Dari Yaman ke Pekalongan: Kerangka Baru atas Otoritas Islam?

Dipublikasikan oleh Sawyer Martin French pada

Alatas, Ismail Fajrie. 2021. What Is Religious Authority? Cultivating Islamic Communities in Indonesia (Apa itu Otoritas Keagamaan? Budidaya Komunitas Islam di Indonesia). Penerbit Universitas Princeton.


Dalam sejarah tulisan akademik tentang Islam di Indonesia, yang paling sering disoroti adalah kekhasannya: bagaimana Islam di Indonesia bisa dibedakan dari Islam di tempat lain. Contohnya, tulisan Geertz tentang Islam di Jawa. Lantaran Indonesia dianggap terletak pada “pinggiran” (periphery) dunia Islam, konon yang layak dikaji dan dicatat dalam kesarjanaan hanyalah perbedaan. Jarang sekali ada peneliti yang menggunakan riset di Indonesia untuk mengembangkan teori tentang Islam secara umum.

Namun, dalam What is Religious Authority? Ismail Fajrie Alatas menggunakan penelitian teks dan etnografis di Pekalongan untuk membangun analisis atas “Islam” secara universal. Bagi Alatas, Islam di Indonesia layak dipahami sebagaimana Islam di tempat-tempat lain.Tentu saja Islam memiliki sifat lokal, tetapi juga terikat secara genealogis kepada wacana Islam yang global.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Yang pertama bertumpu pada sejarah panjang dinamika otoritas keislaman dalam masyarakat Hadramaut dan Jawa, serta interaksi antara keduanya akibat arus migrasi orang-orang Hadramaut ke nusantara. Bagian kedua mengambil satu tokoh, Habib Luthfi bin Yahya (l. 1947) di Pekalongan, sebagai studi kasus untuk memahami bagaimana ia membangun serta menggunakan otoritas keislaman dalam komunitasnya.

Islam Sebagai “Kinerja Artikulasi”

Alatas mendekati “Islam” secara konkret dengan memperhatikan dinamika komunitas-komunitas yang terbangun atas wacana dan normativitas Islam. Menurut Alatas, sebuah komunitas (jamaʿah) berbasis Islam (Islamic community) terstruktur oleh sebuah pengertian atas sunnah nabi sebagai patokan normatif yang diimajinasikan dan dituju bersama-sama. Tapi, kandungan “sunnah nabi” itu tentu saja selalu diperdebatkan dan dipertarungkan antara (dan juga di dalam) berbagai kelompok.

Perdebatan dan perbedaan ini menjadi dinamika yang konstan dalam komunitas-komunitas Islam bagi Alatas karena sunnah nabi tersebut merujuk kepada sebuah masa lampau kenabian (prophetic past) yang telah lenyap (vanished). Maka sunnah nabi hanya bisa dipahami melalui “kinerja artikulasi””—yaitu tradisi ilmu, praktik, dan penafsiran yang menghubungkan dan menggabungkan kehidupan sebuah komunitas pada masa kini dengan teladan sunnah nabi dari masa lalu.

Ismail Fajrie Alatas

Artikulasi memiliki arti ganda. Di satu sisi, artikulasi berarti penyampaian; menyampaikan, merepresentasikan, dan menghadirkan apa yang terkandung dalam masa lalu kenabian kepada anggota sebuah komunitas di masa kini. Di sisi lain, artikulasi adalah sebuah proses penggabungan yang mengikat masa lalu dan masa kini, sebuah proses yang tidak hanya mewarnai masa kini, tapi pemahaman atas masa lalu juga. Dengan kata lain, masa lalu selalu hadir dan terbentuk dalam dan melalui kekinian. Masa lalu akan selalu tampak berbeda saat ditilik dan ditelisik dari masa dan tempat yang berbeda pula. Dinamika mendasar inilah yang membentuk keragaman sunnah.

“Kinerja artikulasi” ini adalah intisari dari relasi hierarkis yang biasa kita sebut sebagai otoritas keagamaan, kata Alatas. Meminjam konsep Hannah Arendt bahwa otoritas mesti berfungsi sebagai suri tauladan (exemplary), Alatas menegaskan bahwa seorang “penggabung” ialah orang yang terhubung dengan masa lalu kenabian (baik melalui nasab, isnad, silsila, ataupun keilmuan) dan mampu mengolah pengetahuannya tentang masa lalu tersebut dan merealisasikannya sebagai sunnah atau normativitas keseharian sehingga dapat dijadikan contoh yang bisa ditiru oleh penghayatnya pada masa kini tanpa pemaksaan dan kekerasan. Ini seperti kinerja “penerjemahan” dari ilmu agama ke amal sehari-hari.

Yang tidak kalah penting dari konsep kinerja artikulasi adalah kemampuannya mengetengahkan analisa atas segala resiko dan potensi kegagalan sebuah otoritas religius. Sebagai sebuah relasi yang harus terus-menerus dibangun dan dipertahankan melalui kinerja artikulasi, otoritas bisa saja gagal, pupus, dan tak mampu dikenali dikarenakan satu dan lain hal.

Bagi Alatas, Islam sebagai “realitas sosiologis” selalu merupakan “hasil dari apa yang [Alatas] sebut sebagai kinerja artikulasi (articulatory labor)—yaitu upaya untuk mengartikulasi masa lalu kenabian dan perwujudannya dalam sebuah komunitas” (18) sehingga memungkinkan pengamalannya sebagai sebuah sunnah/norma kehidupan. Seorang tokoh agama ialah orang yang bisa mengaitkan komunitasnya dengan sejarah kenabian karena ia mampu menggambarkannya dengan cara yang bisa diterima, dipahami, dan diterapkan dalam komunitas tersebut.

Dalam kerangka ini, Islam bukan sesuatu yang sekedar diwarisi, tapi juga selalu tampil sebagai sekumpulan wacana dan praktik yang sedang diartikulasi dan dihadirkan secara terus menerus. Bukan berarti menegasi kaitan dengan masa lalu, tapi menyadari bahwa masa lalu selalu hadir dalam masa kini melalui “kinerja artikulasi” ini. Sebagai proses sosial, kinerja artikulasi selalu hadir dalam berbagai komunitas dengan wujud yang beragam, yang Alatas sebut sebagai “variasi dalam artikulasi” (articulatory variation). Maka bagi Alatas, fokus penulisan sejarah dan antropologi Islam sepatutnya memusatkan analisisnya pada variasi moda artikulasi yang memunculkan berbagai ragam keislaman.

Seringkali, suatu bentuk kinerja artikulasi atas sunnah nabi begitu mengakar dalam masyarakat sehingga menjadi dominan. Dalam teori Alatas, ini yang disebut sebagai “paradigma artikulasi” (articulatory paradigm), yang turut membentuk pakem penafsiran dan praktek yang dilakukan oleh generasi-generasi berikutnya.

Bagian I: Artikulasi Sunnah dalam Masyarakat Jawa, Hadrami, dan Hadrami-Jawa

Bab 1 membandingkan dua jenis paradigma artikulasi Islam yang hadir dalam sejarah Jawa. Pertama, ada paradigma di kraton Mataram pada awal abad ke-19. Alatas merujuk ke contoh Pangeran Dipanegara (w. 1855), yang – seperti para penguasa Mataram Islam – menjabat sebagai panatagama (penata agama). Dipanegara memobilisasi massa di Jawa untuk melawan kolonialisme Belanda dengan menyusun berbagai citra otoritatif dalam dirinya—termasuk panglima, pejuang sufi, dan sekaligus ratu adil. Ini paradigma otoritas yang senantiasa “menggabungkan” antara berbagai tradisi.

Lama-kelamaan, terutama dengan kedatangan orang-orang Hadrami di pantura Jawa yang membawa pemahaman dan praktek keislaman yang lebih terikat pada teks-teks ulama dan tarekat Alawiyah, model Dipanegara yang menggabungkan antara berbagai tradisi mulai dikritik. (Penting untuk dicatat bahwa ini bukan berarti keislaman para pendatang Arab tidak juga dibentuk oleh tradisi suku di tempat asalnya.)

Dalam Bab 2, Alatas menggambarkan sebuah paradigma “tekstualis” yang muncul di Hadramaut, Yaman pada abad ke-17 dan lalu tersebar mengikuti arus migrasi diaspora Hadrami. Yang pertama membentuk paradigma ini adalah Imam Abdallah ibn Alawi al-Haddad (w. 1720), yang mengartikulasi “Islam secara terobjektifikasi dan tak terikat pada budaya setempat” (59). Paradigma ini mengandalkan teks-teks “mukhtasar”—yaitu kitab-kitab rangkuman dalam bidang ilmu mendasar seperti fikih, akidah, akhlak, dan ratib yang juga singkat dan dapat dicerna oleh orang-orang awam.

Dalam paradigma Haddadiah ini, figur otoritas yang penting adalah seorang “syekh at-taklim” (guru pengajian atau pengasuh majelis taklim). Sosok ini tidak harus diakui sebagai ulama, tetapi cukup berijazah untuk mengajarkan kitab-kitab mukhtasar dan memandu orang lain dalam kewajibannya. Paradigma ini menempatkan Islam sebagai sesuatu yang selalu tampil dalam bentuk yang universal serta cukup egaliter, persis seperti diterangkan dalam teks-teks itu. Melalui migrasi diaspora Hadrami, sekaligus semakin banyaknya orang Jawa yang merantau ke semananjung Arab untuk mencari ilmu, paradigma “tekstualis” ini lambat laun menjadi dominan di Jawa, terutama di kalangan pesantren.

Namun, dominannya sebuah paradigma tidak mungkin abadi, dan Bab 3 menceritakan bagaimana paradigma tekstualis tersebut perlahan tapi pasti mulai diwarnai oleh unsur-unsur non-tekstual, seperti kebudayaan lokal dan otoritas berbasis kekerabatan. Di sini, Alatas membahas komunitas orang Hadrami di Pekalongan yang dipimpin oleh seorang mansab, sebuah kedudukan yang diwarisi secara turun-menurun. Ahmad bin Abdallah Alatas (w. 1929), sosok pertama dalam garis keturunan ini, sebenarnya hanya pernah mendapuk dirinya sebagai syekh at-taklim, tapi oleh keturunan dan jama’ahnya akhirnya mulai dikenang sebagai wali. Namun, karena paradigma otoritas selalu terbuka untuk diperdebatkan, gerakan-gerakan Islam reformis pada abad ke-20 kembali menentang hierarki berbasis keturunan seperti ini, sehingga banyak dari komunitas Hadrami yang tidak mengikuti sang mansab.

Bagian II: Komunitas Habib Luthfi dan Kinerja Artikulasinya

Bagian kedua beralih fokus dari sejarah panjang Islam kepada seorang tokoh agama dalam Indonesia kontemporer. Di sini, Alatas menjelaskan bagaimana Habib Luthfi “membangun otoritas” (assembling authority) dengan “mengikat dirinya kepada berbagai genealogi, jaringan, dan tradisi keilmuan Islam” (110).

Bab 4 menceritakan latar belakang dan pengalaman pendidikan Habib Luthfi, terutama saat ia melakukan rihla atau lelono (berkelana) demi mencari ilmu dengan berbagai kyai khos di Jawa. Pengalaman ini yang membuatnya menghargai pengetahuan tentang budaya sebagai “ilmu hidup,” yang sangat penting dalam memimpin dan mengayomi umat yang hidup di dunia yang beragam. Pengembaraan ini juga yang membuka pintu baginya untuk masuk ke dalam beberapa tarekat dan silsilah tasawuf, sehingga ditunjuk menjadi mursyid dalam salah satunya.

Hal ini disebut Alatas sebagai “pemungutan genealogis” (genealogical adoption) yang memungkinkan seseorang pada masa kini untuk terhubung dengan masa lalu kenabian melalui beberapa saluran genealogis. Alatas juga menyoroti pentingnya variasi genealogi dan mobilitas dalam pembentukan otoritas keagamaan yang beragam. Variasi rute mobilitas memungkinkan seorang penuntut ilmu untuk mengikat dirinya dengan beragam isnad dan silsilah yang menghubungkan dirinya dengan masa lalu kenabiaan sehingga memunculkan variasi bentuk otoritas keagamaan.

Dalam Bab 5, Alatas menegaskan bahwa otoritas keagamaan sangat bersandar pada “infrastruktur” yang membentuk sebuah tarekat sufi—bukan hanya dalam artian material, tapi juga sosial. Alatas menulis:

“Saya menawarkan definisi analitis atas tarekat sufi sebagai sebuah mekanisme penataan—yaitu, sekumpulan infrastruktur baik konseptual maupun material yang berfungsi untuk mengolah medan sosial yang majemuk sehingga menjadi komunitas beragaman yang bertahan dan yang terpusat pada hubungan hirarkis antara seorang mursyid dan para muridnya.” (136)

Sang mursyid, sebagai penghubung antara sunnah nabi dan komunitas kontemporer, menjadi “sunnah hidup” (living sunnah) atau teladan (exemplar, qudwa) yang bisa menerjemahkan ajaran Nabi ke dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep “living sunnah” ini berpotensi untuk menjembatani sebuah perdebatan besar dalam antropologi Islam kontemporer, yaitu tentang konsep “kehidupan sehari-hari” (the everyday). Tradisi antropologi Islam yang dikembangkan oleh murid-murid Talal Asad (seperti Mahmood, Hirschkind, dan Agrama) seringkali dituduh terlalu membesar-besarkan peran norma dan aturan dalam kehidupan masyarakat Muslim, seolah kehidupan umat hanyalah cerminan dari kitab fikih, dan mengabaikan ambiguitas dan “perlawanan sehari-hari” yang juga tampil.

Namun, bagi Alatas, sebenarnya tidak ada kontradiksi antara norma-norma dan kehidupan sehari-hari. Konsep living sunnah, tulis Alatas, “membiarkan kita melihat norma-norma Islam sebagai hal yang tertanam dalam, selalu hadir pada, dan terpengaruh oleh praktek-praktek kebudayaan dan gejolak sehari-hari” (151). Sunnah nabi tidak hanya “memandu” perbuatan manusia, tapi juga senantiasa “dibentuk oleh” dunia yang ditempatinya.

Di samping kharisma dan statusnya sebagai mursyid tarekat, otoritas Habib Luthfi di masyarakat dihalangi berbagai tantangan, terutama bahwa ia lahir dalam keluarga Hadrami yang kurang dikenal sebagai keturunan wali atau ulama besar. Saat ia pertama ditunjuk oleh gurunya, K.H. Abdul Malik (Purwokerto) menjadi mursyid tarekat di Pekalongan, ia memimpin para pengikutnya secara diam-diam, agar tidak menyinggung keluarga mansab setempat, yang sudah lama menjadi ulama panutan bagi masyarakat Arab di sana. Dalam Bab 6, Alatas menceritakan bagaimana dinamika ini semua berubah saat Habib Luthfi, pasca keruntuhan Orde Baru, berhasil membangun aliansi dengan berbagai institusi negara, khususnya TNI dan kepolisian.

Habib Luthfi sering mengadakan perayaan maulid di mana anggota-anggota TNI dan aparatur negara lain diundang dan ikut berpartisipasi di atas panggung maulid tersebut. Menurut Alatas, aliansi ini bermanfaat bagi kedua pihak. Habib Luthfi akhirnya bisa tampil di depan umum sebagai tokoh agama yang besar tanpa harus khawatir menyinggung tokoh-tokoh Islam lainnya, seperti sang mansab. Di sisi lain, acara-acara “maulid militer” ini membuat sebagian umat Islam di Indonesia merasa lebih terbuka terhadap kehadiran negara, khususnya institusi militer yang selama masa Orde Baru cukup ditakuti.

Bab 7, yang terakhir, membahas berbagai upaya Habib Luthfi untuk menggali kembali garis keturunannya untuk menegaskan dan meningkatkan posisi kemuliaan bagi keluarganya dan dirinya sendiri. Ini dilakukan terutama dengan proses “komposisi hagiografi,” di mana ia mengajukan klaim baru tentang kewalian para leluhurnya, ataupun klaim bahwa ia ternyata masih segaris keturunan dengan tokoh agama yang sudah diakui kewaliannya dan tokoh-tokoh keraton Mataram Islam. Hal ini dilakukan dengan membangun kuburan para leluhurnya, memulai tradisi ziarah dan haul, dan menulis manakib mereka.

Sebagian dari wacana ini, terutama beberapa kasus awal, ditolak dan bahkan ditertawakan oleh kalangan umat yang menganggapnya konyol. Tapi dalam berbagai kasus lain, upaya ini cukup berhasil memenangkan hati sebagian masyarakat dan mendapat pengikut-pengikut baru. Contohnya, di suatu desa di Jawa Tengah yang pernah dikunjunginya, Habib Luthfi menyatakan bahwa makam pembabat desa tersebut merupakan nenek moyang dari warga desa itu sekaligus dirinya sendiri. Klaim ini disambut dengan sukaria oleh warga-warga, karena berarti mereka diikat kekerabatan dengan syekh dan wali besar keturunan Nabi.

Otoritas, Rasio, dan Definisi Islam

Buku What is Religious Authority? membuat pembaca peka terhadap berbagai dinamika dalam otoritas beragama, terutama “evaluasi, rekognisi, dan pengakuan” (211). Otoritas bukan sesuatu yang bisa diklaim atau diwarisi begitu saja. Selalu ada penilaian yang dilakukan oleh orang-orang yang mau dipimpin, dan pintu selalu terbuka untuk pertarungan seandainya klaim atas otoritas tidak dianggap sah. Otoritas bukanlah sesuatu yang stabil, melainkan sebuah relasi yang harus terus direproduksi; sebuah “pencapaian sosial” yang dihasilkan oleh kinerja artikulasi.

Apakah orang yang tunduk pada otoritas menyerahkan akal dan rasionya sendiri? Begitu kesimpulan yang ditarik dalam gerakan Pencerahan di Eropa pada abad ke-18 oleh pemikir seperti Immanuel Kant. Otoritas dan rasio merupakan dua hal yang berlawanan.

Namun, bagi Alatas, konsep Enlightenment tentang otoritas ini sangatlah miskin. Orang-orang yang mematuhi otoritas di luar dirinya justru menggunakan berbagai standar untuk menilainya dan mempertimbangkan apakah ia layak diakui sebagai otoritas (walaupun proses penilaian ini tidak selalu terjadi secara sadar). Kalau seseorang mengklaim otoritas keagamaan tetapi agaknya ia tidak benar-benar mampu menyambung kehidupan sehari-hari dengan sunnah nabi, kemungkinan besar klaimnya akan ditolak. Maka, ketundukan pada otoritas justru merupakan salah satu cara untuk menggunakan rasio.

Terakhir, Alatas menawarkan jawaban atas pertanyaan klasik: apa itu Islam? Apa Islam benar-benar dapat didefinisikan jika perwujudannya dalam dunia ini begitu banyak ragam dan alirannya, kadangkala tanpa kemiripan yang jelas satu sama lain?

Bagi Alatas, dalam mencari definisi atas “Islam” sebagai konsep analitis-sosiologis, kita tidak harus mencari “esensi” atau persamaan unsur atau sifat tertentu yang hadir dalam setiap kasus. Sebaliknya, yang menyatukan konsep “Islam” (yang “universal” dalam Islam) adalah kesamaan dalam keturunan, bukan perwujudan. Inilah yang meniscayakan adanya “kinerja artikulasi” dalam setiap komunitas Muslim, dari zaman nabi hingga sekarang. Persamaan kinerja artikulasi ini yang justru secara historis melahirkan keberagaman yang luas dan berwarna dalam sejarah umat Islam.

Bagi Alatas, universalitas tidak harus berarti keseragaman dan kesamaan, tapi justru bisa tampil sebagai keragaman dan bahkan kontradiksi yang terus berkembang secara historis, namun tetap bertumpu pada kesamaan asal usul yang tidak lain adalah masa lalu kenabian.

[Penulis berterima kasih kepada Ismail Fajrie Alatas untuk komentar dan masukannya atas ulasan ini.]