Kalau Sudah Kerja, Lalu Mau Apa?
Hester, Helen dan Nick Srnicek. 2023. Setelah Kerja: Sejarah Rumah dan Upaya Meraih Waktu Luang (After Work: A History of the Home and the Fight for Free Time). Penerbit Verso.
Hampir seratus tahun lalu, tepatnya pada 1930, ahli ekonomi John Maynard Keynes melalui esai berjudul Economic Possibilities for Our Grandchildren membayangkan betapa nikmatnya dunia kerja masa kini. Saat itu, ia mengimajinasikan durasi kerja akan berkurang menjadi 15 jam dalam seminggu, atau tiga jam sehari. Katanya, hal tersebut bisa terjadi seiring dengan otomatisasi operasional bisnis di sektor pertanian hingga transportasi.
Saat otomatisasi terealisasikan, Keynes juga memprediksi bahwa fenomena pergantian pekerja dari manusia ke robot akan menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Akan tetapi, katanya lagi, itu bukanlah persoalan besar karena bersifat sementara dan transitif. Kalaupun terjadi, kata Keynes lagi, kita akan memiliki banyak waktu luang sehingga bisa menikmati hobi. Berfilsafat misalnya, atau mengutuk tingkah laku para pencari profit berlebih.
Pertanyaannya, mengapa fenomena ini belum terjadi? Apa karena belum genap seratus tahun? Atau jangan-jangan terdapat miskalkulasi dari Keynes? Kurang lebih seperti itulah gugatan yang diajukan Helen Hester dan Nick Srnicek dalam After Work: A History of the Home and the Fight for Free Time. Kedua penulis melihat bahwa ramalan Keynes akan sulit terwujud lantaran ia hanya menghitung akumulasi bunga secara majemuk tanpa melihat kompleksitas dunia kerja. Salah satunya, tidak memperhitungkan aktivitas reproduksi sebagai kerja. Keynes menganggap bahwa teknologi akan membantu mengurangi durasi kerja manusia. Namun ia luput melihat bahwa rumah bisa bermakna sebagai ‘kantor.’
Dalam bagian pertama, kedua penulis menegaskan aktivitas perawatan dan reproduksi sebagai kerja. Hal tersebut lantaran durasi kerja pada sektor ekonomi perawatan menghabiskan waktu lebih lama ketimbang di kantoran dan pabrik. Jumlah pekerja pada sektor perawatan pun cenderung naik sejak bertahun-tahun silam, terutama di negara-negara maju seperti tempat Keynes berasal.
Paradoks Teknologi
Miskalkulasi Keynes lainnya yakni anggapan naif bahwa perkembangan teknologi akan mengurangi durasi kerja manusia. Di satu sisi, teknologi memang dapat meningkatkan efisiensi pekerjaan, terutama di pabrik. Namun di sisi lain, teknologi secara tidak langsung menambah beban kerja manusia, terutama dalam sektor domestik.
Paradoks Cowan tersebut dibahas lebih jauh pada bagian kedua buku dengan mencontohkan kasus mencuci baju dan menguras kamar mandi. Melalui kedua aktivitas tersebut, Hester dan Srnicek menekankan bahwa masuknya industrialisasi ke dalam rumah–misalnya kehadiran mesin cuci–tidak serta merta membuat aktivitas mencuci menjadi lebih efisien, lantaran bertransformasi dari kegiatan bersifat kolektif menuju individu, bahkan dibebankan kepada ibu rumah tangga. Akibatnya, beban kerja yang sebelumnya terbagi merata dengan orang-orang di rumah atau tetangga, dimampatkan menjadi tanggungan satu orang saja.
Dalam konteks tersebut, mesin cuci tidak terlalu membantu ibu rumah tangga mengurangi durasi kerja, justru menambah beban dan mengisolasi mereka di ruang domestik. Hal yang sama juga berlaku pada kasus menguras kamar mandi. Kehadiran sistem pengairan modern tidak serta merta membuat aktivitas menguras kamar mandi menjadi lebih efektif. Pasalnya, inovasi tersebut justru membuat ibu rumah tangga harus bekerja menguras kamar mandi setiap waktu agar tidak menjadi sarang penyakit.
Lebih jauh lagi, asumsi bahwa teknologi tidak mengubah nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari juga dianggap keliru oleh Hester dan Srnicek. Topik tersebut dibahas pada bagian ketiga buku, merujuk pada fenomena intensive parenting (pengasuhan intensif) yang mulai merebak sejak dekade 1980-an. Di tengah kemerosotan jumlah pekerjaan layak, maka orang tua, khususnya ibu rumah tangga harus disibukkan mempersiapkan masa depan anak dengan memfasilitasi ekstrakurikuler, memberikan nutrisi yang sesuai kepada anak bahkan sejak dalam kandungan. Perubahan sosial tersebut membuat ibu rumah tangga tidak hanya dituntut untuk membesarkan anak, tetapi juga mempersiapkan mereka agar dapat bersaing di pasar tenaga kerja di masa depan.
Perubahan paradigma terhadap makna kerja dari zaman feodal ke zaman kapitalis menjadi salah satu faktor yang memengaruhi mengapa durasi kerja tidak kunjung berkurang. Di era feodal, semakin banyak waktu luang menandakan kesejahteraan, layaknya para kaum aristokrat pemalas. Sebaliknya, di zaman kapitalis, terlihat sibuk justru menjadi semacam norma baru. Akibatnya, memiliki banyak waktu luang di masa kini dianggap seperti penyimpangan. Ditambah lagi dengan popularisasi hustle culture yang menganggap keengganan bekerja di luar jam kerja atau tidur seharian pada akhir pekan sebagai malas.
Keluarga dan Rumah
Selain paradoks teknologi, Hester dan Srnicek melihat bahwa keluarga sebagai unit sosiologis terkecil menjadi salah satu faktor yang menghambat pengurangan durasi kerja. Mereka melihat bahwa keluarga dengan komposisi ayah sebagai tulang punggung keluarga, ibu rumah tangga, dan anak sebagai tanggungan memuat ketimpangan pembagian kerja berbasis gender, walaupun tren tersebut sudah mulai menurun sejak 1960-an.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat istirahat justru memosisikan ibu rumah tangga dalam setiap jenis kerja reproduktif, mulai dari pengasuhan anak hingga menyelesaikan aktivitas domestik rutin lainnya. Secara kuantitatif, ibu rumah tangga menghabiskan 33 menit lebih lama dalam satu hari, atau total empat jam dalam seminggu. Secara kualitatif, ibu rumah tangga sering kali diharuskan terjaga setiap malam saat mengasuh anak. Dengan kata lain, ibu rumah tangga hampir tidak memiliki waktu luang. Dalam konteks keluarga di mana pasangan suami istri sama-sama bekerja pun, perempuan tiga kali lebih sering bangun di malam hari apabila memiliki anak berusia di bawah satu tahun.
Topik itu dibahas di bagian keempat buku ini. Kedua penulis menegaskan bahwa imajinasi rumah sebagai tempat istirahat sebenarnya hanya berlaku bagi laki-laki. Bias tersebut bahkan dijadikan acuan oleh para pembuat kebijakan, tidak terkecuali serikat pekerja. Pada 1886 misalnya, saat kongres internasional serikat pekerja pertama kali diadakan, mereka merumuskan sistem 8-8-8 (delapan jam untuk bekerja, delapan jam untuk tidur, dan delapan jam untuk waktu luang), mengacu pada normativitas bias produktif.
Namun, kedua penulis juga mencatat bahwa dinamika tentang siapa yang menjadi tulang punggung keluarga ataupun ibu dan bapak rumah tangga adalah dikondisikan oleh perkembangan ekonomi makro. Ada masa di mana ibu rumah tangga juga dituntut oleh keadaan untuk masuk dalam angkatan kerja, selain menjadi pengasuh cadangan angkatan kerja. Tujuannya yakni membantu pemasukan keluarga, atau malah sebagai tulang punggung keluarga. Salah satu studi kasus yang dibahas adalah tentang peran orang tua tunggal di tengah kondisi ekonomi neoliberal hari ini.
Kompleksitas tersebut menuntun Hester dan Srnicek membahas lebih jauh tentang rumah sebagai ruang kerja pada bab lima. Ia mengamati model permukiman yang pernah dibangun di Eropa, Amerika, dan Soviet sebagai upaya mengatur pembagian kerja secara merata. Kedua penulis mengevaluasi model perumahan seperti apartemen Narkomfin dan apartemen Red Vienna. Mereka menemukan bahwa upaya pembagian kerja secara merata ternyata menimbulkan masalah baru secara teknis maupun nonteknis.
Salah satu temuan dalam evaluasi tersebut adalah pengalihan pekerjaan rumah tangga di antara perempuan, misalnya dengan perekrutan pekerja domestik. Artinya, upaya-upaya yang dilakukan oleh perancang rumah atau pemerintah belum pernah benar-benar berhasil menciptakan pembagian kerja secara merata, karena pada akhirnya aktivitas reproduktif dialihdayakan kepada pekerja-pekerja domestik ‘profesional,’ sebagian besar adalah imigran atau komunitas Kulit Berwarna. Alhasil, pemerataan kerja terkesan hanya memungkinkan diterapkan di antara mereka yang sanggup membayar pekerja domestik. Fenomena ini tentu sarat ketimpangan kelas sosial.
Membongkar Makna Kerja
Setelah menguliti imajinasi Keynes dengan memperluas pengertian kerja, apa yang ditawarkan oleh Helen Hester dan Nick Srnicek untuk mewujudkan proyek setelah kerja (after work) dalam buku ini?
Tawaran untuk menjamin lebih banyak waktu luang sebenarnya cukup menarik dan teknokratis, yaitu dengan melakukan reformasi imajinasi keluarga inti. Contohnya pengertian keluarga yang dibongkar dalam sistem hukum Kuba, didefinisikan tidak sebatas hubungan biologis, tetapi juga afektif, psikologis, dan sentimen. Komitmen berbagi kehidupan bersama serta mengatur pemerataan beban pekerjaan domestik dijadikan dasar dalam memaknai keluarga. Dengan cara seperti itu, peluang pembagian kerja reproduksi secara merata dan terjaminnya ketersediaan waktu luang akan semakin besar.
Lebih jauh lagi, kedua penulis juga mendesak adanya hak anak. Salah satu studi kasus terdapat dalam sistem hukum Wales yang menjamin waktu bermain anak. Tujuannya agar anak tetap bebas bermain. Maka, para pemangku kepentingan seharusnya dapat memfasilitasi tempat bermain di setiap sudut kota. Dengan cara tersebut, jaminan akan keberadaan ruang publik (atau public luxury dalam istilah buku ini) semakin besar. Hanya dengan metode tersebut, pemerataan beban kerja dan pengurangan durasi kerja, sebagaimana nubuat Keynes, memungkinkan untuk direalisasikan. Bagi kedua penulis, injeksi ide-ide sosialis juga diperlukan untuk melangkah ke arah sana, agar tidak terjadi pengalihan beban kerja yang malahan akan semakin mengeksploitasi kelas pekerja.
Secara keseluruhan, After Work: A History of the Home and the Fight for Free Time menarik didalami lantaran berupaya menyajikan wacana postwork, menunjukkan bahwa dampak otomatisasi tidak hanya mendorong kelahiran pekerjaan-pekerjaan bullshit bergaji tinggi—sebagaimana diceritakan dengan baik oleh David Graeber dalam buku berjudul Bullshit Jobs—tetapi juga menguatkan perkembangan shit jobs bergaji rendah. Walaupun Hester dan Srnicek dengan rendah hati menegaskan bahwa buku ini bukan cetak biru satu-satunya yang membahas isu pascakerja, mereka menawarkan upaya-upaya taktis pada bagian akhir, yakni menawarkan paradigma baru untuk mencapai dunia minim kerja.