Tamu Tak Diundang: Kisah Kedatangan Sawit di Merauke
Chao, Sophie. 2022. In the Shadow of the Palms: More-Than-Human Becomings in West Papua. Penerbit Universitas Duke.
Telah banyak studi yang mendokumentasikan bagaimana perkebunan sawit berkelindan dengan pemiskinan, akuisisi (baca: penyerobotan) lahan, dan ketercerabutan lintas generasi yang dialami oleh masyarakat. Dalam hal ini, Sophie Chao (2022) mencatat bahwa ekspansi agribisnis di antara orang Marind di Merauke yang ia teliti tidaklah berbeda dengan kasus serupa yang terjadi di tempat-tempat lain, semisal Sumatra dan Kalimantan. Namun, menurutnya, pengalaman ketercerabutan dalam kasus-kasus ini dialami dalam konteks kultural yang berbeda. Misalnya, kisah-kisah terkait sawit yang didengar Chao sama sekali tidak menyinggung isu-isu umum seperti ketahanan pangan atau pasar global, atau bahkan hak. Sebaliknya, informannya berkisah tentang sawit yang telah membekukan waktu, kasuari dan buaya yang berubah menjadi plastik dan meratap selayaknya manusia, dan sawit yang di kala malam mengisap daging dan cairan tubuh orang-orang dalam tidur mereka serta melahap habis hutan.
Pada gilirannya, kisah-kisah ini menyadarkan Chao bahwa ekspansi sawit tidak dapat dipahami dalam kerangka sosial atau ekologis belaka, atau semata-mata melalui diskursus keadilan dan HAM. Alasannya, ekspansi sawit turut mengubah secara radikal pengertian orang Marind atas ruang, waktu, dan kepribadian mereka. Buku Chao adalah studi tentang bagaimana orang Marind berusaha menalar ketibaan sawit di tempat mereka: apa yang sawit inginkan, apa bedanya sawit dengan spesies lain, dan kenapa ia begitu destruktif. Dengan kata lain, pertanyaan Chao adalah: bagaimana orang Marind mengalami dan memahami transformasi sosio-ekologis yang dipicu oleh deforestasi akibat ekspansi sawit, dan bagaimana transformasi ini menata ulang relasi mereka dengan sesama, spesies lain, dan lingkungan mereka.
Bab 1 menggambarkan lanskap kediaman orang Marind di Bian Atas, di mana hutan diyakini sebagai asal-muasal eksistensi mereka dan sebuah ranah hidup yang dicipta bersama oleh bentuk-bentuk kehidupan non-manusia. Kini, harmoni yang dinamis ini diusik oleh pembangunan jalan, garnisun militer, dan perkebunan. Pihak penganut pembangunanisme akan cepat menunjuk pada, misalnya, mobilitas tinggi yang dimungkinkan oleh jalan raya sebagai janji kesejahteraan yang terpenuhi. Tapi di sisi lain, Chao menyoroti tegangan antara apa yang dijanjikan dan apa yang dihancurkan oleh jalan raya beraspal: barang dan jasa boleh jadi kini lebih cepat berpindah, tetapi ongkosnya adalah dinamika organisme-organisme penghuni dan penyokong hutan yang malah terancam. Di era prakolonial, orang-orang berpindah-pindah antar tempat untuk berburu dan meramu, berkumpul, berpesta, atau bertukar mempelai. Dalam proses ini, hutan, sabana, dan rawa turut menjadi “hidup”, dan begitu pula hewan-hewan yang acapkali berpapasan dengan manusia. Proses ini kemudian membentuk relasi-relasi yang dicapai melalui interaksi sosial kumulatif yang melampaui ikatan-ikatan intraspesies atau biologis. Keterhubungan (relatedness) inilah yang kini diancam oleh entitas sawit yang tampak asing (dan, boleh dibilang, “ansos”) bagi orang Marind,

Sophia Chao
Bab 2 menuturkan kontestasi terkait praktik pemetaan. Peta bikinan pemerintah (dan kita boleh menambahkan: Google Maps) tampak bagi orang Marind sebagai himpunan garis-garis yang, saking lurusnya, justru terkesan tidak alamiah karena menyimbolkan kontrol totaliter negara atas lanskap beserta segenap penghuninya. Garis-garis ini adalah sebuah pendekatan top-down yang, meski akurat dan pastinya ilmiah, sama sekali tidak menawarkan perspektif yang hidup atas ruang hidup manusia. Di sisi lain, peta rumusan orang Marind tersusun atas suara-suara dan aktivitas-aktivitas aneka organisme hutan berikut relasi mereka dengan manusia. Untuk lebih jelasnya, bayangkan sebuah ekspedisi pemetaan yang, alih-alih dilakukan dengan menerbangkan drone dari angkasa, dipandu oleh nyanyian dan pergerakan burung. Bagi Chao, ini adalah bentuk perlawanan orang Marind terhadap tatapan hegemonik negara. Akan tetapi, ia juga menambahkan bahwa peta yang “hidup” ini ironisnya merugikan mereka dalam konteks advokasi, di mana legalitas modern menuntut akurasi sampai ke satuan ukuran terkecil dalam menentukan batas spasial kepemilikan lahan. Dilema ini menyoroti betapa medium sensorik alternatif yang memfasilitasi perjumpaan manusia dengan dunia telah dikesampingkan oleh kartografi modern yang memberikan ilusi tentang kepastian geografis, dan yang bergeming tanpa mengacuhkan organisme.
Bab 3 menganalisis isu “kulit” (skin) dan “kebasahan” (wetness) sebagai ekspresi fisik dari manusia dan non-manusia. Bagi orang Marind, untuk menjadi manusia adalah untuk memiliki kulit yang mengilap dan tubuh yang basah (berkeringat). Kebasahan ini menjalani pertukaran resiprokal dengan spesies dan elemen lain di dalam hutan: tumbuhan, hewan, sungai, dan tanah. Misalnya, Chao menyaksikan langsung bagaimana seorang ibu muda membimbing tangan bayinya untuk menyentuh batang pohon sagu, dan kemudian menekan lembut perut hamilnya ke pohon yang sama sembari membisikkan detail-detail sagu dan bagaimana keringat dari pengolah sagu akan diserap ke dalam makanan yang nantinya bakal memperkuat tubuh manusia. Sayangnya, pertukaran cairan yang memungkinkan kondisi kebasahan dan usaha menjadi manusia ini sekarang semakin terancam oleh ekspansi tanaman sawit berskala masif dan racun-racun kimiawi yang turut dibawanya.
Bab 4 berfokus ke relasi-relasi interspesies yang semakin ambigu setelah kedatangan sawit. Proyek agribisnis yang ekspansif tak pelak memaksa sejumlah hewan untuk menghampiri permukiman Marind demi mencari suaka. Orang Marind merasa kasihan pada hewan-hewan ini, yang telah kehilangan “keliaran” (wildness) mereka dan bertingkah seperti pemukim non-Papua. Ironinya, hewan-hewan ini tampak menikmati kehidupan di permukiman dan menolak kembali ke alam liar. Ini adalah sebuah kondisi yang secara ganjil menjadi pantulan bagi kondisi orang Papua sendiri: semakin banyak yang kini tergiur oleh janji modernitas dan tidak lagi ambil pusing terhadap opresi politik dan diskriminasi etnik. Sebagai contoh, Chao mengisahkan tiga telur kasuari yang ditemukan tanpa induk di galian parit irigasi. Telur dibawa pulang ke desa untuk dirawat dan satu berhasil menetas. Kasuari yang diberi nama Ruben ini, baginya, menyimbolkan ketercerabutan ekstrem (juga kesadaran palsu), yakni Ruben menolak kembali ke hutan meski sudah diantar ke sana, menolak disuapi makanan hutan dan hanya gemar makanan kota semisal kue kering dan mie instan, dan ia senang dimandikan dalam ember plastik sehingga dikenal oleh penduduk sebagai “kasuari plastik”.
Bab 5 beralih ke bagaimana orang Marind menjalin relasi yang intim dengan sagu, yang dikenal dengan istilah pigi kenal sagu. Praktik ini meliputi serangkaian aktivitas untuk menegaskan ikatan sosial individu pada sesama dan membenamkan diri pada suara, bau, dan bentuk hutan untuk memahami lebih jauh posisi sagu di antara organisme-organisme lain dalam konteks spasio-temporal. Makan sagu adalah aksi politis karena inilah yang menegaskan identitas Marind sebagai “pemakan sagu” untuk dikontraskan dengan orang-orang non-Papua “pemakan nasi” dan makanan-makanan asing lainnya. Namun, melampaui politik, aksi makan sagu juga memfasilitasi proyek eksistensial untuk menjadi “orang Marind”: untuk mengalami rasa dan tekstur sagu adalah untuk terlibat dalam pengalaman kinestetik dan multisensorik yang melibatkan manusia dengan semua elemen di hutan, yang secara langsung atau tidak, telah berkontribusi dalam alur kehidupan sagu dan, pada gilirannya, juga keberlangsungan hidup orang Marind sebagai “manusia”.
Bab 6 mengontraskan keterlibatan emosional orang Marind pada sagu dengan tanaman sawit. Sementara sagu menyusun kehidupan hutan dan menopang kehidupan manusia, sawit yang “ansos” menolak relasi sosial apapun dengan semua organisme hutan dan justru berkehendak (orang Marind percaya bahwa sawit memiliki agensi) untuk menghancurkan segala di sekitarnya demi mengejar eksistensi soliter yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Menariknya, orang Marind juga sebenarnya merasa kasihan pada sawit karena mereka menyaksikan sendiri bagaimana tanaman ini tunduk sepenuhnya pada kontrol manusia dan harus tumbuh dengan cara-cara yang sangat tidak alamiah, misalnya: dengan dijauhkan dari organisme lainnya dan diberi asupan kimiawi yang beracun. Chao berargumen bahwa kehadiran sawit telah menciptakan bukaan ontologis yang menyediakan ruang bagi welas asih, keingintahuan, dan aneka perasaan lain. Dengan kata lain, ontologi sawit tidak dimaknai dalam kerangka either-or (baik vs. jahat), yang pada gilirannya menyiratkan bahwa orang Marind menolak membatasi kemungkinan bagi disposisi moral mereka (sebuah sikap yang mendesak sekali untuk kita teladani di tengah-tengah dunia yang semakin hitam-putih).
Bab 7 mendalami pernyataan yang sering didengar oleh Chao selama studinya: bahwa waktu telah berhenti sejak kedatangan sawit. Chao berargumen bahwa temporalitas dari kapitalisme yang berorientasi masa depan (berikut visi tentang pembangunan nasional yang, misalnya, terungkap dalam frasa “Indonesia Emas 2045”) telah memaksakan sebuah alur yang mono-temporal. Artinya, kedatangan sawit telah melenyapkan masa lalu yang selama ini dialami secara spasial oleh orang Marind di hutan (dengan masuk hutan, individu menelusuri asal-muasal eksistensinya), melenyapkan masa kini yang secara aktual didiami oleh manusia (karena relasi-relasi yang dulu stabil kini terdisrupsi oleh entitas sawit yang invasif), sekaligus melenyapkan masa depan yang dibagi bersama antara manusia dan non-manusia (karena sawit hanya punya satu versi masa depan, yakni akumulasi profit tanpa batas). Namun, Chao mencatat bahwa untuk mengamini waktu yang dihentikan oleh sawit adalah juga untuk melawan, atau lebih tepatnya melawan ilusi harapan yang diciptakan oleh futurisme abstrak elit kapitalis penguasa negara.
Bab 8 membawa kita ke alam mimpi orang Marind di mana individu bermimpi tewas dilahap sawit. Dalam mimpi-mimpi ini, individu menyaksikan dan mengalami kematian mereka sendiri dari perspektif makhluk hutan lain. Menurut Chao, mimpi dilahap sawit ini adalah proyeksi dari kecemasan sehari-hari yang tak pelak dipicu oleh disrupsi sawit terhadap ruang, waktu, dan pribadi Marind. Sebagai tambahan, aksi menarasikan dan menafsirkan mimpi-mimpi ini secara kolektif pada gilirannya membuka ruang bagi aktivitas sosial yang menciptakan aliansi sesama korban sawit (individu tidak hanya mengetahui bahwa ada spesies seperti kasuari yang mati akibat sawit tapi juga, setidaknya di alam mimpi, mengalami bagaimana rasanya mati sebagai kasuari).
Lantas, bagaimana kita mempertimbangkan secara serius realitas non-manusia dari entitas seperti sawit? Chao menjawab bahwa karena mustahil bagi kita untuk mengakses dunia sebagaimana perspektif sawit, pada akhirnya usaha apapun untuk melakukan etnografi multispesies akan membawa kita kembali pada perspektif manusia. Bagi Chao, isu mendesaknya di sini adalah untuk bertanya visi manusia mana yang harus dikedepankan alih-alih mengasumsikan sebuah perspektif “manusia” yang tunggal dan homogen. Dan studinya tentang kehadiran sawit di antara orang Marind telah menunjukkan bahwa selain isu-isu krusial semisal kerusakan alam dan HAM, terdapat aspek lain yang tak kalah pentingnya dalam pembahasan terkait sawit: tentang bagaimana manusia telah menata relasi-relasinya dengan dunia sebelum kedatangan sawit, dan terus mencoba menata ulang relasi-relasi yang sama setelah kehadiran sawit.