Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan
Amar Alfikar. 2023. Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan. Gading.
Amar Alfikar adalah seorang aktivis queer-transpria yang aktif dalam isu lintas iman, gender, dan seksualitas. Amar berpendapat bahwa komunitas LGBTQIA+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer/questioning, interseks, aseksual/aromantis, dan yang lainnya) kerap kali dijadikan kambing hitam dan alat fear-mongering dalam lingkaran muslim yang masih berpusat pada cisgender dan heteronormativitas. Menentang hal ini, Amar dalam buku “Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan” memberikan pandangan islami yang ramah queer (selanjutnya akan disebut “kwir” sesuai serapan ke Bahasa Indonesia).
“Queer Menafsir” terdiri dari 16 bab yang masing-masingnya terbagi lagi ke dalam beberapa subbab. Berfokus pada satu topik tertentu, tiap bab mengupas lapis demi lapis kerumitan kehidupan spiritual muslim kwir. Bab “Hijab”, misalnya, berusaha menjawab kebingungan kawan transgender mengenai aurat dan hijab terutama saat mendirikan salat: “Bagaimana seharusnya saya beribadah sebagai transgender, haruskah saya mengikuti gender saya saat ini atau gender saya sebelum transisi?” dan “Apakah ibadah saya sebagai transgender akan diterima?”
Lebih jauh, bab “Dosa” merangkum tudingan publik atas kwir dan menyajikan argumentasi tandingannya. Bab ini dimulai dengan pertanyaan, “Apakah menjadi queer itu hal yang berdosa? Apakah menjadi queer diperbolehkan dalam Islam?” Menurut Amar, mempertanyakan apakah menjadi kwir adalah sebuah dosa sama saja dengan mempertanyakan apakah menjadi manusia itu dosa di mata Tuhan karena hukum agama tidak melekat pada tubuh, tetapi pada apa yang dilakukan tubuh tersebut.
“Queer Menafsir” memang mengangkat pendekatan teologi kwir, yakni paham keagamaan yang menekankan bahwa tidak peduli apa pun identitas gender dan orientasi seksualnya, semua manusia memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk mengenali Tuhan (hlm. viii). Teologi kwir sangat penting untuk menjaga inklusivitas dan menjamin kesetaraan beragama bagi para kwir sebagai kelompok yang seringkali secara sistematis dikesampingkan oleh sebagian besar institusi dan elit agama. Namun, penerapan teologi kwir saja tidaklah cukup: diperlukan juga dekonstruksi otoritas keagamaan yang hingga kini menganut biner gender dan seksualitas.
Dekonstruksi tersebut dapat dimulai dengan mengintegrasikan ilmu SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sexual Characteristics) dalam diskursus islami dan tafsir atas teks-teks kanon Islam. Merujuk Redline Indonesia, SOGIESC merupakan pemahaman tentang ketubuhan, orientasi seksual, dan gender yang dibuat untuk membuka pikiran masyarakat luas. Integrasi SOGIESC ini diharapkan dapat menyudahi hukum atau fikih yang diskriminatif dan represif terhadap komunitas kwir. Jika fikih memberikan perhatian menyeluruh terhadap keberagaman gender dan seksualitas, maka komunitas kwir dapat melihat dirinya sebagai makhluk berharga yang juga dicintai dan dirahmati oleh Allah (hlm. 86).
Menurut Amar, teologi kwir perlu dikembangkan jika benar bahwa keadilan dan perdamaian adalah misi Islam. Sama seperti Islam, teologi kwir juga menjunjung kemanusiaan. Keduanya meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa tidak memiliki batasan dalam penciptaan, bahwa ciptaan-Nya tidak terbatas pada apa yang lahiriah. Ciptaan-Nya juga meliputi segala yang batiniah dan rohaniah, segala yang memiliki kesadaran (consciousness) dan pengalaman serba-kompleks hingga memahaminya tidak hanya membutuhkan akal, tetapi juga hati. Oleh karena itu, prinsip kesalingan berlandaskan inklusivitas, keterbukaan, dan pemahaman bersama sangatlah dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat muslim yang adil dan damai.
Berdasarkan pemikiran di atas, wujud iman paling tinggi adalah empati dan welas asih (compassion); iman yang teduh dan luas, yang dapat menerima keberagaman ciptaan-Nya, termasuk keberagaman tubuh dan seksualitas. Keberagaman merupakan hal yang given atau terberi, sehingga label identitas apa pun yang melekat pada seorang muslim tidak dapat membatalkan keislamannya. Selain Allah, tidak ada yang mengetahui pasti status keislaman tersebut. Pandangan ini bukanlah hal baru dalam Islam. Dalam Islam, pandangan yang terbuka terhadap perbedaan dan mengutamakan harmoni-kesalingan dapat ditemukan dalam tasawuf.
Dalam tasawuf, empati dan welas asih adalah manifestasi dari puncak Islam dan iman, yakni ihsan. Menurut Haidar Bagir—cendekiawan muslim yang mengadvokasikan Islam Cinta—dalam buku “Mengenal Tasawuf” (2019), ihsan adalah spiritualitas atau kedekatan dengan Allah yang melahirkan cinta (passion), akhlak mulia, kelembutan serta kelapangan hati, dan semangat berbuat baik kepada seluruh makhluk Allah. Bukan hanya hasil akhir iman, cinta jugalah muasal fitrah manusia karena Allah menciptakan mereka dengan cinta. Menurut ibn Arabi, cinta Allah terhadap manusia inilah alasan Allah menamai mereka “insan”—ciptaan paling sempurna. Maka darinya, adalah hal yang sangat natural jika cinta merupakan sumber segala pandangan serta laku hidup orang-orang beriman. Cinta ini kemudian membuahkan kontribusi sosial yang nyata, humanis, dan transformatif.
Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa alih-alih sebagai Islam Cinta yang memperjuangkan perubahan sosial dan inklusivitas, Islam justru lebih sering tampil sebagai agama yang “marah” karena segelintir penganutnya kerap mengomentari atau mencela orang lain. Merenungkan ini, Amar mempertanyakan, “Bagaimana mungkin fitrah cinta mengubah manusia menjadi pembenci terhadap orang lain yang berbeda?” Begitu besar kecenderungan ini hingga membatu menjadi takfirisme, yaitu praktik ekstrem meliyankan, mengucilkan, dan mengkafirkan kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya sendiri. Menurut Amar, kecenderungan ini justru akan menjauhkan manusia dari agama. Tulisnya: “Semakin orang-orang beragama menunjukkan kebengisan dan kebenciannya terhadap yang berbeda, semakin berbondong-bondong orang menjauhi agama,” (hlm. 440).
Takfirisme seringkali menargetkan komunitas kwir utamanya dengan menstigmakan mereka sebagai pendosa. Nyatanya, komunitas kwir menjalani kehidupan yang sepi karena merasa asing dari lingkungannya. Mereka juga harus menghadapi pergumulan batin yang rumit dan merasa begitu hina karena pandangan negatif orang lain terhadap mereka. Pandangan negatif tersebut merupakan introjeksi yang kemudian memerangkap komunitas kwir dalam homofobia yang terinternalisasi (internalized queerphobia) dan perilaku destruktif (self-harm).
Bagaimana kita yang secara fitrah diciptakan-Nya dengan cinta dapat hidup dalam kebencian dan rasa sakit? Jika komunitas kwir tidak memiliki siapapun–bahkan tidak diri mereka sendiri– siapakah tempat mereka bersandar selain Tuhan? Akan tetapi, institusi dan komunitas agama justru sering mencerabut hak kwir untuk beriman dan beribadah. Oleh karena itu, adalah hal urgen untuk membuka ruang keagamaan yang ramah kwir. Amar menuliskan, “Di tubuh-tubuh queer yang lebih sering menerima kebencian daripada cinta, kita membutuhkan lebih banyak lilin kemanusiaan dalam narasi-narasi keagamaan dan kebertuhanan, yang selama ini hanya digunakan untuk meminggirkan ketimbang merangkul dan memberikan ruang,” (hlm. 477).
“Queer Menafsir” memang mengedepankan sikap reflektif, menyerukan semangat melihat dan bergerak ke dalam diri sendiri; menilai secara kritis apakah Islam tumbuh subur dalam diri dan apakah iman mewujud sebagai welas asih dan kebaikan bagi sesama. Dengan sikap ini, setiap muslim akan sibuk berusaha menjadi versi terbaik dirinya, alih-alih sibuk menjadi hakim bagi keislaman orang lain. Jika setiap muslim telah mencapai puncak aktualisasi diri, maka muslim akan berdaya untuk secara sistematis mengubah tatanan hidup bermasyarakat menjadi lebih baik. Hasilnya adalah peradaban Islam inklusif yang ideal dan egaliter, sebuah masa di mana bahkan yang paling marginal pun dapat menjalani kehidupannya dengan damai. Singkatnya, sebuah masa di mana komunitas kwir dapat menyandang keanggotaan dalam Islam tanpa diskriminasi dan marginalisasi. Poin ini menegaskan bahwa “Queer Menafsir” memvalidasi dan menerima keberagaman gender dan seksualitas dalam ruang beragama.
***
Secara keseluruhan, buku ini merupakan karya tulis komprehensif dengan rujukan islami yang memadai. Buku ini menyertakan dan mengutip sumber kanon Islam, seperti ayat Alquran dan hadis yang relevan. Alhasil, argumentasi yang disampaikan dapat meyakinkan pembaca akan keabsahannya. Di sisi lain, peranan pengalaman pribadi dan kontekstualisasi kontennya mungkin membuat beberapa bagian cenderung sukar diukur ketepatannya. Ketepatan ini utamanya menyangkut pemilihan, pemilahan, dan kontekstualisasi sumber kanon Islam. Apakah kontekstualisasi sumber yang dirujuk memang bersesuaian dengan poin penting pengalaman pribadi yang disampaikan? Apakah dasar dari kontekstualisasi tersebut; kesamaan karakteristik, kesamaan kausalitas, atau ada alasan lain? Dalam hal ini, pembacaan mendalam atas sumber tersebut perlu dilakukan.
Selanjutnya, ada beberapa hal yang rasanya kurang dari tulisan yang disajikan. Misalnya, tulisan dalam buku ini tidak menjabarkan mengapa ketika membicarakan kwir, kita juga membicarakan tubuh dan ragam pengalaman ketubuhan. Bagi sesama kwir, pengalaman ketubuhan mungkin adalah hal yang tak asing. Namun bagi publik non-kwir, ketubuhan bisa jadi adalah hal yang arbitrer: “Sudah seperti itu dari sananya, terima saja. Tidak usah dibuat-buat. Tidak usah diperumit.” Oleh karena itu, untuk mendudukkan pembaca dalam lembar yang sama, yakni bahwa pengalaman ketubuhan kwir adalah nyata dan bukan bentuk pembelotan dari penciptaan asal, juga bukan konsekuensi penyakit mental; menjembatani dua realitas berbeda tersebut sangatlah penting.
Selain itu, walaupun pada awalnya Amar membahas tubuh dari segi eksistensial, kesimpulan yang diambil justru cenderung antiklimaks dari ketubuhan. Kasarnya, seolah-olah kesimpulan yang hendak disampaikan adalah: “Tubuh dan ragam ketubuhan lekat dengan queer, tapi dalam beragama tubuh tidaklah sepenting itu karena iman adalah soal jiwa. Jadi, kita tidak perlu mempermasalahkan tubuh.” Akan tetapi, tubuh sebagai bejana manusia memiliki dimensi publik yang sangat menentukan penerimaan (acceptance) dalam dan dari masyarakat.
Amar memang menyuguhkan pengalaman kwir dan queerness dalam konteks Indonesia—baik dari sisi budaya maupun agama—pun menyerukan perubahan dan dekonstruksi sistematis yang dimulai dari tokoh, elit, dan institusi keagamaan; tetapi tulisan Amar ini tidak banyak membahas bagaimana sebaiknya individu kwir bersikap dalam menghadapi masyarakat kolektif sebagai sistem spiritual yang represif. Sekalipun iman adalah hal personal dan bergantung nyaris sepenuhnya terhadap hubungan perseorangan dengan Tuhannya, pada akhirnya iman menandakan keanggotaan masyarakat. Apa yang komunitas kwir dapat lakukan untuk tetap menjadi anggota, selain hanya dengan beriman dan beribadah dalam diam dan “senyamannya”?
Meskipun belum sempurna, secara keseluruhan, “Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan” karya Amar Alfikar adalah pengenalan yang baik mengenai ragam ketubuhan dan relasinya dengan spiritualitas Islam. Buku ini dapat menjadi sarana bagi pembaca yang ingin mengenal dan menerima dirinya sebagai kwir, juga menjadi batu loncatan bagi pembaca yang mencari rujukan keagamaan seputar pengalaman ketubuhan kwir.