Valck.

Ketika pengetahuan diasumsikan menebalkan kekuasaan, pengecualian terjadi pada apa yang dilakukan oleh para inisiator Demonstrasi 1848 hingga Valck yang memilih untuk mengkritik pemerintahannya sendiri. Terjadi ketegangan antara pondasi pengetahuan yang mereka dapatkan (dipaksakan) dengan struktur perasaan yang timbul dari habitus keseharian. 

Dengan demikian, disposisi imperial itu melibatkan penyangkalan diri (ketidaktahuan yang pura-pura) yang memang dibentuk oleh struktur pengetahuan kolonialisme-imperialisme. Sebuah kebohongan vital, merujuk Georg Simmel, yakni tindakan aktif untuk mempertahankan kehidupan agen dan segala potensinya. 


Krisnawan Wisnu Adi

Saat ini bekerja di Indonesian Visual Art Archive. Dapat dihubungi melalui krisnawanwisnu.adi@gmail.com.