Bagaimana Manusia Sekarang Bisa Begitu Bersih? Sejarah Kebersihan Pribadi di Dunia Modern
Ward, Peter. 2019. The Clean Body: A Modern History. [Tubuh yang Bersih: Sebuah Sejarah Modern]. Penerbit Universitas McGill-Queen’s.
Hari ini, menjaga kebersihan tubuh telah menjadi norma bagi masyarakat modern. Banyak dari kita rela merogoh kocek yang tak sedikit untuk membeli skincare atau sabun dengan berbagai aroma. Manusia di berbagai belahan dunia bahkan mandi lebih dari satu kali sehari. Namun, mengapa manusia modern bisa begitu bersih? Dan dari mana obsesi ini berasal? Dalam buku Clean Body: A Modern History karya Peter Ward ini, pertanyaan tentang kebersihan pribadi akan terjawab.
Buku ini bermula ketika Ward—yang menjadi mahasiswa di Kanada pada tahun 1970-an—diberikan tugas untuk mendokumentasikan kebersihan oral penduduk lansia di Kanada. Kakek Ward menjadi salah satu narasumber untuk tugasnya. Rupanya, kakek Ward menyinggung masa mudanya yang jarang mandi. Cerita sang kakek melekat dalam ingatan Ward higga dia tertarik mendalami sejarah kebersihan pribadi. Bagi Ward, perbincangan singkat dengan sang kakek memicu pertanyaan: “Bagaimana manusia modern bisa begitu bersih?” (hal. x).
Melalui buku setebal 336 halaman ini, Ward membeberkan konsep tentang tubuh yang bersih dan bagaimana ide itu berkembang perlahan dari abad ke-18 hingga abad ke-20. Dalam penulisan buku ini, Ward lebih berfokus pada perkotaan di negara Eropa-Amerika seperti Prancis, Jerman, Inggris Raya, Italia dan Amerika Serikat. Menurut Ward, kota adalah tempat di mana revolusi kebersihan terjadi. Revolusi kebersihan sendiri merupakan perubahan besar-besaran akan kesadaran kebersihan yang ditempuh dengan edukasi sanitasi di sekolah dan institusi, pembangunan pemandian umum serta rumah yang dilengkapi fasilitas mandi.
Awalnya, Ward mengupas bahwa kebersihan pribadi masih sulit diterima pada abad ke-17. Apalagi, beberapa peribahasa kuno yang terkenal di masyarakat justru menggemborkan gaya hidup kotor. Misalnya, peribahasa dari Limousin —kota kecil di Prancis—yang berkata bahwa, “Makin banyak anak kotor, makin baik mereka” (hal. 15). Namun, pandangan gaya hidup kotor berubah seiring perkembangan sains pada abad ke-18. Dunia medis Barat mulai memperhatikan organ dalam dan fungsinya, termasuk kulit. Kemudian, otoritas medis Jerman merekomendasikan mandi sebagai cara untuk membersihkan kulit selama paruh pertama abad ke-18. Pada abad ke-18 dan seterusnya, kebersihan pribadi perlahan-lahan diterima masyarakat Eropa untuk nilai kesehatan yang baik dan disiplin diri. Hal ini ditandai dengan gereja Kristen dan dokter yang mendukung mandi karena mandi sama pentingnya untuk pemeliharaan tubuh. Namun, ada kendala yang harus dihadapi di balik pemahaman baru ini: air harus ekonomis dan mudah didistribusikan ke semua orang.
Sebagai langkah pertama, pemandian umum didirikan di Inggris pada tahun 1842. Laporan Chadwick, yang diterbitkan pada tahun yang sama, menyarankan pengusaha pabrik untuk mengalihkan kelebihan air panas perusahaan ke keluarga kelas pekerja. Hal ini dilakukan agar semua orang memiliki tubuh bersih tanpa memandang kekayaan atau status. Lain halnya dengan di Jerman. Pemerintah mendirikan pemandian dan binatu model Inggris pada tahun 1855. Sayangnya, biaya pemandian umum masih belum terjangkau di Jerman. Prihatin dengan ketidakterjangkauan ini, dokter kulit asal Berlin, Oscar Lassar, menciptakan shower pada tahun 1883. Kemudian, seruan kebersihan pribadi berlanjut dengan pendirian pemandian pemandian sungai terapung murah di beberapa kota Amerika Serikat pada tahun 1860-an sampai tahun 1880-an. Angin perubahan ini juga bertiup di Italia, sebuah pemandian umum dibuka di pusat Firenze pada tahun 1869. Bedanya, pemandian umum di Italia memiliki fasilitas mewah seperti tukang cukur, penata rambut, jasa manikur dan pedikur. Setelah pendirian pemandian umum, sabun menjadi krusial untuk kebersihan pribadi.
Dalam Bab 3 dan 4, Ward menjelaskan tentang proses pembuatan sabun. Awalnya, sabun dibuat dengan mencampur minyak dan lemak ke dalam larutan alkali. Kemudian, campuran direbus selama beberapa jam hingga terjadi saponifikasi. Lalu, sabun dipisahkan dari gliserin dan air untuk dimurnikan dan dikeringkan sehingga siap untuk dipasarkan. Pada awal abad ke-17, sabun diproduksi di Marseilles—kota industri di Prancis—dan London, Inggris. Namun, sabun kala itu digunakan untuk membersihkan kain tekstil. Lantas, sabun dipasarkan secara komersial di Perancis dan Amerika pada Revolusi Prancis. Pada saat itu, penjualan sabun meningkat pesat sehingga persaingan sangat kompetitif. Alhasil, produsen sabun, P&G memasang iklan sabun di majalah Ivory Soap pada tahun 1880. Iklan sabun Pears Soap oleh Thomas Barrat menampilkan wanita yang mempromosikan sabun sebagai pembersih kulit dan aset utama kecantikan pada tahun 1887. Sabun Pears Soap tak hanya diklaim dapat membersihkan kotoran, tetapi mampu mencerahkan kulit. Iklan sabun juga mulai merembet ke manfaat kesehatan yang diprakarsai oleh Lifebuoy pada tahun 1890. Produsen sabun Barat melakukan gebrakan inovatif dengan memproduksi sabun batangan kecil yang seragam dengan identitas merek dan bungkus menarik pada akhir abad ke-19. Selain itu, mereka juga membuat dua jenis sabun: sabun serba guna dan sabun toilet untuk kelas pekerja dan kelas menengah. Sabun serbaguna ini bisa digunakan untuk membersihkan pakaian. Ward memaparkan pakaian didominasi katun karena harganya murah. Selain itu, katun lebih mudah dicuci daripada wol, rami dan linen modis.
Sayangnya, mencuci pakaian begitu sulit karena sulitnya akses air di Eropa. Sejarawan Jerman, Rosmarie Beier, menjelaskan banyak rumah tak terhubung dengan pipa sehingga air diangkut manual dengan ember pada abad ke-19. Solusinya, penduduk perkotaan Eropa beralih ke binatu. Binatu sebagai fasilitas mencuci sudah familiar bagi wanita Prancis. Sekitar 300.000 hingga 400.000 wanita Prancis menggunakan jasa binatu sejak akhir tahun 1860-an. Orang kaya Prancis seringkali mempekerjakan tukang cuci wanita yang bekerja di rumah majikan yang diberikan upah sesuai tugas dan keterampilan.
Pada Bab 5 dan 6, Ward menjelaskan periode di mana masyarakat Barat—baik kelas pekerja maupun aristrokrat—sudah menyadari kebersihan pribadi pada pertengahan abad ke-19. Masyarakat Barat mulai terbiasa mencuci tangan dan wajah dan mengganti pakaian. Namun, Ward menggarisbawahi bahwa masih ada kekhawatiran mengenai kesehatan, yaitu bakteri. Salah satu bakteri yang pernah mengegerkan dunia adalah wabah kolera yang terjadi di Eropa pada 1830-an dan Amerika Utara pada1840-an. Kolera adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada saluran usus yang bisa berakibat kematian. Karenanya, berbagai program dicanangkan seperti pembersihan jalan, memasang selokan dan cuci tangan untuk manfaat kesehatan. Kemudian, Ladies Sanitary, institusi administrasi kesehatan masyarakat Inggris dibentuk pada pertengahan abad ke-19. Institusi tersebut terdiri dari sukarelawan wanita kelas menengah Inggris untuk mempromosikan sanitasi dan kehidupan keluarga yang sehat. Di sisi lain, sekolah umum Italia mulai mengajarkan teknik kebersihan. Misalnya, pendiri Institut Pasteur di Italia, Angelo Celli, menyerukan peningkatan kondisi kebersihan di sistem pendidikan Italia.
Ward mempertanyakan, “Bagaimana mengajarkan kebersihan kepada anak-anak yang berusia belia?” (hal. 145). Rupanya, guru dan pengawas dikerahkan untuk melakukan inspeksi kebersihan pada murid. Sayangnya, inspeksi kebersihan sering membuat malu, terutama anak-anak dari kelas menengah bawah sehingga guru dan pengawas tak tega mengeluarkan siswa dari ruang kelas karena muridnya tak bersih. Kendati demikian, kebiasaan mandi perlahan-lahan mulai tumbuh.
Pada umumnya, orang Eropa menggunakan air panas dan dingin untuk mandi. Sayangnya, pasokan air panas sebagai kebutuhan untuk rumah saat Perang Dunia ke-II di rumah penduduk Amerika Serikat, Inggris, Italia dan Prancis jauh dari cukup. Untuk menyiasati hal tersebut, orang kaya menggunakan pemanas gas dan listrik yang terhubung dengan kamar mandi. Sejauh ini, kamar mandi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hunian. Standar kamar mandi di Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Italia berupa baskom, bak mandi, dan toilet. Di Jerman, keluarga kelas pekerja tak memiliki kamar mandi di apartemenya. Namun, kota industri Jerman menyediakan pemandian umum bagi penduduk.
Bab 7 dan 8 berfokus pada abad ke-20, di mana tatanan masyarakat baru di Amerika Utara dan Eropa Barat mulai memperhatikan standar berpakaian. Gagasan kecantikan bergeser akibat pengaruh dari film, televisi, dan majalah. Apalagi, munculnya era selebritas Hollywood dan industri film Amerika yang mendorong pria dan wanita mengekspresikan kecantikan unik mereka sendiri. Revolusi Tekstil juga mengubah pakaian sehari-hari: gaya elite beralih ke gaya trendi yang ekonomis, populer dan siap pakai karena diproduksi secara massal dengan mesin jahit. Kelebihan pakaian trendi adalah busana mudah dibersihkan karena dicuci menggunakan mesin cuci dan detergen sintetik. Detergen sintetik diproduksi dari turunan minyak bumi untuk menghasilkan air cucian yang lebih jernih. Ironisnya, detergen sintetis justru mengotori lingkungan sehingga mendorong pertumbuhan ganggang di perairan.
Ward menyimpulkan bahwa kebersihan pribadi sulit diperoleh karena air susah diakses dan mahal pada abad ke-18. Namun, kebersihan pribadi berangsur-angsur membaik pada abad ke-19 dengan adanya inovasi seperti saluran air dan mesin cuci. Pada abad ke-20, perusahaan multinasional mendominasi perdagangan sabun dan deterjen. Namun, dermatologi modern mempertanyakan nilai higienis sabun sebagai perawatan kulit kontemporer. Hal ini lantaran mandi memiliki manfaat estetika dan menghilangkan stress, tetapi tidak banyak membantu dalam menghilangkan kuman. Ward menutup bukunya dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik: “Apakah pengertian tentang arti kebersihan sekali lagi menjadi pertanyaan terbuka?” (hal. 231). Hal menarik dalam buku garapan Ward ini adalah sejarah kebersihan pribadi dijelaskan secara gamblang sehingga mudah dipahami. Sayangnya, buku satu ini tidak mencantumkan dokumentasi wabah kolera yang merupakan penyakit yang diakibatkan infeksi bakteri pada awal era modern. Namun, secara garis besar, buku The Clean Body: A Modern History layak menjadi “bahan bakar” bagi manusia modern yang ingin memahami bagaimana mereka bisa sampai ke era di mana kebersihan tubuh menjadi prioritas prima.