Dari Perang Saudara ke Pengungsian: Pergeseran Bahasa pada Komunitas Imigran Sudan di Australia

Dipublikasikan oleh Rima Muryantina pada

Hatoss, Anikó. 2013. Displacement, Language Maintenance and Identity: Sudanese Refugees in Australia [Pemindahan, Pemeliharaan Bahasa dan Identitas: Pengungsi Sudan di Australia]. Johns Benjamin Publishing Company.


Melalui bukunya, Displacement, Language Maintenance and Identity: Sudanese Refugees in Australia, Aniko Hatoss menjabarkan penelitiannya mengenai pergeseran bahasa yang terjadi di komunitas imigran Sudan di Toowoomba, Queensland, Australia. Pembaca diajak memahami proses penelitian sosiolinguistik secara terperinci dalam konteks pemertahanan bahasa asli Sudan di kalangan komunitas imigran Sudan. Penelitian tentang pergeseran dan pemertahanan bahasa tidak hanya harus objektif, namun juga harus subjektif karena melibatkan keterikatan setiap invididu dengan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan Hatoss menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif sekaligus agar proses pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa dalam komunitas ini pun dapat dilihat sebagai suatu proses yang dinamis dan kompleks, tidak statis dan homogen.

Bab pertama pada buku ini memaparkan teori-teori yang digunakan Hatoss dalam penelitian pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa yang ada pada komunitas Sudan di wilayah Queensland, Australia. Pertama, Hatoss menjelaskan pengertian pergeseran bahasa yang merujuk pada perubahan struktural (perubahan gramatikal, kosakata, makna, dan sebagainya) serta perubahan fungsional (penggunaan bahasa dalam konteks tertentu baik dalam perbedaan mode tulisan-lisan, aspek kesantunan berbahasa, dan sebagainya) baik yang terjadi pada satu generasi (pergeseran intragenerasional), maupun antar generasi (pergeseran intergenerasional). Misalnya, umumnya imigran Sudan di Australia dan keturunannya memahami bahasa percakapan Dinka atau bahasa suku asli Sudan lainnya, tapi mereka tidak menguasai tulisan bahasa Arab yang dipelajari di sekolah-sekolah Sudan karena banyak dari imigran Sudan mengungsi pada usia awal mereka belajar literasi, sedangkan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain membuat mereka terpaksa berganti-ganti bahasa. Sebaliknya, bahasa Inggris yang mereka pelajari pun mengalami pergeseran karena pengaruh struktural bahasa asli para imigran. Misalnya, penggunaan past tense di hasil wawancara para imigran masih terlihat kurang konsisten. Ketika bercerita pengalaman mereka selama ada di pengungsian di negara-negara Afrika, mereka tetap menggunakan present tense, seperti pada kalimat, “Then, we eat the meat of the animal” yang seharusnya diungkapkan dalam past tense dalam bahasa Inggris.  

Dari dua jenis pergeseran bahasa ini, Hatoss memusatkan penelitiannya pada pergeseran intergenerasional pada generasi kedua dan ketiga setelah generasi yang pertama melakukan imigrasi ke Australia. Hatoss juga melihat pergeseran bahasa dari kombinasi faktor psikolinguistik dan sosiolinguistik yang ada, mulai dari efeknya terhadap masing-masing individu hingga efeknya terhadap komunitas sosial tempat individu tersebut bernaung.  

Pada bab kedua, Hatoss menjelaskan secara lebih detail tentang metode penelitian etnolinguistik dalam konteks komunitas imigran Sudan di Queensland, Australia. Hatoss memilih Toowoomba sebagai kota yang menjadi fokus penelitian karena kota ini merupakan kota dengan jumlah imigran paling sedikit dibandingkan dengan kota-kota lain di Australia. Namun demikian, komunitas multilingual terbesar di Toowoomba adalah imigran Sudan dan Afrika Selatan. Tentu, sangatlah menarik untuk menilai bagaimana komunitas multilingual Sudan mempertahankan bahasanya di tengah kota yang tidak terlalu beragam komunitas etnis dan bahasanya. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah survei sosiolinguistik, wawancara, dan observasi etnolinguistik. Dalam proses wawancara juga, Hatoss mengungkapkan bahwa dia sangat berhati-hati karena beberapa pertanyaan terkait bahasa juga dapat mengungkit kenangan menyakitkan para imigran tentang perang saudara di Sudan. 

Pada bab ketiga, Hatoss menjelaskan tentang sejarah panjang mengenai kebijakan bahasa yang ada di Sudan sebelum para imigran pindah ke Australia. Hal ini berpengaruh untuk mengetahui bahasa apa yang digunakan oleh para pengungsi dan bagaimana paparan yang mereka terima terkait penggunaan bahasa tersebut pada generasi pertama ketika para imigran pindah ke Australia. Sejarah panjang Sudan menunjukkan bahwa kebijakan bahasa di negeri tersebut didominasi oleh perang kekuatan antara penggunaan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris di ranah publik sebagai bentuk perang dominasi kekuatan Islam dan imperialisme Inggris di negeri tersebut. Bahasa-bahasa suku asli Afrika sejak dulu menjadi bahasa minoritas yang hanya diperhatikan oleh misionaris Kristen, bukan demi pemertahanan bahasa suku asli Sudan tersebut, namun sebagai pemenuhan syarat yang diberikan pemerintah agar kegiatan misionaris dapat dijalankan di Sudan Selatan. 

Perang saudara yang terjadi di Sudan juga memengaruhi anak-anak Sudan untuk menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris dalam interaksi sosial, baik di sekolah maupun di ruang publik lainnya. Imbas dari perang saudara ini adalah banyak anak-anak imigran Sudan yang tingkat literasinya rendah karena berganti-ganti bahasa di daerah asal, di pengungsian, hingga akhirnya sampai di negara tempat mereka mencari suaka. Kebijakan bahasa di Australia sendiri memang mendukung para imigran untuk menggunakan bahasa dan kultur negara aslinya, namun sedikit fasilitas yang diberikan untuk mendukung pemertahanan bahasa asli para imigran tersebut. Pada akhirnya, para imigran harus memiliki inisiatif sendiri bila ingin mempertahankan bahasa asli dari daerah asal mereka, termasuk para imigran di komunitas imigran Sudan di Toowoomba, Queensland, Australia. 

Anikó Hatoss

Pada bab keempat, Hatoss membagikan hasil wawancaranya dengan tiga imigran Sudan yang bermigrasi ke Australia pada periode akhir 1980an hingga awal 2000an. Mereka dikenal di kalangan komunitas imigran Sudan dengan sebutan The Lost Boys, sebab sebagian besar dari imigran pada masa itu adalah anak laki-laki dan remaja yang harus melarikan diri dari perang saudara yang terjadi di Sudan. Anak laki-laki memang lebih menjadi sasaran tentara lawan dibandingkan anak perempuan. Hasil wawancara yang dinilai dari pemilihan elemen-elemen linguistik dan isi dari tuturan para responden menunjukkan bahwa para imigran ini lebih cenderung memilih identitas Sudan mereka daripada identitas Australia dan berharap suatu saat akan kembali ke Sudan. Perjalanan mereka yang berpindah-pindah kota di Sudan, hingga ke negara tetangga seperti Kenya dan Ethiopia, atau akhirnya sampai di negara barat juga mendorong mereka untuk berganti-ganti bahasa dalam berkomunikasi, namun sulit mendapatkan tingkat kefasihan yang sempurna. Hingga bertahun-tahun setelah tinggal di Australia, terlihat banyak kesalahan tata bahasa Inggris mereka yang masih terpengaruh bahasa penutur asli di Sudan seperti Dinka.

Pada bab kelima, Hatoss lebih lanjut menjabarkan mengenai proses transisi pergeseran bahasa yang dialami para imigran Sudan ini ketika mereka melakukan relokasi ke negara-negara tetangga Sudan sebelum tiba di Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum relokasi ke negara-negara tetangga, bahasa daerah Sudan digunakan oleh mayoritas imigran, sementara Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa tambahan. Namun, setelah relokasi, sejumlah 25,3 % dari imigran memilih beralih menggunakan Bahasa Arab karena mereka pindah ke negara-negara tetangga yang menggunakan Bahasa Arab. Beberapa imigran yang pindah ke daerah seperti Kenya juga akhirnya belajar Bahasa Swahili dan Bahasa Inggris. Kemampuan literasi beberapa imigran ini pun menjadi terhambat, namun juga ada yang berkembang, tergantung kebijakan negara tempat mereka mengungsi. Pemerintah Kenya umumnya lebih memberikan kesempatan pendidikan pada para pengungsi dibandingkan negara-negara tetangga lain. Dalam hal ini, faktor gender juga turut berpengaruh karena ekspektasi masyarakat pada kemahiran literasi anak laki-laki lebih besar. Sebagai konsekuensinya, anak laki-laki lebih cenderung berkembang secara literasi dibandingkan anak perempuan. 

Bab keenam dalam buku ini menceritakan informasi terperinci yang didapatkan dari para responden tentang sikap mereka terhadap bahasa-bahasa yang mereka gunakan di Australia. Mayoritas responden memiliki sikap yang positif terhadap Bahasa Inggris sebagai lingua franca di Australia yang dapat memudahkan mereka berbaur dengan masyarakat Australia sehari-hari. Mayoritas sikap positif juga ditunjukkan pada bahasa asli Sudan, terutama Dinka. Sebagian besar responden menganggap Bahasa Dinka sebagai bahasa identitas mereka yang memudahkan interaksi dengan sesama imigran Sudan

Pada bab ketujuh, Hatoss kemudian menjelaskan mengenai identitas para imigran yang secara dinamis terus berubah, yakni antara identitas mereka sebagai masyarakat keturunan Sudan dan sebagai warga negara Australia. Mereka sangat mencintai identitas masa lalu mereka sebagai keturunan Sudan, namun juga ingin berbaur dan diterima selayaknya warga Australia pada umumnya. Beberapa responden dari generasi kedua dan ketiga imigran Sudan menjelaskan bahwa mereka merasa kemampuan berbahasa Inggris mereka sebenarnya lebih baik daripada kemampuan mereka berbahasa Dinka atau bahasa suku asli Sudan lainnya. Namun, tampilan fisik mereka dengan warna kulit yang gelap, membuat komunitas Australia pun kurang menerima identitas mereka sebagai warga Australia. Tidak ada diskriminasi terang-terangan yang mereka terima, namun dalam pergaulan, mereka tetap dianggap sebagai penduduk Afrika meskipun terlahir di Australia. Bagi beberapa responden yang tidak menguasai bahasa Inggris hingga level penutur asli, penolakan identitas ini semakin terasa ketika mereka tidak memahami bahasa slang Australia atau bahasa profesional di lingkungan kerja. Sementara itu, ketika berinteraksi dengan komunitas Sudan, terutama generasi orang tua mereka, mereka merasa seperti orang Australia karena kurang menguasai bahasa asli mereka sendiri, padahal banyak dari para responden mengaku mencintai identitas mereka sebagai suku asli Sudan karena beranggapan itu adalah pemberian Tuhan pada mereka.

Bab kedelapan dalam buku ini menjabarkan tentang kemungkinan pemertahanan bahasa penutur asli Sudan, baik di negara asal mereka maupun di Australia. Sekira 92% responden optimis bahwa bahasa asli mereka akan bertahan di Sudan karena mayoritas responden memiliki Dinka sebagai bahasa ibu mereka, dan Dinka merupakan suku etnis mayoritas di Sudan. Sementara itu, sejumlah 41,3 % dari total responden optimis bahwa bahasa ibu mereka akan tetap bertahan di komunitas imigran Sudan di Australia. Pada bab ini juga diungkapkan bahwa para imigran Sudan akan terus mengalami penyesuaian penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan kekuatan yang berpengaruh di masyarakat. Mereka tetap akan terus menyesuaikan diri dengan konteks kesantunan yang berbeda antara bahasa asli mereka dengan bahasa yang digunakan di Australia, khususnya bahasa Inggris. Terkadang, penyesuaian terhadap norma-norma luar ini juga membawa perubahan pada kondisi kultural dalam keluarga dan identitas mereka. Misalnya, generasi kedua imigran Sudan di Australia telah mengadopsi norma-norma percakapan Australia yang tidak membedakan antara orang yang lebih tua dan orang-orang sebaya sebagai lawan bicara. Hal ini bertentangan dengan banyak tradisi asli suku Sudan yang memperhatikan kesantunan kontak mata, bahasa tubuh, dan bahkan pemilihan kosakata ketika berinteraksi dengan generasi yang lebih tua. Terkadang pergeseran norma kesantunan dalam berbahasa ini menyebabkan konflik dan kesan tidak menyenangkan bagi generasi kedua dan ketiga keturunan imigran Sudan ketika berkomunikasi dengan orang tua mereka. Mereka bahkan cenderung dicemooh dan dianggap tidak memiliki identitas asli Dinka atau suku asli lain di Sudan bila tidak memahami norma-norma komunikatif dalam bebahasa ini, walaupun mereka sendiri masih merasa merupakan bagian dari suku tersebut.

Bab terakhir dalam buku ini menjelaskan bahwa perencanaan bahasa tingkat mikro telah mulai dilakukan oleh para sosiolinguis yang bekerja sama dengan komunitas imigran Sudan. Sejauh ini, antusiasme dari para anggota komunitas sangat tinggi karena mereka juga memiliki kecintaan yang sangat besar pada kultur dan tanah asal mereka. Akan tetapi, perencanaan bahasa untuk pemertahanan bahasa asli Sudan di tingkat mikro ini juga harus didukung oleh perencanaan bahasa di tingkat makro, sehingga diperlukan kerja sama dengan pemerintah Australia dan pembuat kebijakan bahasa di wilayah setempat.

Buku terkait penelitian pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa di komunitas imigran Sudan ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian sosiolinguistik dengan tema pemertahanan bahasa, khususnya dalam konteks komunitas imigran. Bahasa adalah bagian dari kultur dan identitas individu maupun kelompok orang yang menggunakan bahasa tersebut. Membiarkan suatu bahasa tak terpakai karena tekanan sosial dan pengaruh kekuatan bahasa lain, dapat menghilangkan satu elemen kultur tertentu dari masyarakat yang sebenarnya berharga. Meskipun pengumpulan dan analisis data serta eksekusi terhadap perencanaan bahasa tingkat mikro di komunitas Sudan saat ini sudah cukup bagus, diperlukan lebih banyak data terperinci untuk melihat pengaruh bahasa asing seperti bahasa Inggris terhadap bahasa daerah Sudan sendiri. Penelitian lebih lanjut terhadap kebijakan bahasa yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat juga diperlukan agar usaha perencanaan bahasa tingkat mikro bisa lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. Penelitian-penelitian semacam ini juga diperlukan dalam konteks Indonesia yang memiliki ratusan bahasa daerah namun tidak cukup terdokumentasi dan terjaga penggunaannya dengan baik.

Kategori: Bahasa

Rima Muryantina

Rima Muryantina adalah mantan pengajar linguistik Inggris di Universitas Al Azhar Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah yang sekarang menjadi asisten desainer kurikulum di Sekolah Enuma.