Kolonialisme Sampah Israel dan Otoritas ‘Semu’ Palestina
Stamatopoulou-Robbins, Sophia. 2020. Waste Siege: The Life of Infrastructure in Palestine. Penerbit Universitas Stanford.
Sophia Stamatopoulou-Robbins melakukan kerja lapangan (fieldwork) di Palestina. Penelitian yang merupakan disertasinya di Columbia University itu diterbitkan pada tahun 2019 oleh Stanford University Press. Waste Siege yang jika diterjemahkan menjadi “Pengepungan Sampah” adalah judul buku dari etnografi Sophia, dibuka dengan memperkenalkan konsep “imajinasi lingkungan” (environmental imaginaries), khususnya imajinasi lingkungan Zionis, di mana wilayah jajahan seperti tanah Palestina digambarkan sebagai kosong, tidak layak huni, liar, dan tandus secara budaya (hlm. 11).
Kerangka pikir ini membangun citra koloni sebagai tanah tak berguna (colony-as-wasteland), yang melegitimasi perampasan tanah Palestina untuk pemukim Israel. Lebih jauh, tanah tak berguna itu kehilangan fakta sejarahnya, diabaikan dalam rutinitas opresif dan diisi oleh aktivitas serba tak tentu. Representasi semacam ini menghapus dan menyangkal keberadaan serta pengalaman hidup populasi terjajah, yang telah lama mendiami dan membentuk lanskap tersebut jauh sebelum kedatangan para pemukim Israel. Meskipun kolonialisme formal mungkin telah berakhir, visi kolonial semacam ini masih terus membentuk kenyataan masa kini.
Waste Siege menawarkan perspektif alternatif dan tidak konvensional tentang Palestina. Sementara media arus utama sering kali menyoroti kekerasan militer, klaim teritorial, dan ketegangan politik—yang kerap membingkai wilayah ini sebagai tanah suci yang dilanda konflik—Sophia Stamatopoulou-Robbins justru mengalihkan perhatian pada isu yang tampak sepele namun sangat politis: pengelolaan limbah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Palestina. Ia menyoroti bagaimana warga Palestina menghadapi beban sampah yang terus-menerus dan tidak merata, terutama pada periode pasca-Oslo, ketika persoalan sampah menjadi semakin serius. Pengepungan militer memiliki wajah baru yang lebih dramatis, mewujud dalam limbah yang perlahan mulai mengepung wilayah Palestina.
Stamatopoulou-Robbins mengungkapkan bagaimana ketimpangan lingkungan dialami baik oleh warga Palestina maupun oleh otoritas mereka. Sebagai contoh, ia menggambarkan situasi di al-Minya, sebuah tempat pembuangan sampah dekat Ramallah, di mana para pemukim Israel secara rutin membuang sampah mereka dengan pengawalan jip militer (hlm. 60). Selama Intifada Kedua, tempat pembuangan sampah milik kota di al-Bireh diblokir oleh militer Israel, memaksa warga al-Bireh dan kamp pengungsi al-‘Amari membuang sampah mereka ke Ramallah, yang pada akhirnya membuat kota tersebut kewalahan menangani volume sampah (hlm. 40). Di Jenin, yang terletak di Tepi Barat bagian utara, jip bersenjata dan tank menghalangi truk sampah milik pemerintah kota Palestina keluar dari kota, sehingga truk-truk tersebut terjebak di sana selama empat tahun (hlm. 12). Dalam hal ini, penduduk Palestina tidak diperbolehkan membuang sampahnya keluar wilayah, sedangkan masyarakat Israel bisa membuang sampahnya dengan mudah di wilayah Palestina.
Kondisi terjebak atau keterkungkungan inilah yang oleh Stamatopoulou-Robbins disebut sebagai “the closed system of siege” atau sistem pengepungan tertutup. Ia mendefinisikan “waste siege” sebagai “kebutuhan untuk terus berurusan dengan sesuatu yang tidak diinginkan atau dibuang dalam upaya untuk melepaskan diri darinya” (hlm. xi). Pada dasarnya, warga Palestina terjebak dalam siklus pengelolaan sampah yang dihasilkan baik secara lokal maupun dari permukiman-permukiman Israel di sekitarnya. Rasa keterjebakan yang sangat kuat secara fisik, politis, maupun infrastruktur, menjadi inti dari argumen utama buku ini.

Sophia Stamatopoulou-Robbins
Sementara itu, sejumlah barang buangan, terutama yang berasal dari Israel, diselamatkan dan dijual kembali di pasar rabish, yaitu pasar barang bekas yang sudah mapan. Dalam Bab 2, Stamatopoulou-Robbins mencatat bagaimana barang-barang di pasar Rabish—suatu pasar barang bekas yang ada di Jenin—telah menjadi objek hasrat yang kontroversial dan bahkan paradoksal bagi warga Palestina. Di satu sisi ada stigma buruk terhadap orang-orang yang menggunakan barang-barang dari rabish, Dana Mansour misalnya, seorang siswi SMA mengatakan: “Rabish adalah untuk, um, orang miskin,” menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak bermartabat tentang membeli barang-barang rabish (hlm. 79). Di sisi lain, pasar yang diisi 50 toko dan 30 bedak itu mencerminkan proses fetisisasi terhadap komoditas-komoditas Israel (kolonial). Seperti yang diungkapkan oleh salah satu narasumbernya, “Barang-barang Israel lebih bagus… kualitasnya tinggi” (hlm. 87).
Dalam konteks ini, seruan global untuk memboikot produk Israel menjadi semakin rumit bagi warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan, karena akses terhadap barang alternatif bisa jadi terbatas, bahkan mungkin sama sekali tidak ada.
Dalam Bab 3, Sophia Stamatopoulou-Robbins menyajikan studi kasus dari Shuqba, sebuah desa di dekat Ramallah, di mana akumulasi sampah mencapai tingkat yang kritis, mendorong warga setempat untuk mengirimkan surat keluhan resmi kepada Otoritas Palestina. Sampah yang dimaksud tidak hanya terdiri dari sampah rumah tangga, tetapi juga mencakup beragam limbah yang mengganggu kesehatan seperti limbah industri, medis, bangkai hewan, kotoran sanitasi, dan konstruksi. Yang menarik bagi Sophia adalah bentuk surat keluhan tersebut, yang ia lacak berasal dari tradisi Islam yang dikenal sebagai shakwa—keluhan atau petisi formal yang diajukan kepada otoritas resmi (hlm. 119).
Berdasarkan wawancara dengan para narasumbernya, Sophia memperkenalkan istilah shibih dawla, atau “negara semu” atau phantom state, untuk menggambarkan Otoritas Palestina. Istilah ini merujuk pada sebuah badan pemerintahan yang secara formal ada, tetapi tidak memiliki kapasitas atau kekuasaan nyata untuk menjalankan tanggung jawabnya. Gagasan ini merangkum kekecewaan warga yang, meskipun telah berupaya aktif untuk mencari solusi atau keadilan, justru dihadapkan pada absennya institusi dan stagnasi politik.
Sophia Stamatopoulou-Robbins memunculkan konsep phantom state (negara semu) ketika ia mengamati cara warga Palestina mengalami keberadaan Otoritas Palestina—sebagai institusi pemerintahan pusat tempat mereka bisa mengajukan keluhan formal, meskipun institusi ini sering gagal bertindak atau memang tidak mampu untuk bertindak. Konsep ini mencerminkan paradoks pemerintahan di bawah pendudukan: sementara Israel tetap menjadi kekuasaan yang sebenarnya—sebuah kekuasaan yang “harus diabaikan”—Otoritas Palestina, meskipun bukan badan yang berdaulat, tetap dipersepsikan memiliki bentuk legitimasi yang dianggap “cukup baik” atau “lebih baik daripada tidak ada”, meskipun kenyataannya ia gagal menjalankan fungsi pemerintahan secara penuh, baik menurut standarnya sendiri maupun menurut harapan masyarakat (hlm. 135).
Dalam Bab 4, Sophia Stamatopoulou-Robbins menyajikan kisah tentang roti yang tidak diinginkan (unwanted bread) sebagai lensa untuk mengeksplorasi sirkulasi dan infrastruktur di Palestina. Dalam bagian yang berjudul “Bread and the Ethical Self”, Stamatopoulou-Robbins mengeksplorasi status istimewa roti di kalangan komunitas Palestina. Roti tidak dipandang sekadar sebagai makanan biasa, melainkan sebagai sesuatu yang sakral dan memiliki makna moral yang mendalam. Dengan mengutip Al-Qur’an, ia menyoroti sebuah ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan” (hlm. 146), yang menekankan perintah etis dalam Islam untuk menghindari pemborosan. Dalam budaya Islam secara umum, segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan harus dihormati, dan keyakinan ini memperkuat kewajiban moral untuk tidak membuang roti secara sembarangan.
Akibatnya, membuang roti yang tidak diinginkan dianggap sebagai pilihan terakhir—sesuatu yang hanya dilakukan jika benar-benar tidak ada seorang pun yang bisa memakannya (hlm. 152). Bahkan dalam situasi seperti itu, tindakan membuang roti dilakukan dengan penuh kesadaran dan tata cara tersendiri. Alih-alih langsung dibuang ke tempat sampah, roti biasanya digantung di dalam kantong plastik di dinding atau diletakkan di pegangan tempat sampah, agar tetap terlihat dan bisa diambil oleh mereka yang membutuhkan. Dengan cara ini, roti yang tidak diinginkan berada dalam ruang liminal: ia bukan sepenuhnya sampah, tetapi juga bukan sepenuhnya hadiah—roti tersebut berada di antara menjadi limbah dan menjadi sedekah.
Kelebihan roti yang tidak diinginkan juga menjadi penanda dari keruntuhan infrastruktur yang lebih luas. Stamatopoulou-Robbins mencatat adanya pergeseran dalam mata pencaharian di berbagai komunitas Palestina: masyarakat tidak lagi bergantung sepenuhnya pada peternakan dan pertanian. Di Jenin, sebuah wilayah yang dulunya berakar pada praktik pertanian, rumah tangga biasa memisahkan sampah mereka ke dalam dua ember, satu untuk sampah organik basah (zibil), dan satu lagi untuk sampah kering. Sampah basah ini umumnya digunakan untuk memberi makan ternak atau diolah kembali sebagai pupuk. Sistem ini mencerminkan bentuk pengetahuan ekologis sehari-hari yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan pedesaan.
Namun, seiring semakin banyaknya orang yang bermigrasi ke wilayah perkotaan, pengetahuan ini mulai memudar. Misalnya, pemahaman intuitif tentang kapan dan bagaimana mendistribusikan makanan berlebih, seperti roti sisa, telah berkurang (hlm. 157). Meskipun praktik pertanian dan peternakan mengalami penurunan, roti yang tidak diinginkan tetap jarang dibuang tanpa tujuan. Jika tidak ada orang yang bisa mengambilnya, beberapa warga akan melemparkan roti tersebut ke luar jendela untuk memberi makan burung dan hewan liar (hlm. 152). Tindakan yang tampak sederhana ini mencerminkan hubungan etis yang terus terjaga antara manusia, makanan, dan sampah, bahkan di tengah kondisi sosial dan infrastruktur yang terus berubah.
Dalam Bab 5, Sophia Stamatopoulou-Robbins membahas dan sekaligus mengkritisi konsep “lingkungan bersama” (shared environment). Ia mengisahkan sebuah percakapan dengan seorang pegawai Israel dari FOEME (Friends of the Earth Middle East, kini dikenal sebagai EcoPeace), yang berkata, “Jika kita semua sadar bahwa kita minum dari mangkuk yang sama, mungkin kita bisa hidup bersama dalam damai” (hlm. 176). Mangkuk di sini bisa diartikan hidup di wilayah yang sama, di Tepi Barat. Meskipun pernyataan ini tampak kooperatif di permukaan, Sophia menyoroti ketimpangan struktural yang lebih dalam dan melemahkan narasi semacam itu.
Sebagai contoh, pemerintah Israel telah mencegah Otoritas Palestina untuk membangun jaringan pembuangan limbah dan fasilitas pengolahan air limbah mereka sendiri (hlm. 180). Akibatnya, warga Palestina kerap digambarkan sebagai pencemar lingkungan, bahkan diwajibkan membayar ganti rugi kepada Israel atas kerusakan lingkungan, dengan mengacu pada prinsip “polluters pay” atau “pencemar harus membayar” (hlm. 180). Antara tahun 1996 dan 2010, Israel menahan lebih dari 47,6 juta dolar AS dana milik Otoritas Palestina yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air limbah di Tepi Barat (hlm. 180), sedangkan pemerintah Israel dapat membangun infrastruktur pengelolaan limbah sendiri, bahkan terdapat lima pengelolaan limbah milik Israel dibangun di perbatasan Israel-Palestina. Hal ini sangat menguntungkan pihak Israel agar masyarakat Palestina selalu bergantung pada mereka dalam pengelolaan air limbah, selagi mereka juga harus membayar ganti rugi karena dianggap pencemar lingkungan.
Stamatopoulou-Robbins mengkritik bagaimana gagasan “lingkungan bersama” sering kali bertumpu pada depolitisasi infrastruktur. Ia menulis, “air dan limbah tidak mengenal batas negara” (hlm. 202), menandakan bahwa sistem ekologis melampaui batas-batas geopolitik. Namun, meskipun terdapat idealisme semacam itu, kerja sama lingkungan tetap timpang dan sangat politis. Masalah intinya, menurut Sophia, terletak pada ketidakselarasan imajinasi lingkungan: meskipun Israel dan Palestina berbagi lingkungan fisik yang sama, keduanya tidak berbagi kerangka politik, infrastruktur, ataupun etika yang sama dalam mengelolanya. Dengan demikian, konsep “lingkungan bersama” lebih berfungsi sebagai alat retoris daripada realitas yang benar-benar dijalani, Ia justru menyamarkan ketimpangan kekuasaan alih-alih menyelesaikannya.