Revolusi dalam Hubungan Internasional
Lawson, George. 2019. Anatomies of Revolution [Mengurai Revolusi]. Penerbit Universitas Cambridge.
Mengapa dan bagaimana revolusi terjadi? Seringkali istilah revolusi punya konotasi buruk, dikaitkan terutama dengan revolusi komunis seabad silam di Rusia, dan biasanya tidak disukai oleh pemerintah. Namun, sebetulnya revolusi sudah jadi bagian dari kehidupan manusia sejak berabad-abad silam, dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam politik internasional.
Ada banyak karya yang membedah soal revolusi dengan ragam penjelasannya, tapi tidak banyak yang melihatnya dari sisi Hubungan Internasional (HI). Padahal, sebetulnya revolusi adalah bagian penting dari politik internasional masa kini. Salah satu sedikit karya kesarjanaannya yang mengulas itu ialah karya seminal dari Profesor George Lawson, Anatomies of Revolution (“Mengurai Revolusi”). Profesor Lawson adalah guru besar studi HI di Universitas Nasional Australia (ANU), dan lama mengajar di Sekolah Ilmu Politik dan Ekonomi London (LSE). Buku ini mendiskusikan sejarah revolusi sebagai sebuah fenomena internasional, terhubung antara satu peristiwa dan peristiwa yang lain, serta menjadi bagian penting dari terbentuknya sebuah tatanan politik internasional.
Buku ini sebetulnya adalah pengembangan dari buku Pak Lawson sebelumnya, yang berjudul Negotiated Revolution (“Revolusi yang Dinegosiasikan”). Buku pendahuluan ini adalah disertasi doktoral beliau di LSE (selesai tahun 2004) yang memotret bagaimana revolusi mengantarkan proses demokratisasi dan keterbukaan di Chili, Afrika Selatan, dan Ceko-Slowakia di tahun 1990an. Pendapat Pak Lawson berbeda dengan pendapat-pendapat yang melihat apa yang terjadi di negara ini semata sebagai “gelombang ketiga demokratisasi”sebagaimana dipercayai Samuel Huntington dan pengikutnya.
Bagi Pak Lawson, proses demokratisasi di tahun 1990an adalah proses “revolusioner” karena mereka membalik tatanan sosial yang ada di masyarakat negara itu. Bedanya dengan revolusi yang lain, revolusi demokrasi tersebut terjadi melalui proses negosiasi antara elit dan massa, yang di saat bersamaan juga didukung oleh sebuah sistem internasional seusai perang dingin, yang memungkinkan demokratisasi berlangsung secara global. Fenomena inilah yang beliau sebut sebagai “revolusi yang dinegosiasikan.”
Situasi Revolusioner
Pendapat Pak Lawson ini kemudian diperluas dalam buku Mengurai Revolusi ini dengan studi kasus yang lebih luas. Secara umum, Pak Lawson berpendapat kalau revolusi sangat bergantung pada konfigurasi sistem internasional. Sebagaimana ditunjukkan oleh Pak Lawson, gerakan-gerakan revolusioner yang muncul sebetulnya terhubung satu sama lain. Mereka bergerak dan mendorong aspirasi politik mereka dengan cara melemahkan otoritas pemerintah. Namun, kuncinya, menurut Pak Lawson, ada pada keberhasilan menciptakan “situasi revolusioner,” yaitu kondisi-kondisi politik internasional yang mendorong terjadinya pelemahan rezim politik dan memungkinkan gerakan revolusi untuk tampil ke depan.
Situasi revolusioner ini dijelaskan secara mendalam oleh Pak Lawson di Bab 4. Di sini, menurut pendapat Pak Lawson, revolusi akan punya momentum jika ada perubahan yang mendasar dalam sistem internasional. Beliau mencontohkan fenomena “Musim Semi Arab” ketika gelombang demokratisasi menerpa negara-negara Timur Tengah. Sebelum tahun 2010an, rezim-rezim diktator di Timur Tengah hidup nyaman dengan bantuan dan dukungan internasional dua kekuatan besar di sana, yaitu Amerika Serikat dan Israel, yang dalam banyak hal tidak disukai rakyat.
Namun, pada tahun 2008, ekonomi global kolaps. Negara-negara yang tidak punya kekuatan ekonomi kuat (misalnya, bukan produsen minyak) akhirnya anjlok, dan membuka momentum untuk melakukan revolusi. Akhirnya, revolusi dimulai dari kematian Muhammad Bouazizi di Tunisia, dan menjalar ke beberapa negara lain.
Di sini, penjelasan Pak Lawson cukup menarik, bahwa Musim Semi Arab terjadi karena adanya situasi internasional yang tidak stabil, ditambah pula oleh kegeraman rakyat atas pemimpinnya yang terlalu lama berkuasa dan otoriter. Akhirnya terjadilah demonstrasi dan perubahan politik. Meskipun, sebagaimana dijelaskan oleh Pak Lawson juga, ternyata gelombang revolusinya tidak bertahan lama karena aktivis-aktivis itu gagal mempertahankan tuntutan revolusionernya.
Jalan Menuju Revolusi
Nah, di sini, artinya tidak semua revolusi kemudian berhasil baik, dan tidak semua revolusi yang dilakukan di dalam sebuah situasi revolusioner penting. Kata Pak Lawson, ada dua hal lain lagi yang juga menentukan keberhasilan revolusi, yaitu upaya-upaya sistematis dan berkelanjutan dari para aktivis untuk mendorong dan mempertahankan revolusi mereka.
Di Bab 5, Pak Lawson mencontohkan revolusi yang terjadi di Kuba, ketika Fidel Castro tampil di puncak kepemimpinan setelah mengalahkan diktator Fulgencio Batista, dan penghentian Apartheid (diskriminasi berdasarkan warna kulit) di Afrika Selatan. Menurut Pak Lawson, kasus Kuba menjadi contoh bagus dari sebuah revolusi yang terjadi melalui perjuangan tanpa kompromi dengan ditopang oleh perjuangan bersenjata. Di contoh lain, penghentian Apartheid terjadi karena perjuangan panjang dan kepemimpinan Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) pimpinan Nelson Mandela.
Kasus Kuba dan Afrika Selatan, kendati dilaksanakan dengan cara berbeda, menunjukkan satu hal penting dalam proses revolusi: bahwa revolusi itu perlu nafas panjang, harus menghadapi benturan yang keras, namun jika berhasil dipertahankan akan punya dampak besar.
Pelajarannya: revolusi perlu dipertahankan melalui sebuah jalan dan perlintasan yang panjang dan berliku, yang membutuhkan kekuatan dan kemampuan mobilisasi dari para aktivis revolusioner juga. Jadi, situasi revolusioner tidak cukup karena ia cuma mengantarkan revolusi. Tetap saja yang melaksanakannya adalah para aktivis yang menginginkan perubahan.
Capaian dan Keberlanjutan Revolusi
Selain itu, revolusi juga bergantung pada sejauh mana aktivis-aktivis yang terlibat dalam revolusi berhasil mempertahankan capaian hasil revolusi yang mereka bangun. Menurut Pak Lawson, salah satu hal penting yang menentukan keberhasilan revolusi adalah jika ada bangunan kelembagaan yang berhasil dibangun jika kekuasaan berhasil direbut. Contoh yang diberikan di Bab 6 adalah Iran, ketika Ayatullah Khomeini berhasil membangun sebuah fondasi lembaga politik yang benar-benar baru, dan dengan demikian berhasil membuat revolusi dipertahankan.
Namun, sebagaimana dicontohkan oleh Pak Lawson melalui kasus Ukraina di tahun 2013-2014, banyak pula peristiwa revolusi yang gagal karena lembaga yang dibangun tidak kuat dan tidak bertahan lama.
Kita bisa melihat kalau revolusi yang terjadi di dalam negeri dipengaruhi oleh perubahan dan krisis dalam politik internasional. Perubahan dalam sistem internasional tersebut akan membuka kemungkinan perubahan revolusioner yang lebih luas, dan memungkinkan terciptanya tatanan internasional yang baru. Hanya saja, perlu telaah mendalam untuk melihat sejauh mana revolusi itu berhasil dan gagal dalam satu situasi internasional yang sama.
Menurut Pak Lawson, keberhasilan dan kegagalan revolusi akan ditentukan oleh kemampuan gerakan-gerakan revolusioner dalam memobilisasi diri dan secara simultan mempertahankan tuntutan revolusinya. Tentu ini tidak gampang. Seringkali (seperti terjadi di Timur Tengah) revolusi kerap terserimpung oleh penumpang gelap dan kekuatan lama yang tidak rela dipreteli kekuasaannya. Hal ini yang akhirnya membuat situasi tidak stabil, dan mengantarkan Mesir (misalnya) kembali jadi negara otoriter setelah kudeta Jenderal Sisi tahun 2013.
Dampak bagi Studi Hubungan Internasional
Di titik ini, buku Mengurai Revolusi memperlihatkan bahwa revolusi bukan hanya terjadi di satu negara semata, tetapi juga jadi fenomena global yang penting dikaji oleh sarjana-sarjana Hubungan Internasional. Revolusi adalah faktor penting dalam tatanan politik internasional modern, dan perubahan politik yang berlangsung di satu negara akan sangat tergantung dari konteks internasionalnya.
Bagi sarjana Hubungan Internasional, memahami revolusi artinya melihat bagaimana aspek-aspek internasional memberikan dampak pada revolusi di satu negara. Juga melihat bagaimana dan mengapa revolusi itu gagal, dan bagaimana kemudian revolusi itu menjalar ke negara lain. Hal yang begini sering kita jumpai dalam peristiwa politik internasional hari ini, dan menarik buat ditelaah lebih jauh.
Nah, inilah kelebihan buku ini. Mengurai Revolusi memberikan kita cara pandang sosiologis dan historis untuk memahami revolusi dalam politik internasional. Contoh-contoh kasus yang disajikan oleh Pak Lawson juga cukup menarik. Beliau mencontohkan revolusi parlementer di Inggris pada abad ke-17 hingga Musim Semi Arab di abad ke-21. Artinya, revolusi ini sebetulnya sebuah proses sejarah yang telah berlangsung sejak lama, yang sejarahnya bisa kita tarik hingga abad ke-17. Menurut Pak Lawson, revolusi adalah tanda dunia memasuki masa modern, di mana tatanan dunia ditentukan oleh negara-negara bangsa dan elit-elit yang berkuasa di dalamnya.
Meskipun contoh kasusnya bagus-bagus, buku ini juga punya kelemahan. Ada banyak kasus revolusioner yang tidak banyak terulas di buku Pak Lawson, semisal revolusi anti-kolonialisme setelah Perang Dunia II. Di sisi lain, sebagaimana pernah didiskusikan di satu bedah buku beliau, kita juga bisa bertanya di mana dan sejauh mana perempuan terlibat dalam revolusi. Atau, faktor ekonomi-politik yang bagaimana yang memungkinkan terjadinya revolusi. Hal-hal ini, jika bisa ditelaah lagi lebih jauh, akan memberikan catatan yang lebih kritis tentang makna revolusi dalam politik internasional hari ini.
Ahmad Rizky M. Umar adalah Mahasiswa Doktoral bidang Ilmu Hubungan Internasional di University of Queensland, Australia.