Kebangkitan dan Kehancuran Politik Dunia Ketiga
Prashad, Vijay. 2007. The Darker Nations: A People’s History of the Third World (Bangsa-bangsa yang Gelap: Sejarah Rakyat di Dunia Ketiga). The New Press.
Selama ini, kita cenderung melihat pertarungan geopolitik pada masa Perang Dingin semata hanya pertarungan antara dua entitas kekuatan yang setara, yaitu blok kapitalis (Amerika Serikat dan Eropa Barat) melawan blok komunis (Uni Soviet dan Eropa Timur). Pandangan seperti ini telah menciptakan pemahaman yang simplistik dalam menganalisis dinamika petarungan global pada masa Perang Dingin serta mengabaikan signifikansi dari artikulasi politik negara Dunia Ketiga yang ingin terbebas dari bipolarisme tatanan dunia yang disebabkan oleh pertarungan blok kapitalis dan komunis tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Vijay Prashad dalam “The Darker Nations: A People’s History of the Third World” (2007), pasca 1945, Uni Soviet mengalami kerugian yang sangat besar akibat keberhasilannya memukul balik invasi rezim fasisme Jerman. Perang melawan fasisme Jerman telah mengorbankan 30 juta jiwa warga negara Uni Soviet, serta telah menghancurkan daya tahan ekonomi dan politik negara tersebut. Sementara itu, Amerika Serikat hanya mengalami kerugian kecil, disebabkan oleh letaknya yang tidak terjangkau oleh invasi fasisme Jerman dengan jumlah korban jiwa sekitar 400 ribu tentara, serta daya tahan struktur ekonomi dan politik Amerika Serikat yang relatif lebih kokoh dibandung Uni Soviet. Situasi seperti ini memunculkan dilema bagi artikulasi politik negara Dunia Ketiga.
Dilema Perang Dingin
Negara-negara Dunia Ketiga—yaitu negara-negara bekas jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang baru saja merdeka dan sedang menjalankan proyek dekolonisasi—mengalami dilema berhadapan dengan bipolarisme Perang Dingin. Di satu sisi, apabila kekuatan negara Dunia Ketiga mengharapkan dukungan Uni Soviet, kondisi Uni Soviet pasca Perang Dunia Dua sedang mengalami kehancuran ekonomi maupun politik yang luar biasa, sehingga mendorong Uni Soviet untuk lebih memprioritaskan perbaikan internal dan membangun solidaritas di kawasan Eropa Timur daripada berkonsentrasi di luar kawasan.
Menurut Vijay Prashad, Uni Soviet sendiri pada faktanya tidak terlalu menaruh atensi terhadap gerakan pembebasan nasional di negara Dunia Ketiga, seperti yang terlihat dalam pertemuan Kominform 1947 yang dipimpin Andrei Zhdanov, dimana ia sendiri hanya membahas secara singkat mengenai gerakan pembebasan nasional di negara Dunia Ketiga.
Sementara di sisi yang lain, blok kapitalis liberal tetap berkepentingan untuk melakukan kontrol dan dominasi ekonomi untuk melanjutkan keberlangsungan proses kapitalisme dan imperialisme. Merdekanya negeri-negeri jajahan tidak menandakan berakhirnya proses penghisapan keuntungan ekonomi dan ketidaksetaraan politik. Kondisi struktural ekonomi-politik ini membuat negara Dunia Ketiga akan menjadi objek eksploitasi kekuatan blok kapitalis liberal, sehingga tidak memungkinkan bagi negara Dunia Ketiga untuk menaruh harapan kemerdekaan politik dan ekonomi terhadapnya. Dalam kondisi ini, bersikap netral terhadap pertarungan antar blok politik dunia bukanlah posisi yang menguntungkan bagi negara Dunia Ketiga, apalagi dalam pandangan geopolitik blok kapitalis liberal seperti Amerika Serikat yang tidak mengenal prinsip netralitas. Sehingga, bagi Amerika Serikat, lebih baik bergabung dalam blok kapitalis liberal atau menganggap negara Dunia Ketiga sebagai musuh.
Dilema ini selanjutnya telah mengantarkan negara Dunia Ketiga pada agensi politik internasional untuk menciptakan blok politik baru, yaitu politik Dunia Ketiga, yang menentang bipolarisme Barat versus Timur.
Asal-usul Kemunculan Politik Dunia Ketiga
Dalam bagian pertama buku ini, Vijay Prashad berupaya melacak asal-usul dari kelahiran politik dunia ketiga. Istilah Dunia Ketiga sendiri dipopulerkan oleh Alfred Sauvy pada 1952, yang membagi tatanan dunia kedalam Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga. Dunia Pertama merujuk pada Amerika Serikat dan Eropa Barat, yang memilih jalur kapitalisme pasar sebagai basis kekuatan ekonomi-politiknya. Sedangkan Dunia Kedua merujuk pada Uni Soviet dan sekutu negara-negara sosialis yang berupaya melawan kapitalisme pasar untuk membangun perencanaan ekonomi yang sosialis. Sedangkan Dunia Ketiga merupakan kekuatan negara-negara yang mewakili 2/3 mayoritas populasi dunia yang pernah mengalami proses kolonialisme dan sedang menempuh proses dekolonisasi.
Vijay Prashad pada bab pertama menulis, poin inti dari platform Dunia Ketiga yaitu kemerdekaan politik, relasi internasional tanpa kekerasan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai institusi penting untuk penyemaian keadilan skala planet. Baginya, Dunia Ketiga bukanlah sebuah tempat, melainkan sebuah proyek politik yang hendak diwujudkan. Negara-negara di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin menuntut hal-hal prinsipil dalam kehidupan, seperti tanah, kedamaian, dan kebebasan. Untuk mencapai ini, kekuatan rakyat di Dunia Ketiga mengkonsolidasikan diri dalam ragam bentuk organisasi dan gerakan perlawanan pembebasan nasional.
Tokoh-tokoh pembebasan nasional seperti Soekarno di Indonesia, Jawaharlal Nehru di India, Gamal Abdul Nasser di Mesir, Kwame Nkrumah di Ghana, serta Fidel Castro di Cuba, sangat berperan penting bagi pembangunan politik Dunia Ketiga. Mereka mengawinkan nasionalisme progresif yang anti-kolonial, dengan semangat solidaritas internasional, sehingga bagi Vijay Prashad, corak nasionalisme Dunia Ketiga adalah nasionalisme-internasionalis.
Politik Dunia Ketiga merupakan artikulasi politik yang hendak melihat sejarah masa lalu sebagai sejarah perjuangan melawan kolonialisme, dan hendak menatap masa depan sebagai dunia yang adil, setara, dan bebas dari dominasi. Pencarian model artikulasi politik Dunia Ketiga ini telah berlangsung sejak 1928 melalui perhelatan League Against Imperialism yang diadakan di Brussel, Belgia. Kongres ini dihadiri oleh partai komunis dan sosialis, termasuk gerakan pembebasan nasional, untuk membangun solidaritas internasional melawan imperialisme. Sebagaimana diutarakan Vijay Prashad pada bab dua, pertemuan di Brussel memainkan peran penting bagi konsolidasi ide Dunia Ketiga.
Titik kulminasi politik Dunia Ketiga, bagi Vijay Prashad, adalah Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung (bab ketiga), yang dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Ho Chi Min, U Nu, dan Zhou En Lai. Soekarno dalam pidatonya di KAA telah mengingatkan kepada para pemimpin negara Asia-Afrika, bahwa imperialisme masih berlangsung dengan bentuk yang baru, yaitu melalui kontrol ekonomi dan intelektual, sehingga membuatnya sulit menyerah. Menurut Vijay Prashad, apa yang signifikan dari KAA adalah sebuah kepercayaan bahwa 2/3 rakyat dunia memiliki hak untuk membangun kembali tanah air mereka berdasarkan gambaran mereka sendiri.
Melalui KAA, pemimpin negara Asia-Afrika merumuskan proyek politik progresif, yaitu pelucutan senjata untuk perdamian dunia, perlawanan anti-kolonialisme dan imperialisme tanpa kekerasan, kooperasi ekonomi hingga kooperasi budaya. Hal inilah yang dikenal sebagai “Semangat Bandung”, yaitu upaya mengambil ruang dalam tatanan global sebagai pemain (bukan penonton) untuk mewujudkan hak-hak setiap bangsa bekas jajahan, yang didasari pada sikap anti terhadap suboordinasi politik, ekonomi, dan kebudayaan. Akan tetapi, kemunculan gerakan-gerakan reaksioner berbasis etnis, klan, agama, militer beserta tekanan dan intervensi politik negara kapitalis liberal, membuat kekuatan politik Dunia Ketiga berujung pada kehancuran.
Kontradiksi Internal dan Eksternal: Kehancuran Politik Dunia Ketiga
Sebelum mengalami kehancuran, politik Dunia Ketiga telah berhasil dituangkan dengan baik melalui berbagai momentum solidaritas internasional melawan imperialisme. Seperti di Kairo, Mesir pada 1961, diadakan Konferensi Perempuan Asia-Afrika yang menekankan pentingnya perjuangan perempuan dalam platform politik Dunia Ketiga (bab keempat), Konferensi Gerakan Non-Blok di Belgrade, Serbia tahun 1961, yang menuntut adanya pelucutan senjata nuklir secara global serta upaya mendemokratisasikan PPB (bab ketujuh). Sementara itu, pada tahun 1966 di Havana, Cuba, politik Dunia Ketiga terartikulasi dalam Konferensi Trikontinental yang melibatkan Afrika, Asia, dan Amerika Latin, dimana terjadi perdebatan tentang strategi perlawanan yang efektif terhadap imperialisme (bab kedelapan).
Walaupun demikian, sebagaimana digambarkan dalam bagian dua buku ini, eksperimentasi politik Dunia Ketiga sering mengalami kontradiksi internalnya. Hal itu karena negara Dunia Ketiga sering terjebak pada otoritarianisme dan ketidakmampuan dalam perencanaan pembangunan sosialis. Misalnya, sosialisme tergesa-gesa yang dilakukan oleh Ahmed Ben Bella, presiden Aljazair, bersama partainya Front de Liberation Nationale (FLN) setelah berhasil mengusir Perancis pada tahun 1962. Ben Bella dan FLN berupaya mensentralisasi kekuasaan melalui sistem satu partai untuk membuat proses produksi tersosialisasi. Sosialisme yang dipaksakan ini menurut Vijay Prashad terjebak pada birokratisme pembangunan, sehingga, atas nama sosialisme, negara melakukan dominasi terhadap rakyatnya, dan kelas-kelas borjuis hingga sekutu militernya memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka (bab sembilan).
Di sisi yang lain, munculnya kekuatan-kekuatan reaksioner bebasis ras, etnis, klan, agama, serta militer di berbagai negara Dunia Ketiga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh politik Dunia Ketiga ketika menerapkan pembangunan bercorak progresif. Salah satu yang disoroti Vijay Prashad adalah proses asasinasi terhadap kekuatan komunis dan nasionalis progresif di Indonesia. Misalnya, manuver militer dan elemen sayap kanan Indonesia dalam pemberontakan PRRI/Permesta 1957-58 di Sumatera dan Sulawesi yang berupaya membangun teritori otonom di luar penguasaan pemerintahan Soekarno hingga berujung pada penangkapan terhadap kader-kader PKI (Partai Komunis Indonesia).
Soekarno berupaya melakukan dekolonisasi sebagai artikulasi politik Dunia Ketiga. Salah satunya ialah dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Proses ini dilakukan baik oleh militer maupun serikat-serikat buruh PKI, sehingga memperuncing konflik antara mereka. Puncaknya berujung pada pembantaian massal 1965-66 terhadap anggota maupun simpatisan PKI beserta elemen nasionalis progresif yang dilakukan oleh militer sayap kanan dan kekuatan sosial reaksioner. Konflik ini telah berhasil mendorong Soekarno jatuh dari kekuasaan digantikan oleh figur militer Soeharto yang dekat dan disukai oleh negara kapitalis liberal seperti Amerika Serikat.
Sementara itu, kontradiksi eksternal yang harus dihadapi oleh negara Dunia Ketiga adalah proses ekspansi kapital lintas batas yang telah menekan struktur ekonomi-politik negara Dunia Ketiga sebagai lahan subur untuk akumulasi kapital internasional. Bagi Vijay Prashad, cara ini berlangsung melalui proses globalisasi neoliberal yang terutama dipimpin oleh lembaga keuangan internasional yaitu Internasional Monetary Fund (IMF) (bab enambelas). Vijay Prashad dalam buku ini berkesimpulan, hadirnya kekuatan reaksioner dan proses globalisasi neoliberal menjadi faktor penting bagi runtuhnya kekuatan politik Negara Dunia Ketiga.
Kekuatan buku ini terletak pada analisis materialisme-historis dinamika poltik Dunia Ketiga sebagai hasil dari pertarungan sosial yang melibatkan ragam kekuatan sosial. Walaupun demikian, buku ini terlalu fokus menjelaskan agensi pemimpin negara Dunia Ketiga dan tidak menaruh porsi lebih terhadap kekuatan rakyat di negara Dunia Ketiga. Akan tetapi, buku ini sangat berguna untuk merefleksikan kekuatan negara Dunia Ketiga hari ini dalam pusaran modal lintas batas.