Hanya Perkara Iman? Menarasikan Ulang Sejarah Imperium Islam

Dipublikasikan oleh Mu’ammar Zayn Qadafy pada

Hoyland, G. Robert. 2014. In God’s Path: The Arab Conquests and the Creation of an Islamic Empire [Dalam Jalan Tuhan: Penaklukan Arab dan Terciptanya Kekaisaran Islam]. Penerbit Universitas Oxford.


Fred Donner dalam Narratives of Islamic Origins menyebutkan bahwa terdapat empat jenis metodologi penelusuran sejarah Islam awal: tradisionalis, kritik tradisi, kritik sumber dan revisionis. Karya Roberth Hoyland, In God’s Path: The Arab Conquests and the Creation of an Islamic Empire, yang sedang diulas di sini masuk dalam kategori kritik sumber yang ide besarnya adalah membaca ulang sejarah Islam lewat sumber-sumber non-muslim lalu diperkuat dengan temuan-temuan arkeologis mutakhir. Meskipun jumlahnya terbatas, enskripsi-enskripsi kuno di atas bebatuan, kertas papyrus, hingga koin cukup membantu Hoyland memperjelas narasi sejarah yang ia hasilkan dari kajian atas bukti-bukti tertulis yang tersedia.

Sebagai orang penting dalam pengarus-utamaan metodologi ‘kritik sumber’ dalam pengungkapan sejarah Islam awal, Hoyland memang terkenal dengan sikap skeptisnya terhadap kebergantungan para sejarawan pada sumber-sumber tradisional; misalnya terhadap mereka yang meyakini bahwa ‘kritik tradisi’ terhadap kitab-kitab biografi tentang Muhammad akan bisa menyaring inti sejarah yang otentik (authentic historical kernel) dari tambahan-tambahan informasi yang dibuat-buat belakangan. Hoyland menyebut usaha untuk memisahkan kedua jenis data ini sebagai usaha yang salah arah (misleading) karena keduanya sudah sangat bercampur-baur (interwoven) hingga mustahil dipisahkan. Silahkan baca tulisan Hoyland lainnya yang berjudul “Writing the Biography of the Prophet Muhammad”!.

Keragu-raguan Hoyland atas validitas dan akurasi informasi sejarah dalam sumber Islam tradisional sangatlah terlihat jelas. Letak masalahnya ialah pada kenyataan bahwa karya sejarah paling tua di dunia Muslim baru ditulis pada abad ke 9 M, dan tentu saja lanskap politik-religius pada abad ini jauh berbeda dengan kondisi pada dua abad sebelumnya ketika peristiwa sejarah itu terjadi. Yang perlu digaris-bawahi, para sejarawan Kristen awal lebih dulu membukukan sejarah penaklukan Arab versi mereka dalam bahasa Non-Arab. 

Sayangnya, karena faktor bahasa ini dan ditambah faktor sentimen keagamaan, Hoyland menyangsikan apakah para sejarawan Muslim abad ke-9 benar-benar mampu dan bisa secara adil menggali informasi dari sumber-sumber Kristen tersebut. Di titik inilah buku Hoyland menawarkan kebaruan karena ia menyulam informasi dari tradisi non-Muslim klasik ke dalam pakem narasi sejarah yang selama ini dianggap mapan. Pun demikian, Hoyland menekankan bahwa ia tidak sedang mengunggulkan sejarah versi Muslim atau Non-Muslim. Sebaliknya, yang ia lakukan adalah mendudukkan keduanya dalam satu kursi karena keduanya berada di dunia yang sama dan mereka saling berinteraksi satu sama lain (hal. 2).

Alur ‘Penaklukan Arab‘ dalam Buku Hoyland

Rahasia di balik ‘kecepatan luar biasa’ (breakneck speed/ near-miraculous speed) dari penaklukan Arab adalah hal utama yang ingin diungkap oleh Hoyland karena penjelasan mengenainya selama ini cenderung linear dan simplistik. Dalam seabad (mulai kematian Nabi Muhammad (630-an M) hingga sekitar seratus tahun kemudian), kekaisaran Islam yang lahir di Arab sebelah barat telah menjangkau seantero Timur Tengah hingga Afrika Utara dan Spanyol bagian Barat. Dalam narasi besar penaklukan ini, sudut pandang pemenang selalu ditonjolkan dengan bermuara pada keyakinan mengenai rahmat Tuhan, keistimewaan Muhammad dan keagungan agama Islam sebagai faktor utama di balik kesuksesan ekspansi teritorial Islam. Padahal, kata Hoyland, dengan mengikuti perkembangan dunia abad itu, dan dengan menggali informasi dari sumber non-Muslim, akan terlihat kompleksitas gambaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi saat itu. 

Robert G. Hoyland

Sejarah penaklukan yang disajikan Hoyland dalam bukunya terbagi menjadi enam fragmen besar: (1) Latar historis (the setting), (2) Pertempuran-pertempuran awal (630-640 M), (3) Ekspansi ke arah Timur dan Barat (640-652 M), (4) Ekspansi ke Konstatinopel (652-685 M), (5) Lompatan besar ke depan (685-715 M), dan (6) Periode penurunan dan pemberontakan (715-750 M). Hoyland memaksudkan bab pertama untuk pemaparan mengenai kondisi dunia sebelum munculnya Islam (Late Antiquity). Pembahasan ini penting agar sejarah Islam dan sepak terjang penaklukannya di kemudian hari tidak tercerabut dari narasi besar yang mengitarinya. Peristiwa besar pra-Islam yang digaris-bawahi oleh Hoyland adalah konfrontasi dua kekuatan raksasa: Romawi (Byzantium) versus Persia (Sasaniyah). Secara organik, gereja Kristen lalu menyatu dengan kekuatan Byzantium sehingga komunitas non-Kristen hampir selalu dikaitkan dengan Persia. Pada saat yang sama, kerajaan-kerajaan kecil di pinggiran dua kekaisaran ini mulai menguat dan memposisikan diri sebagai negara-negara bagian (secondary states) dari salah satu dari keduanya. Di Arab misalnya, para ketua suku Ghassan memproklamirkan patronase terhadap Kristen (hal. 17). 

Ada beberapa ‘kerajaan pinggiran‘ yang disinggung oleh Hoyland dalam bukunya, namun ia menekankan komunitas orang-orang Arab sebagai yang paling sukses, karena keterlibatan aktif mereka dalam kontak dagang dengan unsur-unsur kekuasaan dari Ethiopia hingga India (hal. 22). Yang ia maksud orang-orang Arab adalah mereka yang menetap di area yang sekarang dikenal sebagai Syria, Yordania, Palestina hingga Barat Laut Saudi Arabia. Singkatnya, kata Hoyland, kemunduran dari dua imperium besar selama abad ke-5 dan ke-6 mendorong kegemilangan orang-orang Arab, sebagai kekuatan pinggiran, untuk melakukan penaklukan-penaklukan di masa mendatang (hal. 27). 

Alur penaklukan Arab yang dikisahkan Hoyland tergambar dengan sangat jelas dalam urutan pembahasannya di setiap bagian buku. Mulai bab 2 hingga 6, ia memerinci secara kronologis apa saja yang terjadi di masing-masing teritori. Taksonomi pembahasan ini memudahkan pembaca yang tidak memiliki waktu untuk membaca buku Hoyland secara utuh dari awal sampai akhir. Misalkan dalam kurun 630-640 M, peristiwa penting, yang dicatat Hoyland, terjadi di Semenanjung Arab, Palestina dan Syria, Iraq, dan Mesopotamia Utara (bab 2). Pola ini berlanjut untuk daerah Mesir, Nubia dan Ethopia, Tripolitania (sekarang Libya), Kaukasia, Cyprus dan Arward (bab 3); lalu Konstantinopel, Iran Utara, dan Afrika (bab 4); lalu Spanyol, Transoxania, Iran Selatan dan daerah Kabul, (bab 5); lalu Konstatinopel dan Anatolia, Perancis, Afrika Utara, dan Turki (bab 6). Selain itu, ulasan terhadap beberapa teritori seperti Kaukasia dan Afrika diulang di beberapa bab untuk alasan ketersambungan cerita.

Menariknya, di setiap akhir dari masing-masing bab, Hoyland menambahkan satu sub-pembahasan yang dimaksudkan sebagai ulasan atas beberapa topik penting yang perlu digaris-bawahi. Meski tempatnya di belakang, ulasan penutup ini menurut saya, adalah atraksi utama dari buku Hoyland, karena di sana ia memberikan analisa dan interpretasi terhadap fakta-fakta sejarah yang ia temukan. Beberapa intrepretasi historis Hoyland yang revolusioner akan saya paparkan di bawah ini.

Posisi Iman dalam Kesuksesan Penaklukan

Berdasarkan penelusurannya terhadap cerita-cerita kuno yang berkembang di kronik-kronik Kristen, Hoyland menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para pengikutnya bukanlah satu-satunya ‘kekuatan‘ Arab yang melakukan perongrongan atas kekuasaan Byzantium. Hoyland mencontohkan ‘Saracens‘. Meskipun pada abad ke-12 digunakan untuk menyebut kaum Muslim, istilah ini pada abad ke-7 merujuk pada komunitas non-Arab dan non-Muslim tertentu (hal. 57).

Keberadaan kelompok-kelompok semacam ini memberanikan Hoyland untuk lebih jauh menginterpretasikan siapa-siapa saja yang mungkin diajak berkoalisi oleh Muhammad pasca ditanda-tanganinya Piagam Madinah. Sudah pasti mayoritas pendukung gerakan Muhammad adalah orang-orang yang beriman kepadanya. Sementara, sebagian kecil yang lain adalah para pengikut Yahudi dan mungkin saja Kristen atau pengikut aliran monoteisme lain yang juga memiliki kepentingan untuk mengangkat senjata melawan orang-orang pagan (mushrikūn). Koalisi yang pluralis ini, menurut Hoyland, telah diabaikan oleh para sejarawan Muslim yang bersikukuh bahwa penaklukan-penaklukan yang mencengangkan itu sepenuhnya didalangi oleh orang-orang beragama Muslim beretnis Arab.

Dengan kemenangan beruntun yang dicapai para pengikut Muhammad, adalah sesuatu yang wajar, menurut Hoyland, jika banyak yang ingin bergabung dengan pasukan mereka. Hoyland menyontohkan orang-orang Daylam, Zutt, Sayabija dan Andaghar yang bergabung dengan pasukan Muslim untuk tujuan pragmatis: membalas dendam kepada kekaisaran Persia (hal. 59). Terhadap fakta-fakta ini, Hoyland menyayangkan banyak sejarawan Islam yang mengasumsikan dengan membabi-buta bahwa para kolaborator ini telah masuk Islam seketika mereka memutuskan bergabung dengan pasukan Muslim. Sebaliknya, Hoyland meyakini bahwa perpindahan agama bukanlah suatu keharusan, sebagaimana catatan yang ia peroleh dari pendeta John of Fenek (ditulis pada 680-an M), bahwa di antara pasukan Muslim terdapat beberapa orang Kristen. (hal. 60)

Sampai di sini, Hoyland ingin menegaskan bahwa iman bukanlah faktor terpenting di balik suksesnya penaklukan Arab, sebuah narasi yang belakangan ini marak didengungkan oleh kelompok Jihadis. Model penjelasan apologetik lain atas gemilangnya penaklukan adalah bahwa itu memang sudah merupakan kehendak Tuhan untuk menghukum para pendosa dan mengangkat derajat mereka yang taat kepada-Nya (hal. 93). Di sisi lain, para sejarawan Muslim yang ingin menonjolkan keimanan ini lalu memoles narasi sejarah bahwa seakan-akan operasi militer yang dilakukan orang Muslim selalu berujung damai dan sedikit sekali menggunakan kekerasan. Menurut Hoyland, narasi semacam ini merupakan fantasi apologetik yang tidak pernah bisa dibuktikan dalam sejarah karena semua kekaisaran pasti bertumpu pada kekuatan perang untuk bisa eksis. Hanya ketika penguasaan mereka atas teritori tertentu sudah mapan, strategi-strategi nir kekerasan seperti jaminan perlindungan, pembagian peran dalam pemerintahan serta kolaborasi ekonomi dan sosial akan diterapkan. Peran non-Muslim sekaligus non-Arab ini dianalisa lebih lanjut oleh Hoyland pada halaman 157 hingga 169.

Kesalahan umum kedua, yang dicatat Hoyland, dari para sejarawan modern adalah persepsi bahwa para penakluk ini adalah orang-orang nomad (tidak menetap tinggalnya) yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan militer. Narasi ini bisa jadi dikembangkan untuk lagi-lagi menegaskan faktor kehendak Tuhan di atas. Padahal selama berabad-abad, beberapa suku Arab telah dikenal sebagai penyedia jasa keamanan dan militer untuk kekaisaran Byzantium dan Persia; belum lagi fakta bahwa beberapa orang dari suku Arab tertentu telah menjalin hubungan dagang dan personal dengan orang dari suku non-Arab, misalnya ʿAmr Ibn al-ʿAs, seorang jenderal yang memimpin pasukan Arab ke Palestina pada 634 M. Ia memiliki hubungan darah, dari jalur nenek ibunya, dengan suku Bali yang awalnya beraliansi dengan Byzantium lalu berbalik mendukung pasukan Arab. Hoyland mengangkat contoh ini untuk menunjukkan bahwa orang Arab bukanlah orang ‘sembarangan’. Ia juga menginterpretasikannya sebagai penjelasan mengapa penaklukan Arab cenderung mulus dan tidak destruktif. Ini karena para pemimpinnya memiliki hubungan (baik kekeluargaan ataupun profesional) tertentu dengan daerah yang ingin ditaklukkan. (hal. 95).

Ketokohan Muʿāwiyah Ibn Abī Sufyān dan ʿAbd al-Malik Ibn Marwān

Muʿāwiyah menjadi khalifah kelima dan berkuasa antara 661-680 M. Ia adalah penguasa Arab pertama yang namanya dipahat dalam koin, inskripsi dan dokumen-dokumen resmi. Dia juga lah yang memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus karena beberapa alasan strategis: simbol pemerintahan baru, kondisi geografis Syria yang luas dan susah ditaklukkan, kedekatan politis dengan daerah yang ditaklukkan dan visi terhadap pembaharuan sistem ekonomi (hal. 129-31). Di luar deskripsi standard ini, dalam catatan-catatan gubahan sejarawan Muslim abad ke-9, Muʿāwiyah cenderung digambarkan secara negatif. Permusuhannya dengan menantu Nabi Muhammad, ʿAlī Ibn Abī Ṭālib, dianggap sebagai biang kerok meninggalnya banyak tokoh ternama, dan penobatan anaknya (Yazīd Ibn Muʿāwiyah) adalah sebuah kesalahan fatal yang tidak bisa dimaafkan (unforgivable). Keberhasilan Muʿāwiyah dalam mengakuisisi area yang luas ke dalam kekaisaran Islam pun juga dianggap cacat, karena ia memperkenalkan sistem pemerintahan otokrasi yang menyalahi praktik kepemimpinan empat khalifah pendahulunya (hal. 134). Muʿāwiyah disebut sebagai pemimpin yang otoriter, kejam, dan tiran. 

Bagaimana penggambaran Muʿāwiyah dalam sumber sejarah non-tulisan? Hoyland menunjukkan koin dan beberapa dokumen resmi yang di dalamnya tertulis frasa “Muʿāwiyah, hamba Tuhan dan pemimpin orang-orang beriman”. Secara mengherankan, tidak ada penyebutan kata ‘Islam‘ atau ‘Muhammad‘ di sana, seakan-akan dua unsur ini tidak begitu penting untuk diproklamasikan secara publik. Beragam interpretasi muncul dari fakta arkeologis ini, sebut Hoyland. Beberapa sejarawan modern mempercayai ini sebagai bukti bahwa agama Islam saat itu masih mewujud sebagai agama ekumenis, dan Muslim generasi awal tidak membedakan secara ketat agama mereka dari agama monoteis lain. Meski menyebut interpretasi ini dalam bukunya, Hoyland agaknya tidak terlalu tertarik mengelaborasi teori yang telah dikembangkan sebelumnya oleh G.R. Puin, Fred Donner, dan Yahuda Nevo ini. 

Hoyland berhenti pada interpretasi yang, menurut saya, paling tidak beresiko. Absennya nama Muhammad dalam inskripsi-inskripsi tersebut sekadar menunjukkan kalau sang khalifah tidak merasa perlu untuk membawa-bawa nama sang Nabi untuk memperkuat legitimasinya (hal 136.). Ia meyakini bahwa pada masa Muʿāwiyah, simbol Islam adalah para pemimpin mereka yang sedang berkuasa, sementara hadis secara umum belum dijadikan landasan dan sumber hukum Islam. Di sini, kita melihat bagaimana kecintaan Hoyland pada data-data arkeologis menuntunnya menjadi sejarawan yang kritis dan tidak terlalu pusing dengan interpretasi mainstream para pendahulunya, meski itu sensasional.

Secara khusus, Hoyland menekankan posisi sentral khalifah ke-4 dinasti Umayyah, ʿAbd al-Malik Ibn Marwān. Kepiawaiannya dalam berpolitik berhasil merebut kembali kekuasaan yang pernah direbut oleh ʿAbdullah Ibn al-Zubayr, penguasa Mekkah. Sepeninggal Ibn al-Zubayr, ʿAbd al-Malik memikirkan cara agar kesetiaan umat Islam beralih kepadanya. Ia lalu merevitalisasi kedudukan mulia Muhammad dalam misi pemerintahannya, sebuah strategi yang bertolak-belakang dengan yang dilakukan Muʿāwiyah sebelumnya. Ini adalah interpretasi Hoyland atas sebuah koin yang beredar di masa ʿAbd al-Malik, bergambarkan seorang khalifah dan bertuliskan kata ‘Lā ilāha illallāh Muḥammad Rasūlullāh.

ʿAbd al-Malik juga diyakini Hoyland sebagai khalifah pertama yang memberlakukan kebebasan mengikuti ajaran monoteisme bagi daerah-daerah yang ditaklukkan. Di masanya, konsep Ahl al-Kitāb dimaksimalkan dengan mewajibkan orang Kristen dan Yahudi membayar upeti dengan balasan jaminan keamanan. Sementara itu, kaum pagan tidak mendapatkan privilese serupa karena mereka hanya diberi dua pilihan: masuk Islam atau mati (hal. 197). Kebijakan ʿAbd al-Malik ini tidak hanya berhasil meredam gejolak politik, tetapi juga menyediakan fondasi kestabilan finansial bagi kekaisaran Islam di masanya (hal. 200). Stabilitas ini memungkinkan sang khalifah untuk menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi imperium Muslim tanpa gejolak berarti dari daerah jajahannya (hal. 213).

Arab Conquest, Islamic Conquest atau Muhājirūn Conquest: Refleksi Teoretis

Meski pada judul bukunya terdapat istilah ‘Arab Conquest’, Hoyland meyakini bahwa baik istilah ini maupun istilah ‘Islamic Conquest’ tidaklah tepat untuk menggambarkan aktor utama di balik penyebaran agama dan kekaisaran Islam. Di satu sisi, para pengusung istilah pertama menyadari peran sekelompok besar non-Muslim dalam ekspansi kekaisaran Islam, sehingga mereka bertumpu pada etnisitas bangsa Arab. Di sisi lain, pengusung istilah kedua mengkambing-hitamkan agama sebagai faktor paling dominan dalam hal tersebut, sebuah klaim yang menurut Hoyland tidak beralasan (dubious). 

Sebagai alternatif, Hoyland menawarkan istilah Muhājirūn conquest, yang secara bahasa berarti penaklukan oleh para migran. Alasannya adalah, sedari awal, Muhammad SAW memakai tiga slogan utama dalam misi kenabiannya: terbentuknya ummah, terlaksananya hijrah dan jihad melawan orang-orang sesat (hal. 57). Konsep hijrah memang pada awalnya dikonotasikan dengan migrasi dari Mekkah ke Madinah. Namun di kemudian hari, ide tentang pergi dari rumah untuk sebuah pertempuran suci ini melandasi semua gerakan ekspansi pasukan Islam melawan dominasi kekaisaran Byzantium dan Persia (hal. 102)

Sampai di sini, petualangan Hoyland menyusuri beragam sumber-sumber sejarah versi Muslim dan non-Muslim telah menunjukkan kompleksitas sejarah penaklukan oleh para muhājirūn ini. Karyanya ini tidak sepenuhnya menolak narasi besar penaklukan yang selama ini menjadi pemahaman umum. Selain ketundukannya pada sumber-sumber literatur sejarah yang kaya, kekuatan buku Hoyland terletak pada interpretasi-interpretasinya yang cukup analitik, segar, dan tidak sensasional. Dengan mengakui keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam karya-karya yang ia analisa, Hoyland terlihat cukup berhati-hati dalam melemparkan klaim-klaimnya, membuat karyanya ini, menurut saya, secara umum mudah diterima oleh kalangan tradisionalis murni sekalipun.

Sebagai penutup, penting untuk diketengahkan alasan Hoyland memberi judul bukunya ini dengan ‘in God’s Path yang merupakan terjemahan dari frasa yang sangat sentral dalam kredo umat Islam, ‘Fī Sabīlillah‘. Hoyland berhasil mengingatkan pembacanya untuk tidak memakai jargon ini sebagai alibi untuk menganggap faktor keimanan sebagai penentu utama kesuksesan imperium Islam. Sebagaimana sejarah-sejarah bangsa lain, perjalanan penaklukan imperium tertentu atas imperium lain selalu melibatkan intrik politik, sosial dan keagamaan. Hanya dengan meletakkan semua kepingan puzzle ini pada tempatnya, sejarah akan mengungkapkan dirinya sendiri secara indah dan elegan.


Mu’ammar Zayn Qadafy

Direktur "Studi Tafsir" dan Dosen di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta