Membangun Kesadaran Kolektif Pekerja di Era Transformasi Digital
Rothstein, Sidney A. 2022. Recoding Power: Tactics for Mobilizing Tech Workers. [Membangun Ulang Keberdayaan: Taktik Mobilisasi Pekerja Teknologi]. Penerbit Oxford University Press
Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai perusahaan teknologi atau startup beberapa tahun belakangan memperlihatkan bagaimana pekerja tech hingga hari ini masih berada pada posisi rentan dalam konteks ketenagakerjaan. Meskipun pekerja tech digadang-gadang bergaji tinggi di era transformasi digital, mereka hampir tidak pernah dilibatkan dalam gerakan serikat yang memperjuangkan hak-hak kaum pekerja. Akibat minim keterwakilan pada gerakan kolektif, sangat sedikit kesempatan mereka untuk berdaya di hadapan perlakuan semena-mena perusahaan. Salah satu kasus misalnya PHK sepihak yang menyalahi aturan ketenagakerjaan dengan justifikasi manajemen untuk memertahankan keberlanjutan perusahaan.
Dalam buku Recoding Power: Tactics for Mobilizing Tech Workers, Sidney A. Rothstein memaparkan bahwa keengganan pekerja tech untuk berkolektif merupakan dampak ideologi fundamentalisme pasar (market fundamentalism) yang ditanamkan manajemen perusahaan. Melalui paham tersebut, mereka menarasikan bahwa kondisi kerja berkaitan erat dengan kekuatan pasar, sehingga apapun yang terjadi dalam kondisi kerja dianggap berada di luar kendali perusahaan. Pandangan tersebut berbeda dengan paham normatif sebelum era neoliberalisme berkembang, di mana kondisi kerja didasarkan atas hubungan timbal balik antara pekerja dan pemberi kerja.
Pada dasarnya, keberpihakan terhadap pasar yang erat dengan deregulasi pasar keuangan dalam skema neoliberalisme telah membuat berbagai perusahaan berorientasi pada satu tujuan: memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value). Akibatnya, valuasi perusahaan menjadi perangkat ukur utama dalam menilai kinerja perusahaan dan pekerja. Selain itu, valuasi dibuat seakan-akan memiliki hubungan langsung dengan kondisi kerja. Artinya, jika valuasi bisnis naik, maka pekerja akan mendapatkan kompensasi tambahan. Sebaliknya, ketika valuasi turun, maka perusahaan melakukan perampingan, termasuk memberhentikan pekerja secara sepihak.
Dengan mengatribusikan kondisi kerja pada faktor eksternal seperti kondisi pasar, manajemen perusahaan menanamkan nilai bahwa memobilisasi gerakan kolektif yang melindungi hak-hak pekerja adalah usaha sia-sia. Konsekuensinya, para pekerja dalam fundamentalisme pasar diharuskan tunduk dengan kesewenang-wenangan manajemen perusahaan, misalnya dalam kasus PHK sepihak dengan dalih adanya pengaruh pasar.
Lebih lanjut, selama fundamentalisme pasar masih mengakar di lingkungan kerja, maka menentang keputusan manajemen menggunakan logika normatif yang percaya bahwa kondisi kerja sebagai bagian dari tanggung jawab perusahaan justru menciptakan dilema bagi pekerja. Dilema tersebut didorong karena adanya perbedaan justifikasi pekerja (yang percaya bahwa ketidakadilan terjadi karena situasi pemberi kerja) dengan manajemen perusahaan (meyakini bahwa situasi kerja didorong penuh oleh kondisi pasar). Menurut Rothstein, upaya mengakali situasi tersebut –yang disebut ‘dilema kompatibilitas (dilemma of compatibility)’ –merupakan langkah awal membangun kesadaran kolektif pekerja.
Mengontrol diskursus di lingkungan kerja
Guna menganalisis upaya pekerja menghadapi ‘dilema kompatibilitas’, Rothstein menganalisis studi kasus dari empat perusahaan teknologi yang melakukan PHK massal di era krisis dot-com pada awal dekade 2000-an. Perusahaan tersebut yakni IBM Burlington dan IBM San Jose di Amerika Serikat, serta Siemens dan Infineon (anak perusahaan Siemens) di Jerman. Dari keempat studi kasus, dua perusahaan yakni IBM Burlington dan Siemens mendapat perlawanan dari mayoritas pekerja yang melakukan mobilisasi kolektif.
Menurut Rothstein, kesadaran berkolektif untuk memperjuangkan hak mereka tidak bisa dilepaskan dari upaya para pekerja memimpin diskursus di lingkungan kerja (workplace discourse). Karena telah melihat bagaimana manajemen perusahaan melanggengkan dominasi fundamentalisme pasar, mereka mengembangkan narasi hegemoni-tandingan (counter-hegemonic) yang mendorong kredibilitas mereka bagi massa pekerja lain. Tujuan mereka yakni mengkodifikasi atau merombak (re-coding) narasi hak pekerja yang seharusnya dianggap wajar (common sense) di lingkungan kerja.
Meskipun perusahaan berusaha mengaitkan keputusan PHK dengan kondisi pasar yang tidak stabil, kolektif pekerja IBM Burlington dan Siemens menolak justifikasi tersebut. Alih-alih menerima dalih pasar yang mengharuskan mereka diberhentikan, para pekerja menunjuk kesalahan pada manajemen sebagai pihak yang menerjemahkan kekuatan pasar ke dalam kondisi kerja.
Dalam studi kasus di IBM Burlington, pekerja sudah terlanjur mengamini bahwa kondisi kerja mereka dibentuk atas dasar relasi mutual dengan manajemen perusahaan selama bertahun-tahun. Di sisi lain, sejak awal, gerakan kolektif pekerja Siemens sudah menentang kecenderungan manajemen yang lebih mementingkan valuasi ketimbang memenuhi hak pekerja. Dengan menunjukkan bahwa kondisi kerja tidak serta merta dibentuk langsung oleh pasar, pekerja yang di-PHK akhirnya terlepas dari dilema kompatibilitas.
Baru setelah dilema ini terlewati, pekerja bisa melakukan mobilisasi massa secara efektif. Momen tersebut kemudian dimanfaatkan pekerja untuk mengembangkan kapasitas berstrategi (strategic capacity) dan mengorganisasi massa guna meningkatkan daya tawar dan menekan kepentingan ekonomi perusahaan (economic leverage) melalui jalur hukum.
Merawat solidaritas jangka panjang dengan memanfaatkan diskursus lingkungan kerja
Berangkat dari kasus ketenagakerjaan di perusahaan teknologi, Rothstein mengembangkan teori oportunisme diskursif (discursive opportunism) untuk menjelaskan kapabilitas pekerja mengontrol diskursus di lingkungan kerja sebagai peluang mengupayakan gerakan kolektif. Meski studi kasus di atas hanya mengilustrasikan pendekatan oportunisme diskursif yang menghasilkan aksi kolektif sesaat, Rothstein berargumen bahwa taktik tersebut memiliki peluang melahirkan solidaritas jangka panjang bagi kelas pekerja. Untuk mendukung tesis tersebut, Rothstein beralih kepada studi kasus pekerja di perusahaan teknologi Google dalam mengupayakan gerakan kolektif pekerja.
Pada akhir 2018, lebih dari dua puluh ribu pekerja Google berpartisipasi dalam pemogokan massal yang didorong oleh kekecewaan terhadap penanganan pelecehan seksual di perusahaan. Dalam aksi tersebut, mereka juga menuntut agar perusahaan menjamin kondisi kerja lebih baik bagi pekerja cadangan. Berbeda dengan pekerja penuh waktu, pekerja cadangan (merujuk pada pekerja sementara, vendor, atau kontrak) berada pada posisi lebih rentan karena ketidakjelasan status kerja. Peran mereka lebih mudah tergantikan, bahkan tidak mendapat fasilitas minimum seperti asuransi kesehatan, dan gerakan serikat yang tidak diakui secara formal. Karena alasan tersebut, Alphabet Worker Union (AWU) dibentuk. AWU adalah organisasi serikat yang merepresentasikan pekerja Google maupun mereka yang berada di bawah Alphabet –perusahaan utama Google.
AWU merawat solidaritas jangka panjang bagi semua pekerja dalam naungan Alphabet. Solidaritas tersebut memang belum tercermin pada kasus penolakan PHK oleh pekerja IBM Burlington dan Siemens dua puluh tahun lalu, di mana perjuangan mereka terbatas pada kepentingan sesaat kelompok pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan. Terlepas dari perbedaan itu, para pekerja Alphabet dapat bersatu karena menjalankan taktik berkarakteristik oportunisme diskursif. Selayaknya studi kasus IBM Burlington dan Siemens, pekerja yang berkolektif di Alphabet pun mempersenjatai diri mereka dengan mengontrol diskursus di lingkungan kerja.
Dalam kasus pemogokan 2018 misalnya, penyelenggara aksi membingkai tuntutan mereka berlandaskan konsep bahwa pekerja adalah pemilik perusahaan: “from the moment we start at Google, we’re told that we aren’t just employees; we’re owners, and the owners say: Time’s up”. Konsep ini ditegaskan manajemen saat para pekerja memulai karir di Alphabet, bertujuan untuk menjelaskan gambaran ideal Alphabet sebagai perusahaan. Dalam aksi tersebut, mereka membangun narasi baru: bahwasannya karena merupakan bagian dari pemilik, maka pekerja layak mendapatkan perlakuan adil.
Saat AWU terbentuk pun, para anggota masih memanfaatkan diskursus yang sebelumnya sudah ditanamkan oleh perusahaan untuk menggerakkan aksi kolektif. Dalam laman situs AWU, mereka menuliskan: “Google’s Motto used to be “Don’t Be Evil” – we are working to make sure they live up to that AND more”. Dalam konteks ini, pekerja memanfaatkan motto perusahaan sebagai pijakan menyamakan persepsi terkait nilai ideal yang ditanamkan dan mendorong bagaimana Google seharusnya bersikap.
Hingga hari ini, lebih dari seribu empat ratus pekerja tergabung dalam AWU. Misi mereka tidak terbatas pada perlindungan hak pekerja, tetapi juga memastikan agar sebagai perusahaan teknologi, Alphabet menjaga komitmen untuk bertindak secara etis demi kepentingan bersama. Perjalanan AWU memang masih panjang, tetapi perjuangan mereka setidaknya memberikan secercah harapan bagi kita yang mendambakan kebangkitan kelas pekerja di era transformasi digital: bahwasannya ketika pekerja mengontrol diskursus di lingkungan kerja, bukan tidak mungkin solidaritas jangka panjang bisa diperjuangkan.