Islam dan Liberalisme: Pandangan Sarjana Kristen Palestina Joseph Massad
Massad, Joseph. 2016. Islam in Liberalism (Islam dalam Liberalisme). Penerbit Universitas Chicago.
Tulisan ini pernah dimuat oleh Ibtimes.id
Dalam studi Islam kontemporer, ada tiga nama yang memiliki kontribusi besar dan sangat penting untuk diketahui oleh para pengkaji dalam disiplin ini. Nama tersebut adalah: Edward Said, Wael B Hallaq, and Joseph A Massad.
Ketiga sarjana ini memiliki banyak kesamaan: sama-sama berasal dari tradisi Kristen, berasal dari etnis Arab Palestina, dan yang paling penting mereka sama-sama kritis terhadap kesarjanaan Barat yang mendiskreditkan Islam. Untuk poin terakhir, barangkali tidaklah berlebihan kalau tiga orang tokoh ini disebut sebagai the defenders of Islam (para pembela Islam).
Dari tiga tokoh tersebut, Edward Said adalah nama yang paling dikenal. Pengaruhnya sangat luas, melampaui bidang Islamic studies. Ia dianggap sebagai pencetus kajian pos-kolonialisme dan menjadi rujukan bagi para penulis yang menggunakan paradigma ini. Ketika orang menyebut kritik terhadap epistemologi pengetahuan Barat, nama Said pasti tidak bisa ditinggalkan.
Nama kedua, Wael B Hallaq, dikenal secara lebih khusus oleh para peneliti bidang hukum Islam. Fokus tulisannya adalah membantah tesis-tesis orientalis terkait dengan status, asal-usul, dan perkembangan hukum Islam. Belakangan minat riset Hallaq meluas: mencakup bidang politik Islam dan teoretisasi kajian akademik Barat tentang Islam (orientalisme).
Nama ketiga, Joseph Massad, tampaknya relatif masih baru dan belum banyak dikenal, khususnya oleh publik di tanah air. Massad adalah profesor bidang sejarah intelektual di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Di kampus ini, ia bergabung dengan ‘geng’ intelektual pos-kolonial lainnya: Gayatri Spivak, Wael B Hallaq, dan mentornya sendiri almarhum Edward Said.
Massad adalah seorang Saidian (pengikut Edward Said) sejati. Hal tersebut tampak jelas dari beberapa karya yang ia tulis. Bukunya yang berjudul Desiring Arabs (2006) yang melambungkan namanya, bisa disebut sebagai buku yang menerapkan kerangka berfikir kritis Said dalam Orientalism. Buku ini mengupas tentang bagaimana dunia Barat pada abad kesembilan belas dan dua puluh merepresentasikan persoalan seksualitas dunia Arab.
Buku Massad lain yang sangat berpengaruh adalah Islam in Liberalism (2015) yang akan dikupas dalam tulisan ini. Buku yang diterbitkan oleh University of Chicago ini banyak mendapatkan pujian dari tokoh pos-kolonialis lainnya, diantaranya adalah Talal Asad yang juga banyak mempengaruhi Massad. Menurut Asad, buku ini dapat disejajarkan dengan karya-karya kritis Edward Said. Bahkan dari segi data, buku ini menurutnya jauh lebih kaya.
Tesis Besar Massad
Secara umum, ada tiga tesis besar yang diajukan oleh Massad dalam bukunya ini. Pertama, Massad menolak kecenderungan sebagian intelektual Barat pengkaji Islam, di antaranya adalah Leonard Binder dan Charles Kurzman yang mengapresiasi kecendrungan liberal dari sebagian tokoh-tokoh muslim. Tiga sarjana ini melihat bahwa Islam liberal (dalam pengertian Islam yang mengadopsi atau sejalan dengan nilai-nilai liberal Barat) adalah Islam yang paling layak untuk dipromosikan.
Bertolak belakang dengan hal tersebut, bagi Massad, liberalisme adalah murni produk Barat yang tidak layak dijadikan kerangka teoretik untuk melihat Islam. Liberalisme bukanlah produk pemikiran yang lahir secara organik dari kebudayaan Islam. Singkatnya, menurut Massad, Islam bertentangan dengan nilai-nilai liberalisme.
Kedua, betapapun liberalisme adalah barang asing dalam kebudayaan Islam, Massad meyakini bahwa dalam proses terbentuknya identitas Barat yang liberal, terdapat ‘peran’ sentral Islam di dalamnya. Peran tersebut bukan dalam bentuk injeksi nilai-nilai moral filosofis ke dalamnya, tetapi dalam proses self-identification.
Sejak awal periode modern sampai saat ini, pada saat Barat mengkonstruksi dirinya sebagai peradaban liberal, Barat selalu membuat bayangan imajiner yang mereka anggap sebagai anti tesis dari konstruksi liberal yang ideal. Bayangan imajiner yang mereka hindari tersebut menurut Massad tidak lain adalah Islam. Jadi, Islam diciptakan sebagai the other (yang lain), untuk kemudian diingkari dan ditolak kembali.
Dengan kata lain, bagi Massad, peran Islam dalam lahirnya liberalisme Barat adalah sebagai anti tesis dan lawan dari ideologi ini. Konsepsi Barat terhadap Islam adalah kebalikan dari apa yang ingin dibangun oleh Barat tentang dirinya sendiri. Massad menyebut contoh, pada saat Barat mengidenfikasi diri sebagai sekular dan demokratik, mereka membayangkan Islam sebagai teokratik dan despotik.
Ketiga, Massad mengingatkan bahwa liberalisme Barat bukan hanya sekedar pemikiran dan ideologi, tetapi juga proyek penjajahan. Menurutnya, liberalisme sesungguhnya sudah menyatu bahkan menjadi pelayan bagi kepentingan imperial Barat.
Barat menurut Massad bukan hanya terobsesi untuk mempromosikan nilai-nilai liberal yang mereka anut, tetapi juga menganggap bahwa nilai itulah yang paling unggul di atas sistem nilai lainnya. Di balik promosi nilai tersebut, ada keinginan terselip untuk menjajah. Barat ingin menciptakan tatanan dunia yang sesuai dengan liberalisme.
Siapapun yang menolak dan bertentangan dengan nilai liberalisme Barat, akan mendapatkan stereotype (cap negatif) sebagai irasional, patologikal, intoleran, psikopat, misoginis, neoretik, dan totalitarian. Massad mengingatkan muslim bahwa “penanaman nilai-nilai Barat harus dilawan melalui gerakan anti imperalisme”.
Buku Massad Islam in Liberalism menjelaskan sejumlah manifestasi pandangan dan proyek imperalistik untuk menyembuhkan Islam (to cure Islam), yaitu dalam bidang demokratisasi, isu gender dan seksualitas, isu Palestina dan semitisme, dan isu psikoanalisis. Tulisan ini akan mengupas yang pertama saja.
Islam dan Demokrasi
Massad mengamati bahwa para intelektual pengusung universalisasi liberalisme, memiliki kecendrungan untuk melihat topik demokrasi dari perspektif teori budaya (cultural theory). Sebagai implikasi dari penerapan teori ini dalam melihat ketiadaan demokrasi di mayoritas negara muslim, adalah munculnya tesis bahwa Islam secara kultural tidak sejalan dengan demokrasi. Sebaliknya, karena demokrasi berhasil dengan baik di negara mayoritas Kristen, demokrasi dianggap sebagai warisan dan pencapaian ajaran Kristen, khususnya Protestan.
Para intelektual di Barat, khususnya ilmuwan politik di Amerika, kata Massad, sering kali membangga-banggakan Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi. Mereka membuat klaim bahwa sekalipun Amerika adalah negara yang usianya sangat muda, tetapi demokrasinya paling tua. Menurut Massad, ini klaim yang sangat narsisistik. Secara implisit maksud dari klaim ini adalah untuk menunjukkan adanya suatu nilai relijius, khususnya Protestan, dan unsur etnosentris whiteness (kulit putih) di balik keberhasilan demokrasi di Amerika.
Kecendrungan untuk melihat Kristen secara inheren demokratis, dan Islam totalitarian, menurut Massad sebenarrnya sudah ada sejak awal periode modern. Montesquieu (wafat 1755), salah seorang pemikir zaman pencerahan, misalnya menggunakan istilah “oriental despotism” (kezaliman orang Timur) untuk menunjukkan kediktatoran penguasa muslim dalam sejarah Islam.
Kecendrungan demikian kemudian diteruskan oleh pemikir Barat dari generasi selanjutnya. Max Weber (1920), sosiolog yang menekuni topik modernitas, misalnya mengasosiasikan rasionalisasi, sains, dan nalar kepada Kristen. Kata Massad, Weber bahkan menjadi model sarjana yang selalu menempatkan Barat Eropa sebagai superior dan bangsa Timur sebagai inferior.
Samuel Huntington (wafat 2008), yang sangat terpengaruh oleh paradigma Weber tentang agama dan pembangunan, juga mengajukan tesis serupa. Menurut Huntington demokrasi akan prosper (berhasil dengan baik) jika kebudayaan yang mendasarinya adalah Kristen. Islam sebaliknya sulit menjadi demokratis karena watak birokrasinya yang sentralistik, di samping faktor kultural (ajaran dan doktrin agama) yang secara inheren tidak kompatibel dengan sistem demokrasi.
Huntington kembali mengamplifikasi warisan orientalis periode sebelumnya dengan menyebut bahwa sultanisme (sistem tata negara periode Islam klasik) adalah sistem yang despotik. Bahkan menurutnya sistem kesultanan lebih dekat kepada komunisme daripada demokrasi karena menerapkan doktrin totalitarian.
Massad menolak keras tesis tentang oriental despotism ini. Ia mengutip koleganya, Wael B Hallaq, untuk meruntuhkan tesis prejudis tersebut. Istilah despotik dan tirani yang digunakan oleh para sarjana barat, menurut Hallaq dan Massad, sebenarnya adalah proyeksi sistem monarki Barat pada abad pertengahan atau abad pra reformasi gereja dan revolusi Perancis. Jadi, istilah itu digunakan untuk men-stereotype orang lain, tetapi sebenarnya menggambarkan pengalaman dan kapasitas diri sendiri.
Dalam sistem politik Eropa pra reformasi, para raja memiliki kekuasaan yang absolut. Mereka memiliki peran eksekutif dan legislatif sekaligus. Sebaliknya, dalam sejarah Islam, para sultan dan khalifah memiliki otoritas yang sangat terbatas. Mereka tidak memiliki peran legislasi. Peran membuat regulasi dipegang oleh para juris (fukaha) yang mengatur civil affairs (urusan sipil) atau urusan keseharian masyarakat.
Para khalifah hanya mengatur urusan penarikan pajak, menentukan para hakim, dan keamanan teritori. Wewenang mereka juga dibatasi oleh hukum yang ditentukan oleh para ulama, bukan oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, mereka juga tidak bisa melakukan penetrasi kepada masyarakat. Mereka tidak memiliki sistem dan aparatus birokrasi modern seperti zaman sekarang.
Menurut Massad, dengan mengutip Hallaq, jika pun ada praktek despotisme dalam sejarah Islam, kadarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan despotisme dalam sejarah politik di Eropa.
Massad melanjutkan, kecendrungan mendiskreditkan Islam sebagai agama yang secara inheren tidak sesuai dengan demokrasi juga dapat ditemukan pada pemikiran seorang filosof Aljazair-Perancis kontemporer, Jacques Derrida (wafat 2004). Dalam esainya terkait nalar (reason), ia menyebut bahwa Islam adalah satu-satunya agama atau nilai teokratik yang memberikan inspirasi dan bahkan mendeklarasikan penolakan terhadap demokrasi.
Terkait dengan ini, menurut Derrida, peradaban Judeo-Kristen Barat memiliki tanggungjawab dan misi untuk memberadabkan orang-orang Islam. Barat perlu berjuang sekuat tenaga untuk melawan kelompok yang menolak sekulerisasi politik dan mendukung tafsiran al-Quran para sarjana muslim yang menerima demokrasi.
Massad kemudian melanjutkan, kecendrungan untuk melihat agama sebagai faktor penentu ini, sayang sekali tidak digunakan secara konsisten. Ia menyebut bahwa tidak ada seorang intelektual Barat pun yang menggunakan argumen kultural untuk menjelaskan sistem perbudakan terhadap ras kulit hitam dan genosida terhadap suku asli Indian di sejarah Amerika. Tidak ada yang menganggap itu adalah produk teologi Kristen, sekalipun pelakunya adalah orang-orang Kristen.
Teori budaya juga absen dari penjelasan mengenai fenomena diskriminasi terhadap kelompok minoritas Mormon dan diskriminasi terhadap perempuan di Amerika. Sehingga, menurut Massad, apa yang kemudian muncul adalah fenomena muslim exceptionalism yang ironis dan hipokrit, di mana faktor budaya dan agama hanya bisa diterapkan untuk membaca masyarakat muslim.
Misi Liberalisasi
Massad mempercayai bahwa ideologi liberalisme, sejak awal ia lahir, dirancang untuk diproyeksikan ke luar masyarakat Barat. Mengutip pandangan Talal Asad dalam Europe against Islam, Massad juga meyakini bahwa misi Barat adalah membuat tradisi Islam sesuai dengan gambaran Kristen Protestan yang liberal. Dengan kata lain, misi Barat adalah mentransformasikan Islam agar menjadi agama yang seperti Protestan (“to transform Islam into a Protestant-like religion”).
Massad menyebutkan beberapa contoh fenomena. Diantaranya adalah fakta di mana pada awal abad dua puluh sarjana Islamisis Barat mendorong dilakukannya reformasi teologi Islam agar sesuai dengan proyek modernitas Barat.
Massad misalnya menyebut pandangan Ignaz Goldziher, seorang orientalis ternama dari Hongaria, yang menulis bahwa para teolog dan sarjana muslim harus meniru kesarjanaan barat dalam studi agama dan menggantikan model kesarjanaan apologetik yang selama ini digunakan. Strategi lainnya dalam meliberalkan Islam adalah dorongan para orientalis kepada teknokrat dan sarjana muslim di awal periode lahirnya negara bangsa untuk melakukan kodifikasi hukum dan menciptakan sistem hukum adat.
Pada periode kontemporer, misi liberalisasi ini, menurut Massad, dilakukan dengan cara mengkampanyekan paham Islam liberal. Liberalisme dianggap nilai rasional dan universal yang juga dapat ditemukan justifikasi teologisnya dalam Islam. Liberalisme yang islami dianggap dekat dan comparable (dapat disamakan) dengan liberalisme barat.
Dalam tataran praktis, misi ini diimplementasikan melalui beberapa kebijakan strategis. Massad mengutip tulisan almarhumah Saba Mahmood, antropolog dari Universitas California di Berkeley yang menekuni topik sekulerisme, yang mengkritik proyek liberalisasi dunia Islam. Mahmood dalam tulisannya berjudul Secular, Hermeneutics, and Empire, menyebut tentang laporan yang disusun tahun 2003 oleh the National Security Research Division dari lembaga bernama the RAND Corporation. Lembaga ini adalah lembaga think tank yang sangat menentukan arah politik luar negeri Amerika Serikat.
Dalam laporan yang berjudul Civil Democratic Islam ini disebutkan beberapa strategi untuk “membentuk dan mengubah Islam dari dalam (reshape and transform Islam from within)” agar sesuai dengan visi Barat. Dokumen ini juga menyebutkan sejumlah nilai-nilai yang perlu dijadikan parameter keliberalan dan komoderenan dunia Islam.
Nilai-nilai tersebut adalah: demokrasi dan hak asasi manusia, monogami, hukuman bagi tindak kriminal, perlakuan terhadap kelompok minoritas, dan pakaian wanita. Dokumen ini juga menjelaskan bahwa Barat, khususnya pemerintah Amerika Serikat, perlu mendukung dan beraliansi dengan kelompok yang mereka sebut sebagai muslim reformis yang berorientasi pada nilai-nilai liberal.
Menutup tulisannya tentang Islam dan demokrasi, Massad menyebut bahwa wacana Barat tentang demokrasi di dunia Islam sebenarnya tidak lain adalah kamuflase untuk melakukan penjajahan. Strategi penjajahan Barat dilakukan dengan terus memproduksi bentuk Islam tertentu, yaitu Islam liberal, yang dapat digunakan sebagai pelayan kebijakan-kebijakan kolonial.