Tersesat dalam Pekerjaan, Kabur dari Kapitalisme

Dipublikasikan oleh Ni Made Diah Apsari Dewi pada

Horgan, Amelie. 2021. Lost in Work: Escaping Capitalism. [Tenggelam dalam Pekerjaan: Kabur dari Kapitalisme]. Penerbit Pluto Press. 


Setelah lulus dari universitas, layaknya jutaan fresh graduate lain, saya dihadapkan pada pertanyaan yang sering membuat ngeri: mau kerja apa? Kengerian tersebut terasa makin pekat lantaran selama ini, pekerjaan kerap kali dibingkai sebagai satu-satunya keterampilan manusia abad ke-21: Carilah apa yang kamu suka, pelajarilah dengan dalam, dan dedikasikan seluruh hidupmu untuk pekerjaan itu. Bahkan jika tidak menyukai pekerjaanmu, tetap penting untuk membentuk diri sedemikian rupa sehingga kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di masa depan. Di sisi lain, dunia kerja kini menjanjikan lingkungan yang lebih menyenangkan. Hari-hari bekerja yang monoton sudah berakhir, kini saatnya menyambut rezim kerja fleksibel dan kreatif. 

Pengalaman singkat saya masuk ke dalam dunia kerja menunjukkan satu hal yang pasti, bahwa ternyata bekerja tidak semenyenangkan itu. Realisasi bahwa pekerjaan kita tidak menyenangkan diulas lebih dalam oleh Amelie Horgan dalam Lost in Work: Escaping Capitalism yang diterbitkan oleh penerbit kiri Pluto Press pada 2017 silam. Buku ini menanggapi secara serius rasa malas kerja yang tampaknya kini sudah menjadi lelucon umum. Menariknya, ia berusaha menempatkan “malas” dalam kritik yang lebih luas terhadap rezim kerja di bawah kapitalisme.

Menilik Kapitalisme dan Kultus “Kerja Baru” 

Kapitalisme sering disebut dengan enteng, baik sebagai bagian dari gerakan anti-kapitalisme mahasiswa atau sebagai lelucon antara pekerja (contohnya dengan sebutan “budak korporat” dan “sekrup kapitalisme”). Seiring waktu, walau kapitalisme berhasil menjadi terma yang menakutkan, ia juga menjadi dangkal. Horgan percaya bahwa untuk melawan kapitalisme dengan handal, penting untuk mengenal lebih dalam apa itu kapitalisme dan bagaimana cara kerjanya. Semangat ini mendasari analisis Horgan pada Bab 1 sampai Bab 3. 

Amelie Horgan

Horgan melihat kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang secara inheren eksploitatif dan penuh kekerasan. Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai “sistem pengorganisasian manusia yang unik di mana kebutuhan manusia dibentuk dan dipenuhi dalam pasar” (p.63). Motif yang membuat kapitalisme terus berjalan adalah mengambil keuntungan (profit motive). Motif mengambil keuntungan dimiliki pemilik kapital untuk terus mengakumulasi keuntungan, sering kali tanpa pertimbangan terhadap prosesnya yang eksploitatif terhadap pekerja. Horgan menambahkan bahwa tidak hanya pemilik kapital mengesampingkan pengalaman pekerja, konsumen pun melakukannya. Konsumen lebih sering mengkontestasikan etika proses produksi sebuah produk alih-alih pemenuhan hak para pekerja, sebuah fenomena yang disebut Horgan sebagai “liga konsumen” (consumer league). 

Kapitalisme melahirkan rezim kerja yang kita ketahui sekarang, yaitu “rezim kerja baru”. Rezim kerja baru berbeda drastis dengan zaman Fordisme. Fordisme terkenal dengan kerja produksi massal berbasis mesin yang “membosankan”. Sementara itu, dalam rezim kerja baru, pekerjaan bersifat fleksibel, kreatif dan tampaknya “menyenangkan”. 

Horgan mengungkap bahwa rezim kerja baru sejatinya penuh kontradiksi. Pertama, rezim kerja baru sejatinya tidak menyenangkan. Ia membuat batas antara kerja dan kehidupan kita di luar kerja menjadi kabur. Seolah, segala yang kita senang lakukan harus dimonetisasi. Bahkan, rekan kerja kini dianggap sebagai “keluarga” dan emosi kita juga harus “dijual” untuk memuaskan atasan. Kedua, rezim kerja baru juga hanya menyenangkan untuk sebagian orang. 

Horgan menggarisbawahi bahwa kini masyarakat dibagi menjadi dua kategori. Mereka yang memiliki pekerjaan aman dan “menyenangkan” hanyalah minoritas. Sementara, mayoritas pekerja menyediakan jasa untuk menopang kehidupan para kelompok minoritas. Kerap kali, kelompok mayoritas bekerja dengan kondisi yang naas, contohnya dengan kontrak zero-hour, bayaran rendah, dan minimnya kontrol terhadap sistem kerja. 

Bagaimana Kapitalisme Mengubah Kita

Kini, kita telah mengerti apa itu kapitalisme. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kapitalisme mengubah kita? Bagaimana kapitalisme membentuk interaksi antar individu dan masyarakat? Pertanyaan ini dijawab Horgan dalam bab 4 sampai 6. 

Horgan memulai analisis dari unit terkecil, sang individu. Horgan berargumen bahwa untuk mengerti dampak kapitalisme terhadap individu, penting untuk memahami teori alienasi Marx. Teori Marx mendikte bahwa kapitalisme mengambil hal-hal yang membuat kemampuan manusia seperti berkarya, berempati, dan keinginan untuk diterima dalam komunitas, semata sebagai alat pembuat keuntungan. Ditambah lagi, keinginan kita untuk mendapat rekognisi kini didisrupsi. Di masa sebelumnya, rasa penerimaan bisa kita dapatkan dari keluarga dan komunitas. Sementara itu, di bawah kapitalisme, sistem pemberian rekognisi eksklusif dimiliki melalui pekerjaan. Akibatnya, kapitalisme menjadi candu sekaligus perusak. Individu dibuat tidak yakin tentang siapa diri mereka di luar kapitalisme. Hubungan kita dengan orang lain menjadi instrumental, dan dunia terasa asing. Pun dengan pengetahuan tentang kejamnya sistem pekerjaan, sang individu tak bisa keluar dari jerat dengan mudah. Hal ini terjadi lantaran sistem kerja kita diterapkan secara koersif. Seolah-olah tanpa bekerja, kita tak memiliki modal untuk bertahan hidup. Gabungan dari candu dan koersi yang diberikan oleh kapitalisme pada akhirnya mengubah individu di tingkat massal. Kini, kita semua dijerat dalam kultus produktivitas dan kurasi identitas tanpa henti. 

Selain itu, kapitalisme membuat masyarakat menjadi nirempati. Horgan menggunakan ide Gerard Cohen untuk menunjukkan bagaimana kapitalisme membatasi empati karena dua faktor. Pertama, faktor perbedaan dunia. Horgan berargumen bahwa, karena kapitalisme hanya bisa berjalan karena adanya ketimpangan ekonomi masif antar kelas sosial, sehingga realita yang dihidupi oleh masyarakat menjadi jauh berbeda. Akibatnya, masyarakat dengan kelas sosial berbeda seakan-akan hidup di dunia terpisah. Kedua, faktor perasaan komunal. Horgan menjelaskan bahwa karena minimnya rasa kepemilikan bersama, contohnya atas barang publik, perasaan komunal menjadi hilang. Kedua faktor ini membuat komunitas kehilangan faktor perekatnya dan pada akhirnya melemahkan komunitas tersebut.

Pergerakan yang sempurna? 

Horgan menjelaskan dengan rinci mengenai kondisi kelam masyarakat di bawah kapitalisme. Namun, tulisan Horgan bukan tanpa optimisme. Dalam bab 7 sampai 9, ia menunjukkan bahwa agensi kita tak pernah sepenuhnya dirampas oleh sistem kapitalisme. Ada berbagai siasat menarik untuk melawan sistem kerja kapitalis, baik di level individu maupun komunitas. Horgan memperingatkan bahwa cara yang ia sebutkan sama sekali tidak sempurna, tetapi masing-masing teknik tetap layak dicoba.

Pada level individu, Horgan mengambil studi kasus unik yaitu kasus “ghost worker” di Valencia. Pekerja bayangan ini adalah kasus asli seorang pekerja sipil yang dibayar rutin oleh negara walau bertahun-tahun tidak pernah bekerja. Ia mengakali sistem dengan absen pagi saja, lalu pergi dan kembali lagi ke kantor untuk absen pulang. Sebenarnya tidak jelas apakah sang pekerja bayangan memilih tidak masuk kerja atas dasar semangat anti-kapitalis atau karena malas saja. Namun, pekerja bayangan tetap menjadi kasus resistensi individu yang ekstrem dan menarik. Kini, dengan teknologi absensi di hampir semua kantor, mungkin lebih sulit mereplika kejenakaan sang pekerja bayangan. Namun, muncul pula perlawanan baru yang cukup populer yaitu dengan “quiet quitting”, kondisi di mana pekerja dengan sengaja melakukan usaha minim untuk mempertahankan pekerjaan saja, tetapi tidak lebih dari itu. 

Walaupun perjuangan individu melawan sistem menjadi langkah penting, Horgan mengajak pembaca untuk memikirkan ulang gambaran besar secara sistemik. Ia berargumen bahwa perlawanan individu kerap kali terbatas pada keluhan tentang elemen-elemen yang ada di sistem kerja tertentu dengan harapan bahwa pekerjaan selanjutnya akan lebih baik. Akibatnya, keluhan pekerja tidak terhubung dengan keresahan terhadap sistem kerja secara lebih luas. Menurut Horgan, resistensi yang terisolasi di tingkat individu sedikit banyak akan terjawab dengan bergabung dengan serikat pekerja. Menurut Horgan, memang benar serikat pekerja sering kali masih menjadi alat kepentingan sejumlah orang. Namun, ia meyakinkan pembaca untuk bersedia melihat serikat sebagai proyek politik yang perlu dibentuk bersama dan diperjuangkan. 

Horgan juga memberikan jalan keluar terakhir: berhenti bekerja. Sistem kapitalisme yang selalu meminta “lebih” dari individu telah menimbulkan kelelahan massal. Antidot yang menarik untuk dicoba adalah untuk berhenti bekerja saja. Namun, Horgan juga sadar bahwa berhenti bekerja walau untuk sementara adalah kemewahan yang hanya dimiliki beberapa orang di kelas atas. Sering kali, saat satu pekerja berhenti bekerja, pekerja lain yang dibayar lebih rendah harus mengisi kekosongan tersebut.

Jadi Apa Kita, Para Pekerja? 

Buku Lost in Work adalah buku pembuka yang baik bagi mereka yang ingin belajar tentang posisi mereka dalam rezim kerja kapitalis. Membaca buku ini terasa seperti berbincang dengan seorang teman. Ia membuat kita merasa tidak sendiri dalam kelelahan dengan cara mengaitkan keluhan individu terhadap tren kapitalisme global. Horgan juga cermat menanggapi keraguan kita terhadap argumen anti-kapitalisme, sesuatu yang saya rasa menjadi nilai utama dari buku ini. Horgan berulang kali mengatakan bahwa kita tidak boleh terlena dengan bayangan bahwa kehidupan sebelum kapitalisme adalah kehidupan sempurna dan tanpa eksploitasi. Pun kita tidak bisa mengatakan bahwa kemajuan yang dibawa oleh kapitalisme sepenuhnya buruk. Namun, kita perlu mengakui bahwa kapitalisme penuh dengan kontradiksi dan yang hanya bisa bekerja justru karena kontradiksi tersebut. Contohnya, untuk menopang kerja yang menyenangkan, miliaran orang lain harus bekerja dalam kerja eksploitatif dan berbahaya. Untuk bekerja dengan bebas dan aman, sebanyak 60% pekerja harus bekerja dalam pekerjaan informal dan tanpa kontrak (p.64). Horgan mengajak kita untuk tidak terlena dengan mimpi indah yang dijual kapitalisme yang hanya mewakilkan sepeser pengalaman pekerja di dunia. 

Buku Horgan pada akhirnya menunjukkan bahwa ketidaksempurnaan adalah teman kita. Walau perlawanan terhadap kapitalisme tidak akan pernah sempurna, rezim kerja kapitalisme yang kita hadapi juga penuh celah untuk bisa kita gunakan. Di hadapan ketidaksempurnaan ini, Horgan mengingatkan kita bahwa perlawanan bisa dimulai dengan langkah sederhana yang perlu banyak keberanian: dengan jujur kepada diri sendiri bahwa pekerjaan kita memang tidak semenyenangkan itu, dan mari memulai perjalanan dari sana. 

 

 


Ni Made Diah Apsari Dewi

Seorang periset di Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya adalah seputar teori keamanan dan pembangunan serta mobilitas manusia.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *