Materi yang ‘Hilang’? Merasionalisasi Periode Awal Islam
Shoemaker, Stephen J. 2011. The Death of a Prophet: The End of Muhammad’s Life and the Beginnings of Islam. Penerbit Universitas Pennsylvania.
Dalam dua abad terakhir, perbincangan mengenai rekonstruksi bangunan sejarah Islam menjadi topik yang menitikfokuskan pada problematika catatan-catatan tradisional Islam sebagai sebuah tren kajian tersendiri. Jelas, kajian ini cenderung disambut baik oleh kesarjanaan Barat yang berkiblatkan historis-kritis. Sementara kesarjanaan Barat cenderung skeptis saat memandang beragam catatan tradisional Islam, kesarjanaan Muslim ada dalam posisi optimis dengan catatan yang mereka miliki. Seperti yang dinyatakan oleh Fred Donner (Narratives of Islamic Origins, h. 1-2), di saat mayoritas sarjana atau ulama Muslim menyebut rentang 610 sampai 660 M sebagai periode keemasan yang diwarnai oleh pencerahan agamis oleh utusan terakhir Tuhan hingga suksesnya ekspansi Jazirah Arab, pada saat yang bersamaan kesarjanaan Barat justru menganggap masa ini sebagai periode problematik, dengan alasan informasi yang termuat dalam catatan tradisional Islam jauh terpaut dari peristiwa yang direkamnya.
Melalui bukunya, The Death of a Prophet: The End of Muhammad’s Life and the Beginnings of Islam, Stephen J. Shoemaker menakar rasionalisasi terhadap fenomena yang ia temukan pada catatan tradisional Islam dengan mengomparasikan catatan non-Islam untuk menarasikan ulang sejarah Islam. Ia memusatkan kajiannya pada wafatnya Muhammad sebagai pendiri Islam dengan mendialogkan perspektif berbagai catatan–baik dari dokumen tradisional Islam maupun non-Islam–dalam cakupan peristiwa invasi ke Palestina/Jerusalem yang saat itu dikuasai oleh Romawi (Bizantium) sebagai sebuah negara adidaya. Penelitiannya ini bisa dibilang lahir dari ‘gemas’nya Shoemaker terhadap sarjana pendahulunya yang menyelami kajian rekonstruksi sejarah Islam, seperti Patricia Crone dan Michael Cook, yang keduanya sudah melakukan pengkajian terhadap dokumen non-Islam namun gagal menghasilkan ‘gong’ pada bagian isu yang lebih makro. Shoemaker menganggap kegagalan pendahulunya ini sebagai tantangan untuk kesarjanaan studi Islam yang mendiami rumpun kajian ini (h. 3).
Rekam Catatan non-Islam vis a vis Catatan Tradisional Islam
Secara bertahap, Shoemaker membagi bukunya ini dalam empat bab yang merepresentasikan tingkatan analisisnya. Pada bab awal, ia menghimpun sebelas dokumen yang bersumberkan pada tradisi non-Islam–termasuk di antaranya berupa apokaliptik, kronik, surat, dan catatan tertulis lainnya–yang kesemuanya sepakat memberikan keterangan bahwa Muhammad masih hidup dan bahkan memimpin umat Muslim (beberapa sumber menyebutnya Saracens) menuju Palestina/Jerusalem. Keterangan yang penting di bagian ini menyatakan bahwa sebelas dokumen tersebut dihasilkan oleh orang yang berbeda baik secara identitas, lokasi, hingga waktu, di mana keadaan ini dinilai bak menemukan permata dalam dunia kesejarahan. Bagi perspektif historis-kritis, dokumen bermuatan sejarah apapun yang dihasilkan oleh orang yang tidak mungkin berinteraksi, namun mencetuskan ide yang sama berkaitan dengan kesejarahan, maka keadaan dokumen tersebut dianggap terjamin dalam merepresentasikan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.

Stephen J. Shoemaker
Bab kedua bisa dibilang merupakan bandingan terhadap sebelas sumber non-Islam di bagian sebelumnya, di mana Shoemaker menyuguhkan riwayat-riwayat tradisional yang memuat sejarah hidup Nabi. Meski belakangan ini al-Qur’an sudah diakui oleh kesarjanaan Barat sebagai dokumen yang menyimpan memori sejarah–seperti yang diakui oleh sarjana Qur’anic Studies terkini–namun Shoemaker tidak memasukkannya menjadi dokumen utama di sini, dengan alasan bahwa Qur’an tidak memuat informasi detail tentang masa hidup dan misi risalah Muhammad (h. 73). Ia lebih memilih menggunakan informasi dari dokumen biografi tradisional Nabi, di mana catatan-catatan ini berceceran baik dalam tulisan bergenre sirah, hadis, hingga tafsir Qur’an. Yang menarik, para sarjana kajian rekonstruksi sejarah Islam menemukan bahwa kisah hidup Muhammad yang diturun-temurunkan melalui rantai persanadan berpangkal pada nama tertentu seperti Urwah dan al-Zuhri. Hasil yang ditemukannya pada dokumen Islam sangat berbeda dengan rekaman non-Islam. Catatan tradisional Islam hampir semuanya sepakat bahwa Muhammad wafat pada tahun 632 M, sekitar dua tahun sebelum invasi ke Palestina/Jerusalem. (h. 115)
Dalam banyak kasus, model penyampaian kisah Nabi melalui ‘sanad khusus’ diduga bertujuan memaksimalkan nilai otentisitasnya, karena dinilai tingginya prestise kisah yang diatribusikan pada tokoh-tokoh tertentu. Karena hal ini, akhirnya banyak riwayat yang dinilai palsu–seperti yang diakui oleh dunia Islam dalam asesmen riwayat selama ini. Shoemaker memiliki pendapat sendiri di sini: ia tidak serta merta mengklaim bahwa penyampai riwayat sejak awal memang berniat memalsukan kisah yang dibawanya, namun lebih kepada menyesuaikan kisah Muhammad dengan doktrin dan keyakinan yang dianut perawi atau masyarakat saat itu (h. 81).
Invasi Palestina: Sebuah Kunci Teka-Teki Masa Lalu
Transisi dari bab 1-bab 2 ke bab 3 buku ini digunakan oleh Shoemaker untuk memperkenalkan hipotesisnya terkait apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu Islam. Gambaran tradisional bahwa Muhammad telah wafat sebelum menginvasi Palestina/Jerusalem baginya menyimpan teka-teki yang dapat membuka historisitas Islam. Perbedaan mencolok tentang riwayat masa hidup Muhammad dalam dokumen non-Islam vis a vis dokumen Islam merupakan gerbang menguak misteri ini. Petunjuk berikutnya berada pada berbedanya waktu dua jenis dokumen tersebut dihasilkan. Jika dokumen non-Islam yang dikumpulkannya berada pada masa yang beragam, di mana catatan tertua ada pada Doctrina Iacobi yang ditulis di bulan-bulan bersamaan dengan momen invasi Islam ke Palestina, maka dokumen Islam berada pada rentang yang cukup jauh dari peristiwa wafatnya Muhammad, yakni pada abad kedelapan.
Pernyataan awal yang diajukan oleh Shoemaker adalah bahwa terdapat penyesuaian yang dilakukan oleh penulis biografi tradisional Islam dengan apa yang dianutnya di rentang masa yang terpaut jauh tersebut, berkaitan dengan doktrin dan visi Islam itu sendiri, sehingga hasilnya adalah sejarah yang direvisi sedemikian rupa. Invasi Palestina/Jerusalem menjadi kunci petunjuk terakhir yang mengarahkan Shoemaker pada klaim bahwa visi awal Islam pada periode awal adalah visi eskatologis, di mana umat Islam (juga kaum beriman yang diwakili oleh penganut agama monoteis lain) meyakini hari kiamat sebagai tujuan beragama mereka. Dalam hal ini ia mengamini pernyataan pendahulunya, seperti Hurgronje (h. 121), Buhl (hlm. 122), dan Casanova (h. 124), yang berpendapat bahwa visi agama monoteis (Islam termasuk di dalamnya) adalah pandangan eskatologis yang kuat.
Materi-Materi yang Hilang dari Periode Awal Islam
Dugaan Shoemaker akan adanya reduksi visi eskatologis yang dilakukan oleh umat Islam awal bermula oleh peristiwa wafatnya Muhammad. Sejalan dengan pandangan eskatologis yang dimiliki oleh kaum monoteis lain (Yahudi dan Kristen)–yang berkeyakinan bahwa hari akhir akan tiba di fase hidup mereka dengan rasulnya yang akan mendampingi mereka pada tibanya hari itu, wafatnya Muhammad menjadi momentum yang mencengangkan bagi umat Islam. Shoemaker menemukan suasana peristiwa ini lolos diturunkan hingga riwayat biografi tradisional Islam, yang menunjukkan ketidakpercayaan Umar bin Khattab terhadap kabar wafatnya Muhammad bahkan dengan situasi yang kacau. Penyesuaian doktrin/visi pertama yang ditangkap oleh Shoemaker adalah ketika pada momen chaos ini, Abu Bakr membacakan ayat Q. 3:144, sebagaimana tertulis di catatan Ibn Ishaq (h. 91, 180), di mana kerumunan sahabat pada momen itu dinyatakan belum pernah mengetahui ayat tersebut. Sebagaimana klaim yang banyak dialamatkan oleh kesarjanaan Barat, Shoemaker juga mengungkap idenya tentang ayat yang dibubuhkan oleh umat Islam, dengan tujuan penyesuaian terhadap doktrin yang tidak lagi relevan–yaitu, keyakinan bahwa rasul mereka masih mendampingi umatnya saat hari akhir tiba.
Jejak visi eskatologis Islam juga dapat dilihat pada invasi Islam ke Palestina/Jerusalem. Tidak hanya tentang waktu wafatnya Muhammad yang digeser menjadi sebelum momen bersejarah ini, hubungan masif umat Islam dan umat monoteis lain di fase awal Islam juga direduksi. Shoemaker memberikan contoh dari teks al-Qur’an, di mana term mu’minūn (the Believers) dan ahl al-kitāb (people[s] of the Book) memiliki tendensi positif, misalnya dalam Q. 2: 62; 5: 69, dan beberapa ayat yang mengintegrasikan seluruh umat monoteis ini dalam doktrin eskatologis yang sama (h. 207-9). Satu-satunya perbedaan yang sebenarnya tidak terlalu distingtif tentang kehadiran Islam di Jazirah Arab adalah monotheistic reform movement melalui anjuran peningkatan kesalehan, misalnya salat secara teratur, berpuasa, sedekah, hingga memurnikan hati, yang tidak lain adalah representasi misi untuk menghadapi dekatnya hari akhir dalam visi mereka.
Salah satu bukti yang menguatkan argumen Donner–sebagai pendahulu Shoemaker– adalah adanya Piagam Madinah, di mana konstitusi ini mengisyaratkan adanya kesepakatan antara the Believers, yang ditengarai termasuk dari kalangan Yahudi asli Madinah, dan the Muslims. Termasuk di dalam kesepakatan ini adalah kesediaan kalangan Yahudi untuk membayar sejumlah bagian mereka dengan didasari oleh kepercayaan akan Tuhan dan hari akhir. Yang menarik setelahnya adalah mengapa tidak lama setelah keberadaan konsensus ini, Muhammad berbalik memusuhi kalangan Yahudi dan tidak segan-segan mengeluarkan mereka dari lingkaran the Believers? Skenario demikian ditangkap keberadaannya melalui campur tangan umat Islam awal, sehingga mendistingsikan Islam dari agama monoteistik di sekitarnya (h. 205-207). Dengan berkiblat pada pendahulunya (Donner dkk) yang mengklaim bahwa finalisasi al-Qur’an secara legal ada setidaknya pada masa pemerintahan Abd al-Malik, Shoemaker menduga bahwa nada negatif terhadap umat monoteis non-Islam, khususnya Kristen, kemungkinan merupakan gejala perkembangan komunitas Islam (h. 210).
Tidak hanya reduksi terhadap gambaran umum wafatnya Nabi dan hubungan di antara umat monoteis saja, Shoemaker mengklaim bahwa detail lokasi geografis wafatnya Muhammad merupakan satu narasi yang terindikasi melintasi adjustment umat Islam awal. Dari perspektif eskatologis monoteistik, Jerusalem merupakan tempat yang dimuliakan dan dituju oleh seluruh umat Abrahamik. Pun umat Islam, yang sebelumnya (diduga) bervisikan eskatologis, Jerusalem juga menjadi Tanah yang Dijanjikan versi mereka (al-ardl al-muqaddasah), di mana Tuhan menjanjikan tanah ini untuk keturunan Abraham/Ibrahim. Oleh karena janji ini beriringan dengan keyakinan bahwa hari akhir akan terjadi di masa hidup mereka, keputusan menginvasi Jazirah Arab, bukan hanya Palestina/Jerusalem pun dilakukan oleh para pemimpin Arab, di mana statemen ini juga direkam oleh al-Tabari. Di Jerusalemlah, tempat yang dianggap suci oleh umat monoteistik, mereka ingin berkumpul menyaksikan akhir dari dunia (h. 218-19).
Terakhir, yang menjadi tanda pembentukan ingatan Islam adalah Mekkah, atau Hijaz secara umum, yang menggeser posisi Jerusalem sebagai lokasi sakral umat Islam. Meski ia sendiri menyatakan bahwa sulit untuk memastikan kapan tepatnya paradigma kesucian Jerusalem tergeser oleh Hijaz, Shoemaker menitikfokuskan rasionalisasinya terhadap peristiwa yang berlangsung jauh pasca wafatnya Muhammad. Tepatnya sampai dinasti Umayyah era Abd al-Malik, Jerusalem diduga masih menjadi tempat yang disucikan oleh umat Islam. Proklamasi kekhalifahan Abdullah ibn Zubayr di Mekkah di tahun 683 menjadi titik balik paradigma ini. Simpatisan ibn Zubayr di Hijaz yang mengkritik upaya pembangunan Dome of the Rock oleh Abd al-Malik dan menilai usaha tersebut tidak lain adalah untuk menandingi aktivitas haji di Mekkah, secara tidak langsung membuat kekhalifahan Umayyah sadar akan potensi pemberontakan dari celah ini. Seiring dengan usaha awal untuk membedakan Islam di antara agama Abrahamik lain–misalnya dengan mempopulerkan Islam sebagai agama yang memiliki nabi, kitab suci, bahasa, hingga cara memasukinya melalui dua kalimat syahadat–kekhalifahan memandang perlunya mengangkat Mekkah sebagai tempat suci milik Islam (h. 250-51). Dugaan upaya inilah yang kemudian membentuk identitas Islam yang dilestarikan oleh dokumen tradisional Islam sampai dengan yang dikenal di masa kini.
Sebagai penutup, perlu untuk diketengahkan bahwa statemen Shoemaker berikut juga para sarjana Barat dalam lini kajian rekonstruksi sejarah Islam sudah tentu bukan suatu keabsolutan. Yang menarik dari buku Shoemaker ini adalah analisisnya yang berjalan pelan namun sensasional. Di satu sisi, ia terlihat mengisahkan suatu kronologi tertentu beserta detailnya, namun di sisi lain, kita sebagai pembaca dituntun untuk memintasi alur berpikirnya hingga tanpa sadar sudah ada pada narasi makro. Meski sebenarnya bisa dibilang spekulatif–terlebih yang banyak ditemukan pada analisanya di bab akhir, tulisan Shoemaker ini membuka paradigma yang relatif baru bagi penelitian studi Islam baik di kalangan sarjana internal Islam maupun kesarjanaan Barat sendiri. Klaim negatif yang masih cukup berasa bagi kesarjanaan Islam saat menyikapi dokumen non-Islam, begitu pun dengan klaim miring kesarjanaan Barat saat dihadapkan dengan paradigma sanad di dunia Islam, bisa sedikit melebur dalam tulisan ini, terbukti dari cara Shoemaker menganalisis catatan tradisional Islam dengan sebisa mungkin tidak melibatkan bias. Kita belajar dari Shoemaker, melalui kasus sederhana tentang waktu wafatnya Nabi, diskusi narasi-narasi yang lebih makro bisa dilakukan.