Reformasi Pengadilan Agama dan Keadilan bagi Perempuan

Dipublikasikan oleh Zuhri Humaidi pada

Nurlaelawati, Euis. 2013. “Muslim Women in Indonesian Religious Courts: Reform, Strategies, and Pronouncement of Divorce” (Wanita Muslim di Pengadilan Agama Indonesia: Reformasi, Strategi dan Pernyataan Perceraian). Islamic Law and Society 20.3, 242-271. 


Artikel yang ditulis Euis Nurlaelawati ini membahas dua masalah penting di dalam kajian peradilan agama dan perempuan di Indonesia, pertama, mengapa perempuan menggunakan pengadilan sebagai media perceraian dan kedua, mengapa perceraian Muslim di Indonesia yang dilakukan di Pengadilan Agama lebih banyak diajukan oleh perempuan.

Melalui penelitian terhadap kasus-kasus yang terjadi di empat Pengadilan Agama—yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Cianjur dan Rangkasbitung—artikel ini memeriksa bagaimana dan mengapa perempuan menggunakan pengadilan untuk menggugat perceraian. Artikel ini juga menganalisis strategi yang digunakan oleh perempuan untuk mencapai tujuan mereka. Dengan menghadirkan narasi perselisihan dan kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang yang berperkara di persidangan, Nurlaelawati berupaya memahami sikap perempuan Muslim Indonesia terhadap perceraian, hukum perceraian dan pemahaman mereka tentang diri mereka sebagai aktor hukum (hal. 251).

Studi yang dilakukan Nurlaelawati ini dapat dikelompokkan kepada penelitian sosio-legal dalam hukum Islam. Sebagaimana diuraikan oleh Wheeler dan Thomas (Banakar & Travers, 2005: 2-26), studi sosio-legal adalah suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Kata “socio” dalam socio-legal studies merepresentasikan keterkaitan antarkonteks di mana hukum berada (“an interface with a context within which law exists”). Perlu diingat bahwa kata ‘socio’ tidaklah merujuk pada sosiologi atau ilmu sosial. Itulah sebabnya mengapa ketika seorang peneliti sosio-legal menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis, mereka sering tidak sedang bertujuan untuk memberi perhatian pada sosiologi atau ilmu sosial yang lain, melainkan hukum dan studi hukum. Penelitian sosio-legal juga tidak identik dengan sosiologi hukum, ilmu yang sudah banyak dikenal di Indonesia sejak lama. Para akademisi sosio-legal pada umumnya berumah di fakultas hukum dan menekuni hukum tetapi dari perspektif yang interdisipliner (Irianto, 2012: 3).

Prof. Euis Nurlaelawati, MA

Nurlaelawati memulai artikelnya dengan membahas evolusi dalam penerapan hukum Islam di lembaga Peradilan Agama. Disahkannya Undang-Undang Perkawinan 1974 (selanjutnya disebut UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (selanjutnya disebut Kompilasi) pada tahun 1991 menandai suatu fase penting dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, yaitu diakuinya aspek-aspek tertentu dalam hukum keluarga Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Salah satu poin penting dalam UU Perkawinan dan Kompilasi ialah: bahwasannya perceraian—baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan- harus diajukan dan diselesaikan di Pengadilan Agama. UU Perkawinan dan Kompilasi menetapkan bahwa pasangan yang ingin bercerai harus pergi ke pengadilan untuk meminta izin mengucapkan kalimat perceraian (talaq), baik dengan fasakh (meminta pengadilan untuk membatalkan pernikahan) atau khulu’ (perceraian sebagai imbalan di mana istri membayar sejumlah uang kepada suaminya) (hal. 247).

Di dalam doktrin hukum Islam klasik, perceraian adalah hak mutlak seorang laki-laki. Tidak ada intervensi oleh pihak lain, seperti negara, yang diperlukan untuk proses tersebut. Karenanya, seorang suami bisa menceraikan istrinya tanpa alasan. Di Indonesia, sejak tahun 1946, Pengadilan Agama memiliki kewenangan hukum untuk mengesahkan perkawinan dan perceraian melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Akan tetapi, petugas KUA lebih mencerminkan diri sebagai ulama yang berpegang teguh pada doktrin hukum Islam klasik. Sehingga terlepas dari aturan ini, sampai tahun 1974, perceraian dianggap efektif setelah seorang suami mengucapkan talaq dan dia hanya perlu mendaftarkannya di KUA (hal. 253).

Selain itu, norma lokal juga memberikan kontribusi terhadap otoritas penuh suami, seperti dalam kasus perceraian tamba yang merupakan praktik mengembalikan istri yang sakit parah ke keluarga mereka. Praktik ini umum ditemukan di sebagian besar wilayah Jawa Barat, termasuk Cianjur, Karawang, Sukabumi, dan Rangkasbitung. Alasan yang diberikan adalah untuk membantu sang istri mencapai pemulihan yang cepat. Tetapi, suami seringkali tidak mengambil istri mereka kembali setelah kesehatan mereka membaik. Sebagai gantinya, mereka menyatakan perceraian, baik secara pribadi atau melalui perantara.

Hal inilah yang menjelaskan—setelah disahkannya UU Perkawinan dan Kompilasi—mengapa lebih banyak perempuan yang mengajukan perceraian di pengadilan. Nurlaelawati mencatat bahwa antara tahun 2001 dan 2009, jumlah kasus perceraian yang diajukan oleh laki-laki meningkat dari 61.593 menjadi 86.592. Sementara itu, jumlah kasus yang diajukan oleh perempuan bertambah lebih dari dua kali lipat dari 83.319 menjadi 171.477. Pada 2009, dua pertiga dari semua perceraian di Pengadilan Agama didasarkan pada petisi yang diajukan oleh wanita.

Menyangkut pertanyaan mengapa perempuan menggunakan pengadilan sebagai akses perceraian, Nurlaelawati menyatakan bahwa sejumlah lembaga telah didirikan dan berusaha untuk memberikan informasi dan pengetahuan bagi perempuan dan para hakim di Pengadilan Agama tentang diskresi peradilan dan kepekaan gender. Lembaga-lembaga tersebut di antaranya adalah Tim Pengarusutamaan Gender Kementerian Agama, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Rahima, Rifka al-Nisa, Yasanti, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) dan lain sebagainya. Mereka secara aktif mengeksplorasi wacana gender yang telah berkembang di dunia Muslim, mengorganisasi pelatihan, dan mengadvokasi perempuan. Mereka juga menyelenggarakan pelatihan bagi para hakim tentang diskresi yudisial dan sensitivitas gender. Hasilnya adalah peningkatan pengetahuan dan kepekaan dari perempuan dan hakim untuk mengupayakan kesetaraan gender melalui jalan yudisial (hal. 251).

Dengan begitu, UU Perkawinan dan Kompilasi dimaksudkan untuk meningkatkan akses perempuan ke sistem hukum dan untuk mempromosikan perlakuan yang adil dan merata. serta prosedur yang responsif. Salah satu tujuannya yang lain adalah mengurangi frekuensi perceraian dan mengendalikannya dengan mempersulit perceraian. Baik suami yang ingin menolak istrinya maupun istri yang ingin memulai perceraian harus muncul di pengadilan dan meyakinkan hakim bahwa satu atau lebih alasan perceraian yang tercantum dalam undang-undang.

Dengan melakukan penelitian terhadap empat Pengadilan Agama, 40 hakim dan pejabat pengadilan, 50 putusan, dan menghadiri 20 sidang, artikel ini menyimpulkan bahwa ada sebab-sebab khusus dan umum yang mendasari perceraian yang diajukan perempuan. Sebab khusus itu di antaranya adalah: ketidakmampuan ekonomi suami dalam mencukupi kebutuhan istri, perilaku salah satu pasangan sehingga menyebabkan perselisihan yang panjang, hubungan yang buruk dengan mertua, dan berbagi suami dengan istri lain (poligami). Sedangkan sebab umum di antaranya adalah: keyakinan pada nasib atau weton yang tidak cocok, kuatnya ikatan kekerabatan, usia yang belum dewasa, dan perselisihan mengenai lokasi tempat tinggal setelah menikah.

Dalam proses persidangan, perempuan yang mengajukan gugatan perceraian harus meyakinkan hakim bahwa akad perceraian yang akan disahkan memiliki argumentasi hukum yang kuat. Karena itu, sebagaimana diuraikan dalam artikel ini, perempuan menerapkan taktik dan strategi untuk meyakinkan para hakim. Taktik ini antara lain dengan meyakinkan hakim bahwa suami mereka sudah tidak mampu menjalankan tanggung jawab keluarga sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), kehidupan perkawinan mereka yang buruk, dan keluarga besar yang lebih bisa diandalkan daripada suami mereka. Keseluruhan dari argumentasi tersebut diarahkan untuk mendukung pernyataan akhir mereka bahwa perceraian adalah solusi yang terbaik. Kasus-kasus yang dibahas dalam artikel ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya sulit bagi hakim untuk mencegah perceraian. Strategi yang digunakan oleh perempuan telah berhasil dalam arti bahwa hakim melihat perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menentukan nasib pernikahan mereka. Hakim sangat dipengaruhi oleh cara-cara di mana perempuan menunjukkan sisi negatif dari suami mereka seperti kenakalan suami mereka dan niat kuat mereka untuk bercerai (hal. 264).

Kesimpulan dan Refleksi

Suatu catatan yang penting diuraikan, Nurlaelawati berhasil menguraikan dengan baik reformasi perundang-undangan dan sistem peradilan hukum Islam di Indonesia di dalam memposisikan perempuan secara setara dengan laki-laki. Akses perempuan kepada perceraian, melalui pengadilan, menjadi lebih terbuka.

Selanjutnya, jika reformasi pengadilan agama sebagaimana diuraikan di atas dan keterbukaan akses keadilan bagi perempuan dikaji melalui perspektif maqasid al-shari’ah (sekumpulan tujuan ketuhanan dan nilai-nilai moral), maka terdapat beberapa kesimpulan penting yang bisa dicatat. Reformasi pengadilan agama di Indonesia- yang terjadi sejak disahkannya UU Perkawinan pada 1974 dan Kompilasi pada 1991- merepresentasikan tujuan dari syari’at: yaitu, mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan (mafsadat). Syari’at pada dasarnya adalah prinsip yang berpijak pada hikmah dan kemaslahatan umat manusia. Hikmah dan kemaslahatan itu harus terwujud di tengah kehidupan mereka. Syari’ah merupakan keadilan, rahmat, hikmah dan kemaslahatan. Maka, setiap masalah atau hal yang keluar dari keadilan, tidak dapat menghadirkan kerahmatan dan tidak mampu mewujudkan kemaslahatan, bukanlah syari’ah.

Menurut Jasser Auda, maqasid al-shari’ah dapat dijadikan sebagai jembatan antara syari’at Islam dengan berbagai isu-isu dan tantangan kekinian, bahkan menjadi kunci utama. Ia menjadi pintu dasar untuk melakukan ijtihad terhadap pembaharuan (Auda, 2008: 32). Maqasid al-shari’ah merupakan bagian terdalam dari inti Islam. Maqasid al-shari’ah dirumuskan dalam lima prinsip dasar (ushul al-khamsah), yaitu: hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-’aql (menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta). Kasus yang dibahas Nurlalelawati erat kaitannya dengan hifz al-nafs dan hifz al-nasl. Dua prinsip maqasid tersebut- yang di era klasik dimaknai menjaga jiwa dari bahaya kematian dan memelihara jalur nasab- di era kontemporer dimaknai oleh Auda sebagai mencakup pemenuhan hak-hak perempuan dan pengembangan kualitas masa depannya, serta peningkatan kualitas keluarga dan anak (Auda, 2008: 32-49). Suatu hal yang, menurut Nurlaelawati, tidak bisa dipenuhi oleh lembaga peradilan agama sebelum reformasi.

Reformasi peradilan agama, secara signifikan memungkinkan maqasid untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari nash (al-Qur’an dan hadis). Dengan begitu, keputusan hakim mampu mencakup nilai-nilai yang tidak disinggung dalam maqasid klasik, seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, martabat manusia dan kesejahteraan bersama.

Bibliografi

Auda, Jasser. Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008).

Banakar, R. & M. Travers. “Law, Sociology and Method”, dalam R. Banakar & M. Travers (eds.), Theory and Method in Socio-Legal Research, (Onati: Hart Publishing Oxford and Portland Oregon, 2005).

Irianto, Sulistyowati, dkk. Kajian sosio-legal, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012).

Biografi singkat penulis: Zuhri Humaidi adalah dosen di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri. Saat ini sedang menempuh program doktoral di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bidang kajiannya adalah hukum Islam, khususnya dalam perspektif ilmu sosial kontemporer. Penulis dapat dihubungi di email kenhumaidi@gmail.com.