Mungkinkah Merobohkan Institusi Perbatasan? Kekerasan Negara dalam Isu Migran
Cowan, Leah. 2021. Border Nation: A Story of Migration (Bangsa Perbatasan: Sebuah Kisah Migrasi). Penerbit Pluto.
Akhir Maret 2024, tiga jenazah ditemukan terapung di lepas pantai Aceh–dua perempuan dan satu laki-laki. Tak jauh dari sana, sebuah kapal terbalik dengan puluhan orang berdesak-desakan di atasnya. Perlahan tapi pasti, air laut menenggelamkan kapal. Mereka adalah pengungsi Rohingya yang lari dari persekusi pemerintahan militer Myanmar. Para pengungsi menyeberangi lautan berbahaya, berharap negara tujuan kelak mau menampung mereka, meskipun hanya sementara. Tim SAR mengestimasikan, 151 orang tadinya berada di kapal tersebut, dan hanya 75 di antaranya berhasil diselamatkan. Sementara itu sisanya menghilang, bahkan tewas karena tenggelam. UNHCR menyebut insiden tersebut sebagai kasus dengan jumlah kematian terbesar pengungsi Rohingya tahun ini; hampir seperlima dari total kematian pengungsi Rohingya sepanjang tahun lalu dalam perjalanan menuju Asia Tenggara.
Perbatasan adalah lokasi kekerasan. Dalam banyak kasus orang-orang terpaksa mengambil jalur perjalanan berbahaya yang berujung pada ketidakpastian, bahkan kematian. Hal inilah yang menjadi premis Leah Cowan dalam Border Nation: A Story of Migration. Menganalisis sejarah imperialisme Inggris, buku ini menggarisbawahi kekerasan di perbatasan Inggris sebagai rezim demi mengamankan properti, teritori, dan kekayaan bagi segelintir elit; juga tak bisa dilepaskan dari sistem kolonialisme dan kapitalisme. Serangkaian gambaran terkait kekerasan perbatasan tersebut mengarah pada kesimpulan berani: ‘robohkan perbatasan’. Bagi Cowan, melawan perbatasan tidak hanya berupa penolakan terhadap gagasan border secara fundamental, tetapi juga upaya reformasi perbatasan demi keselamatan migran. Sebuah pendekatan yang idealis tetapi juga realistis.
Memikirkan Ulang Perbatasan
Pencurian sumber daya alam dan perbudakan selama ratusan tahun melalui proyek imperialisme Eropa telah menginterupsi pertumbuhan ekonomi dan pergerakan manusia secara global. Imperialisme telah mendongkrak kekayaan negara-negara Global Utara, tetapi di sisi lain, menghancurkan sistem ekonomi dan menciptakan konflik sosial-politik berkepanjangan di Global Selatan. Fakta demikian merupakan kisah personal bagi Cowan, seorang cucu imigran ‘Windrush’ yang meninggalkan negara-terlilit utang, Jamaika, pasca Perang Dunia II. Tujuan ‘pelarian’ tersebut, yakni mencari penghidupan lebih baik di negara penjajah mereka, Inggris, di mana industrialisasi dikeruk dari eksploitasi Jamaika—negara asal mereka.
Namun, amnesia sejarah sepertinya sudah ditanamkan dalam diskursus publik dan sistem pendidikan Inggris. Kejayaan Inggris sebagai negara industri telah sepenuhnya disucikan dari sejarah gelap perbudakan transatlantik, sementara migran yang terdampak langsung akibat sejarah penjajahan tersebut justru diinterogasi atas identitas mereka sebagai ‘Inggris’, bahkan mempertanyakan kontribusi migran terhadap perekonomian. Migran—sebagai person of color dianggap tak berhak menikmati layanan publik Inggris sebagaimana komunitas kulit putih yang lahir dan besar di negara tersebut. Seolah-olah, merit orang kulit putih dalam sistem kapitalisme adalah satu-satunya yang kaya dan berada. Karena itu, migran dianggap harus membuktikan nilai mereka dalam sistem kapitalisme jika ingin diakui.
Perbatasan menjadi sebuah ide esensial untuk menghalau imigran. Cowan mendefinisikan perbatasan tidak hanya berupa poin kedatangan menuju suatu negara, tetapi juga praktik-praktik eksklusi. Isu migran dimanfaatkan, dan selanjutnya disetir sebagai ide populisme rasis dan xenophobik, menganggap bahwa migran merugikan negara. politisi berlomba-lomba menjadi yang paling keras berkoar dalam isu imigrasi demi memenangkan suara elektoral. Peran media juga krusial mengamplifikasi retorika rasis dari level elit ke publik. Bahkan, media turut menjustifikasi retorika mereka melalui implementasi kebijakan sesuai persepsi elektoral. Opini publik sebagai ‘kebenaran yang diterima’ digunakan untuk menyetir proses pengambilan keputusan elit-elit pemerintah yang berusaha untuk mengamankan posisi politik mereka. Misalnya, petinggi Partai Buruh Inggris, Ed Miliband, pada 2012 berupaya menarik suara elektoral dengan menyuarakan bahwa partai mereka sudah terlalu jauh dari kepentingan kelas pekerja; bahkan menggarisbawahi ‘beban biaya’ migrasi yang selama ini ditanggung pemerintah Inggris.
Dalam level pemerintahan Inggris sendiri, Undang-Undang Perbudakan Modern tahun 2015 disahkan dengan tujuan melindungi korban perbudakan dan perdagangan manusia. Ironisnya, kriminalisasi kerja-kerja tak terdokumentasi justru mendorong kelompok paling rentan—pengungsi, migran, maupun kelompok lain yang dianggap ‘ilegal’—dipekerjakan pada sektor ekonomi informal abusif. Sementara itu, pemenjaraan ‘tuan-tuan perbudakan’ sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan sistemik ketenagakerjaan. Legislasi hukum demikian lebih jauh membahayakan migran. Pasalnya, instrumen imigrasi seperti detensi dan deportasi dapat digunakan untuk menghukum tindak kriminal mereka.
Lantaran takut berhadapan langsung dengan sistem hukum dan pemerintahan yang tak berpihak pada mereka, migran beralih pada penyelundupan ilegal, eksploitasi tenaga kerja, serta rute-rute iregular yang berbahaya. Adapun, ancaman deportasi kini bertransformasi menjadi ‘panic button’ pemerintah saat migran melakukan tindakan kriminal. Alih-alih mengarahkan solusi secara sistemik ke akar permasalahan seperti ketidaksetaraan gender dalam kasus-kasus kekerasan seksual oleh kelompok pengungsi, narasi rasis justru menggambarkan person of color sebagai ‘biadab’. Tindakan kriminal segelintir migran tentu perlu diatasi, tetapi hal tersebut tidak menafikan hak hidup migran.
Dalam konteks pengungsi dan pencari suaka, perbatasan telah mendorong mereka ke dalam sistem-sistem penahanan atau detensi. Di Indonesia, Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) sesuai Peraturan Presiden 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri merupakan aktor utama penampungan pengungsi sementara sebelum mereka direlokasi ke negara ketiga, atau kembali ke negara asal. Fakta lapangan menunjukkan bahwa pengungsi menghadapi risiko detensi bertahun-tahun tanpa prospek relokasi yang jelas. Bahkan, mereka tidak mendapatkan hak hidup memadai seperti pendidikan, pekerjaan, dan akses kesehatan. Situasi demikian dikenal oleh pemerhati isu pengungsi sebagai ‘limbo’. Cowan yang menulis dalam konteks Inggris menemukan lebih jauh keterlibatan aktif sektor privat dalam hal ini. Hampir seluruh sistem detensi di negara tersebut dioperasikan oleh perusahaan keamanan swasta. Mereka berlomba-lomba mengamankan kontrak dengan menawarkan harga operasional semurah mungkin. Dengan demikian, sering kali tidak memperhatikan kualitas hidup layak bagi migran dan pengungsi di dalamnya.
Robohkan Perbatasan!
Cowan menolak konsep perbatasan. Baginya, gerakan bukan dimaksudkan untuk ‘menyelamatkan’ sekelompok manusia tak berdaya. Namun justru sebagai perjuangan kolektif demi menghapus sistem yang sedari awal tidak adil dan tak setara. Namun, meskipun telah menjabarkan beberapa cara seperti mengadakan protes, menegosiasikan titik-titik lemah perbatasan, serta memajukan ide dekolonisasi; Cowan secara implisit menjelaskan ide fundamental terkait pembongkaran perbatasan: abolisionisme.
Emily Kenway (2022), akademisi keadilan sosial di Universitas Edinburgh, merangkum abolisionisme sebagai perjuangan meruntuhkan institusi yang keberadaannya sudah sedemikian rupa natural, salah satunya perbatasan. Abolisionisme menentang perbatasan sebagai institusi, lantaran praktik-praktik kekerasan yang telah menubuh. Pun, abolisionisme tidak hanya mendorong perobohan batas-batas fisik (misal tembok, pagar kawat) dan instrumen legal yang menopangnya. Abolisionis mengidentifikasikan seperangkat ide untuk menjustifikasi kekerasan perbatasan. Perbatasan adalah indikasi dari masalah utama: Kekuasaan tak terbatas negara berdaulat untuk menggunakan kewarganegaraan untuk mendiskriminasi sebagian kelompok manusia. Maka, dibutuhkan transformasi cara berpikir yang mengkotak-kotakkan manusia dengan melihat negara-bangsa sebagai satu-satunya solusi keamanan.
Dalam Are Prison Obsolete?, pemikir abolisionis termasyhur, Angela Davis berfokus pada institusi penjara yang ia sebut ‘natural’ sehingga ‘sulit mengimajinasikan kehidupan tanpanya’. Inilah tantangan terbesar abolisionisme. Sekalipun penuh dengan sejarah berdarah, banyak institusi telah lama ada. Mereka membatasi imajinasi akan sistem sosial yang lebih adil. Penghapusan perbudakan pun juga merupakan hasil bagaimana abolisionisme menentang sistem. Pada saat itu, perbudakan diizinkan secara hukum, bahkan dianggap menguntungkan perekonomian negara-negara kulit putih.
Kenway menulis bahwa abolisionis mengajak kita memandang manusia tanpa label biner: Warga negara vs. migran, masyarakat vs. kriminal, dan lain-lain. Justru, sebagai manusia secara kompleks, termasuk migran dengan kebutuhan sosial yang terhalang untuk dipenuhi. Insiden kaburnya pengungsi dari kamp penampungan, misalnya, perlu dilihat melampaui pemikiran bahwa mereka melanggar peraturan dan membahayakan keamanan negara. Kita perlu mengakui bahwa kebutuhan hidup fundamental mereka tak terpenuhi secara utuh. Beberapa di antaranya, hak makan dan tempat tinggal layak, dan akses terhadap sistem kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian, solusi sosial yang menyasar akar permasalahan penting dikedepankan ketimbang mekanisme kriminalisasi dan penahanan.
Cowan mengadvokasikan relaksasi perbatasan sebagai upaya reformis menuju penghapusan perbatasan seutuhnya. Dia mengutip akademisi Natasha King (2016) terkait ‘tensi fundamental’; terkadang kita perlu memperjuangkan perubahan-perubahan kecil dengan masih memvalidasi institusi demi keamanan kelompok rentan. Namun, perubahan tersebut dimaksudkan untuk visi abolisionis di masa depan. Misalnya, advokasi perizinan bagi migran tak terdokumentasi untuk mengakses layanan publik dalam jangka waktu tertentu, sembari mengizinkan mereka mengurus status kewarganegaraan. Hal ini pelan-pelan menggeser pemikiran bahwa hak-hak hidup terikat secara eksklusif hanya pada mereka yang memiliki status kewarganegaraan penuh. Perubahan juga bisa berupa negosiasi kerangka hukum perbatasan yang lebih sadar terhadap kerentanan pengungsi. Misalnya dengan menciptakan perbatasan agar lebih longgar, agar tak menciptakan berbagai persoalan lain seperti penyelundupan ilegal melalui rute berbahaya.
Cowan mendesain bab terakhir buku dengan menjawab pertanyaan yang sering kali ditemui sebagai aktivis dan penulis. Pertanyaan seperti, “Bukankah dunia tanpa perbatasan hanya utopia?” Atau, “Tanpa perbatasan, bagaimana kita menghalau kriminal dan teroris?” merupakan kekhawatiran valid atas ide abolisionis. Cowan menjabarkan penjelasan secara spesifik dan mudah dicerna. Ia kembali pada argumen bahwa perbatasan membawa lebih banyak kekerasan dan ketidaksetaraan, ketimbang keamanan dan keadilan. ‘Robohkan perbatasan’ tidak akan terjadi dalam waktu dekat selama negara masih memegang kekuasaan tertinggi dalam sistem internasional. Tentu, mereka tidak akan menyerahkan privilese kedaulatan semudah itu. Tetapi, pembicaraan seperti yang dibawakan Cowan inilah yang diperlukan untuk sedikit demi sedikit mempertanyakan logika kekerasan negara dan perbatasan. Siapa yang selama ini diuntungkan, dan siapa menjadi korban?