Sejarah Banda Neira: Kapitalisme, Kolonialisme, dan Bencana Krisis Global

Dipublikasikan oleh Tedy Harnawan pada

Ghosh, Amitav. 2021. The Nutmeg’s Curse: Parables For A Planet in Crisis (Kutukan Pala: Perumpamaan Untuk Sebuah Planet Dalam Krisis). Penerbit Universitas Chicago.


Dalam buku ini, Amitav Ghosh menyatakan bahwa bencana global terhadap ekologi dan populasi sama sekali bukan permasalahan baru dalam peradaban umat manusia. Pernyataan itu penting karena alam cenderung dianggap sebagai ruang atau komoditas terutama dalam historiografi sejarah global. Ia mengungkapkan bahwa sampai saat ini eksploitasi terhadap alam terus menjadi pola pertumbuhan ekonomi dunia. Alam telah lama sekali mempengaruhi pemikiran dan perilaku manusia sehingga harus ditempatkan sebagai subyek pembentukan sejarah. Lalu, konsekuensi apa yang dibawa ketika kita membicarakan alam atau nature sebagai entitas hidup dalam konteks imperialisme dan kapitalisme?

Penaklukan Banda: Alam Sebagai Objek

Pada bab-bab awal, Ghosh menarasikan sejarah perdagangan pala oleh Belanda pada abad ke-17 di Kepulauan Banda untuk mengeksplorasi hubungan manusia yang eksploitatif terhadap alam. Maluku yang dianugerahi gugusan kepulauan Banda yang indah, berada pada wilayah terpencil karena berada di wilayah palung laut paling dalam di Indonesia dengan beberapa gunung api vulkanik. Karena kondisi ekologis tersebut, Banda menghasilkan buah pala yang menjadi komoditas perdagangan rempah-rempah global. Sejak awal, VOC melihat Banda semata-mata sebagai wilayah sumber daya alam karena menumbuhkan pohon pala yang menjadi tanaman endemik. Maka, Banda menjadi medan perebutan orang-orang Eropa, yaitu Belanda, Inggris, dan Spanyol.

Ghosh memulai dengan peristiwa sejarah untuk menjelaskan fenomena krisis ekologi yang dilakukan oleh Persekutuan Dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Ketika itu, Belanda berkembang dalam era kedigdayaan imperium ekonomi, sains dan budaya yang mereka sebut sebagai The Dutch Golden Age. Namun, kemajuan imperialisme Belanda (dan Eropa Barat secara umum) merupakan praktik eksploitasi terhadap alam dan sumber daya manusia.

Amitav Ghosh

Kita mengikuti narasi Ghosh tentang penaklukan Banda oleh VOC yang dipicu oleh suatu kejadian aneh yang terjadi pada malam hari 21 April 1621. Saat itu, Belanda sudah berniat melakukan pengusiran terhadap orang-orang Banda dari Desa Selamon di Pulau Lonthor. Namun, sebuah lampu tiba-tiba terjatuh ke lantai di depan seorang pejabat VOC yang bernama Martijn Sonck. Ia merasa ketakutan dan menganggap kejatuhan lampu itu sebagai sebuah pertanda buruk bahwa orang-orang Banda mulai menyerang Belanda. Tanpa pertimbangan politik yang matang, Sonck dan beberapa penasihatnya menembakkan peluru ke udara bertubi-tubi di tengah kegelapan meskipun orang-orang Banda tidak terlihat melakukan penyerangan. 

Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jendral VOC, sudah tiba di Banda dengan armada lebih dari lima puluh kapal dan pasukan lebih dari dua ribu orang. Ia menugaskan Sonck untuk menguasai beberapa rumah dan berunding kepada para tetua adat untuk meninggalkan desa. Coen mendengar suara tembakan itu dari kejauhan dan seketika murka. Ia menganggap orang-orang Banda telah melakukan konspirasi untuk menjatuhkan Belanda. Coen dan tentara Belanda memulai kampanye pengusiran dengan mencoba membujuk penduduk Banda untuk meninggalkan rumah mereka dengan damai. Namun, hanya beberapa yang tetap tinggal, sementara banyak penduduk lain memilih untuk melarikan diri ke hutan dan ke luar pulau.

VOC mengubah strategi dengan mengundang para tetua dan orang kaya (syahbandar) ke kapalnya dan mereka berjanji akan pergi meninggalkan pulau dengan damai bersama para perempuan dan anak-anak. Namun Coen terlanjur menaruh curiga lalu mengumumkan kepada Dewan VOC bahwa mereka memilih untuk mati daripada menyerah. Para Dewan kemudian sepakat dan menyetujui sebuah resolusi yang menyatakan bahwa Selamon akan dibumihanguskan. Pasukan VOC membakar dan membunuh orang-orang di Selamon dan menawan para laki-laki, perempuan dan anak-anak untuk menjadi budak di Jawa dan Sri Langka. Pulau Lontor menjadi kosong.

Tragedi itu diterjemahkan Ghosh sebagai reaksi dari intuisi yang dipengaruhi oleh alam Banda yang malam itu gelap gulita tanpa sinar bulan. Suara-suara alam, gerak angin dan kegelapan membuat seseorang cemas dan takut terhadap ancaman yang datang. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa penaklukan wilayah oleh VOC juga dipengaruhi adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara orang-orang VOC dan masyarakat Selamon yang berakibat pada penggusuran, penghancuran wilayah dan bahkan pembunuhan terhadap masyarakat. Orang-orang Selamon tidak mampu menandingi armada dan kekuatan pasukan militer Belanda karena mempunyai strategi politik, pengetahuan dan teknologi yang digunakan untuk menyerang penduduk Banda.

Desakralisasi dan Depopulasi: Perspektif Global

Pada bab-bab pertengahan, Ghosh menerangkan bahwa manusia bukan satu-satunya jiwa yang mampu memberikan makna. Maka, kepercayaan animisme dan dinamisme yang mempercayai benda-benda memiliki spirit merupakan proses pemaknaan manusia yang bersumber dari alam. Namun sayangnya, nilai-nilai spiritual itu yang coba dihapus oleh pengetahuan Barat pada abad ke-17.

Menurut Ghosh, imperialisme dan kolonialisme Eropa bukan hanya praktik penaklukan terhadap alam tetapi juga penguasaan terhadap sistem kepercayaan. Ekspansi wilayah direncanakan dengan basis ideologi Barat tentang bagaimana orang Eropa memaknai alam yang disebut sebagai “metafisika”. Sejarah metafisika Eropa mengalami lompatan dalam pemikiran manusia yang mendefinisikan alam sebagai entitas yang mati dan bisu, sedangkan keberadaan manusia menjadi pusat entitas kehidupan. Sistem pemaknaan tersebut merupakan usaha desakralisasi yang menganggap alam sebagai “material” karena memiliki kualitas fungsi.

“Metafisika” kemudian berubah menjadi ideology of conquest yang mendorong proyek kolonialisme Eropa di belahan dunia lain, misalnya penaklukan Amerika dan perdagangan budak orang-orang Afrika di wilayah Samudera Atlantik. Orang Eropa memberi nama baru untuk menghapus sistem kepercayaan lokal dengan membubuhi kata “New” yang berarti “Baru” untuk wilayah yang berhasil dikuasai, seperti New England dan New Amsterdam. Penaklukan tersebut melahirkan kesadaran tentang superioritas dan kelas penguasa. Pendirian daerah baru orang-orang Eropa di Benua Amerika telah menyingkirkan entitas kultural dan suku-suku asli yang dinilai “primitif”. Mode pemikiran itu juga telah membunuh para penyihir perempuan miskin di Eropa yang dianggap pemuja setan dan suku-suku di Karibia yang dianggap kanibal.

Konsekuensi dari penaklukan wilayah adalah depopulasi. Depopulasi ini merupakan tahap rekolonisasi di mana penduduk lama diusir dan penduduk baru didatangkan untuk menjadi pemukim. Setelah Coen menguasai monopoli pala, terjadi tatatan sosial baru di Banda. Pertama, Belanda mengubah tanah-tanah menjadi perkebunan pala yang dimiliki oleh orang-orang keturunan Belanda (perkeniers) sebagai tuan tanah. Kedua, tuan tanah mempekerjakan para buruh kontrak, narapida, dan budak yang didatangkan dari beberapa wilayah di Semenanjung India, Jawa, Kalimantan, dan wilayah lain. Jumlah budak semakin banyak untuk membangun perkebunan pala yang lebih luas. Ketiga, Banda menjadi wilayah kosmopolit karena perkawinan campur dari kelompok ras dan multietnis yang berasal dari banyak wilayah. Pengusiran orang-orang Banda dari pulau membentuk masyarakat baru yang multikultur.

Satu hal penting lainnya bahwa kekerasan menjadi sebuah metode klasik manusia untuk menguasai alam atau mendirikan koloni baru. Elemen kekerasan tentu saja menjadi konteks yang sangat relevan sekaligus kontroversial dalam kasus-kasus dalam sejarah masa lalu dan kontemporer. Kekerasan banyak menyentuh isu lingkungan ke dalam medan konflik agraria seperti perampasan tanah, pembukaan lahan atau penggusuran. Menurut Ghosh, aksi kekerasan oleh Coen dan pasukannya di Banda dapat dikatakan sebagai aksi “genosida” karena melibatkan perencanaan sistematis untuk mengusir dan membantai etnis tertentu. Meskipun keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan pala di Banda telah menghasilkan laba hingga empat ratus persen, penaklukan Banda oleh VOC adalah penghancuran seluruh jaringan hubungan non-manusia yang menopang cara hidup tertentu. VOC menjadi kompi dagang yang paling unggul dan populer seantero Eropa Barat dan mendorong persaingan ekonomi diantara negara imperial Eropa Barat.

The Hidden Force: Alam Sebagai Subjek 

Dalam bab-bab terakhir, Ghosh menguraikan narasi dari pertanyaan, “Apakah kepercayaan atau tradisi lama sudah musnah dari generasi baru pada pendatang?Dengan tegas, Ghosh menjawab “Tidak”. Ia memberikan kejutan sudut pandang jika alam yang mempengaruhi manusia, bukan sebaliknya. Alam mempunyai kemampuan dan kekuatan tersembunyi yang memberi makna pada manusia. Meskipun manusia tidak ada, alam akan terus hidup dan bergerak untuk merespon kondisi dan perubahan di sekitarnya. Alam mampu menyimpan respon dan memori dari aktivitas manusia. 

Ghosh memilih judul bab terakhir dengan frase “Hidden Force”. Pemilihan itu cukup merepresentasikan sebuah kekuatan tersembunyi yang misterius namun kuat. Kata itu diambil dari judul novel yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, De Stille Kracht, yang ditulis oleh Louis Couperus, seorang sastrawan keturunan Indo-Eropa yang keluarganya telah lama bermukim di Hindia Timur sejak abad ke-18. Novel itu menjadi kanon sastra Belanda yang menyingkap adanya dorongan kuat dari alam Hindia Timur yang misterius dan penuh takhayul. Kehidupan masyarakat kolonial sebenarnya penuh dengan kecemasan dan ketakutan yang mengancam kekuasaan Eropa. Pemeran utamanya, Van Oudijck, adalah seorang Residen Belanda yang merasa terganggu dengan suara-suara aneh dan menolak kepercayaan lokal. Ghosh menuliskan,

Dia (Van Oudijck), yang percaya dirinya berada di tempat yang telah ditaklukkan dan diatur sejak lama, sekarang mendapati dirinya berhadapan dengan kekuatan yang tidak dapat dia kendalikan atau pahami. Dia tidak mampu, terlepas dari upaya terbaiknya, untuk membungkam suara-suara yang membuat diri mereka terdengar di sekitarnya.

Gambaran dalam fiksi itu menunjukkan bahwa nilai-nilai kultural dari alam tidak hilang meskipun sebuah wilayah telah diduduki dan digantikan oleh orang-orang baru. Perlahan-lahan, Van Oudijck mulai tenggelam dan percaya terhadap keberadaan spiritual yang mengitarinya.

Pengalaman personal juga dialami Ghosh ketika mendatangi Banda dan tinggal di sebuah hotel yang dibangun oleh Des Alwi, seorang penulis dan pemerhati cagar budaya dari Banda yang telah meninggal. Alwi menulis dalam bukunya bahwa jarang orang-orang yang tinggal di Banda menyebut dirinya sebagai “Orang Banda asli”. Tetapi, semua orang akan dianggap orang Banda jika mereka mengikuti adat Banda dan berbicara dialek Banda-Melayu. Di antara masyarakat Banda yang kosmopolit, kepercayaan terhadap leluhur Banda tetap hidup. Mereka masih percaya pada kekuatan gaib seperti foe-foe dan orang halus yang terus menjaga Pulau Banda.

Monumen untuk mengenang korban penaklukan J.P. Coen. (Foto oleh Amitav Ghosh)

Di sekitar hotel, ada sebuah sumur yang dijadikan tempat pembuangan terhadap empat puluh orang Banda yang dibunuh oleh Belanda setelah peristiwa 1621. Orang-orang di Banda merekam jejak peristiwa penaklukan Banda sampai sekarang. Des Alwi kemudian membangun monumen untuk memperingati seluruh orang Banda yang menjadi korban. Tidak jauh dari sumur itu, terdapat rumah-rumah bertiang yang luas bekas kediaman para pejabat VOC pernah tinggal. Banyak cerita yang mengatakan hantu-hantu dan orang halus berdiam di rumah-rumah itu. Di salah satu rumah besar, ada sebuah ruangan yang konon adalah tulisan seorang pejabat Belanda yang bunuh diri karena dihantui oleh roh penduduk Banda yang terbunuh dalam penaklukan. Alam menyimpan memori lebih lama dari peristiwa itu sendiri.

Pendekatan Ghosh dalam buku ini sangat penting sebagai arah baru penulisan historiografi Indonesia yang cenderung mengabaikan peran alam dalam sejarah proses pembentukan imperialisme, kolonialisme bahkan nasionalisme yang didominasi oleh politik dan ekonomi. Sebagai sebuah tulisan, buku ini juga harus dilihat tidak hanya sebagai esai historis, namun juga sebagai refleksi ekologis di mana lingkungan terus menjadi objek ekspansi dan eksploitasi manusia. Untuk itu, cukup fundamental jika kita meletakkan peran alam sebagai subjek sejarah yang mempengaruhi kehidupan dan ekologi antara manusia dan alam.


Tedy Harnawan

Tedy Harnawan adalah lulusan Magister Ilmu Sejarah UGM. Ia aktif menulis dan menjadi peneliti sejarah independen yang menggeluti sejarah kolonial dan pascakolonial Indonesia yang bersinggungan dengan isu politik ekonomi, ekologi, sains dan gender.