Tuhan dalam Perang: Agama dan Legitimasi atas Kekerasan
Juergensmeyer, Mark. 2020. God at War: A Meditation on Religion and Warfare [Tuhan Berperang: Perenungan atas Agama dan Peperangan]. Penerbit Universitas Oxford.
Mengapa agama penuh dengan peperangan? Mengapa perang tampaknya selalu menggunakan Tuhan? Bagaimana perang dan agama saling membutuhkan? Itulah beberapa pertanyaan Mark Juergensmeyer, seorang Profesor Sosiologi di University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat dalam God at War: A Meditation on Religion and Warfare (2020).
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Juergensmeyer bertemu pelaku kekerasan agama secara langsung dari beragam penganut agama di dunia. Misalnya, ia berdialog dengan seorang jihadis yang terlibat dalam kasus World Trade Center (WTC) 2001 silam. Selain itu, Juergensmeyer berbicara dengan mantan pejuang ISIS di Irak. Ia juga menemui biksu yang membenarkan serangan kaum Buddhis terhadap kelompok minoritas muslim di Myanmar. Sedangkan di negaranya sendiri, Juergensmeyer berbincang dengan militan Kristen antiaborsi yang melakukan pengeboman klinik aborsi. Melalui dialog tersebut, Juergensmeyer menemui kemiripan, yakni bahwa pelaku kekerasan agama mengakui mereka dalam kondisi sedang berperang.
Gagasan perang, khususnya menyoal perang kosmis sebenarnya telah dikemukakan Juergensmeyer dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2000) yang menjelaskan secara spesifik mengenai perang kosmis sebagai bentuk peperangan dengan legitimasi agama. Bagi Juergensmeyer, perang kosmis tampak begitu kejam karena pelaku kejahatan menempatkan gambaran agama demi membenarkan kekerasan. Sementara itu, God at War: A Meditation on Religion and Warfare (2020) merupakan buku lanjutan tentang bagaimana gagasan perang kosmis dianalisis oleh Juergensmeyer.
Daya Tarik Perang yang Aneh
Bagi masyarakat Amerika yang menyaksikan tragedi 11 September 2001 di WTC, mereka berpikir saat itu berada dalam kondisi peperangan. Bagi Juergensmeyer, pemaknaan situasi perang demikian justru dinilai sebagai kesadaran yang aneh. Pasalnya di dalam konteks peperangan, setidaknya terdapat dua pihak saling melawan, atau ada musuh di dalamnya. Maka, Juergensmeyer lebih condong menyebut tragedi WTC sebagai serangan sistematis yang dilakukan oleh kelompok kecil Al-Qaeda, ketimbang menyebutnya sebagai perang. Meskipun demikian, dalam bab satu, Juergensmeyer mencoba memahami mengapa masyarakat Amerika menyebut aksi 11 September 2001 sebagai perang. Salah satu alasannya, karena aksi teror tersebut berdampak pada jatuhnya banyak korban jiwa; kekacauan, ketakutan, ketidakpastian terjadi di mana-mana, dan lain sebagainya.
Di tengah pembahasan, Juergensmeyer mengungkapkan bahwa sebenarnya perang telah terjadi dalam beragam realitas. Berbagai imaji tentang perang menyebar di banyak game remaja, misalnya Counter-Strike dan Fortnite. Kisah yang menyoal perang juga hadir dalam cerita fiksi seperti novel For Whom the Bell Tolls karya Ernest Hemingway. Bahkan aksi kekerasan perang juga dihadirkan dalam serial film, contohnya Mahabharata. Bagi Juergensmeyer, imajinasi di berbagai media menunjukkan bagaimana perang menjelaskan mengenai situasi kegilaan, kekacauan hidup, yang dalam sisi lain juga memberikan struktur dan makna tertentu bagi para pelaku kekerasan.
Kata perang (atau “War”) sendiri berasal dari bahasa Inggris kuno yakni “Werra” yang berarti kebingungan, kekacauan, ketidakpastian atau kecemasan. Perang berakar dari kecemasan bahwa ada sesuatu yang salah di dunia ini, terdapat kesadaran yang membingungkan, dan kekacauan. Makna perang bisa saja tidak dengan angkat senjata, tetapi juga hadir dalam sebuah pola pikir. Di fase ini, perang telah hadir dalam diri individu.
Perang sebagai Realitas Alternatif
Di bab dua, Juergensmeyer menjelaskan beberapa konsep mengenai perang. Pertama, ia menganalisis Man, the State, and War: A Theoretical Analysis (1959) karya Kenneth Waltz yang membahas tiga konsep gambaran peperangan (images of war). Gambaran pertama yakni di tingkat individu, ketika perang didorong oleh kegemaran, sifat dan kemampuan perseorangan sang pemimpin, misalnya dalam konteks Hitler. Gambaran kedua berada di tingkat negara, yang berarti bahwa perang berangkat dari struktur dan kondisi internal suatu negara, misalnya perseteruan ideologi dengan negara lain. Gambaran ketiga, yakni tingkat internasional. Saat perang internasional terjadi, pertempuran terjadi secara anarkis, mengingat tidak ada lagi kekuatan global yang mampu mengendalikan konflik antarnegara.
Juergensmeyer menukil teolog terkemuka abad ke-20, Reinhold Niebuhr dalam Why the Christian Church Is Not Pacifist (1940) yang menganggap bahwa gagasan tradisi “perang adil” dalam konteks kekerasan pada agama Kristen perlu dikendalikan. Ia menganggap pembunuhan dan perang sebagai hal buruk. Ketiga, prajurit Prusia di abad ke-19, Carl von Clausewitz dalam On War (1832), mengajukan konsep “perang absolut,” menggambarkan perang paling ekstrem yakni untuk menghancurkan pihak lain dengan cara apapun, seperti gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan White Aryan Resistance –militan neo-nazi yang aktif pada 1991 hingga 1993-an.
Selain itu, Juergensmeyer juga menjelaskan bahwa perang atau kekerasan menjadi dunia alternatif tertentu bagi pelakunya. Memaknai perang sebagai dunia alternatif, para militan menganggap diri mereka bisa menghadapi kekacauan dan anomali kehidupan. Militan perang memosisikan diri sebagai korban penindasan yang mensyaratkan balas dendam dan melegalkan hak moral untuk melakukan pembunuhan.
Sebuah perang selalu membutuhkan musuh. Namun, bagi Juergensmeyer, musuh itu relatif. Di beberapa kasus, musuh tampak jelas, seperti penyerangan angkatan udara Jepang terhadap kapal angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 1941. Namun, musuh juga bisa jadi samar, sehingga memerlukan identifikasi lebih lanjut. Contohnya, aksi teror di WTC pada 2001 silam ketika pemerintah Amerika Serikat mendeklarasikan “perang melawan teror”, meskipun tidak jelas siapa yang saat itu mereka sebut sebagai teroris. Bahkan masyarakat Amerika Serikat menganggap pelaku teror tersebut adalah masyarakat Timur Tengah –bahkan kaum muslim secara keseluruhan, sehingga memunculkan pandangan negatif dan fobia terhadap Muslim (Islamophobia).
Agama sebagai Realitas Alternatif
Juergensmeyer mendialogkan beberapa gagasan teoretis di bab tiga. Salah satunya berasal dari Dietrich Bonhoeffer, teolog protestan yang berpendapat bahwasannya ide, praktik, rutinitas, dan semua hal yang dianggap sebagai kepercayaan dan aktivitas agama adalah produk imajinasi manusia. Bahkan, bahasa agama merupakan bahasa imajiner. Ahli sosiologi agama, Robert Bellah pun mengamini bahwa agama merupakan produk imajinasi manusia.
Bellah menyebut agama sebagai persepsi, dunia imajiner atau “tatanan umum keberadaan”, sebagaimana dikemukakan antropolog Clifford Geertz. Bellah menyebut agama sebagai “realitas agama”, menukil pandangan Alfred Schutz yang dipopulerkan Peter Berger –melihat realitas sebagai konstruksi sosial. Selain itu, melalui pandangan Durkheim, Bellah memersepsikan agama sebagai konstruksi realitas.
Juergensmeyer lalu mengonsepsikan agama sebagai realitas alternatif. Artinya, agama dianggap memberikan ikatan komunitas, kekerabatan sesama umat, bahkan kesetiaan melebihi partai politik. Menurutnya, agama harus dilakukan dengan kepercayaan dan kepatuhan untuk mengikuti, untuk kemudian menemukan realitas alternatif tersebut. Maka, agama menjadi tatanan sakralitas alternatif di tengah tatanan dunia profan yang penuh kebingungan, kekacauan, dan anomali.
Dalam agama Sikh, kemartiran dan pengorbanan diri dimaknai sebagai cara memperjuangkan keyakinan. Dalam agama Aztec kuno, terdapat praktik pengorbanan tentara yang telah ditaklukkan. Pun dalam agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam), konsep pengorbanan Abraham (Ibrahim) terhadap sang anak –meski kemudian digantikan oleh seekor domba –menunjukkan bagaimana berkorban menjadi bagian dalam memperjuangkan keyakinan. Melalui realitas tersebut, Juergensmeyer menyatakan bahwa pengorbanan adalah upaya memahami dan mengatasi anomali kehidupan, yakni kematian. Mengacu pada Ernest Becker, yang mengatakan bahwa agama memberikan tawaran untuk mengatasi ketakutan perihal kematian. Alih-alih, agama memberikan pemahaman bahwa terdapat kehidupan yang lebih baik pasca kematian, seperti surga atau reinkarnasi.
Perkawinan antara Perang dan Agama
Pada bab empat, Juergensmeyer mengemukakan bahwa sebagian perang yang melibatkan keyakinan atau agama biasanya memiliki orientasi moral agung. Agama dianggap dapat menjadi sekutu menarik, bahkan bermanfaat ketika perang. Agama memiliki bahasa imajiner perjuangan, bahkan dalam beberapa kasus menjadi pembenaran moral atas pembunuhan sekaligus penghargaan abadi bagi para martir. Saat itulah perang merangkul agama. Di sisi lain, Juergensmeyer meminjam pendapat Hector Avalos yang mengatakan bahwa agama itu sendiri penyebab kekerasan. Namun, Juergensmeyer tidak ingin menggeneralisasi pendapat tersebut, mengingat jutaan muslim di Asia tidak memiliki dorongan pada kekerasan. Meskipun begitu, ketika agama merangkul perang, maka agama akan diagungkan, dengan perang sebagai pelayan simbolisnya.
Dalam bab empat, Juergensmeyer menjelaskan gagasan inti mengenai perang kosmis, sebagaimana sempat disinggung di awal tulisan. Secara sederhana, perang kosmis merupakan kolaborasi antara perang dan agama. Juergensmeyer sengaja tidak menggunakan istilah perang suci (holy war) dalam analisis, sebagaimana dilontarkan kebanyakan teolog. Ia memandang bahwa selama ini perang suci cenderung diasosiasikan dengan Islam dan memiliki batasan moral. Sedangkan, perang kosmis ditujukan untuk semua agama, serta tidak memiliki batasan tertentu. Juergensmeyer juga tidak menggunakan istilah perang ilahi (divine war), karena dianggap sebagai bayangan perang yang dilakukan oleh Tuhan. Sementara, perang kosmik justru dilakukan oleh prajurit yang menjanjikan penebusan atau pertobatan, penghargaan pribadi bahkan imbalan surgawi khususnya bagi mereka yang menjadi martir.
Bisakah Agama Menyembuhkan Perang?
Dalam bab lima yang merupakan bagian terakhir, Juergensmeyer memberikan tiga tawaran solusi atas kekerasan, konflik, atau perang kosmis. Pertama, perang yang adil. Ia berpendapat bahwa perang memerlukan berbagai batasan moral dan disetujui oleh otoritas sah. Selain itu, suatu konflik perang tidak boleh lebih besar ketimbang kerugiannya. Kedua, perang secara simbolis. Gagasan tersebut terinspirasi oleh Sigmund Freud dan René Girard, menjelaskan bahwa perang/kekerasan/pengorbanan dapat direpresentasikan secara simbolis, misalnya dalam ritual pengorbanan hewan. Ketiga, perang metaforis, terinspirasi oleh Mahatma Gandhi tentang gerakan Satyagraha yang berarti nirkekerasan (atau dalam istilah Juergensmeyer, “perang tanpa darah”), seperti perang melawan ketidakadilan, kemiskinan, narkoba, dan lain sebagainya.
Sebagai penutup, Juergensmeyer memberikan argumen bahwa perang dan kekerasan tidak akan menakutkan tatkala berada sebagai gambaran imajiner budaya. Namun, ketika perang imajiner menjadi perang fisik, maka obat alternatif yang dapat mengontrol kengerian itu adalah agama. Melalui God at War: A Meditation on Religion and Warfare (2020), Juergensmeyer mengajak kita menengok realitas perang kosmis di berbagai belahan dunia. Kita pun berefleksi untuk tidak menggeneralisasi agama sebagai penyebab tunggal kekerasan, meskipun beberapa kelompok militan mengaku termotivasi oleh aliran agama tertentu, dan bahwa tragedi kekerasan ada di setiap realitas agama.