Menakar ‘Heboh LGBT’ dalam Peta Politik Seksualitas di Indonesia
Wijaya, Hendri Yulius. 2020. Intimate Assemblages: The Politics of Queer Identities and Sexualities in Indonesia (Perumpunan Intim: Politik Identitas dan Seksualitas Queer di Indonesia). Penerbit: Palgrave Macmillan.
Intimate Assemblages ditulis dalam kurun waktu 2016-2019 sebagai tanggapan terhadap kepanikan moral terkait LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia. Sungguh di luar dugaan awal saya bila terminologi LGBT, beserta makna negatif yang dilekatkan padanya, mendadak sukses menebar sentimen kebencian dan upaya kriminalisasi homoseksualitas sejak pertengahan tahun 2015. Legalisasi pernikahan sejenis di Amerika Serikat, diikuti dengan tajuk utama koran Republika ‘LGBT Ancaman Serius’, mendorong pemerintah, figur publik, media massa, dan kelompok relijius konservatif untuk mempersetankan LGBT secara terang-terangan di ruang publik. Ironisnya, ketika akronim LGBT semakin populer digunakan dalam percakapan sehari-hari (tanpa banyak orang tahu apa kepanjangannya), secara bersamaan ia dirajam konotasi negatif yang diciptakan oleh wacana publik. LGBT menyerupai momok yang piawai menjelma menjadi apa saja—penyebar virus HIV, predator seksual, pedofil, bahkan penyebab bencana alam.
Apakah yang melatarbelakangi ‘heboh LGBT’ ini? Mengapa publik tiba-tiba menaruh perhatian yang tak terbendung pada homoseksualitas? Apakah ini semua disebabkan oleh kelompok konservatif yang sengaja memanfaatkan kepopuleran LGBT dan pernikahan sejenis di belahan dunia Barat untuk meraup dukungan publik? Berbagai pertanyaan inilah yang kemudian menjadi bahan bakar bagi saya untuk menengok kembali sejarah dan lanskap politik Indonesia yang ternyata tak pernah berada dalam isolasi. Sederhananya, interaksi antara aktor dan wacana domestik dengan internasional adalah bagian dari keseharian lanskap sosial-budaya Indonesia. Sebagai konsekuensinya,wacana gender dan seksualitas Indonesia harus juga diteropong melalui perkembangan wacana global, terutama bagaimana wacana global ini mempengaruhi aktor lokal-baik yang pro dan kontra terhadap LGBT— dalam memahami identitas gender, seksualitas, kebangsaan, juga bagaimana seharusnya konsep LGBT diterima dan dipahami dalam konteks budaya Indonesia. Berangkat dari pemahaman inilah, maka saya menjadikan aktivisme dan politik identitas queer Indonesia sebagai ranah analisis buku ini.
Buku ini dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama “Aktivisme Queer dan Rezim Orde Baru” (1982-1998) mendedah tentang bagaimana aktivisme gay muncul di Indonesia, serta bagaimana identitas gay (dan juga lesbian) diperkenalkan oleh aktivis sebagai bagian dari kekayaan sejarah Indonesia, bukan sesuatu yang asing. Pada masa pemerintahan Suharto (1966-1998), Indonesia berada dalam tampuk kekuasaan yang otoriter, di mana negara merepresi kelompok Islam militan dan menjadikan keluarga batih heteroseksual sebagai fondasi ideologi negara. Dengan kata lain, perempuan dilekatkan dengan peran domestik sebagai ‘ibu’ dan ‘istri’, sedangkan lelaki sebagai ‘ayah, suami, dan pencari nafkah.’ Ketika keluarga batih dijadikan sebagai nilai ideal, maka pernikahan heteroseksual menjadi penanda seseorang menjadi warga negara Indonesia yang normatif. Tak heran bila meskipun istilah ‘gay’ dan ‘lesbian’ sudah digunakan oleh banyak kaum homoseksual Indonesia sejak akhir tahun 1970-an, banyak gay yang tetap menikah secara heteroseksual untuk meraih penerimaan sosial dan menjadi warga Indonesia yang ideal. Oleh karena itu, organisasi gay pertama, Lambda Indonesia (LI), yang berdiri pada tahun 1982 berfokus untuk membangun kepercayaan diri gay Indonesia untuk menjadi ‘gay’ seutuhnya (bukan menyamar sebagai heteroseksual), membangun komunitas gay Indonesia yang solid, dan memberikan informasi yang positif bagi publik tentang homoseksualitas.
Melalui penerbitan zine (semacam newsletter), misalnya, LI menerjemahkan artikel-artikel ilmiah dari Barat untuk mengubah pandangan negatif terhadap homoseksualitas. Menariknya, pada saat bersamaan, aktivis gay juga mulai melokalisir kategori gay dan lesbian agar tidak lagi dianggap sebagai produk Barat. Upaya ini dilakukan dengan cara mengawinkan identitas gay dengan praktik budaya lokal yang bernuansa homoerotik (seperti tradisi warok di Jawa Timur dan tradisi bissu di Makassar), sehingga menjadikan homoseksualitas bukan sesuatu yang melanggar budaya nusantara. Hal menarik yang bisa dicatat dari strategi budaya ini adalah bagaimana aktivis kemudian mengaitkan sikap negatif terhadap homoseksualitas sebagai dampak dari modernitas, kolonialisme, dan monoteisme. Aktivis kemudian membayangkan sejarah Indonesia yang ‘queer’—sebelum bersentuhan dengan modernitas, Indonesia dipersepsikan sebagai ‘queer-friendly’ yang mendorong aktivis untuk melihat bahwa queer itu sendiri bagian dari kesejarahan Indonesia yang selama ini sengaja dihapus.
Dalam perkembangan wacana hak asasi manusia internasional, isu LGBT mulai mencuat sejak tahun 1990an hingga saat ini. Bermula dari wacana HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi sebagai bagian narasi pembangunan internasional, gender dan seksualitas mulai jadi perhatian negara-negara donor. Program-program bantuan asing ditujukan untuk mengentaskan HIV/AIDS di kalangan yang dianggap paling berisiko, seperti gay, waria, dan pekerja seks. Dengan adanya bantuan dana ini, tak heran bila pada periode 1990-an organisasi gay dan waria yang bekerja untuk kesehatan bertumbuh dengan pesat, terutama di kota-kota besar. Wacana pencegahan HIV/AIDS memberikan nafas dan pendekatan baru bagi aktivis untuk membantu penerimaan diri kaum gay dan waria. Bagi para aktivis, pengentasan HIV/AIDS akan efektif bila dibarengi dengan membongkar ketabuan seksualitas, berbicara tentang seks secara terbuka, dan menghapus stigma terhadap homoseksualitas. Seorang gay yang tak memandang dirinya rendah dipercayai akan turut peduli dan menjaga kesehatan. Konsekuensi kehadiran dari wacana HIV/AIDS ini adalah keberagaman praktik seksual, beserta label-labelnya, seperti Lelaki Seks Lelaki (LSL) dan biseksualitas, mulai menjadi bagian narasi arus utama dalam aktivisme queer.
Bagian kedua, “Aktivisme Queer dan Rezim Demokrasi” (1998-2015), memaparkan bagaimana demokratisasi malah secara ironis mengerdilkan aktivisme queer. Bila pada masa Orde Baru kelompok Islam militan ditekan oleh negara, masa demokrasi dengan segala ‘keterbukaannya’ memberikan peluang bagi mereka untuk muncul kembali di ruang publik. Isu seksualitas dan moral menjadi senjata utama bagi mereka untuk menebar kepanikan moral dan menciptakan persona seolah-olah mereka adalah pelindung moral negara. Kegiatan-kegiatan aktivisme gay dan lesbian, seperti Q! Film Festival, dibubarkan secara paksa oleh preman-preman berjubah agama atau Front Pembela Islam (FPI). Namun, ceritanya tak berhenti di sini. Pada kurun waktu yang tak beda jauh, wacana hak asasi LGBT menjelma jadi perhatian dunia internasional. Piranti hukum internasional, seperti The Yogyakarta Principles (2006), lahir untuk mendorong pemenuhan hak-hak asasi berbasis keberagaman gender dan seksualitas oleh negara. Tak hanya isu gender dan seksualitas kawin dengan wacana hak asasi manusia, tetapi juga istilah LGBT menjadi leksikon yang digunakan oleh aktivis Indonesia. Saya memperkenalkan istilah homofobia dari bawah (homophobia from below) untuk menggambarkan bagaimana kebencian dan aksi melawan LGBT muncul dari kelompok masyarakat sipil konservatif (seperti FPI) yang kemudian membuat isu LGBT jadi perhatian publik dan memicu upaya kriminalisasi yang dimotori oleh aparatur negara dan/atau kelompok masyarakat sipil juga. Dalam menghadapi ini, aktivis LGBT mulai memanfaatkan perangkat hak asasi internasional dan nasional (seperti UUD 1945) untuk meminta negara mengakui LGBT sebagai warganya dan menghentikan kekerasan. Melalui narasi ‘luka’ (injury), aktivis LGBT mengumpulkan data-data dan kasus kekerasan untuk melegitimasi ‘luka’ yang dialami akibat negara abai dan lalai.
Bagian ketiga, “Aktivisme Queer and Merebaknya Kepanikan Anti-LGBT” (2016 hingga saat ini) didahului oleh sebuah bab yang menakar bagaimana sentimen anti-LGBT ini menguasai ranah publik pada tahun 2015-2016. Saya berfokus pada beragam narasi yang diciptakan oleh kelompok konservatif, mulai dari LGBT sebagai penyakit menular, bisa disembuhkan melalui ibadah dan menekan nafsu, bahkan sebagai bentuk penyimpangan perempuan yang dipicu oleh perceraian. Bab selanjutnya melihat bagaimana kelompok LGBT mulai mengggunakan narasi baru yang disebut SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity, and Gender Expression/ Orientasi Seksual, Identitas Gender, dan Ekspresi Gender) yang populer secara global saat ini untuk megganti kata LGBT yang sudah jadi momok mengerikan. Aktivis menciptakan istilah seperti Minoritas SOGIE dan menjadikan wacana SOGIE sebagai ‘pengetahuan’ legit untuk mendorong masyarakat mengakui keberagaman gender dan seksualitas.
Melalui perjalanan politik queer, buku ini berharap dapat memberikan agensi dan suara bagi aktivis queer Indonesia, dan mendedahkan bagaimana pemahaman tentang seksualitas bukan melulu perkara biologis, melainkan juga politik dan budaya yang melintasi batas kenegaraan. Akhir kata, buku ini bukanlah akhir, namun sebuah undangan bagi penulis dan peneliti lain untuk menuliskan riwayat Queer Indonesia yang terlupakan oleh sentimen kebencian.