Jaring-Jaring Kekuasaan: Rekonseptualisasi Kuasa dalam Masyarakat Matrilineal

Dipublikasikan oleh A. Rafsanjani pada

Blackwood, Evelyn. 2000. Webs of Power: Women, Kin, and Community in a Sumatran Village. [Jaring-jaring Kekuasaan: Perempuan, Kerabat, dan Komunitas di Desa Sumatera]. Penerbit Rowman & Littlefield.


Dalam tradisi antropologi Anglo-Amerika yang dominan pada paruh kedua abad ke-20, kekuasaan seringkali dikonseptualisasikan melalui lensa dikotomis domestik/publik yang cukup problematik. Domestik dipahami sebagai tempat yang terbatas untuk perempuan, sedangkan publik merupakan tempat kekuasaan yang sebenarnya dimainkan, dan tempat ini dikuasai oleh laki-laki. Menariknya, ketika dihadapkan dengan sejumlah bukti partisipasi perempuan dalam proses sosial-politik yang substansial, para sarjana tradisional cenderung mengkategorikannya sebagai informal atau tidak resmi.

Pandangan semacam ini menjadi semakin problematik dalam kajian masyarakat matrilineal yang menempatkan perempuan pada posisi sentral. Contohnya adalah masyarakat Minangkabau—salah satu kelompok matrilineal terbesar di dunia. Masyarakat Minang telah cukup lama menjadi subjek kajian antropologi, khususnya mengenai bagaimana kekuasaan beroperasi dalam konteks dimana berbagai keputusan strategis ada di tangan perempuan. Namun, narasi yang dominan dalam literatur antropologi tetap menekankan peran mamak (saudara laki-laki ibu) sebagai pemegang otoritas formal. Narasi tersebut dipertanyakan ulang oleh Evelyn Blackwood dengan melihat bagaimana praktik kekuasaan masyarakat Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari  yang ia dokumentasikan dalam bukunya Webs of Power: Women, Kin, and Community in a Sumatran Village (2000).

Selama satu setengah tahun di desa Taram, sebagai antropolog feminis, Blackwood berhasil mencatat bagaimana perempuan Minangkabau—khususnya perempuan senior (Bundo Kanduang)—berpartisipasi dalam pembentukan relasi sosial-politik. Di samping itu, ia juga mempertanyakan kerangka konseptual yang selama ini digunakan untuk memahami kekuasaan (power) itu sendiri. Blackwood menunjukkan bagaimana perempuan Minangkabau—khususnya para perempuan senior—mengontrol tanah, rumah, keputusan keluarga, dan membangun jaringan sosial-politik yang rumit. Yang ia tawarkan adalah sebuah konsep mengenai kekuasaan yang berbeda dengan konseptualisasi Barat dan “wacana resmi” yang banyak dibincangkan dan ditulis tentang masyarakat Minangkabau.

Makna Kekuasaan: Melampaui Otoritas Formal

Menurut Blackwood, pemahaman bahwa kekuasaan di Minangkabau berada di tangan mamak tidak terlepas dari pengaruh pendekatan strukturalis yang dibawa oleh para sarjana Belanda dalam mengkaji masyarakat Minangkabau. Josselin de Jong, misalnya, dalam mengembangkan konsep struktur sosial masyarakat Minangkabau, cenderung menonjolkan peran mamak sebagai pemegang otoritas utama. Pandangan ini juga diperkuat oleh Schneider dan Gough dalam Matrilineal Kinship (1961) yang menjadi salah satu referensi utama dalam kajian masyarakat matrilineal. Dalam pengamatan mereka, mamak inilah yang tampak seperti “kepala” keluarga: mereka yang berbicara di pertemuan-pertemuan adat dan mewakili keluarga di hadapan pemerintah kolonial—posisi-posisi yang dalam pemahaman Barat diasosiasikan dengan kekuasaan.

Asumsi-asumsi tersebutlah yang ditelisik dan dibongkar oleh Blackwood dengan memperlihatkan bagaimana kerangka konseptual tersebut dibangun di atas pemahaman Barat tentang kekuasaan yang tidak selalu relevan untuk konteks Asia Tenggara. Mengutip analisis Karim (1995), Blackwood menjelaskan bahwa mengidentifikasi kekuasaan dengan laki-laki berasal dari reifikasi aspek-aspek “publik” dari kekuasaan sebagai sesuatu yang “nyata” daripada memahami bagaimana kekuasaan sebenarnya bekerja dalam hubungan sosial (hlm. 11).

Dalam merekonstruksi konsep kekuasaan, Blackwood mendasarkan analisisnya pada pemikiran Foucault: “Saya juga ingin mengambil wawasan Foucault (1980) tentang relasi kekuasaan/pengetahuan… untuk memberikan ketajaman pada perspektif ini” (hlm. 14). Ia mengadopsi pemahaman Foucault bahwa kekuasaan tidak hanya represif tetapi produktif, beroperasi melalui jaringan relasi yang tersebar dan tidak terpusat pada institusi formal semata.

Alih-alih memahami kekuasaan sebagai atribut yang “dimiliki” individu dalam posisi otoritas formal, Blackwood mengusulkan metafora “jaring” (webs). Dalam perspektif ini, kekuasaan tidak berpusat pada hierarki posisi tetapi beroperasi melalui multiplisitas simpul dan penyambungan yang menyilang desa (hlm. 187). Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh individu tertentu, melainkan melalui proses relasional yang terus-menerus dinegosiasikan, ditantang, dan direkonfigurasi melalui praktik sehari-hari.

Evelyn Blackwood

Salah satu contoh menarik dari model kekuasaan ini adalah analisis Blackwood tentang upacara adat. Dalam pandangan tradisional, pidato formal yang disampaikan oleh laki-laki dalam suatu upacara adat dianggap sebagai pusat kekuasaan. Namun, Blackwood tidak berhenti pada observasi permukaan semata, ia berhasil masuk ke dalam perhelatan upacara-upacara adat dan mendokumentasikan keseluruhan proses yang membentuk upacara—persiapan yang memakan waktu berhari-hari, penataan ruangan, penerimaan tamu, hingga distribusi makanan. Data etnografis ini memperlihatkan bagaimana perempuan senior dari keluarga elit, melalui tindakan yang sering dikategorikan sebagai “informal”, berperan aktif dalam membentuk dan menegaskan hierarki sosial. Penempatan nampan makanan (dulang) dalam upacara, misalnya, bukan sekadar persoalan teknis semata, tetapi praktik yang sarat makna sosial yang melaluinya struktur kekuasaan diartikulasikan dan dilegitimasi. Kesalahan dalam penempatan nampan bisa menyebabkan konflik sosial yang serius.

Otonomi versus Relasional

Dalam rangka merekonstruksi konsep kekuasaan, terutama kekuasaan perempuan, Blackwood juga menyorot konsep “otonomi” yang dominan dalam studi tentang perempuan di Asia Tenggara. Ketika antropolog menemukan bukti kontrol ekonomi yang signifikan di tangan perempuan, mereka cenderung menafsirkannya sebagai “otonomi” dari suami—seolah-olah kebebasan dari kontrol laki-laki adalah satu-satunya parameter penting untuk memahami posisi sosial perempuan.

Blackwood mengidentifikasi bahwa penggunaan konsep otonomi adalah problematik karena cenderung mengaburkan hubungan sosial lain dan cara-cara lain untuk berada (hlm. 13). “Otonomi” sebagai konsep mengandaikan adanya subjek individual pra-sosial yang harus dipaksa oleh konvensi sosial—sebuah konsep yang berakar pada tradisi filosofis liberal yang memahami kebebasan terutama sebagai kebebasan dari orang lain, bukan kebebasan dengan orang lain.

Hal ini sangat relevan untuk memahami kehidupan perempuan—terutama perempuan senior—Minangkabau yang mana harta pusaka milik kaum berada di tangannya. Perempuan senior bukanlah individu otonom yang beroperasi secara independen dari jaringan relasional mereka. Sebaliknya, mereka adalah simpul dalam jaring kekerabatan yang kompleks yang memberikan mereka kekuasaan dan status. Sebagai Bundo Kanduang, perempuan senior bertanggung jawab tidak hanya untuk keluarga intinya, tetapi juga untuk seluruh keluarga besar matrilineal dan bahkan keluarga “klien” (kamanakan) yang berada di bawah otoritasnya. Seperti dijelaskan oleh seorang konsultan—Blackwood memposisikan informanya sebagai konsultan—Blackwood, “Bundo Kanduang memimpin (membimbing) anak-anaknya (anak) dan kerabatnya (kamanakan). Seorang ibu merawat keluarganya; Bundo Kanduang merawat kamanakan-nya” (hlm. 111).

Alih-alih berusaha “membebaskan” perempuan Minangkabau dari ikatan sosial mereka—seperti yang mungkin dilakukan oleh beberapa pendekatan feminis Barat—Blackwood menunjukkan bagaimana ikatan-ikatan ini justru menjadi sumber kekuasaan mereka.

Simbol Kekuasaan Perempuan 

Hal yang menarik dari analisis Blackwood lainnya ialah analisisnya tentang arsitektur dan ruang sosial dalam masyarakat Minangkabau. Alih-alih menginterpretasikan rumah adat Minangkabau (rumah gadang) melalui lensa dikotomi publik/domestik—dimana ruang depan dianggap sebagai area “publik” dan ruang belakang sebagai area “domestik”—Blackwood mengeksplorasi bagaimana arsitektur tersebut merepresentasikan konfigurasi sosial yang khas Minangkabau.

Ia menunjukkan bahwa dalam tradisi masyarakat Minang, perempuan secara metaforis disebut sebagai Tiang Pusat (Tunggak Tuo) Rumah Gadang dan Pemegang Kunci Peti [harta pusaka] (hlm. 45). Dalam logika spasial Minangkabau, posisi sentral ini tidak mengindikasikan pembatasan tetapi justru menegaskan peran perempuan sebagai inti dari reproduksi sosial dan material komunitas. Blackwood menunjukkan bahwa posisi tiang pusat—berada di bagian dalam dekat dapur—dalam rumah gadang memiliki signifikansi ritual dan simbolis yang besar, dan bahwa praktik-praktik seremonial di sekitar tiang ini hampir selalu melibatkan perempuan senior sebagai figur sentral.

Blackwood mengutip analisis Waterson (1990) tentang pengaturan spasial rumah-rumah di Asia Tenggara yang menantang asumsi konvensional: “Waterson mencatat secara ironis bahwa ‘alih-alih wanita ‘dikurung’ di bagian belakang rumah, justru pria yang ‘dikurung’ di bagian depan-suatu kehormatan yang meragukan'” (hlm. 45). Pernyataan ini secara radikal membalikkan pemahaman umum tentang ruang “depan” dan “belakang” dalam rumah tradisional, menunjukkan bahwa hal-hal yang sering dianggap sebagai marginalisasi (penempatan perempuan di “dalam” rumah) sebenarnya dapat dipahami sebagai posisi sentral dalam reproduksi sosial dan material komunitas.

Melalui analisis ini, Blackwood tidak sekadar menunjukkan bahwa dikotomi publik/domestik “salah diterapkan” pada konteks Minangkabau, tetapi lebih fundamental lagi, ia menunjukkan bagaimana dikotomi tersebut gagal menangkap logika sosial-spasial yang berbeda, dimana “ruang dalam” merepresentasikan pusat, bukan marjin, dan hubungan dengan pusat ini merupakan sumber, bukan hambatan, bagi kekuasaan sosial.

Sebagai penutup, karya Blackwood memiliki implikasi yang tidak hanya terbatas dalam konteks Minangkabau. Karyanya berhasil mengajak kita untuk memikirkan ulang tentang apa itu kekuasaan? Metafora “jaring” yang ia kembangkan menawarkan alternatif tentang model kekuasaan yang tidak berpusat pada otoritas formal dan dikotomi struktural.

Bila kita pikirkan implikasi lebih luas dari analisis Blackwood, kita dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang metodologi dan politik pengetahuan dalam studi gender: Mengapa—meskipun terdapat bukti etnografis tentang bentuk-bentuk kekuasaan yang tidak sesuai dengan model “Barat”—kita terus kembali pada kerangka konseptual yang secara implisit mengasumsikan bahwa otoritas formal adalah satu-satunya bentuk kekuasaan yang “nyata”? 


A. Rafsanjani

Anggota komunitas Titian yang fokus mengkaji kebudayaan Minangkabau serta memetakan kajian orang atas masyarakat Minangkabau.