Milik Bersama: Dari Distribusi Menuju Produksi dan Reproduksi Kolektif

Dipublikasikan oleh Muhammad Ifan Fadillah pada

Fournier, Valérie. 2013. “Commoning: on the social organisation of the commons” (Memiliki Bersama: mengenai organisasi sosial kepemilikan umum). M@n@gement 16(4): 433-453.

Bisakah kita mengimajinasikan dunia tanpa kapitalisme? Dunia tanpa pasar bebas dan dunia tanpa kepemilikan pribadi akan sarana produksi? Banyak dari kita menganggap bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi, karena kita tidak akan mungkin bisa menjelaskan alternatif dari sistem kapitalisme, utamanya yang menggantikan kepemilikan pribadi. Sebagian dari kita juga hanya bergumam dengan retoris bahwa suatu hari nanti, kapitalisme akan berakhir dan distribusi sumber daya akan dilakukan secara kolektif. Tetapi, kita seakan-akan hanya bisa mengatakan secara abstrak tanpa menjelaskan secara konkret dan teknis bagaimana itu bisa dilakukan.

Lalu, pertanyaan lain: apakah kapitalisme cukup dihentikan hanya dengan mendistribusikan sumber daya secara kolektif, tanpa produksi dan reproduksi yang kolektif juga? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini akan mencoba mengulas satu artikel jurnal yang mencoba menawarkan gagasan bahwa dunia tanpa kapitalisme itu ada. Dunia ini merupakan sebuah dunia yang bisa mengorganisasi kepemilikan bersama secara kolektif dalam bentuk praktis, yang tidak hanya mendistribusikan sumber daya, tetapi juga memproduksi dan mereproduksinya secara kolektif. Artikel jurnal ini juga menurut saya bisa sangat membantu para aktivis untuk mengembangkan sisi teoritis dan praktis dari kepemilikan bersama, baik di pedesaan maupun perkotaan.

Artikel jurnal ini ditulis oleh Valerie Fournier dan berjudul “Commoning: on the social organisation of the commons.” Fournier adalah seorang pengajar di bidang studi organisasi, manajemen sumber daya manusia, gender dan organisasi, juga kajian tentang organisasi alternatif. Dalam artikel jurnalnya, Fournier banyak membahas tokoh-tokoh yang sudah terkenal dalam memperbincangkan perihal kepemilikan bersama, di antaranya adalah Garrett Hardin dan Elinor Ostrom.

Di awal tulisannya, Fournier membahas seputar teori Hardin (1978) tentang “tragedi kepemilikan umum” atau tragedy of the commons dalam isu kepemilikan bersama. Tragedi kepemilikan umum ini memberikan pandangan bahwa modernisasi akan menghilangkan kepemilikan bersama karena kepemilikan negara atau swasta dapat memberikan pengaturan yang lebih baik untuk mengelola sumber daya ini. Dalam tesis ini, Fournier mengatakan bahwa jika dibiarkan sendiri, anggota komunitas pasti akan merampas hak milik bersama. Masalah yang muncul di sini juga sangat berkaitan dengan free riders atau orang-orang yang mendapatkan manfaat tanpa biaya. Dengan tesis ini, Hardin menyatakan bahwa perusahaan swasta atau kontrol negara akan menyediakan cara yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk mengelola sumber daya.

Fournier juga membahas tesis dari Ostrom untuk mengkritik Hardin, terutama pendapatnya bahwa pengguna dalam kepemilikan bersama dapat mengembangkan pengaturan kelembagaan di mana mereka mengalokasikan sumber daya secara adil dan berkelanjutan. Walaupun menurut Fournier, apa yang dikatakan Ostrom ini tidak cukup dalam mengelola sumber daya secara kolektif.

Artikel jurnal yang ditulis Fournier ini menarik, utamanya ketika membahas adanya ambivalensi dalam kepemilikan bersama. Ambivalensinya bisa dilihat ketika di satu sisi, kepemilikan bersama memang telah terbukti menjadi cara yang menawarkan keberlanjutan dalam mengelola sumber daya atau dengan cara non-kapitalis yang berbasis pada nilai guna. Tetapi, di sisi lain, kepemilikan bersama juga seringkali rawan terhimpit tekanan komersialisasi yang semakin menjadi. Bahkan, pengambilalihan kepemilikan bersama untuk kepentingan menjadi proses yang terus berlanjut sampai saat ini.

Dalam menjelaskan perihal ini, Fournier banyak mengambil pendapat dari pemikir terkenal, seperti Marx, de Angelis, Harvey, Mies, dan Nonini. Di fase awal kapitalisme, Fournier mengutip Marx yang memberikan laporan tentang peristiwa perampasan tanah bersama oleh bangsawan. Fournier mengambil contoh dari peristiwa pengambilan paksa oleh Duchess of Sutherland yang mengusir 15.000 orang dari tanah komunal, bahkan menghancurkan apa yang mereka miliki lalu mengubah ladang menjadi padang rumput untuk peternakan domba modern. Begitu juga dalam fase neoliberal saat ini: kapitalisme telah berusaha untuk membuka lebih banyak wilayah di dunia untuk kepentingan perlindungan. Tidak hanya tanah dan sumber daya mineral atau hutan, tetapi juga pengetahuan medis yang didanai publik, inovasi perangkat lunak, sampai pada hak milik intelektual.

Fournier juga memberikan beberapa peristiwa perampasan lahan di beberapa negara, seperti Zapatista di Chiapas, gerakan pekerja di Brasil, dan gerakan Chipko di India. Komunitas-komunitas di atas ini berjuang kembali untuk mendapatkan akses ke air, listrik, tanah, atau kekayaan sosial yang lainnya. Fournier juga menekankan bahwa ruang bersama menjadi tempat perjuangan politik—perjuangan dari tekanan-tekanan yang semakin meningkat dari sistem kapitalisme.

Memperbincangkan Problematika Kepemilikan Bersama

Fournier mengambil pendapat dari Linebaugh bahwa kata common—yang diartikan sebagai “umum” atau “bersama”—lebih baik dilihat sebagai kata kerja dan bukan kata benda. Pendapat Linebaugh yang dikutip oleh Fournier menegaskan bahwa kepemilikan bersama adalah aktivitas, suatu ungkapan tentang adanya hubungan erat antara alam dan masyarakat. Demikian juga Fournier, yang mengambil pendapat dari Harvey dan de Angelis, yang mengatakan bahwa kepemilikan bersama harus dipahami sebagai sistem sosial di mana komunitas pengguna dan produsen berbagai sumber daya menentukan mode penggunaan, produksi, dan sirkulasi sumber daya.

Penjelasan Fournier dalam jurnal ini sangat banyak membahas pendapat Elinor Ostrom terkait kepemilikan bersama. Menurut Fournier, Ostrom dan rekan-rekannya di IASC (International Association for the Study of the Commons) adalah pengkaji pertama yang mengartikulasikan argumen bahwa “kepemilikan bersama” menyiratkan komunitas atau beberapa bentuk organisasi sosial. Hasil pekerjaan mereka, selama beberapa dekade menunjukkan bahwa kepemilikan bersama telah berhasil dikelola dan dipertahankan selama berabad-abad berkat beberapa bentuk pengorganisasian sosial.

Ostrom, menurut Fournier, memiliki pendapat yang bertentangan dengan Hardin. Ostrom berangkat dari klasifikasi antara kesulitan mengecualikan calon penerima manfaat (pengguna dan bukan pengguna) dan pengurangan penggunaan. Calon penerima manfaat ialah subjek yang berpotensi untuk bisa mengakses kepemilikan kolektif tersebut, sedangkan pengurangan penggunaan adalah alokasi konsumsi sumber daya kolektif tersebut yang berpotensi dari waktu ke waktu semakin berkurang. Bagi Fournier, tepat di titik inilah analisis Ostrom kurang memadai untuk menjelaskan pengelolaan kepemilikan bersama, karena hanya menangkap sebagian aspek dari kepemilikan bersama, sehingga sulit untuk menjelaskan ketegangan antara penerima manfaat dan penggunaan sumber daya kolektif.

Ostrom dalam analisisnya berfokus pada pembagian sistem sumber daya dan aliran unit sumber daya yang dihasilkan. Sistem sumber daya adalah sediaan yang mampu—dalam kondisi yang menguntungkan—menghasilkan aliran unit sumber daya, misalnya daerah penangkapan ikan, cekungan air tanah, daerah penggembalaan, saluran irigasi, danau, lautan, atau hutan. Sementara, unit sumber daya adalah apa yang sesuai atau digunakan individu dari sistem sumber daya (misalnya, tonase ikan, volume air, atau tonase pakan ternak).

Ostrom juga memberikan pendapatnya terkait Common Pool Resources, yaitu sumber daya bersama yang diperuntukkan oleh kepentingan kolektif sebuah kelompok. Bagi Ostrom, Common Pool Resource seharusnya dikelola oleh Common Property Regime atau dimaknai sebagai pengaturan sumber daya yang dikelola oleh komunitas, di mana aturan tersebut mencerminkan seperangkat prinsip yang mengatur penggunaan sumber daya bersama, dengan misalnya, membatasi jumlah unit sumber daya yang dapat diambil oleh setiap pengguna.

Tetapi menurut Fournier, analisis Ostrom memiliki keterbatasan dalam memandang organisasi kolektif. Organisasi kolektif yang dimaknai Ostrom hanya berfokus untuk alokasi kolektif dalam pengertian mendistribusikan sumber daya untuk kepentingan umum. Fournier beranggapan bahwa analisis Ostrom tidak berlaku untuk produksi dan reproduksi yang juga dilakukan secara kolektif. Oleh sebab itu, Fournier beranggapan bahwa analisis Ostrom tidak cukup karena analisis Ostrom berhenti setelah proses distribusi sumber daya yang diperuntukkan untuk kepentingan kolektif. Namun, setelah sumber daya tersebut didistribusikan, penggunaannya dilakukan secara individual, alih-alih dilakukan secara kolektif juga.

Fournier lalu membahas tiga kasus yang menjelaskan sekaligus mengkritik analisis Ostrom. Ia mengatakan bahwa masalah utama bukan pada adanya perbedaan antara pengguna dan non-pengguna melainkan penggambaran penggunaan yang tepat. Fokus utamanya harusnya berpusat pada produksi secara kolektif dalam penggunaannya, bukan hanya pelestarian atau alokasinya.

Dari Distribusi ke Produksi dan Reproduksi Sumber Daya Bersama

Kasus pertama dan kedua yang diangkat Fournier adalah kasus yang diambil secara sekunder atau tidak langsung. Sedangkan, kasus ketiga diambil dari pengalaman pribadi Fournier di Madrid.

Kasus pertama yang diangkat Fournier adalah sebuah komune penghuni “liar”—atau squatters—yang terdiri dari 28 penduduk di pinggiran Barcelona. Mereka telah menempati pusat penderita kusta atau leprosarium yang terlantar sejak 2002. Komunitas ini bernama Can Masdeu. Can Masdeu sendiri didasarkan pada pembagian tanah, akomodasi, pekerjaan, makanan, dan pengetahuan di antara para anggotanya. Sekitar satu hektar taman bertingkat telah direklamasi dari semak-semak yang tumbuh berlebihan dan dibudidayakan secara komunal. Hasilnya kemudian dimakan dalam dua kali makan bersama setiap harinya.

Mereka juga mengundang warga sekitar untuk membantu mereka membersihkan dan merestorasi taman lama serta memanfaatkan sebagian lahan untuk diri mereka sendiri, dengan syarat mereka harus menggunakan metode organik dan mengelola plot mereka tanpa hierarki. Tanah tersebut sekarang diolah oleh sekitar seratus tukang kebun lokal, banyak di antaranya telah memutuskan untuk bercocok tanam bersama ketimbang melakukannya di petak individu. Menariknya, tukang kebun lokal ini mengadakan pertemuan rutin untuk mengelola kebun dan mengadakan potluck bulanan dengan penduduk Can Masdeu.

Fournier juga menjelaskan bahwa anggota Can Masdeu telah mendirikan pusat sosial yang terbuka untuk umum setiap hari Minggu yang menawarkan berbagai lokakarya gratis tentang banyak hal: mulai dari gerakan komunitas, perlawanan politik, tari, musik, teknik bangunan, produksi energi, budaya, hingga kerajinan seperti pembuatan roti. Mereka juga menawarkan makanan sebagai imbalan atas sumbangan para donatur. Pengetahuan diperoleh oleh dan dibagikan di antara anggota untuk menanggapi kebutuhan atau memuaskan minat alih-alih untuk ditukar dengan upah.

Fournier lantas menjelaskan bagaimana penduduk Can Masdeu mengelola kebun, di mana kebun mereka dibudidayakan secara komunal dan produknya dimakan dalam panci bersama dalam dua kali makan setiap harinya. Terdapat pula toko roti komunal yang memproduksi roti untuk masyarakat dan untuk dijual kepada warga sekitar. Renovasi rumah dan pekerjaan rumah dilakukan secara komunal dan pekerjaan didistribusikan secara komunal.

Setiap warga harus bekerja selama dua hari dalam seminggu dan berpartisipasi secara merata dalam tugas: mulai dari memasak, pekerjaan rumah, berkebun, memperbaiki rumah hingga menjalankan kegiatan pusat sosial. Fournier juga menambahkan bahwa poin penting dalam kebersamaan di Can Masdeu bukan hanya tentang pembagian ruang taman atau produk makanan yang adil antar anggota saja. Lebih dari itu, hal ini berkaitan dengan pembentukan komunitas dan solidaritas melalui berbagi pekerjaan, makanan, dan pengetahuan.

Kasus kedua yang diangkat Fournier adalah tentang perlawanan masyarakat komunitas berpenghasilan rendah Woodward di kota Vancouver dari pembangunan swasta. Menurut Fournier, pembangunan swasta akan mengancam penghidupan sebagian besar penduduk miskin di daerah pengungsian. Banyak dari penduduk yang tinggal di hotel perumahan sewa rendah dengan jaminan kepemilikan terbatas. Serupa dengan banyak proyek gentrifikasi di seluruh dunia, upaya perampasan lahan ini dilakukan di lingkungan Vancouver melalui akumulasi oleh pengembang swasta.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Fournier menjabarkan bahwa penduduk menentang para pengembang swasta dan menginginkan hak mereka yang sah atas properti berdasarkan penggunaan dan pendudukan secara kolektif. Mengutip Blomley, Fournier menjelaskan bahwa inti dari perjuangan mereka adalah gagasan bahwa kepemilikan bersama merupakan proses yang aktif: ia “diproduksi”, dan bukan hanya ditemukan, oleh komunitas lokal. Hak milik bersama ini diproduksi melalui pola penggunaan lokal dan hunian kolektif yang berkelanjutan.

Contoh ketiga yang  dikemukakan Fournier adalah La Tabacalera di Madrid. Komunitas ini didirikan pada tahun 2010 dengan tujuan untuk mendorong pengembangan kapasitas kreatif dan sosial di kalangan warga sekitar. Fournier dengan tegas mengatakan bahwa prinsip-prinsip utama yang dikemukakan dalam situs La Tabacalera adalah horizontalitas, transparansi, otonomi, pengembangan budaya berbiaya rendah dan bebas, penggunaan dilakukan secara nirlaba dan penggunaan sumber daya secara kolektif dan bertanggung jawab.

Fournier menjelaskan bahwa La Tabadalera adalah tempat di mana segala sesuatu yang diproduksi di pusat (musik, film, dan sebagainya) atau menggunakan sumber dayanya (misalnya, kelas-kelas yang berlangsung di ruangnya) tunduk pada lisensi gratis dan harus dapat diakses secara bebas. Pusat ini bertempat di sebuah pabrik tembakau terlantar milik pemerintah di daerah Lavapies, Madrid. Daerah ini merupakan lingkungan kelas pekerja tradisional di pusat kota yang mengalami kerusakan sampai mulai menarik seniman dan imigran pada 1980-an dan 1990-an. La Tabacalera yang bertujuan menjadi ruang publik yang terbuka untuk semua.

Semua aktivitas dikelola secara kooperatif melalui sistem demokrasi partisipatif dan pertemuan terbuka yang beroperasi di beberapa tingkatan. Setiap kelompok kerja (terdapat kelompok kerja untuk pemrograman, ekonomi, pemeliharaan gedung, fasilitasi konflik, dan komunikasi) bertemu setiap minggu dan semua kelompok kerja bertemu setiap dua minggu untuk mengkoordinasikan kegiatan. Sidang umum pleno bertemu setiap tiga bulan untuk meninjau kegiatan tiga bulan terakhir dan membuat keputusan tentang tiga bulan berikutnya. Jadi, baik ruang maupun manajemen diorganisir secara kolektif. Menurut Fournier, dari kasus di atas bisa didapatkan kesimpulan bahwa kebersamaan bukan hanya tentang alokasi kolektif dan pelestarian sumber daya. Hal ini juga melibatkan proses rekursif di mana kesamaan diproduksi melalui penggunaan secara kolektif.

Kesimpulan

Topik ini sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut dalam konteks di Indonesia. Sangat penting digarisbawahi ketika Fournier menjelaskan bahwa kepemilikan komunal memang mewadahi corak produksi yang non-kapitalis, tetapi di sisi lain, kepemilikan komunal sangat rentan untuk diambil alih oleh swasta ataupun negara dan menjadikannya tunduk pada logika sistem kapitalisme. Di Indonesia, hal ini sangat terafirmasi dengan ribuan kasus pengambilan kepemilikan kolektif oleh relasi negara dan swasta.

Hal lain juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah bagaimana mempertahankan kepemilikan bersama, dalam artian bukan hanya mendistribusikan sumber daya secara merata, tetapi membentuk proses produksi dan reproduksi juga dilakukan secara bersama. Dalam hal ini, Fournier menurut saya berhasil menjelaskannya dengan baik. Terakhir, mengutip de Angelis dan Harvey yang dijelaskan juga oleh Fournier, perlu digarisbawahi bahwa commons tidak hanya menjadi alternatif dari ekonomi pasar, tetapi juga kondisi yang diperlukan untuk keluar dari sistem mekanisme pasar. Untuk keluar dari sistem mekanisme pasar dibutuhkan akses ke milik bersama, perlindungan milik bersama, dan kemampuan untuk membangun kembali hubungan sosial di medan bersama.


Muhammad Ifan Fadillah

Mahasiswa Program Magister Manajemen Universitas Hasanuddin